Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Selasa, 10 November 2015
Senin, 09 November 2015
Jumat, 06 November 2015
Selasa, 03 November 2015
Menyulut Uji Kompetensi Guru (Wawasan, 3 November 2015)
Menyulut Uji Kompetensi Guru
Oleh Setia
Naka Andrian
Saat
ini, Indonesia dalam kurun waktu satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla
(Jokowi-JK), ternyata masih saja diguyur bergelimang persoalan. Bahkan banyak pula
pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Belum tuntas beragam konflik
yang tumbuh dari tubuh pemerintahan sendiri, suasana politik yang tidak sehat, pemberantasan
korupsi, dan lain sebagainya. Namun, masih bermunculan juga persoalan penanganan
kabut asap yang dinilai sangat lamban. Belum lagi terkait kondisi perekonomian
yang tidak stabil, masih kurangnya penyediaan lapangan kerja, hingga pada
persoalan pendidikan yang begitu pelik terus bergulir menjadi suguhan utama
dalam berita harian.
Sesungguhnya
bangsa ini sangat menaruh harapan besar dari energi revolusi mental. Namun pada
kenyataannya, seakan hanya menyisakan isapan jempol semata. Bahkan banyak yang bertanya-tanya,
mana lagi gaung great idea (ide
besar) yang dulu diteriakkan seantero jagat pertiwi ini. Lalu sampai kapan
rakyat harus menunggu. Jika negeri ini benar-benar diidamkan berdikari dalam
seabrek kedaulatan yang sering digemborkan dalam berbagai situasi kampanye kala
itu. Ketika masih menjadi calon yang bekerja keras menarik simpati rakyat.
Bahkan
yang seharusnya pendidikan menjadi tonggak dalam segala pencapaian cita-cita
bangsa dan negara, namun masih saja selalu diusik dalam berbagai
persoalan-persoalan menikam. Tidak lama ini, Dr Sulistiyo MPd, Anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng (Wawasan, 21/10), menilai bahwa Uji Kompetensi
Guru (UKG) hanyalah proyek pemborosan saja.
Hasil
UKG belum dapat menggambarkan kompetensi guru secara utuh. Sebab yang diuji
hanya kompetensi pedagogik dan profesional saja. UKG belum mampu mengukur
kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Padahal kedua kompetensi tersebut
yang sebenarnya sangat mempengaruhi kinerja seorang guru. UKG dianggap sangat
menyesatkan jika hasilnya nanti dikaitkan dengan pembayaran Tunjangan Profesi
Guru (TPG), kenaikan pangkat, maupun penerimaan hak lainnya.
Strategi
Kebudayaan
Meminjam
Listiyono Santoso (JP, 19/10) bahwasanya dalam kebudayaan terdapat strategi
untuk bertahan hidup dan menang. Inti dari budaya bukan bukanlah budaya itu
sendiri, melainkan strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan menjadi ruang
bagi penyelenggaraan strategi kebudayaan. Namun sangat disayangkan, jika
kemendikbud masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan administratif,
bukan pada persoalan yang lebih substantif.
Kemendikbud
akhir-akhir ini pun menyulut kebijakan terkait UKG. Tentunya banyak pihak yang
tidak sepakat, termasuk para guru sendiri. Jika benar-benar kemendikbud
mengetok palu, barang tentu tak sedikit genderang perang yang akan segera
dibunyikan. Sebab sangat benar, itu semua hanyalah urusan administratif semata.
Tak berbeda dengan siswa-siswa kita yang harus bersitegang saat dihadapkan pada
ujian nasional, yang bagi mereka begitu bertaring tajam dan sangat menakutkan.
Seharusnya,
ini momentum bagi kemendikbud untuk menyelami kembali pelaksanaan Undang-undang
(UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang sudah berjalan sepuluh
tahun ini. Alangkah mulianya jika saat-saat seperti ini digunakan untuk menggenjot
para guru dengan aktivitas-aktivitas yang lebih substantif.
Kemendikbud
dan berbagai pihak terkait bersama-sama dalam upaya mengembalikan hakikat
pendidikan sebagai ikhtiar utama untuk memanusiakan manusia. Sudah bukan
saatnya lagi menyikapi persoalan pelik semacam ini dengan gegabah. Ketika
korupsi tumbuh subur, maka digerakkan pendidikan antikorupsi. Lalu saat
nasionalisme mengalami degradasi, maka diriuhkan dengan pendidikan bela negara.
