Selasa, 03 November 2015

Komik Gelar Event Satu Hati Lintas Genre (Wawasan, 3 November 2015)


Event Perdana dalam Kepengurusan Baru (Rakyat Jateng, 3 November 2015)


Menyulut Uji Kompetensi Guru (Wawasan, 3 November 2015)

Menyulut Uji Kompetensi Guru
Oleh Setia Naka Andrian

Saat ini, Indonesia dalam kurun waktu satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), ternyata masih saja diguyur bergelimang persoalan. Bahkan banyak pula pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan. Belum tuntas beragam konflik yang tumbuh dari tubuh pemerintahan sendiri, suasana politik yang tidak sehat, pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya. Namun, masih bermunculan juga persoalan penanganan kabut asap yang dinilai sangat lamban. Belum lagi terkait kondisi perekonomian yang tidak stabil, masih kurangnya penyediaan lapangan kerja, hingga pada persoalan pendidikan yang begitu pelik terus bergulir menjadi suguhan utama dalam berita harian.
Sesungguhnya bangsa ini sangat menaruh harapan besar dari energi revolusi mental. Namun pada kenyataannya, seakan hanya menyisakan isapan jempol semata. Bahkan banyak yang bertanya-tanya, mana lagi gaung great idea (ide besar) yang dulu diteriakkan seantero jagat pertiwi ini. Lalu sampai kapan rakyat harus menunggu. Jika negeri ini benar-benar diidamkan berdikari dalam seabrek kedaulatan yang sering digemborkan dalam berbagai situasi kampanye kala itu. Ketika masih menjadi calon yang bekerja keras menarik simpati rakyat.
Bahkan yang seharusnya pendidikan menjadi tonggak dalam segala pencapaian cita-cita bangsa dan negara, namun masih saja selalu diusik dalam berbagai persoalan-persoalan menikam. Tidak lama ini, Dr Sulistiyo MPd, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jateng (Wawasan, 21/10), menilai bahwa Uji Kompetensi Guru (UKG) hanyalah proyek pemborosan saja.
Hasil UKG belum dapat menggambarkan kompetensi guru secara utuh. Sebab yang diuji hanya kompetensi pedagogik dan profesional saja. UKG belum mampu mengukur kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Padahal kedua kompetensi tersebut yang sebenarnya sangat mempengaruhi kinerja seorang guru. UKG dianggap sangat menyesatkan jika hasilnya nanti dikaitkan dengan pembayaran Tunjangan Profesi Guru (TPG), kenaikan pangkat, maupun penerimaan hak lainnya.

Strategi Kebudayaan
Meminjam Listiyono Santoso (JP, 19/10) bahwasanya dalam kebudayaan terdapat strategi untuk bertahan hidup dan menang. Inti dari budaya bukan bukanlah budaya itu sendiri, melainkan strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan menjadi ruang bagi penyelenggaraan strategi kebudayaan. Namun sangat disayangkan, jika kemendikbud masih saja disibukkan dengan persoalan-persoalan administratif, bukan pada persoalan yang lebih substantif.
Kemendikbud akhir-akhir ini pun menyulut kebijakan terkait UKG. Tentunya banyak pihak yang tidak sepakat, termasuk para guru sendiri. Jika benar-benar kemendikbud mengetok palu, barang tentu tak sedikit genderang perang yang akan segera dibunyikan. Sebab sangat benar, itu semua hanyalah urusan administratif semata. Tak berbeda dengan siswa-siswa kita yang harus bersitegang saat dihadapkan pada ujian nasional, yang bagi mereka begitu bertaring tajam dan sangat menakutkan.
Seharusnya, ini momentum bagi kemendikbud untuk menyelami kembali pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang sudah berjalan sepuluh tahun ini. Alangkah mulianya jika saat-saat seperti ini digunakan untuk menggenjot para guru dengan aktivitas-aktivitas yang lebih substantif.
Kemendikbud dan berbagai pihak terkait bersama-sama dalam upaya mengembalikan hakikat pendidikan sebagai ikhtiar utama untuk memanusiakan manusia. Sudah bukan saatnya lagi menyikapi persoalan pelik semacam ini dengan gegabah. Ketika korupsi tumbuh subur, maka digerakkan pendidikan antikorupsi. Lalu saat nasionalisme mengalami degradasi, maka diriuhkan dengan pendidikan bela negara.
Tentunya tak sesederhana itu. Sudah cukup rasanya nasib para guru dibiarkan bergelimpangan menyambut banyak persoalan-persoalan yang tak sepantasnya diterima. Belum lagi, hingga saat ini masih banyak guru honorer yang hanya memperoleh gaji sekitar Rp 250.000 hingga Rp 300.000 perbulan. Bahkan masih banyak pula yang lebih rendah lagi.
Terutama bagi guru-guru yang mengajar di pelosok atau di pedalaman negeri ini. Padahal mereka sudah bekerja sepenuh tenaga dan sangat banyak menghabiskan waktu hidupnya untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini. Tak sedikit pula dari mereka yang berprestasi dan berdedikasi tinggi dalam mengemban tugas mulianya.
Sudah sepatutnya pula jika para guru dihargai dengan tidak sekadar seadanya lagi. Jangan malah dihadapkan dengan tugas-tugas yang ternyata hanya membuat guru semakin terbebani. Barang tentu, daripada menghabiskan banyak anggaran untuk penyelenggaraan UKG, alangkah lebih mulianya jika digunakan untuk menyelamatkan guru yang belum menggapai kualifikasi pendidikan sarjana atau yang lebih tinggi lagi. Serta mendorong mereka untuk meraih sertifikat pendidik.
Dapat dicambuki melalui penyelenggaraan pelatihan-pelatihan yang lebih substantif dan benar-benar dibutuhkan oleh para guru. Bukan malah dihadapkan dengan tanggungan-tanggungan yang hanya akan membuat mereka semakin kehilangan waktu untuk menunaikan hakikat pembelajarannya.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Jumat, 30 Oktober 2015

