Oleh Setia
Naka AndrianJudul : Bumi di Atas Langit
Penulis : Bahrul Ulum A. Malik
Penerbit : Pelataran Sastra Kaliwungu dan Langit Kendal Publishing
Tahun : Mei, 2014
Tebal : 55 hlm
Puisi lahir dari kehidupan agama, kehidupan sosial, dan kehidupan individual. Sebagai sebuah teks sastra, puisi kerap disebut second time of definition, sehingga penciptaan karya sastra tidak lepas dari representasi antara kehidupan agama, kehidupan sosial dan kehidupan individual. Demikian pula ketika membaca puisi Bahrul Ulum A. Malik yang terhimpun dalam Bumi di Atas Langit (2013). Kehidupan agama begitu lekat dalam pilihan kata-katanya. Bahrul dalam puisinya telah melempar pertanyaan, dan setelah itu terjawab dari wirid yang mengalir dari ingatan yang dicatatnya sebagai individu yang beragama.
Nampak
dalam puisi “Bumi di Atas Langit” berikut: Langit!/ Tiangnya hujan berarak
awan// Segala arah adalah tujuan // Tak ada timur selatan barat atau utara//
Semua jalan satu tujuan. Dalam penggalan tersebut Bahrul sangat berhati-hati
dalam mencatat ingatan dan segala hal pernah diperoleh atau segala sesuatu yang
sempat dialaminya. Barangkali ia sangat jarang berbohong. Saya merasa ia
benar-benar setia pada catatan perjalanan hidupnya. Tindakan serta segala hal
mengenai tingkah laku menjurus pada harkat dan martabat sebagai hamba yang
luhur. Mengalir atas kemuliaan daya saing yang tak tertandingi oleh mahluk
ciptaan Tuhan lain. Sanggup menemukan pelbagai masalah dan memilah solusi atas
pengungkapan yang paling bijaksana. Selalu menggunakan akal dalam menyelesaikan
masalah—akal budi. Mengandalkan pikiran, selalu cermat dan tidak emosional
dalam menghadapi masalah.Simaklah
dalam puisi “Subuh” berikut: Bismillah/
menyebutMu lirih dalam doa subuhku, Tuhan// hamba yang kemarin siang mengetuk
pintu rumahMu// sepi, tak ada siapasiapa, suwung!! Hampir ada kemiripan
dari keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku pertamanya ini. Dalam hal
proses penciptaan dan strategi tertentu yang mendasari wiridnya dalam berpuisi
nampak begitu berhati-hati. Segala sesuatu dilakukan dengan sangat hati-hati.Puisi-puisinya
memberikan sepetak gambaran dan penerangan yang mampu memprediksi bahwa dirinya
akan selalu dihadapkan pada pelbagai tindakan yang menyeluruh. Sebagi dirinya
sendiri, dari, oleh dan untuk diri sendiri pula. Manusia mengakui
keberadaannya, ia ‘ada’ atas dirinya. Lahir sebagai pribadinya, dan akan
meneruskan kelanjutan-kelanjutan dalam kelangsungan hidupnya sendiri yang
berkepanjangan. Maka ia akan merasa sama sekali tidak mengikat maupun tidak
pula ingin diikat oleh sesamanya. Dalam arti benar-benar berdiri sebagai individu
yang mampu menaruh persoalan dan memecahkannya. Serta menanam penyakit dalam
dirinya sekaligus akan mengobatinya, karena ia yakin Allah sebagai tuhannya,
serta tuhan dalam puisinya. Termaktub jelas dalam puisi “RestuMu Ya Rabb”
berikut: Rabb/ dalam semak belukar
berakar// dalam rimba yang ku jamah/ dalam lubang yang menjerat// hamba yang
dhaif lemah ini/ tersesat pada malam liang/ mencuri ajal di gerbang awan//
hamba sendirian/ tuhan// hamba tak brani menatap atau bicara langsung padaMu.Namun
Bahrul juga merasakan ketika harus dihujani beberapa persoalan yang ‘sederhana’.
