Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Kamis, 30 November 2017
Minggu, 26 November 2017
Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 26 November 2017)
menulismu
adalah
puisi
di dalam lekuk pipi
yang
tiba sesaat
selepas
aku malu-malu
berselancar
lemas
di
atas telapak tanganmu
menulismu
adalah
meneguk
anggur
saat
dunia sedang sibuk
memilih
bercuriga
kepada
kamu
kepada
siapa saja
yang
kerap urung bertemu
menulismu
adalah
menyibak
cahaya
yang
kerap melarikan diri
dari
balik jendela rumah
dari
balik dada
yang
melambatkan degubnya
menulismu
adalah
tanda
tanya
yang
tak sempat
dikirimkan
sebagai
pesan dan janji
yang
tak pernah kunjung matang
menulismu
adalah
kalimat
pertama
yang
sering kita lupakan bersama
sebelum
memulai merapal tanya
mana
luka
mana
duka
mana
binar matamu
yang
sederhana
Kendal,
November 2017
Aku Pesan Namamu
aku
pesan namamu
dalam
secangkir kopi
selepas
adzan tak lagi bunyi
selepas
kehilangan
tiada
pernah dibaca lagi
aku
pesan senyummu
dalam
sekental rindu
selepas
segalanya
urung
mengetuk pintu
lupa
datang di pagi-pagi
aku
pesan namamu
dalam
segelas teh pahit
dalam
keheningan
yang
diciptakan
dari
gelagat matamu
yang
tak lagi wajar
mengunjungi
sunyi-sunyi
aku
pesan namamu
saat
semua orang tahu
jika
aku adalah kegagalan itu
yang
memilih pulang
untuk
menemukan
nama-nama
baru
selain
dari nama-namamu
Kendal,
November 2017
Jumat, 17 November 2017
Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja (Wawasan, 16 November 2017)
Masyarakat Penerima dan Penyebar Saja
Oleh Setia
Naka Andrian
Gerak
kemajuan teknologi informasi seakan tak sebanding dengan jagat nalar masyarakat
kita. Kini segala sesuatu dapat dengan mudah diterima dan betapa entengnya
disebarkan begitu saja, kapan saja, di mana saja. Setiap detik, kita seakan kerap
dibanjiri informasi yang tak lagi mampu terbendung. Hadir melalui beragam
aplikasi media sosial di gawai dalam genggaman tangan kita.
Sungguh
tak terbayangkan lagi, apa jadinya jika kita menjadi masyarakat yang begitu
saja berterima atas informasi massal yang setiap detiknya menggedor ponsel kita.
Kemudian kita tergoda untuk bergegas menyebarluaskannya, disalin dan disebar
dengan menugaskan kepada ibu jari semata. Maka sudah, ratusan bahkan ribuan
atau jutaan orang akan menerima informasi itu. Selanjutnya disebarkan lagi,
lagi dan lagi oleh si penerima informasi itu. Kita seakan begitu saja lengah
dengan godaan pahala jika turut serta menjadi penyebar informasi yang (masih) dianggap
sangat bermanfaat itu.
Dengan
dalih, apa salahnya jika turut membantu penyebaran informasi itu. Tidak memakan
waktu, tidak memakan pulsa mahal, hanya dengan menekan tidak lebih dari tiga
kali ketukan di layar sentuh ponsel pintar kita. Tentu akan beda dengan apa
yang telah dilakukan oleh generasi pengguna telepon genggam saat masih
berfungsi hanya untuk mengirim pesan singkat atau melakukan panggilan suara.
Kala
itu, tentu dengan sangat pelan, santun, hati-hati, dan penuh perhitungan ketika
hendak mengirim pesan singkat. Bahkan batasan karakter yang menentukan tingkat
kemahalan pemakaian pulsa pun turut diperhitungkan. Dari hal itu, entah sadar
atau tidak, kita seakan dipaksa agar menjadi para pengguna alat seadanya,
seperlunya, tidak cerewet, dan tidak menjadi seseorang yang ketergantungan telepon
genggam.
