Oleh: Setia Naka Andrian
Barangkali, ini bukan kali pertama kita
menjumpai puisi. Sengaja atau tidak disengaja, pasti cukup mesra perjumpaan
kita dengan puisi. Banyak jalan yang kita tempuh hingga akhirnya kita mengakui
keberadaan puisi. Entah perjumpaan kita dengan sepenuh paksaan atau setebal
kemesraan yang panjang. Pasti masing-masing dari kita juga punya jalan yang
berbeda dalam proses penemuannya. Proses dan jalan yang tidak pendek. Hingga
kita benar-benar mengakrabi dan yakin bahwa puisi bukan lagi tuntutan mata
pelajaran saja, namun di antara kita barangkali telah menganggap puisi sebagai
kebutuhan, terapi jiwa, dan kegenitan-kegenitan lain sebagainya.
Seseorang menulis puisi, bukan berarti
sebatas ia sedang ingin menulis puisi. Namun lebih pada puisi yang ingin
ditulis oleh seseorang. Serius, saat ini puisi cukup merasa kesepian. Puisi
saat ini barangkali cukup disepelekan oleh seseorang di sekeliling kita, mereka
menganggap puisi masih sebagai barang antik yang hanya beredar dan dinikmati
orang-orang tertentu dalam keunikan-keunikan tertentu pula. Lebih-lebih
mengenai peredaran puisi di lingkungan bangku sekolah hingga kursi-kursi
mahasiswa jurusan bahasa dan sastra yang cukup berdesakan tiap tahunnya.
Barangkali kita cukup paham, bagaimana muara puisi di lingkungan tersebut hanya
akan berakhir di laci dan di bawah kursi saja. Berakhir dalam tumpukan
tugas-tugas dan skripsi yang menumpuk kesepian di perpustaan. Jarang yang masih
dimusimkan kembali sebatas dalam perdebatan-perdebatan kecil sambil menghisap
aroma kopi. Ya, semoga tidak separah kecurigaan tersebut.
Namun setidaknya saya pribadi cukup angkat
topi dengan proses kreatif yang dilakukan M. Lukluk Atsmara Anjaina. Ia sebagai
siswa MTs, sebuah lembaga pendidikan setingkat SMP dengan pengaruh cukup besar
mengenai pelajaran agama Islam. Setidaknya, Anja telah melampaui dirinya yang
tidak sebatas sebagai siswa semata. Saya yakin, tidak semua siswa seusianya,
baik di sekolahnya maupun di luar sekolahnya melakukan proses keratif yang
sama. Barangkali sekelas mahasiswa pun bisa dihitung jari, siapa saja yang
percaya terhadap puisi dan menggilainya semacam yang dilakukan Anja.
Sekali lagi, secara pribadi, saya angkat
topi. Paling tidak, dengan membaca beberapa puisi yang ditulis Anja menjadi
ingatan tersendiri bagi saya. Barangkali kenangan masa lalu proses kreatif saya
ketika masa SMP tak sebaik yang dialami Anja saat ini. Saya ingat betul, dulu
saya menikmati pertumbuhan proses kreatif hanya sebatas nasib sebagai individu
semata. Forum-forum semacam yang dilakukan Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK)
Kendal belum saya jumpai saat itu. Benar-benar berdikari (baca: berdiri di atas
kaki sendiri). Saat itu, akses bacaan saya sebatas rak-rak di perpustaan
sekolah yang berada di desa. Sungguh sepi, tak ada yang menggairahkan dan tak
cukup kegenitan puisi yang saya jumpai. Maka ketika saya lapar untuk mengintip
puisi yang cukup merdu, saya harus merelakan mengajak kakak saya ke Semarang,
mengunjungi toko buku, dan tidak membelinya, hanya membaca saja di toko. Hal
tersebut saya ulangi kembali dengan intensitas yang cukup serius ketika
beranjak SMA. Bahkan saat itu saya menyebarkan virus menular tersebut kepada
beberapa teman, membolos sekolah demi menghitung buku-buku baru di sebuah toko
buku nasional di Semarang. Ya, masih tetap sama, tetap hanya membaca di toko
saja, karena saat itu uang hanya terpaksa untuk membeli buku-buku pelajaran
sekolah saja. Tak ada uang lebih untuk membeli buku-buku cerpen atau puisi. Ya,
jika hendak membeli buku cerpen atau puisi, barangkali hanya tiap semester sekali.
Itu pun hanya memanfaatkan korupsi bulanan iuran sekolah yang saya selinapkan,
maaf ya bapak dan ibu. Ini sekadar kenakalan sederhana pada masa kecil saja.