Segala bentuk pengorbanan pun akan senantiasa menjadi persoalan yang pelik bagi
sesamanya. Misalnya hal tersebut kurang disepakati oleh orang lain yang paling
terdekat secara biologis maupun psikis, antara ia dengan orangtua, sanak
saudara, hingga kepada pasangan (baca: pacar, suami/ istri). Dikarenakan ia
ingin menjadi individu yang benar-benar tunggal untuk penemuan dan
perenungan-perenungan tertentu dalam hal kelangsungan harkat dan martabatnya
sebagai manusia seutuhnya. Pertanggungjawabannya dilakukan ketika ia harus
menentukan pilihan yang ‘tersembunyi’ atas dasar perilaku yang sering dianggap
menyimpang dan kurang disepakati oleh sesamanya. Namun hal itu mutlak sebagai
jalan yang wajib ditempuh. Dan kali ini ia tetap tegar sebagai individu yang
saling, walaupun sebenarnya ia tetap hadir untuk dirinya yang tak terpecahkan
sebagai simbol utuh. Nampak dalam puisi “Sejenak” berikut: sejenak saja kekasih// kau temani aku di sini// hingga fajar atau
matahari/ menemu kita berduaan.// sejenak saja kekasih/ aku ingin kau ada di
sisiku// semalam saja kekasih// atau kalau tidak/ kau tak akan pernah melihatku
lagi// sejenak saja//Nampak
juga secara tegas dalam puisi “Hawa Adam dan Hawa” berikut: kita yang pernah terusir lantaran khuldi.//
untuk kedua kalinya kita terusir lagi/ lantaran apa lagi?// bukan karena khuldi
kekasih.// bukan karena iblis.// bukan karena tuhan yang membenci kita.// untuk
kedua kalinya kita terusir.// kali ini lantaran jibril.// hingga kita terlempar
jauh,/ jauh dan hilang.// entah di mana kita sekarang...// aku ingin pulang
adam,/ antarkan aku!!// tunggulah sampai embun memandikan jasadku!! Sehingga
sangat jelas, bahwa Bahrul dalam puisi-puisinya menciptakan pertanyaan-pertanyaan
yang begitu pelik, namun ia juga menjawabnya dalam puisi itu. Ia begitu
berhati-hati dalam mencatat segala sesuatu tentang dirinya yang benar-benar
nampak (ingin) sebagai individu yang luhur. Dalam puisi-puisinya ia selalu berupaya
menemukan pelbagai masalah, memilah solusi atas pengungkapan yang paling
bijaksana, dan selalu bermuara pada catatan hidupnya sebagai individu yang
beragama.****Tulisan ini merupakan sebuah catatan pelan-pelan dari Buku Kumpulan Puisi "Bumi di Atas Langit" karya Bahrul Ulum A. Malik, dimuat di Rakyat Jateng (Sabtu, 18 Oktober 2014).
Penulis : Bahrul Ulum A. Malik
Penerbit : Pelataran Sastra Kaliwungu dan Langit Kendal Publishing
Tahun : Mei, 2014
Tebal : 55 hlm
Puisi lahir dari kehidupan agama, kehidupan sosial, dan kehidupan individual. Sebagai sebuah teks sastra, puisi kerap disebut second time of definition, sehingga penciptaan karya sastra tidak lepas dari representasi antara kehidupan agama, kehidupan sosial dan kehidupan individual. Demikian pula ketika membaca puisi Bahrul Ulum A. Malik yang terhimpun dalam Bumi di Atas Langit (2013). Kehidupan agama begitu lekat dalam pilihan kata-katanya. Bahrul dalam puisinya telah melempar pertanyaan, dan setelah itu terjawab dari wirid yang mengalir dari ingatan yang dicatatnya sebagai individu yang beragama.