Spirit Selepas Lebaran Rampung
Oleh Setia
Naka Andrian
Lebaran
telah usai. Halal bi halal tinggal sisa-sisa. Tidak sedikit dari lembaga
pemerintahan, pendidikan, komunitas, organisasi serta masyarakat luas menjalani
ritual tahunan tersebut pada minggu pertama, kedua, ketiga, atau bahkan minggu
keempat Lebaran. Saling bermaaf-maafan, setelah mengaku banyak berbuat salah. Halal
bi halal dilaksanakan, setelah tunai menjalankan puasa di bulan Ramadan. Datang
bersama keluarga lengkap dengan anak-anaknya. Sapa, gurau dan canda menjadi
kebahagiaan tersendiri dalam ritual silaturahmi. Sambil menikmati beragam
sajian masakan khas daerah.
Pemaknaan
halal bi halal ditandai dengan berlangsungnya perayaan Idul Fitri. Tentunya
sama halnya yang dilakukan di daerah-daerah lain. Pada intinya, halal bi halal
menjadi ajang silaturahmi sesama untuk saling memaafkan, setelah menunaikan
ibadah puasa Ramadan selama satu bulan penuh. Selain itu dimaknai pula sebagai
ajang pertemuan setelah seseorang jarang bertemu atau bahkan berpuluh-puluh
tahun tidak pernah bertemu. Hingga akhirnya momen penuh berkah tersebut ditandai
pula dengan kegiatan reuni.
Bagi
masyarakat Kendal misalnya, selain momen tersebut juga didapati tradisi yang menjadi
penghormatan tersendiri bagi tokoh penyebar agama Islam di Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Kendal. Dikenal dengan sebutan Syawalan, sebagai peringatan hari
meninggalnya Kiai Asy’ari atau dikenal dengan Kiai Guru. Syawalan berlangsung
sejak H+1 Lebaran hingga tiba pada puncaknya yakni H+7 atau biasa disebut
masyarakat luas dengan sebutan Lebaran Kupat.
Syawalan
yang digelar rutin setiap tahun selepas Idul Fitri ini memang sudah rutin
digelar tiap tahun. Hingga akhirnya tradisi ini mampu menyedot ribuan orang untuk
berduyun-duyun mengunjungi makam di bukit Jabal Desa Protomulyo. Para peziarah datang
tidak hanya dari dalam kota saja, namun dari berbagai penjuru kota pula. Mereka
berniat tulus untuk mendoakan dan mengharap berkah kebaikan di bulan Syawal.
Walaupun untuk menempuh makam, mereka harus berjalan kaki lima kilometer
menaiki bukit. Bahkan karena terlalu banyaknya peziarah yang berkunjung, warga
harus bergantian untuk mendapatkan kesempatan mendoakan langsung di depan makam
Kiai Asy’ari atau Kiai Guru.
Selain
itu juga ke makam Sunan Katong, Kiai Mojo, Kiai Mustofa, Wali Musyafa. Makam begitu
ramai, ribuan orang berjubel, penuh dan berdesakan. Hingga hal tersebut
dimanfaatkan para pedagang untuk menjual makanan, minuman, mainan anak-anak.
Syawalan menjadi keberkahan, tradisi masyarakat. Muslichin (2008) menyebutkan
bahwa tradisi merupakan sesuatu yang berangkat dari sistem keyakinan. Dalam
tradisi masyarakat mengulangi apa yang dilakukan oleh manusia pada masa dahulu.
Tradisi
menjembatani apa yang sudah diciptakan dan dimulai oleh nenek moyang sampai
generasi yang terakhir. Manusia masa sekarang sebagai pendukung kebudayaan
tersebut merasa memiliki dan perlu menjalankan apa saja yang telah melekat
menjadi bentuk tradisi. Tradisi tersebut dilaksanakan dengan kesungguhan dan
didasari ideologi Islam yang kuat. Maka masyarakat tidak melaksanakan sebatas
rutinitas semata, namun mampu menumbuhkan spirit tersendiri. Tentunya akan
mereka gunakan untuk bekal pada kelangsungan hidup berikutnya, agar lebih
semangat, berkah dan mampu membawa perubahan yang cukup fundamental bagi
substansi kebudayaan Indonesia.***
─Setia Naka Andrian, Dosen Universitas PGRI
Semarang. Menulis buku Perayaan Laut (April 2016), Remang-Remang
Kontemplasi (November 2016).