Ketika
itu, belum didapati tradisi salin-menyalin dan tempel menempel menyebar
informasi yang belum fasih kebenarannya. Belum ada pula penyebaran pengisahan-pengisahan
yang tak menentu tuannya. Bahkan, belum kita dapati orang-orang yang seakan
begitu mudah menjadi pendakwah, yang kerap kita temukan dalam berbagai grup di
berbagai aplikasi di ponsel pintar kita.
Kembali ke Masa Silam
Tradisi
yang kita alami melalui ponsel pintar saat ini, seakan menggiring kita untuk
kembali pada masa silam yang telah jauh terlewatkan. Pada zaman ketika kita
masih mengamini penyebaran-penyebaran kisah, cerita, informasi, atau segala apa
pun tanpa mengenal siapa yang menuliskan atau menciptakannya. Kita kenali
dengan karya cipta dari NN. Jika ada sesuatu yang bermasalah dari apa yang kita
sebarkan, maka akan segera bilang, “Itu bukan saya yang membuat, saya sekadar
menyebar saja, menyalin dari grub sebelah!” Beres, merasa aman dan lari dari
tanggung jawab!
Namun
bagaimana lagi. Kini ponsel pintar telah begitu melekat di genggaman kita.
Siapa pun seseorang itu, ketika nampak dalam sebuah pertemuan khalayak ramai, di
ruang publik, saat menunggu angkutan, saat menunggu jadwal penerbangan, bahkan
saat berpose untuk mengabadikan momen yang (dianggap) istimewa dalam hidup,
selalu nampak mentereng dengan genggaman ponsel pintar yang tentu dengan harga tak
murah. Lengkap dengan ragam aplikasi yang menggairahkan dan menggoda untuk
selalu disentuh.
Sudah
sangat jarang, bahkan semakin tiada lagi orang-orang menyentuh buku-buku,
koran, atau majalah ketika menghabisi waktu tunggu. Bahkan di sudut-sudut
kampus atau di segenap lembaga pendidikan sekalipun. Jarang kita temukan
seseorang berkhusyuk menyibak berlembar-lembar kertas bacaan di pangkuannya. Seakan
sudah tak terelakkan lagi, kita lebih memilih memenuhi kuota (pulsa) internet dari
pada memasukkan judul-judul buku atau berlangganan media massa dalam daftar
belanja bulanan.
Upaya
pemenuhan nutrisi berliterasi seseorang seakan telah sangat cukup hanya dengan
bersentuhan dan menggeser berjubel tawaran informasi yang menggoda di layar
ponsel pintarnya. Sudah tentu, tidak sedikit kita temukan tawaran-tawaran itu
sebatas informasi yang terpenggal-penggal. Masih dalam permukaan dan sangat
perlu ditimbang lagi kedalamannya.
Untuk
kali kesekian, kita akan kerap mengamini untuk tidak sanggup mengelak. Bahwa ponsel
pintar seakan sudah terlanjur begitu lekat di genggaman tangan. Tiada lagi
jarak antara ponsel dan tubuh kita. Seakan tiada pula upaya yang mampu menuntun
kita untuk lebih ketat dalam menyaring segala sesuatu yang menggedor pintu
ponsel pintar kita. Memilah segenap informasi yang kerap mengguyur dalam setiap
detiknya. Kita begitu lemas, kekenyangan, kebingungan, seakan dibuat tak kuasa
berkilah apa-apa.
Manusia Gemar Bercuriga
Lebih-lebih
saat ini, telah begitu marak grup-grup diciptakan di berbagai aplikasi di
ponsel pintar kita. Dari mulai grup alumni sekolah, komunitas, teman kerja,
hingga grup warga, yang kerap kali memicu timbulnya persoalan-persoalan baru.
Padahal yang sudah seharusnya, grup yang diciptakan melalui beberapa aplikasi
dalam ponsel pintar kita menjadi ajang silaturahmi dan bertegur sapa. Namun naga-naganya,
segala itu justru semakin memicu kita untuk semakin lebih bertaring untuk berpendapat,
menghujat, mengumbar, dan bahkan menebar kebencian-kebencian. Kita seakan
selalu dibuat belum usai membersihkan prasangka terhadap sesama, dalam
ruang-ruang media sosial kita.
