Bocah Pengulum Jempol
■cerpen Setia Naka Andrian
Seandainya itu permen, pasti ia akan menangis karena bisa habis. Namun itu jempol. Dikulum berjam-jam,
berhari-hari hingga bertahun-tahun pun tak pernah akan kikis. Paling-paling
hanya lumutan saja karena terlalu lemas dibasahi air liur. Begitulah, mengulum jempol yang selalu dilakukannya.
Munyu, nama pemberian pak RT pada masa itu.
Ditiupkan selepas melihat si pengulum jempol itu mukim di dunia ini. Kami cukup
heran. Bayi laki-laki yang sejak
lahir sudah mengulum jempol. Ia pun tidak menangis ketika lahir dari rahim
ibunya. Begitu membrojol ia langsung tertawa-tawa, sembari melumat jempolnya
sendiri pada sela-sela tawanya. Sontak kami yang melihatnya kaget
sekaget-kagetnya.
Kini Munyu berumur lima belas
tahun. Masih yang selalu mengulum jempol. Namun kali ini
yang dikulum bukan jempolnya sendiri. Setiap hari ada beberapa jempol orang
yang selalu ia rebut untuk dikulum. Tak ada orang yang berani menolaknya.
Karena Munyu begitu kekar dan beringas walaupun usianya baru belasan. Ia akan
sangat marah jika ada seseorang yang melawan untuk tidak menyerahkan salah satu
jempolnya untuk dikulum dengan lunyam.
Jika marah
matanya akan mendadak melotot dan memerah. Giginya tiba-tiba mengeluarkan
taring yang begitu lancip. Lalu jari-jari tangannya pun seketika menumbuhkan
kuku-kuku hitam yang tajam dan panjang seperti kuku iblis yang siap menikam.
Ia tak pernah
makan. Entah, barangkali makan ya mengulum jempol itu. Air liurnya sendiri yang
ia telan. Karena ia juga tak pernah membeda-bedakan jempol siapa yang dikulum.
Entah itu laki-laki atau perempuan, cantik atau tampan. Tak masalah itu jempol
hitam, bolang-bolang atau putih mulus. Bahkan jempol kudisan pun tetap ia lahap
dengan begitu lunyam.
***
Munyu terlahir
di liang lahat. Bocah perawakan besar dan hitam itu dulunya dikira sudah mati
semasa dalam kandungan. Ketika ibunya meninggal karena bunuh diri. Akibat
depresi atas penciptaan janinnya oleh beberapa lelaki berandal yang sering
meresahkan warga Kalinyowo ini. Beberapa lelaki tak bertanggung jawab yang
menitipkan sperma cikal bakalnya untuk muncul di dunia ini. Namun ternyata
setelah hampir beberapa detik lagi cangkul ditancapkan tanah untuk menimbun
mayat ibunya, tiba-tiba terdengar suara bayi yang tertawa-tawa. Semua orang
yang hadir di pemakaman itu sempat ketakutan. Teringat film-film yang berkisah
beranak dalam kubur. Ingatan kami membuncah, ternyata fiksi itu benar-benar
terjadi di kampung kami.
Sore itu
langit begitu muram menyambut kelahiran Munyu yang tertawa-tawa. Seperti hendak
hujan. Namun ternyata mendung urung menumpahkan tangis setelah menyambut
kelahiran bayi yang begitu riang keluar dari rahim ibunya yang sudah tak
bernyawa.
Orang
sekampung pun khawatir dengan bocah yang tumbuh dengan asing itu. Munyu, nama
yang begitu akrab bagi kami. Karena bagaimanapun ia merupakan segala sesuatu
yang begitu eksis menebar ke telinga rumah-rumah. Orang-orang sering
memperbincangkannya di warung-warung, pos ronda, atau bahkan di masjid dan
tempat-tempat ibadah lainnya.
Semasa kecil,
Munyu sering ditakut-takuti ketika sedang asyik mengulum jempolnya. “Jangan kamu kulum terus
jempolmu! Nanti bisa habis,” begitulah yang sering dikatakan oleh pengasuhnya,
pak RT masa itu—Sujai. Lelaki setengah baya yang kini menjabat lurah di
kampung kami. Namun Munyu tak juga bergidik. Walau sempat juga dilihatkannya
mbah Jaman yang beberapa jarinya lenyap akibat terkikis suatu penyakit.