Lalu, bagaimana posisi siswa saat ini, di
luar Anja? Apakah masih musim beberapa ingatan kecil saya tersebut? Tentu, kita
yakin, dan dapat menjawabnya dengan pelan-pelan sambil menghela napas,
menghisap aroma kopi atau mengepulkan asap. Kita yakin, saat ini terlalu banyak
pilihan. Segala sesuatu saat ini begitu berdesakan mengantri di depan mata kita
dan menarik tubuh kita untuk lekas memeluknya erat-erat. Barangkali tanpa harus
bersusah payah mencari, segalanya telah disuguhkan dengan cuma-cuma di depan
mata. Sebuah proses penemuan saat ini tak begitu berdarah jika dibandingkan
dengan penemuan-penemuan yang ditemukan pendahulu-pendahulu kita. Lebih-lebih
anak-anak sekolah saat ini, sudah banyak pilihan, termasuk beragam game, dan
bermacam temannya yang sering kita temukan dalam fitur-fitur gadget mutakhir saat ini. Barangkali, jika
kita ingat, pendahulu kita, atau barangkali kita sempat berakraban bahwa
hiburan saat itu jika tidak mendengarkan sandiwara radio ya bermalasan bersama
komik dengan tawaran-tawaran imajinasi yang sangat menggiurkan. Jika masa lalu
sudah muncul media elektronik, barangkali semacam televisi dengan segenap
kematiannya belum begitu manja seperti yang kita simak saat ini. Atau paling
tidak, ketika itu kita masih berbangga melakukan aktivitas discovery kecil-kecilan di hutan atau di
kebun-kebun yang ada di kampung halaman kita, tentunya banyak hal yang dapat
kita kenang serta kita diskusikan dengan teman sebaya. Paling tidak itu yang
mengikat ingatan kita, bahkan sampai kapan pun akan membekas lebih tajam dari
mainan-mainan yang kita jumpai saat-saat ini dalam dunia gadget yang begitu cepat berganti seri.
Sudahlah, kita lupakan pelan-pelan beberapa
hal yang cukup cerewet itu. Saya rasa puisi Anja dalam proses kreatifnya lebih
leluasa menemukan kegenitannya dalam puisi. Berkali-kali saya bilang, bahwa
saya pribadi sangat angkat topi terhadap prosesnya. Saya rasa kita semua yang
hadir dalam lingkaran ini juga merasa begitu. Terlepas dari bagaimana takdir
beberapa puisi yang ditulis Anja yang didiskusikan saat ini, paling tidak ia
telah memulai dan tentunya sangat mendapat dukungan dari lingkaran diskusi ini.
Bukan bermaksud apa-apa, dalam catatan ini tak banyak yang dapat saya sampaikan
mengenai puisi-puisi yang ditulis Anja. Namun, saya berjanji kelak jika Anja
lebih bersetia lagi dengan puisi, dan lebih berakraban lagi dengan puisi-puisi
di luar dirinya, saya akan berupaya menemui tubuh beserta puisinya sambil
menghisap aroma kopi. Bagaimana pun, saya cukup khawatir akan ada
kecurigaan-kecurigaan lain jika sebatas mengakrabi puisinya saja, tanpa menemui
tubuh dan sedikit bertamasya dengan jiwa penulisnya.
Barangkali pada
catatan ini ada yang perlu saya sampaikan untuk Anja, namun ini bukan berarti
menggurui, sebatas guru pun tak cukup untuk menggurui jika ia masih merasa
kemenangan selalu menguasai dalam benaknya. Begini Anja, setidaknya, saat ini
hingga saat-saat berikutnya, bahwa puisi sebagai sebuah sastra merupakan
definisi kedua kalinya. Penciptaan puisi tak pernah akan lepas dari
representasi penulis terhadap kehidupan agama, kehidupan sosial dan kehidupan
individual. Saya rasa, sebagai pribadi yang tumbuh di lingkungan pendidikan
agama, khususnya Islam, tentunya akan ada banyak hal yang kamu temukan.
Sehingga sedikit pesan pertama untuk Anja, coba setelah lingkaran ini, upayakan
untuk sedikit mengurangi tulisan yang masih sibuk dengan dirimu sendiri.
Lepaskan dengan sepenuh kelepasannya, hingga benar-benar merasakan bahwa Tuhan
telah menggerakkan tanganmu dalam menulis. Ketika tulisanmu sudah berhasil,
barangkali itu semua bukanlah semata tulisanmu, namun sudah ada campur tangan Tuhan
dalam tulisanmu. Percayalah! Apa ada segala sesuatu di dunia ini yang hadir
tanpa campur tangan Tuhan?***
*Tulisan ini disebar dalam NgopiSastra #1 PSK (Pelataran Sastra Kaliwungu) | Selasa, 7 Oktober 2014 |19.45 - 22.00 WIB | di Rumah Puisi Langit Kendal, Jl. KH. Thohari Brangsong Kab. Kendal (Barat Alfamart Brangsong) ke Selatan 200 m | Baca dan Bedah Puisi Lukluk Anjaina