Disadari
atau tidak, kini kita seakan semakin berterima menjadi manusia yang lebih gemar
bercuriga daripada berpositif pandang terhadap sesama. Segala sesuatu dengan
mudahnya menjadi nyinyir batin, begitu sensitif, bahkan membuat kita semakin
bersumbu pendek atas segala yang nampak atau hadir di hadapan kita, dalam layar
grup di ponsel kita. Entah terkait kebahagiaan, kesuksesan, atau bahkan
kegagalan yang sedang melanda sesama kita.
Tentu,
segala itu contoh sederhana dari muara kemalasan kita untuk menekuri menjadi
masyarakat pencipta. Bukan semata menjadi generasi penerima dan penyebar saja. Generasi
yang sibuk menyuntuki banyak hal yang diterima dan kemudian disebarkan begitu
saja, tanpa berupaya untuk menjadi generasi pencipta dan kemudian menyebarkan
gagasan/ide-idenya. Dan, sepertinya kita sebagai generasi yang (merasa) lebih dewasa,
mengemban pekerjaan rumah yang tidak enteng. Jika keseharian kita saja masih terasa
diperbudak alat, lalu bagaimana dengan nasib dan masa depan jagat nalar
generasi di bawah kita?***
Minggu, 12 November 2017
Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 12 November 2017)
Perintah Demang Kalang
Telunjuk
tanganmu,
Tak
sebatas peringatan bagi kami
yang
diam
Demang
ini, yang mengutus
anak
buah terpilihnya
untuk
menyibak hutan
Mereka
menyebut diri
dengan
bubak yoso
Telunjuknya
menuju Coyudo
Kakinya
seakan lihai
menggelinding
sendiri
Membuka
areal pemukiman
di
wilayah Gemuh sebelah barat
Coyudo
inilah tokoh kami
yang
mengawali
dukuh
Wanglu Krajan
melahirkan
diri di Poncorejo
Lambat
laun, selepas
Coyudo
mampu
melaksanakan
tugas mulia
mencetak
kampung,
ia
membawa keluarga
dan
sanak saudaranya
untuk
tinggal dan menempati
muara
hidup kami
Kami
memulai suara baru,
mencipta
kepantasan berkali-kali
Menimbun
keganasan bertubi-tubi
Kendal,
Juli 2017
Rumah Tak Berwujud
Sebagai
rumah,
kami
memilih
untuk
tinggal di tengah
Sebagai
tanah,
kami
memilih
untuk
sesekali dalam tengadah
Sebagai
air,
kami
kerap memilih
tinggal
di rumah lain
Yang
sama sekali
Sebagai
wujud,
Kepada
siapa
yang
paling pantas
untuk
kelalaian kami?
Kendal,
Juli 2017
Berapa Meter Angkat Kaki
Sudah
berapa meter
kau
angkat kaki, Kalang
Lihatlah,
Wanglu Krajan
telah
bekerja
di
kota besar itu
kau
nampak seperti api
Jakarta
semacam kabut
Yang
menyambar
kening-keningmu
Sudah
berapa meter
kau
angkat kaki, Kalang
Lihatlah,
Wanglu Krajan
telah
pandai menciptakan
orang-orang
baru
Para
pekerja membabi-buta
Lihatlah
mata mereka, Kalang
Dari
nyalanya,
nampak
para prajurit
Berkejaran
dengan bayangannya
Hingga
menjelang
masa
akhir tugasnya
Mereka
menemukan
pasangan
hidup
Dari
tepi
bayangannya
sendiri
Sudah
berapa meter
kau
angkat kaki, Kalang
Lihatlah,
Wanglu Krajan
telah
menjadi orang tua
Mereka
tiada lagi dapat
mempertahankan
perkawinan
yang
kini dikatakan kuno
Sudah
berapa meter
kau
angkat kaki, Kalang
Lihatlah,
Wanglu Krajan
