Nasib ‘Tayangan Jalanan’ pada Era Petisi Cyber
Oleh Setia
Naka Andrian
Pada
era cyber seperti yang bergulir
hingga detik ini, barang tentu segalanya dapat menyebar dengan begitu cepat.
Apa pun itu, terlepas dari sisi baik dan buruknya, tentu kita sebagai ‘umat
digital’ yang cerdas harus menyikapi semulia mungkin. Seperti halnya beberapa
hari ini, saya mendapat kiriman surat elektronik (electronic mail) dari Change.org
Indonesia, dari webnya sendiri, menulis dan sekaligus menobatkan ‘dirinya’
sebagai platform petisi terbesar di dunia, memberdayakan orang di mana pun
untuk menciptakan perubahan yang ingin mereka lihat.
Petisi,
yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaksudkan sebagai surat
permohonan resmi kepada pemerintah. Saat ini sedikit bergeser, surat
dimaksudkan tidak harus yang tertulis di dalam kertas saja, dan hanya satu atau
segelintir orang saja yang membubuhkan tanda tangan di bawahnya. Namun, pada
era cyber saat ini, penanda tangan
(pendukung) petisi sangatlah banyak, bahkan mencapai jutaan. Tidak
tanggung-tanggung pula, melalui Change.org telah berhasil mencatat keberhasilan
petisi yang dibuat.
Sungguh
sangat besar respons masyarakat terhadap platform petisi yang diudarakan oleh
Change.org. Dicatatnya, hingga saat ini sudah mencapai lebih dari 70 juta
pengguna di 196 negara. Saya membuktikan sendiri, setiap hari ada saja
kiriman-kiriman permohonan dukungan atas petisi dari Change.org. Jika kita
sudah sekali saja memberikan dukungan, maka selanjutnya secara otomatis akan
dikirimi penawaran-penawaran dukungan. Petisi yang dilayangkan sangat beragam,
dari mulai ersoalan lokal hingga pada persoalan global. Misalnya terkait
persoalan yang sedang memanas di media, hingga persoalan-persoalan yang
sebenarnya dipandang sangat sederhana namun perlu diperhatikan dan menjadi isu
publik.
Misalnya,
ada perjuangan seorang ibu melawan bullying di sekolah putrinya, pelanggan/perusakan
lingkungan, persoalan pengeboran Lapindo di Sidoarjo, dan lain sebagainya.
Petisi-petisis dengan sangat mudah dapat diluncurkan, dari mulai atas nama
komunitas/lembaga tertentu hingga atas nama perorangan. Segalanya dapat
dikampanyekan dengan cepat dan mudah.
Beberapa
petisi yang sudah dilayangkan di antaranya, “Cabut Izin Pengeboran Baru Lapindo
di Sidoarjo!” yang dibuat oleh Urban Poor Consortium Jakarta Selatan Indonesia
dengan dukungan 25.064 (Februari 2016), selanjutnya ada pula petisi “Kapolri,
Kapolda Metro Jaya; Copot Kapolres Jakpus yang dukung sweeping FPI!” yang
dibuat oleh Damar Juniarto, warga Jakarta, dengan pendukung 37.256 orang
(Januari 2016). Ada pula yang ditujukan kepada Presiden Jokowi, dengan petisi
“Presiden @Jokowi, @Portal_Kemlu_RI; Tolak Donald Trump dan Bisnisnya Masuk
Indonesia” dengan pendukung 45.393 orang.
Banyak
yang dinyatakan petisi yang diluncurkan berhasil. Setelah para pendukung
melalui surel/e-mail (surat elektronik) memberikan dukungan, pendukung akan
diberi balasan secara otomatis dan jika petisi tersebut berhasil, maka akan
diberitahukan pula kegembiraan kabar keberhasilan tersebut. Tak jarang pula
dari para petinggi negara, bahkan hingga presiden yang menanggapi petisi dengan
baik, serta mendukung atau mengabukan permintaan dari petisi yang dilayangkan
memalui Change.org tersebut.