Sihir Politik Wayang Banyolan (Koran Wawasan, 30 Oktober 2015)

Sihir Politik Wayang Banyolan
Oleh Setia Naka Andrian

Pagi itu, ruangan begitu redup. Backdrop hitam menutup rapat dinding-dinding Balairung Universitas PGRI Semarang. Ratusan penonton yang kebanyakan mahasiswa nampak menyiapkan diri untuk menjadi saksi pertunjukan Wayang Kampung Sebelah (WKS). Mereka nampak beku di kursi-kursi yang sengaja ditata melingkar di hadapan panggung. Sayup-sayup iringan musik digital yang menyayat membuat mereka semakin khidmat untuk segera menyimak cerita Mawas Diri Menakar Diri dari WKS.
Blencong menyala. Isi panggung ditembak beberapa lampu sorot. Cahaya dijatuhkan tepat di gawang kelir, alat-alat musik yang bergeletakan, jimbe, gitar elektrik, gitar bass, saxophone, flute, kendang, dan drum. Kenampakan gawang kelir sepanjang tiga meter dan seperangkat alat musik yang tidak seperti dalam wayang kulit purwa tersebut, seketika merasuki pikiran penonton untuk menyibak kawah imajinasi yang lepas.
Di benak penonton, runtuh sudah pemaknaan wayang dengan pakem dan pengisahan melalui bahasa yang berat-berat. Meminjam Umar Kayam (1981), wayang sudah lama ada di negeri ini. Dikenal sebagai alat berhubungan dengan roh leluhur lewat patung-patung. Juga sebagai cara mulia membeberkan cerita-cerita dari kehidupan manusia. Melalui kisah Ramayana dan Mahabarata, misalnya. Namun tidak yang ditawarkan WKS, suguhan wayang kontemporer dengan banyolan segar menjadi keutamaan dalam sajiannya.
Mengingat masyarakat saat ini sudah begitu lelah dengan pekerjaan dan aktivitas keseharian. Sehingga sangat benar, WKS berupaya mengembalikan hakikat wayang sebagai tontonan dan tuntunan (perilaku). Wayang-wayang kertas dengan tampilan jenaka/lucu menjadi jalan tersendiri sebagai daya tarik di mata penonton. Misalnya tokoh-tokoh perempuan seksi serupa penyanyi dangdut, lelaki bergitar, hansip, polisi, lelaki bule, dan kakek-kakek tua. Semua siap disajikan sebagai wujud dari bayang-bayang kenyataan hidup manusia dengan segenap kekonyolannya.
Pertunjukan dimulai. Dalang Ki Jlitheng Suparman dan tujuh pemain musik melangkah menuju panggung. Tanpa basa-basi mereka langsung menggeber lagu-lagu dengan tawaran sound modern yang masih menampakkan nuansa musik melayu dan dangdut koplo. Syair-syair yang dilantunkan pun begitu membumi, mengenai takdir, jodoh, kematian, kekayaan, kemiskinan, dan rahasia ilahi. Selanjutnya lagu-lagu seakan terpaksa diselesaikan, alunan musik digiring menjadi semakin mencekam.
Dalang menggerak-gerakkan lambang negera (garuda pancasila) dan gunungan dengan penuh energi. Ilustrasi semakin menggetarkan. Lanskap alam imajinasi mengenai persoalan negeri dihadirkan dari estetika dunia wayang. Satu demi satu tokoh wayang dimainkan dengan teknik muncul berjoged-joged. Kelenturan permainannya ditunjukkan begitu apik. Nampak detail bagaimana anatomi tubuh wayang dalam gerakan-gerakan kecil dari tangan dan kakinya. Wayang berjoged, menggoyangkan pinggul, memainkan gitar, dan banyak lagi gesture yang begitu fasih semacam dramaturgi pertunjukan teater.