telah
mengubah perkawinan
endogami
menjadi eksogami
Lihatlah
Kalang,
Perjodohan
anak-anakmu pun
mengikuti
arus perubahan zaman
seperti
masyarakat desa-desa lain
Yang
kian meninggalkan
muara-muaramu
Kendal,
Juli 2017
Ajari Kami Menjadi Beban
Kalang,
ajari kami menjadi beban
Tujuan
yang bukan pilihan
banyak
orang
Kalang,
ajari kami menjadi beban
Dunia
yang tak dikehendaki
banyak
orang
Kalang,
ajari kami menjadi beban
Alam
pikiran yang tak dipikirkan
banyak
orang
Kalang,
ajari kami menjadi beban
Seperti
yang kau haturkan
Untuk
kekekalanmu sendiri
Kalang,
ajari kami menjadi beban
Menjadi
surga kecil
Menjadi
belantara hening
Yang
sanggup mengurusi kami
Sebab
berhari-hari ini,
lelap
telah melanda batin-batin kami
Kendal,
Juli 2017
Mesin Penghancur
Kaulah
mesin penghancur itu,
Yang
mengajarkan kami
Semakin
jauh
Meninggalkan
banyak jejak
di
sekitar rumah-rumahmu
Kaulah
mesin penghancur itu,
Yang
menjadikan kami
Semakin
ragu
Untuk
menjawab
Permintaan-permintaanmu
Kaulah
mesin penghancur itu,
Yang
menuntun kami
Semakin
menemukan cara baik
Untuk
mengejar banyak wirid
Yang
tak pernah kau kehendaki
Kendal,
Juli 2017
Jadikan Kami Muridmu
Wanglu
Krajan,
Jadikan
kami murid-muridmu
Jadikan
kami abdi
bagi
amalan guru-guru
Wanglu
Krajan,
Jadikan
kami murid-muridmu
Turunkanlah
kepada kami
Kepada
kepala-kepala kami
Yang
telah lama
Menjadi
abdi
bagi
benak kami sendiri
Wanglu
Krajan,
Jadikan
kami murid-muridmu
Bangunkanlah
rumah lain
di
tubuh kami
Agar
alam tak pernah redup
Untuk
tak sekalipun
Mengubah
arah kemudi
dari
segenap petunjuk-petunjukmu
Kendal,
Juli 2017
Jumat, 10 November 2017
Meraba Puisi dalam Kumpulan Cerpen (Derap Guru, Oktober 2017)
Meraba Puisi dalam Kumpulan Cerpen
Oleh Setia
Naka Andrian
Judul Buku :
Kolektor Mitos
Penulis :
Halim Bahriz
Penerbit :
Langgam Pustaka
Cetakan : Januari
2017
Jumlah Halaman : viii + 110 halaman
ISBN :
978-602-60094-3-2
Dewasa
ini tentu tidak sedikit cerita-cerita yang bermunculan ditulis oleh penyair,
baik dipublikasikan dalam media massa maupun media lainnya. Tidak sedikit pula
dijumpai cerita-cerita tersebut dengan ciri khas aroma syair. Narasi-narasi yang
terbentuk, pengisahan suatu cerita atau kejadiannya, deskripsi suatu kejadian
atau peristiwa dalam ceritanya, bahkan tema dan judulnya sangat lekat dengan
puisi.
Tidak
ada yang salah, baik puisi yang menyerupai prosa ataupun prosa yang menyerupai
puisi. Namun, setidaknya keduanya harus memiliki batasan-batasan yang dapat
dipercayai, paling tidak oleh pembaca. Penulis haruslah mampu meyakinkan
pembaca, bahwasanya yang ditulis itu puisi, atau cerpen.
Fenomena
tersebut agaknya dapat dijumpai dalam kumpulan cerpen Kolektor Mitos karya Halim Bahriz (Langgam Pustaka, Januari 2017),
yang setidaknya selain menulis cerpen, ia juga kerap menyandang gelar penyair,
dan tak sedikit ia dinobatkan sebagai juara dalam ajang lomba penciptaan puisi.