Bayi Munyu
dulunya dicela-cela oleh orang-orang sekampung. Karena kelahirannya begitu tak
diinginkan, bahkan tak dikehendaki oleh ibunya sendiri. Kami menganggap, kenapa
susah-susah mengurus anak haram semacam itu. Nanti malah bisa jadi pembawa
sial. Lebih-lebih ibunya juga tak jelas asal-usulnya. Dulu ibunya tinggal sebatangkara
di kampung kami.
Namun karena
kebaikan hati Sujai, ia tetap diasuh dengan penuh kasih sayang. Walaupun waktu
itu tak ada seorang pun yang mau mengasuh atau sekadar menimang lalu selang
beberapa hari menjualnya. Padahal sesungguhnya di kampung kami terkenal sebagai
pasar anak. Posisi kami sebagai bandar, pemegang sah laju perdagangan anak di
kampung kami. Hal ini begitu marak dan terkenal dimana-mana. Setiap hari banyak
berdatangan orang-orang yang hendak berjual-beli anak. Mereka kebanyakan datang
dari luar kampung, bahkan hingga luar daerah.
Entah, barangkali
kami tak mau mengasuh Munyu karena takut terjadi mala petaka. Karena kami
meyakini akan timbul bencana besar jika seseorang mengasuh anak haram semacam
Munyu. Lebih-lebih ia lahir di liang lahat. Sungguh menakutkan. Kami sangat
ciut, walaupun kami akui sesungguhnya dosa atas perdagangan anak telah menjadi
tradisi turun-temurun di kampung kami. Namun bagi kami, anak yang kami
perjualbelikan setidaknya bukan anak haram. Benar-benar terlahir dari pasangan
suami-istri yang sah, dan tentunya anak-anak itu bersertifikat yang dilindungi
undang-undang.
Sujai sering
disuguhi berbagai wejangan dari para tetangga mengenai pengasuhannya terhadap
Munyu. Juga tak jarang ia dilempari umpatan yang memerahkan telinga. Namun
tetap saja ia ikhlas merawat Munyu. Istri tercintanya yang bernama Rukinah pun
menganggap Munyu layaknya anak kandungnya sendiri. Karena bagaimanapun takdir
tak memihak, berpuluh tahun mereka belum juga dikaruniai keturunan.
Namun Rukinah
pun terkadang berkecil hati. Ketika umpatan-umpatan dari warga terlampau sering
menimpalinya. Akan tetapi dengan penuh lapang dada, Sujai tak pernah
menyalahkan atau memarahi orang-orang yang mengumpat keluarga kecilnya. Ia juga
berusaha menjelaskan kepada istri tercintanya, bahwa Munyu tak berdosa. Jadi
kenapa ia harus disalahkan? Ia tak tahu apa-apa tentang sejarahnya. Pula
mengenai benih yang tertanam hingga berujung melahirkannya ke dunia ini.
***
Munyu tak mau
mengenyam bangku sekolah. Padahal pada usianya yang masih belasan, saban hari
ia seharusnya tak keluyuran semacam itu. Ia sudah mulai malas sekolah dan
memutuskan untuk tidak mengenyam pendidikan sejak kali pertama ia didaftarkan
ke sekolah dasar. Dulu ia sempat masuk kelas selama satu hari, dan hanya
bertahan pada hari itu saja. Selanjutnya ia tak lagi mau berangkat sekolah.
Karena ia diejek dan juga dimusuhi teman-temannya ketika ia mulai merebut
jempol mereka untuk dikulum.
Ia pun
marah-marah ketika teman-temannya tak menghendaki salah satu jempolnya untuk
dikulum. Namun waktu itu jika marah matanya tidak melotot dan belum memerah
seperti sekarang ini. Ia hanya menangis saja semacam rengekan anak-anak kecil
pada umumnya, sambil mengeluarkan air mata. Giginya pun belum bertaring. Juga
jari-jari tangannya belum menumbuhkan kuku-kuku hitam yang tajam dan panjang
layaknya yang kami ketahui saat ini.
Entah, kami
tak tahu awal mulanya kenapa Munyu menjadi buas dan menyeramkan semacam yang
kami lihat saat-saat ini. Kami dibuatnya resah. Seluruh warga merasa semakin
ketakutan setiap kali harus bertemu atau sekadar memperbincangkannya di
warung-warung, pos ronda, atau bahkan di masjid dan tempat-tempat ibadah
lainnya.