Fenomena Pelik  Dunia Politik
Kisah dibuka dengan kehadiran tokoh bernama Catur. Digambarkan sebagai seniman dekil yang multifungsi. Ia bicara banyak hal mengenai fenomena pelik di dunia politik. Gawang kelir semakin menyala dengan kehadiran Pak Lungsur, tokoh masyarakat di desa Bangun Jiwo yang sedang berkampanye untuk memenangkan pemilihan kepala desa. Pak Lungsur beraksi dengan ragam bahasa vickinisasi dalam kampanye. Judge lama yang ternyata masih mengundang tawa penonton. Misalnya ungkapan “kontroversi hati” dan “kudeta miskin”.
Dalam cerita, Pak Lungsur sebagai tokoh yang menghalalkan segala cara agar menang dalam pemilihan kepala desa. Dibantu seorang kakek tua sebagai pentolan tim sukses dan menyelinap menjadi ketua panitia pemilihan. Mengatur kemenangan Pak Lungsur, dari mulai penyelenggaraan panggung musik hingga manipulasi suara yang diatur dari dalam kepanitiaan pemungutan suara. Praktik politik uang pun nampak gamblang disuguhkan WKS. Hal tersebut menjadi gambaran mengenai kondisi panggung politik di negeri ini. Bahkan sudah tidak sedikit lagi yang terjadi di pedesaan. Sebuah lembaga pemerintahan terkecil yang sangat memungkinkan menjadi ajang perebutan kekuasaan dengan praktik-praktik negatifnya.
Desa menjadi lahan subur bagi para calon penguasa. Desa dihadirkan sebagai ruang gerak untuk menciptakan dan menghancurkan kekuatan rakyat. Terbukti, pertunjukan WKS dalam rangkaian parade bulan bahasa yang digelar pada 20 Oktober lalu, memberi gambaran kebobrokan sebuah negara dimulai dari embrionya di desa. Dari mulai politik uang, birokrasi kompleks, berafiliasi, hingga praktik pemangkasan dana yang turun-temurun dari pihak atas ke bawah.
Akhirnya, pihak-pihak bawah hanya mendapat bagian sangat sedikit. Nduwur penak, ngisor ditekak (baca: atasan enak, bawahan dicekik). Begitulah yang dilantangkan oleh kelompok wayang kontemporer asal Solo tersebut. Perihal kritik sekaligus ajakan untuk menjalani hidup pada jalur yang semestinya. Berpegangan dan mengilhami segala yang sudah digariskan dalam Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal memperjuangkan kedaulatan berbagai bidang.
WKS berupaya memanjakan penonton dengan visual kejenakaan yang tak terduga. Mengajak penonton melihat, memeriksa, mengoreksi diri sendiri secara jujur untuk introspeksi, agar jangan lagi melakukan kesalahan yang sama. Selain itu, penonton juga diajak menyelami beragam fenomena sosial melalui sajian musik rakyat (baca: dangdut koplo). Bahkan, yang seharusnya musik bernuansa melayu, pop, rock, dan musik reggae sekalipun, pada akhirnya tetap dibumbui dangdut koplo. Barang tentu sudah menjadi hal yang lumrah, dangdut koplo dengan goyangannya menjadi sihir tersendiri bagi para calon pemimpin di negeri ini untuk melumpuhkan hati rakyat dalam setiap kampanye-kampanyenya.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).