Halim
begitu kental menyuguhkan kehadiran puisi-puisinya dalam cerpen. Bangunan
narasi dan pengisahannya begitu kental ia tanami puisi-puisi. Entah, apakah ketika
menulis cerita ia begitu kesulitan meninggalkan puisi. Atau ketika menulis
cerita ia bersanding dengan puisi-puisinya, lalu ia comoti mana yang bisa
ditaburkan dalam cerita yang sedang dibuatnya.
Dalam
cerpen Sebuah Makam dalam Cahaya, misalnya.
Halim seakan terlihat sangat berambisi menghadirkan cerita yang sangat puisi. Mereka terlalu banyak: Jilan dikeroyok. Ia
mulai merasakan tubuhnya semakin jauh. Ia dan tubuhnya saling melepas, menuju
keharuan yang tak perlu, dadanya disesaki kata yang tak mampu diucapkan lagi,
“Tidak! Tidak! Kenapa bahasa tak lagi mencukupi untuk menyatakan aku saja?!... (hlm.
2).
Tentu
menjadi kebaikan tersendiri jika pengisahan-pengisahan bernada puisi telah
bertabur erat dalam cerita. Kata-kata puitik hadir dan singgah dalam sebuah
bangunan narasi yang memadahi. Sehingga, akan menjadikan cerpen memiliki ruang
pembacaan yang berlapis. Selain harus menyibak segala sesuatu dalam bangunan
kisah, pembaca juga harus berkerut-kening dengan kode-kode yang begitu puitik
itu.
Pada
persoalan ini, Halim pun memiliki tugas keras dalam menghadirkan sandi-sandi
narasinya. Jangan sampai, beragam kode atau sandi-sandi yang digulirkannya
menjadi semacam kode rahasia yang tak terjangkau pembaca (gelap). Halim
pastinya harus sudah sanggup mempertimbangkannya, karena yang ia garap adalah
cerita.
Jangan
sampai kehadiran narasi-narasi puitik yang dihadirkan justru menjadi bumerang. Nilai
hakiki sebuah cerita yang dihadirkan tak mampu ditembus oleh pembaca. Meminjam
apa yang sempat disampaikan Agus Noor dalam sebuah forum diskusi, “kenapa harus
dikisahkan dengan rumit dan dengan teknik yang berjungkir-balik, jika dengan pengisahan
sederhana saja cerita sudah memikat?”
Hal
itu dapat menjadi pijakan, bahwa kisah yang sudah bagus, pasti sudah memiliki tempat
di hadapan pembaca, sudah memiliki daya pikat. Maka, pengisahan yang rumit atau
cerita yang menggunakan teknik berjungkir-balik, hanya untuk kisah-kisah yang
biasa-biasa saja. Agar kisah itu memiliki daya pikat di hadapan pembaca.
Dalam
cerpen berjudul Mutan, nampak pula
Halim membuka cerpennya dengan sangat puisi. Jingga tipis dari senja melapisi tembok kaca. Seperti mengecat cahaya
dengan kesementaraan yang berulang. Ben, sedang berbicara mengenai post-modern,
sedikit-sedikit, mirip roh kata-kata yang tersedak; momen tengil antara
ketiadaan waktu dan ruang yang kembali bernapas. (hlm. 64).
Dari
penggalan itu, nampak seperti apa kehadiran puisi dalam cerpen Halim. Pembaca
diajak mengembara, diberi tugas dan beban berat untuk memecah sandi-sandi yang
ia ciptakan. Hanya saja, ada kalanya hingga akhir cerita pembaca masih
kesulitan untuk memecahkan sandinya.
Walaupun
begitu, cerpen-cerpen lain dalam kumpulan cerpen ini, Halim kerap kali berhasil
dalam membawakan kisah-kisahnya. Halim sesunggungnya telah sanggup menghadirkan
kisah memikat dalam narasi-narasi sederhananya. Dalam Lelampak Lendong Kao, misalnya. Halim begitu rupa menghadirkan
persoalan kemanusiaan, rasa syukur, ketabahan, keimanan, dan penghambaan kepada
Tuhan.***
Senin, 14 Agustus 2017
Sastra Lokal dan Kebinekaan (Wawasan, 11 Agustus 2017)
Sastra Lokal dan Kebinekaan
Oleh Setia
Naka Andrian
Musyawarah
Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi II) 2017 telah terselenggara pada 18 hingga
20 Juli di Hotel Mercure Ancol Jakarta. Ini kali kedua perhelatan yang
diselenggarakan Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, selepas Munsi pertama pada tahun lalu.
