Digitalisasi Ojek dan Taksi
Oleh Setia
Naka Andrian
Tentu
kita sangat menyadari, betapa kian hari, diri kita ini semakin malas beranjak
dari titik aman dan kenyamanan. Seakan rasa-rasanya diri kita ini ingin
dilayani segalanya, diantar, dibelikan, semua diimpikan datang sendiri ke hadapan
kita. Seperti halnya akhir-akhir ini marak diperbincangkan kontroversi Gojek,
kemudian dilanjutkan dengan kemunculan digitalisasi bagi pelanggan taksi.
Keduanya serupa, seolah memanjakan diri kita dengan segenap kemudahan-kemudahan
dalam berkehidupan. Sama-sama memanfaatkan aplikasi dalam hal pelayanan kepada
para pelanggan.
Sempat
dikabarkan di merdeka.com terkait kabar
aplikasi pemesanan Gojek yang menjadi sorotan berbagai pihak. Berawal dari
sikap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mendukung para
tukang ojek untuk bergabung dengan aplikasi tersebut. Sontak, sikap Ahok itu
dikritik oleh Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan. Ditimpali
tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan
Umum Orang dan Barang, yakni sepeda motor bukan diperuntukkan sebagai angkutan
umum orang dan barang. Lalu bagaimana dengan kemunculan digitalisasi pelanggan
taksi, apa lagi timpalan yang akan mendarat sebagai dalih pembelaan terhadap
gerak konvensional yang sudah lazim mereka lakukan selama berpuluh-puluh tahun?
Sebelum
kemunculan kedua ‘momok’ bagi para tukang ojek dan sopir taksi ‘konvensional’,
sebenarnya telah banyak beredar berbagai usaha jasa yang disertai dengan jemput
dan antar barang. Misalnya saja, jasa fotokopi atau mencetak (printing)
dokumen. Para pelanggan dimudahkan dengan dijemput orderannya, hingga setelah
orderan jadi akan diantarkan kembali kepada pelanggan. Hal tersebut tentu
sangat dekat dengan kita, terutama bagi para mahasiswa/karyawan yang tinggal indekos.
Jasa cuci pakaian dilayani dengan begitu manjanya, pakaian kotor dijemput,
setelah selesai dicuci, dikeringkan bahkan hingga diberi pewangi dan sudah
setrika baru diantarkan kembali.
Masyarakat dan
Peralihan
Jika
dihadapkan pada peralihan semacam ini, pastilah di antara kita tidak sedikit
yang menggunjingi atau bahkan berteriak selantang-lantangnya. Padahal, mau atau
tidak mau, segalanya pasti akan berubah. Cepat atau lambat, kita akan hanya
semakin disiksa jika kita tidak berupaya menatap dunia peralihan yang kian hari
mengguyur diri dan kehidupan kita.
Tiada
di antara kita yang kuasa menghentikan waktu. Bahkan jika kita berupaya untuk
menolah perubahan, pastilah yang kita rasakan malah seakan waktu semakin kejam
menenggelamkan diri kita dalam kubangan kecemasan yang panjang. Gerak waktu tak
pernah mau berhenti, semakin dilawan, ia akan semakin cepat memutar jarumnya. Selanjutnya
kita hanya akan merasa sangat berkesusahan. Kita menjadi sangat gelisah, jika
ada hal-hal baru atau segala sesuatu yang mendahului kita.
Segala
ini tentu menjadi persoalan yang tak pernah selesai. Jika diri kita masih
merasa sebagai orang-orang yang terlalu mendewakan masa lalu yang begitu lazim
dalam setiap gerak mengamini dan mengimani aktivitas berkehidupan. Kita tentu
ingat, bagaimana pengisahan Gojek, kemudian dilanjutkan dengan kemunculan
digitalisasi pelanggan taksi yang sama-sama berdalih mempermudah bahkan
merajakan pelanggan. Semua dianggap sebagai pemberangusan kelaziman dan gerak
konvensional kehidupan kita.
Lalu,
kita akan merasa bahwa peralihan ini akan memojokkan bahkan bisa membunuh para
pekerja konvensional yang telah berpuluh-puluh tahun dilakukan tukang ojek dan
sopir-sopir taksi. Namun, apa daya kita, jika sesungguhnya diri kita sendiri,
diri pelanggan mereka sendirilah terasa mengamini dan begitu membanggakan
kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tersebut. Memang benar pula, ada kalanya
kita tetap harus mendukung, perjuangan dan segala upaya yang dilakukan oleh
pelaku konvensional, walaupun sudah semestinya, semuanya sama-sama memiliki
pelanggan. Sama-sama memperoleh bagiannya masing-masing. Kita tentu yakin,
tidak sedikit masyarakat kita yang belum menggunakan ponsel-ponsel pintar,
tidak sedikit pula di antara orang-orang tua di sekitar kita yang masih merasa
bertahun-tahun kesulitan beradaptasi dengan gadget
di genggam tangannya.
Saya
ingat, terkait pengisahan Scott Lash (1990), bahwasanya dalam beberapa
dasawarsa sekitar pergantian abad menuju abad dua puluh, kehidupan kultural
dalam kota-kota di dunia belahan Barat perlahan mulai berubah. Sifat dan arti
perubahan pun menjadi salah satu pertanyaan yang ada dalam inti perdebatan
sepanjang zaman, misalnya hingga saat ini mengenai modernitas dan modernisme.
Tentu kita yakin, di belahan dunia mana pun megalami masa-masa peralihan yang
serupa yang kita alami ini. Pelan-pelan, segalanya akan digiring menuju gerak
digitalisasi yang membuat sebagian oang di sekitar kita merasa geram.
Semua
seolah diharuskan menyelami dunia digital. Misal saja yang berkembang di
segenap lembaga pemerintahan, perpajakan, lembaga pendidikan, dan lain
sebagainya, semua diharuskan melaporkan hasil kerja, melaporkan proses hingga
penilaian pembelajaran, dan semua harus direkam secara detail di laman yang
sudah disediakan. Tentu segala ini bukanlah semacam gerakan subversif. Fenomena
ini dapat kita yakini sebagai takdir dari zaman yang semakin bergerak, bergerak
dan bahkan berlari. Mau tidak mau, cepat atau lambat, kita tetap akan
menyinggahinya. Begitu.***
─Setia Naka
Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa
dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menerbitkan buku puisi pertama,
“Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan buku puisi kedua “Manusia Alarm”.