Narasi ‘Miring’ Pendidikan
Kita
Oleh Setia
Naka Andrian

Melihat
kasus tersebut, tentu masyarakat kita tidak akan terima alasan apa pun dari pihak
sekolah. Kasus ini, tentu menjadi tambahan untuk deretan persoalan pendidikan
kita. Bagaimana akan maju dan berkualitas sesuai cita-cita pendidikan nasional
kita, jika masih saja ada hambatan-hambatan. Pastinya segala hal yang merugikan
bagi siswa, guru, sekolah, bahkan bagi masa depan pendidikan kita.
Apa
pun alasannya, segala bentuk kekerasan, baik verbal maupun fisik, tak
seharusnya dilakukan oleh pengelola sekolah. Sekolah yang tentunya diidamkan
bagi siswa sebagai tempat menuntut ilmu, bersosialisasi, berproses kreatif, menemukan
jati diri, dan tentu sebagai ruang menjalani proses pendewasaan. Namun, jika
masih saja ada suatu hal yang seperti kasus tindak kekerasan di sekolah
tersebut. Maka, pendidikan di benak anak didik kita akan menjadi tempat yang
membosankan, keras, dan menakutkan.
Butuh Pendidikan
Ideal
Masyarakat
kita, orangtua murid, barang tentu anak didik kita, sangat butuh pendidikan
yang ideal. Seperti halnya yang dicatat Sutari Imam Barnadib (1983), bahwasanya
Ki Hajar Dewantara dalam Taman Siswa selalu menitik-beratkan pendidikan yang
bertumpu pada pertumbuhan anak didik secara harmonis.
Pendidikan
kecerdasan, pikiran, kesusilaan, keindahan, dan keluhuran budi pekerti. Tidak
lupa pula terkait pertumbuhan dan perkembangan jasmani. Juga pekerjaan tangan
(keterampilan) mendapatkan perhatian, termasuk pendidikan kesenian yang
mendapat perhatian istimewa, di antaranya seni suara, seni tari, seni lukis,
seni sastra. Meskipun, segala itu perlu penggenjotan terus-menerus.
Laku
harmonis dalam pendidikan, keselarasan dalam mensukseskan rencana dan cita-cita
pendidikan, tentu yang utama menjadi tanggung jawab bagi pengelola sekolah. Lebih-lebih
bagi nakhoda sekolah, yang tentu bertugas memegang komando tertinggi di atas
kapal pelayaran pendidikan.
Kita
semua pasti juga telah sadar. Masyarakat kita sadar. Bagaimana kondisi anak
didik kita sekarang ini. Pola pikir dan segenap pemahamannya tentu berbeda
dengan masa-masa anak didik yang hidup pada era 1980 atau 1990. Anak didik kita
saat ini seakan merasa telah memiliki banyak pilihan. Segalanya seakan telah
terpenuhi, dan dengan mudah mereka peroleh. Apa lagi era cyber seperti sekarang ini. Interaksi mereka terhadap teman
sepergaulan, komunitas anak muda, bahkan terhadap dunia luar, segalanya dapat
ditempuh hanya dalam hitungan detik.
Informasi
tumbuh dan berlangsung dengan begitu cepat. Tentu, segala itu membuat anak
didik kita seakan kehilangan kendali, jika memang misalnya, lingkungan tertentu
kurang berpihak atau mungkin kurang menyenangkan baginya. Maka selanjutnya,
anak didik kita akan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Tidak peduli
yang dilakukannya berdampak positif atau negatif.
Memberi "Nilai Lain"
Terkait
berderet penggambaran tersebut, sekolah yang dalam hal ini sebagai ruang
berproses bagi anak didik kita. Maka, haruslah berupaya atau bahkan harus mampu
menciptakan segala yang dibutuhkan anak, agar sekolah mendadi ruang menjalani
proses pendidikan yang harmonis tadi.
Paling
tidak, kepala sekolah sebagai nakhoda harus memberikan contoh positif. Mampu
memberikan kebijakan atas tawaran yang menarik terhadap anak-anak didiknya.
Harus sanggup memberikan ‘nilai’ lain, selain proses mengguyur materi pelajaran
semata. Sekolah harus memompa penciptaan godaan bagi anak didiknya. Misalnya
yang sempat disinggung tadi, terkait penyediaan ekstrakurikuler jasmani dan
kesehatan (olahraga), kesenian, atau keistimewaan dukungan terhadap beragam
kegiatan positif lainnya.
Setidaknya,
godaan tersebut akan menjadi rangsangan lain, agar siswa merasa betah berproses
di sekolah. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, paling tidak akan
mengurangi aktivitas mereka di luar sekolah yang kiranya tidak bermanfaat. Kali
ini, sekolah perlu mempertimbangkan iklim kegiatan positif bagi segenap anak
didik dengan berbagai perlakuan istimewanya. Bukan malah membatasi atau malah melarang
mereka. Maka yang berkembang saat ini, sekolah-sekolah sudah mulai
berlomba-lomba dalam memberikan godaan atas penyediaan ekstrakurikulernya. Baik
ekstra olahraga, kesenian, maupun tawaran aktivitas positif lainnya.***
─Setia Naka
Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di
Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016)
dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan
buku puisi “Manusia Alarm”.