Jika
tahun lalu peserta Munsi dipilih berdasarkan rekomendasi tiap-tiap daerah bagi
para pegiat sastra, kali ini peserta yang diundang Munsi lebih diperketat lagi.
Yakni di antaranya melalui seleksi buku (karya) yang dikirimkan kepada panitia,
kemudian diseleksi oleh dewan kurator. Selain itu, undangan peserta Munsi dari
para alumni Munsi I yang telah turut serta dalam penulisan antologi puisi Munsi
I tahun 2016. Selanjutnya, undangan Munsi kategori yang ketiga berasal dari
para budayawan, pemerhati, dan pakar sastra yang berkompeten.
Perhelatan
Munsi II ini tentu telah menjadi sebuah pertemuan yang menghantarkan para
sastrawan Indonesia dalam perbincangan hangat. Yakni menyibak Kebinekaan
Indonesia yang saat-saat ini kerap didengungkan dalam berbagai gerak
perbincangan dan laku, baik di kalangan akademisi, pemerintah, komunitas seni
budaya, hingga masyarakat luas. Mengingat berbagai persoalan dinilai kian
menjadi-jadi, berupaya menggoyahkan kebinekaan Indonesia.
Dalam
sebuah perbincangan yang disampaikan Radhar Panca Dahana, ia menegaskan
bahwasanya karya sastra Indonesia tentu sudah sangat mencerminkan kebinekaan
Indonesia jika kita semua mau menengok dan kembali pada karya-karya sastra
lokal. Bahkan, dunia pun akan tergeleng-geleng melihat karya sastra kita. Jika
kita tengok, berapa provinsi yang ada di Indonesia ini, kemudian berapa
kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, bahkan berapa kampung yang melingkupinya.
Jika
karya sastra lokal dari segenap titik daerah itu kita garap, setiap tahunnya
akan bermunculan berapa karya sastra di Indonesia ini? Segala ini akan bergulir
sehat jika para sastrawan tergerak untuk lebih memperhatikan dan berupaya
sekuat tenaga untuk mengangkat sastra lokal tersebut.
Setidaknya,
melalui garapan sastra lokal tersebut dapat menjadi bahan pijakan untuk
pembelajaran sastra kita. Sudah tentu, suntikan Kebinekaan Indonesia kepada
anak didik di sekolah sebagai sebagai sebuah ikhtiar tercapainya pendidikan
karakter bagi generasi penerus bangsa dapat dilalui dengan guyuran karya-karya
sastra lokal.
Pada
Munsi II ini pun, didapati perbincangan mengenai Sastrawan Masuk Sekolah,
dengan tujuan akan terjadi gerak sinergi antara guru bahasa Indonesia dan
sastrawan lokal dalam pencapaian gerak pembelajaran sastra yang lebih berdaya
guna. Selain itu, sekiranya para sastrawan lokal juga dapat membantu
mengaktualisasikan proses kreatifnya kepada siswa, terutama terkait sastra lokal
yang hendak atau sedang digarap dan ditekuninya.
Sudah
tentu ini terkesan bukan sebagai kerja yang mudah, tidak seenteng membalikkan
telapak tangan atau mengubah posisi belahan rambut. Namun, segala ini tentu
dapat dilakukan perlahan. Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak
terkait, kepedulian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta kesadaran kolektif dari berbagai
pihak lain, termasuk bagi para sastrawan lokal. Kenapa perlu dicanagkan program
Sastrawan Masuk Sekolah?
Selama
ini, tidak sedikit telah dikeluhkan bahwa guru-guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia kerap melewati (melompati) materi kesastraan dalam pembelajarannya.