Saatnya Petisi
Cyber Perangi ‘Tayangan Jalanan’
Pada
minggu ini, baru saja saya mendapat kiriman permohonan dukungan terkait petisi
yang dibuat oleh Generasi Pemuda Peduli Indonesia untuk Komisi Penyiaran
Indonesia (KPI) Pusat, “@KPI-Pusat, @OfficialRCTI, Hentikan Tayangan Anak
Jalanan!” KPI, sebuah lembaga independen di Indonesia yang memiliki
tugas sangat mulia sebagai alat pengatur (regulator) segala penyelenggaraan penyiaran di Indonesia,
termasuk yang ditayangkan di televisi.
Memang
benar, fakta membuktikan, bahkan riset kecil-kecilan saya kepada beberapa
tetangga yang kebanyakan ABG, 98% sangat menggilai tayangan sinetron “Anak Jalanan”.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sudah terpengaruh secara penampilan,
gaya, bahkan beberapa aktivitas kecil lain yang sangat dekat dan hanya digeser
saja dari layar televisi menuju kenyataan hidup mereka.
Barang
tentu benar jika petisi tersebut dibuat. Sinetron “Anak Jalanan” yang tayang mulai
Oktober 2015 tersebut sepertinya sangat tidak cocok untuk masyarakat kita.
Khususnya bagi anak muda kita, generasi penerus bangsa ini. bangsa ini sudah
terpuruk, banyak persoalan yang menjangkiti para politisi, para petinggi negara
ini. Maka jangan sampai anak-anak muda generasi bangsa kita juga turut dilukai
akibat tayangan-tayangan televisi yang kurang mendidik. Walaupun tetap saja
segalanya diserahkan pada masing-masing pribadi anak muda kita tersebut. Namun
setidaknya, KPI sudah seharusnya menjalankan tugas yang seharusnya dijalankan.
Benar-benar menjadi komisi yang ‘bertaring’ untuk menentukan tayangan mana yang
layak dan mana yang tidak layak.
Kita
tentunya akan sangat prihatin melihat dampak besar televisi bagi masyarakat
kita. Tidak seharusnya pula ukuran money
oriented saja yang dikejar. Ibaratnya, catatan keberhasilan yang dilakukan
seseorang pastilah tidak melulu harus dihitung berdasarkan seberapa uang yang
didapatkan, atau seberapa kekayaan yang dicapai. Tentunya, keberhasilan juga
dapat diukur berdasarkan seberapa posisi ketercapaian moral dan spiritual
seseorang dalam berkehiduan. Sudah cukup KPI membuka kran lebar terhadap segala
yang kurang cocok untuk bangsa kita yang cenderung/mayoritas berbudaya timur
ini. Sudah cukup hedonisme begitu diguyurkan di acara-acara televisi kita. Sudah
tidak jarang lagi tayangan-tayangan televisi memberi dampak buruk serta menjadi
contoh yang tidak baik bagi generasi muda kita.
Seperti
halnya kekerasan yang dicontoh dari televisi, hubungan di luar batas kenormalan
dalam adat dan budaya kita yang ditiru dari televisi, lalu masih banyak lagi
contoh lain yang saya rasa sudah sangat akrab dengan diri kita, yang sudah
tidak sebentar menjadi saksi tayangan televisi kita. Tentu, kita semua sangat
berharap, KPI harus tegas dalam memberi restu terhadap tayangan-tayangan di
televisi. Jangan sampai terus-terusan sajian di televisi menjadi contoh buruk dan
menimbulkan efek negatif bagi generasi muda yang menontonnya.
Mari
kita beri dukungan petisi yang diluncurkan Change.org baru-baru ini. Kita beri
dukungan Generasi Pemuda Peduli Indonesia menggedor KPI. Sudah saatnya kita
semua menjadi generasi ‘cerdas’ dan menyikapi aktivitas positif dalam menjadi
penganut ‘era cyber’. Semoga kita mampu menyadarkan KPI agar menyingkirkan
tayangan-tayangan semacam “Anak Jalanan” tersebut. Tentunya masih banyak pula
‘tayangan jalanan’ lain yang dirasa sangat mengganggu kesehatan pembangunan
tubuh generasi penerus bangsa kita. Kita tunggu kemuliaan KPI.***
─Setia Naka
Andrian, Dosen
FPBS Universitas PGRI Semarang. Tahun ini akan menerbitan dua buku puisinya, “Perayaan
Laut” dan “Manusia Alarm”. Salah satunya akan diluncurkan bulan April,
bertepatan dengan ritual mengakhiri masa lajangnya.