Tentunya
tak sesederhana itu. Sudah cukup rasanya nasib para guru dibiarkan bergelimpangan
menyambut banyak persoalan-persoalan yang tak sepantasnya diterima. Belum lagi,
hingga saat ini masih banyak guru honorer yang hanya memperoleh gaji sekitar Rp
250.000 hingga Rp 300.000 perbulan. Bahkan masih banyak pula yang lebih rendah
lagi.
Terutama
bagi guru-guru yang mengajar di pelosok atau di pedalaman negeri ini. Padahal mereka
sudah bekerja sepenuh tenaga dan sangat banyak menghabiskan waktu hidupnya
untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini. Tak sedikit pula dari mereka
yang berprestasi dan berdedikasi tinggi dalam mengemban tugas mulianya.
Sudah
sepatutnya pula jika para guru dihargai dengan tidak sekadar seadanya lagi. Jangan
malah dihadapkan dengan tugas-tugas yang ternyata hanya membuat guru semakin terbebani.
Barang tentu, daripada menghabiskan banyak anggaran untuk penyelenggaraan UKG,
alangkah lebih mulianya jika digunakan untuk menyelamatkan guru yang belum menggapai
kualifikasi pendidikan sarjana atau yang lebih tinggi lagi. Serta mendorong
mereka untuk meraih sertifikat pendidik.
Dapat
dicambuki melalui penyelenggaraan pelatihan-pelatihan yang lebih substantif dan
benar-benar dibutuhkan oleh para guru. Bukan malah dihadapkan dengan tanggungan-tanggungan
yang hanya akan membuat mereka semakin kehilangan waktu untuk menunaikan
hakikat pembelajarannya.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).
Jumat, 30 Oktober 2015
Sihir Politik Wayang Banyolan (Koran Wawasan, 30 Oktober 2015)
Sihir Politik Wayang Banyolan
Oleh Setia
Naka Andrian
Pagi
itu, ruangan begitu redup. Backdrop hitam menutup rapat dinding-dinding Balairung Universitas PGRI Semarang. Ratusan penonton yang kebanyakan mahasiswa nampak menyiapkan diri
untuk menjadi saksi pertunjukan Wayang Kampung Sebelah (WKS). Mereka nampak
beku di kursi-kursi yang sengaja ditata melingkar di hadapan panggung. Sayup-sayup
iringan musik digital yang menyayat membuat mereka semakin khidmat untuk segera
menyimak cerita Mawas Diri Menakar Diri dari
WKS.
Blencong menyala. Isi panggung ditembak beberapa
lampu sorot. Cahaya dijatuhkan tepat di gawang kelir, alat-alat musik yang
bergeletakan, jimbe, gitar elektrik, gitar bass, saxophone, flute, kendang, dan
drum. Kenampakan gawang kelir sepanjang tiga meter dan seperangkat alat musik
yang tidak seperti dalam wayang kulit purwa tersebut, seketika merasuki pikiran
penonton untuk menyibak kawah imajinasi yang lepas.
Di
benak penonton, runtuh sudah pemaknaan wayang dengan pakem dan pengisahan melalui bahasa yang berat-berat. Meminjam Umar
Kayam (1981), wayang sudah lama ada di negeri ini. Dikenal sebagai alat
berhubungan dengan roh leluhur lewat patung-patung. Juga sebagai cara mulia
membeberkan cerita-cerita dari kehidupan manusia. Melalui kisah Ramayana dan
Mahabarata, misalnya. Namun tidak yang ditawarkan WKS, suguhan wayang
kontemporer dengan banyolan segar menjadi keutamaan dalam sajiannya.
Mengingat
masyarakat saat ini sudah begitu lelah dengan pekerjaan dan aktivitas
keseharian. Sehingga sangat benar, WKS berupaya mengembalikan hakikat wayang
sebagai tontonan dan tuntunan (perilaku). Wayang-wayang kertas dengan tampilan jenaka/lucu
menjadi jalan tersendiri sebagai daya tarik di mata penonton. Misalnya
tokoh-tokoh perempuan seksi serupa penyanyi dangdut, lelaki bergitar, hansip,
polisi, lelaki bule, dan kakek-kakek tua. Semua siap disajikan sebagai wujud
dari bayang-bayang kenyataan hidup manusia dengan segenap kekonyolannya.
Pertunjukan dimulai. Dalang Ki Jlitheng
Suparman dan tujuh pemain musik melangkah menuju panggung. Tanpa basa-basi mereka
langsung menggeber lagu-lagu dengan
tawaran sound modern yang masih menampakkan
nuansa musik melayu dan dangdut koplo. Syair-syair yang dilantunkan pun begitu membumi,
mengenai takdir, jodoh, kematian, kekayaan, kemiskinan, dan rahasia ilahi.