Jika tidak melewati (melompati), mereka sampaikan dengan seadanya dan
sesampainya, atau seingat-ingatnya saja, apa yang masih nyangkut dalam
sisa-sisa ingatan masa kuliah.
Apalagi
dulu pada masa kuliah hanya didapat di kelas saja, itupun dosennya kerap izin
tidak masuk kelas, ditambah lagi tidak ikut unit kegiatan mahasiswa (UKM)
sastra, tidak pernah menghadiri acara atau diskusi-diskusi sastra, buku-buku
sastra juga hanya koleksi yang diwajibkan dari dosen mata kuliah itu semata.
Lalu pengalaman kesastraan dari mana yang dikantongi?
Entahlah,
dengan alasan apa pun, tentu segala itu sangat tidak bisa dimaafkan. Dosa besar
bagi dunia pengajaran! Dosa turun-temurun yang tiada pernah terampuni! Sudah
menjadi rahasia umum, tidak jarang didapati kasus itu, guru melompati materi sastra
dalam mengajar di kelas.
Padahal
sudah sangat jelas, anak didik sangat perlu disuntik sastra. Bahkan sudah
menjadi keharusan bagi negara-negara maju, bahwa bacaan-bacaan sastra wajib
dikonsumsi semua siswa, semua mahasiswa dalam bidang ilmu apa pun. Setiap tahun
diharuskan mengkhatamkan sekian puluh judul buku sastra.
Nah
jika di Indonesia ini bagaimana? Jangankan semua siswa atau mahasiswa semua
bidang ilmu, bagi yang jelas-jelas menekuni sastra saja, berapa buku sastra
yang diwajibkan untuk ditelan setiap tahunnya? Sudahkah kampus-kampus yang
ditangkringi program studi kesastraan memberlakukan aturan itu dengan ketat dan
tegas?
Mustahil
kita berteriak-teriak, mendengung-dengungkan kebinekaan, toleransi, dan seabrek
kemuliaan-kemuliaan berkehidupan. Kita paham, tanpa sastra, sudah tentu hidup
ini akan menjadi kaku. Akan semakin sering kita temui generasi penerus bangsa
yang kehilangan roh spiritual, moral, dan jiwa nasionalisme. Akan sering pula
kita temukan orang-orang yang memiliki sumbu pendek, mudah menyalahkan orang
lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya.
Bahkan,
akan mudah mengkafirkan kaum lain yang katanya tidak sesuai dengan
keyakinannya. Begitu panjangnya pekerjaan rumah kita. Lalu hendak kita mulai
dari mana? Tentu, yang paling sederhana adalah jawaban klise yang begitu
menggedor telinga kita, dimulai dari diri kita sendiri. Dimulai dari kesadaran kolektif
berbagai pihak yang telah tersebut sebelumnya tadi.***
─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Peserta
Munas Sastrawan Nasional (MUNSI II) 2017. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi “Perayaan Laut” (April,
2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Tahun
ini akan menerbitkan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm”
dan “Orang-Orang Kalang”.
Selasa, 08 Agustus 2017
Catatan Harian Seorang Bapak 'Nakal' (Derap Guru. Agustus 2017)
Catatan Harian Seorang Bapak
‘Nakal’
Oleh Setia Naka Andrian
Judul Buku :
“Bapak Nakaaal...!”
Penyusun :
Budi Maryono
Penerbit :
Gigih Pustaka Mandiri
Cetakan : I,
April 2017
Tebal :
xiv + 376 halaman
ISBN :
978-602-1220-14-6
Di era seperti sekarang ini, tentu masyarakat kita
telah begitu asing dengan catatan harian. Diary (buku harian) seakan telah
menjauh dari benak, ingatan, dan imaji seseorang. Buku harian yang dulu
berwujud kecil-mungil dan selalu dibawa ke mana pun seseorang pergi, kini tak
tersentuh, tak menjadi bagian dari aktivitas keseharian lagi.
Seseorang seperti sudah tidak lagi punya waktu
untuk mencatat segala yang dialami, dijalani, dan berkesan setiap harinya.