Munyu semakin
menjadi-jadi. Sebagai lurah, Sujai tak mampu menangani. Walaupun itu anak
asuhnya sendiri. Barangkali ia menyimpan rahasia lain, atau entah. Kami tak
paham.
***
Kian hari
Munyu semakin meraja-lela. Setiap hari harus ada beberapa jempol untuk
dikulumnya. Semakin tak ada orang yang berani menolaknya. Kian hari Munyu
semakin kekar dan beringas. Ia akan semakin sangat marah jika ada seseorang
yang melawan untuk tidak menyerahkan salah satu jempolnya untuk dikulum dengan
lunyam. Matanya memerah dan melotot nyaris lepas. Giginya yang bertaring seakan
semakin lancip saja setelah sempat menggigit jempol Salim, seorang pemuda gagah
di kampung kami. Salim tak sanggup berkutik saat ia bersikeras melawan dan
tidak memberikan jempolnya untuk dikulum. Munyu menggigit hingga jempol Salim
terputus. Jari-jari tangannya yang ditumbuhi kuku-kuku hitam yang tajam itu pun
mencakar-cakar sekujur tubuh Salim. Menusuk-nusuk mata dan lehernya hingga
mati.
Setelah itu
Munyu meninggalkan begitu saja mayat Salim yang tergeletak. Ia bergegas mencari
orang lain untuk dikulum jempolnya. Kecanduannya terhadap jempol terlihat
semakin akut. Ia akan semacam sakaw jika sehari saja tidak mengulum jempol.
***
Keresahan dan
kecemasan warga semakin meledak-ledak semenjak si pengulum jempol itu memakan
korban jiwa. Kampung kami nampak sepi tanpa aktivitas. Kami lebih memilih untuk
mengunci pintu dan berdiam di rumah. Anak-anak kecil di kampung kami pun kami
larang untuk bermain di luar rumah. Kami benar-benar tidak kemana-mana.
Anak-anak di kampung kami pun tidak berangkat sekolah.
Kampung kami
benar-benar mati mendadak. Siang yang seharusnya kami beraktivitas, namun kami
gunakan untuk menimbun resah satu persatu di dalam kamar. Tiap malam pun
semakin mencekam. Lampu-lampu di depan rumah atau di jalan-jalan juga tak
bernyala. Kami sengaja mematikan lampu-lampu itu agar Munyu mengira kampungnya
telah mati juga seiring kebrutalannya merenggut nyawa Salim.
Selepas pagi
atau ketika petang, kami sering mengintip keluar rumah dengan penuh kecemasan
serta keresahan yang bercampur dengan bertumpuk ketakutan. Beberapa kali kami
mendapati Munyu masih terus melaju menyisir jalan. Kali ini ia kelihatan sedih.
Walau matanya masih melotot dan memerah. Namun ronanya nampak pekat kesedihan.
Giginya pun masih bertaring yang seakan membuat mulutnya susah menutup. Ia
meraung-raung kesedihan. Tak seperti biasanya ketika suaranya menukik liar
dengan nada beringas marah. Jari-jari tangannya dengan kuku-kuku hitam yang
tajam itu pun masih terlihat matang untuk siap mencakar-cakar dan menerkam apa
saja.
***
Berhari-hari
yang hampir berbulan-bulan, kampung kami masih saja sepi. Barangkali kampung
kami telah mati ketakutan selepas kematian lampu di jalan-jalan dan di seluruh
rumah kami yang telah berduka atas kepergian Salim.
Jika dilihat
dari luar, rumah-rumah di kampung kami pun nampak gelap. Lampu-lampu yang
benerang di dalam rumah dan di kamar-kamar tertutup tirai yang begitu tebal.
Hingga membuat nyala benerang di rumah kami tak mampu menyelinap keluar dari
jendela.
Orang-orang di
kampung kami telah benar-benar ketakutan untuk keluar rumah, jika harus mati
konyol dimangsa keganasan bocah pengulum jempol itu. Kami lebih memilih untuk
berdiam di kamar bersama istri. Sepanjang hari, siang atau malam terus
berguling di kasur. Mendekam dalam selimut dan pancaran AC yang terus
mengucurkan musim pencipta timbulnya hangat pelukan di kamar-kamar kami. Sambil
memegang ponsel, memburu pelanggan untuk mengantri anak-anak kami yang lahir
dari kolong ranjang. Kamar kami semakin ramai. Ranjang bergelayut ke atas dan
ke bawah. Ke kanan dan ke kiri.***
Rumahdiksi, Agustus 2012