Selanjutnya lagu-lagu seakan terpaksa diselesaikan, alunan musik digiring
menjadi semakin mencekam.
Dalang menggerak-gerakkan lambang negera
(garuda pancasila) dan gunungan dengan penuh energi. Ilustrasi semakin
menggetarkan. Lanskap alam imajinasi mengenai persoalan negeri dihadirkan dari
estetika dunia wayang. Satu demi satu tokoh wayang dimainkan dengan teknik
muncul berjoged-joged. Kelenturan permainannya ditunjukkan begitu apik. Nampak
detail bagaimana anatomi tubuh wayang dalam gerakan-gerakan kecil dari tangan
dan kakinya. Wayang berjoged, menggoyangkan pinggul, memainkan gitar, dan
banyak lagi gesture yang begitu fasih
semacam dramaturgi pertunjukan teater.
Fenomena Pelik Dunia Politik
Kisah dibuka dengan kehadiran tokoh
bernama Catur. Digambarkan sebagai seniman dekil yang multifungsi. Ia bicara
banyak hal mengenai fenomena pelik di dunia politik. Gawang kelir semakin
menyala dengan kehadiran Pak Lungsur, tokoh masyarakat di desa Bangun Jiwo yang
sedang berkampanye untuk memenangkan pemilihan kepala desa. Pak Lungsur beraksi
dengan ragam bahasa vickinisasi dalam kampanye. Judge lama yang ternyata masih mengundang tawa penonton. Misalnya ungkapan
“kontroversi hati” dan “kudeta miskin”.
Dalam cerita, Pak Lungsur sebagai tokoh
yang menghalalkan segala cara agar menang dalam pemilihan kepala desa. Dibantu
seorang kakek tua sebagai pentolan tim sukses dan menyelinap menjadi ketua
panitia pemilihan. Mengatur kemenangan Pak Lungsur, dari mulai penyelenggaraan
panggung musik hingga manipulasi suara yang diatur dari dalam kepanitiaan
pemungutan suara. Praktik politik uang pun nampak gamblang disuguhkan WKS. Hal
tersebut menjadi gambaran mengenai kondisi panggung politik di negeri ini.
Bahkan sudah tidak sedikit lagi yang terjadi di pedesaan. Sebuah lembaga
pemerintahan terkecil yang sangat memungkinkan menjadi ajang perebutan
kekuasaan dengan praktik-praktik negatifnya.
Desa menjadi lahan subur bagi para calon
penguasa. Desa dihadirkan sebagai ruang gerak untuk menciptakan dan
menghancurkan kekuatan rakyat. Terbukti, pertunjukan WKS dalam rangkaian parade
bulan bahasa yang digelar pada 20 Oktober lalu, memberi gambaran kebobrokan
sebuah negara dimulai dari embrionya di desa. Dari mulai politik uang,
birokrasi kompleks, berafiliasi, hingga praktik pemangkasan dana yang
turun-temurun dari pihak atas ke bawah.
Akhirnya, pihak-pihak bawah hanya
mendapat bagian sangat sedikit. Nduwur penak, ngisor ditekak (baca:
atasan enak, bawahan dicekik). Begitulah yang dilantangkan oleh kelompok wayang
kontemporer asal Solo tersebut. Perihal kritik sekaligus ajakan untuk menjalani
hidup pada jalur yang semestinya. Berpegangan dan mengilhami segala yang sudah
digariskan dalam Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal memperjuangkan kedaulatan
berbagai bidang.
WKS berupaya memanjakan penonton dengan
visual kejenakaan yang tak terduga. Mengajak penonton melihat, memeriksa,
mengoreksi diri sendiri secara jujur untuk introspeksi, agar jangan lagi melakukan
kesalahan yang sama. Selain itu, penonton juga diajak menyelami beragam fenomena
sosial melalui sajian musik rakyat (baca: dangdut koplo). Bahkan, yang
seharusnya musik bernuansa melayu, pop, rock, dan musik reggae sekalipun, pada
akhirnya tetap dibumbui dangdut koplo. Barang tentu sudah menjadi hal yang
lumrah, dangdut koplo dengan goyangannya menjadi sihir tersendiri bagi para
calon pemimpin di negeri ini untuk melumpuhkan hati rakyat dalam setiap
kampanye-kampanyenya.***
─Setia Naka
Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan
Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).
Langganan:
Postingan (Atom)