Seseorang sudah terlanjur disibukkan dengan seabrek rutinitas dan pekerjaannya
masing-masing. Sibuk menyuntuki gawai canggihnya untuk berkomentar dalam
group-group media sosial saat menunggu bus di halte, menunggu keberangkatan
kereta, atau menanti jadwal penerbangan di bandara.
Meski sesungguhnya tak pelak lagi, setiap diri
tentu butuh mengabadikan momen bermakna, memanjangkan ingatan dari kejadian
yang berkesan, baik momen personal atau peristiwa lain bersama sahabat, pasangan,
komunitas, atau keluarga.
Budi Maryono dalam bukunya “Bapak Nakaaal...!” (Gigih Pustaka Mandiri, April 2017) seakan mengajak dan mengingatkan
kembali kepada khalayak ramai, betapa catatan harian perlu dikerjakan lagi. Buku
yang cukup tebal tersebut berisi catatan dari kisah penulis bersama keluarganya
dalam berlaku hidup di rumah, bermasyarakat, beragama, berbangsa dan bernegara.
Bertitimangsa 2010-2014, tiap tahun terdiri dari berbagai judul yang telah
berurutan kapan peristiwa terjadi dan kapan catatan dituliskan.
Budi Maryono seakan berikhtiar mencipta sejarah
kehidupan bagi keluarga, bagi seorang istri dan ketiga anaknya. Catatan-catatan
ditulis dengan pengisahan sederhana, mudah dipahami dan tidak panjang, rata-rata
berkisar dua hingga tiga halaman. Nampak jelas, penulis prosa Di Kereta Kita Selingkuh (2008) ini hendak
menyasar para pembaca yang lebih luas, tidak hanya para penyuka sastra semata,
namun ia tujukan untuk keluarga Indonesia.
Kejadian-kejadian sederhana dan syarat tak terduga
di benak pembaca dihadirkannya dalam buku ini. Dari mulai kisah keluarga
penyayang kucing, persoalan pengasuhan anak, penanaman akhlak dan moral bagi
anak, memerdekakan anak dalam menentukan masa depannya, hingga perihal laku
keluarga dalam beragama.
Rencana
semula berdua saja tapi kemudian berubah pikiran dan kami sepakat untuk iktikaf
serumah. Kemarin, Jumat 17 Agustus, kami pun berangkat dengan taksi sekitar
pukul sepuluh malam. (Ketika Lebaran di Depan Mata, hlm. 179).
Kisah Budi Maryono bersama istri dan anak-anaknya menjalani iktikaf berjamaan
di Masjid Baiturrahman Semarang pada malam 29 Ramadan. Tengah malam hingga
pukul tiga pagi, mereka memilih baitullah
ketimbang baitulmall ketika
lebaran sudah di depan mata.
Budi Maryono, dalam buku ini menyuguhkan
kisah-kisah berbentuk prosa pendek yang bersumber dari kenyataan hidupnya. Kisah-kisah
mengalir dengan nada tak menggurui, walaupun terkadang kerap didapati nasihat
yang ia sampaikan kepada anak-anaknya melalui dialog dalam kisahnya. Ia
memposisikan diri sebagai “bapak” pencatat. Lebih banyak menyibak momen istri dan
anak-anaknya, baik di dalam maupun di luar rumah. Namun, ia tetap menjadi bapak
‘nakal’ dalam menyutradarai jagat keluarganya.
Hanya saja, ada bagian-bagian kisah yang seakan
menjenuhkan pembaca. Ketika Budi Maryono tak sedikit menghadirkan kisah-kisah
momen ulang tahun yang berulang setiap tahunnya. Anggota keluarganya berjumlah
lima, berapa kali dalam setiap tahun kisah itu berulang? Belum lagi, ulang
tahun pernikahannya pun kerap dikisahkannya pula. Meskipun ceritanya tercatat
berbeda-beda, namun jika dengan momen sama, tentu tetap saja akan mengganggu
mata pembaca.***
─Setia
Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni
Universitas PGRI Semarang. Menulis buku “Perayaan Laut” (April 2016) dan
Remang-Remang Kontemplasi (November 2016).
Langganan:
Postingan (Atom)