Dalang Jemblung
■cerpen: Setia Naka Andrian
Ki Jemblung, bukanlah dalang yang
biasa. Ia dikenal sangat luar biasa. Siapa saja yang datang dalam pertunjukan wayangnya,
maka mereka akan kembung hingga
berkali-kali kebelet kencing, membawa
perut mereka mual hingga akan menciptakan antrian panjang di WC kepunyaan
beberapa warga di dekat tempat pertunjukan. Padahal para pengunjung yang
menyaksikan pertunjukan wayang Ki Jemblung sama sekali tidak makan atau sekadar
memasukkan air putih ke perutnya. Hanya saja Ki Jemblung yang tak
henti-hentinya makan makanan lezat dan minum berbagai jenis, masakan serta
minuman yang beraneka rupa. Berkali-kali memakan nasi tumpeng setampah beserta lauk ayam bakar, goreng
dan bermacam daging lainnya yang beragam hingga habis. Dimakan dengan lahap dan
menambah tumpeng lainnya. Jika habis maka tanpa disuruh sinden atau pekerja
lainnya menambah tumpeng yang baru dan masih hangat. Entah itu nasi putih setampah atau nasi kuning,
berselang-seling.
Sama seperti dalang-dalang pada umumnya,
ia memerankan cerita atas adegan-adegan melalui wayang-wayangnya. Tokohnya pun
sama dengan yang dipakai oleh kebanyakan dalang, ada Gatutkaca, Werkudara, Janaka,
dan lain-lainnya. Ia memerankan laku hidup, cerita-cerita yang sama pula
disuguhkan oleh dalang-dalang lainnya. Ki Jemblung pun memerankan adegan makan
dan minun yang menggila melalui wayang-wayangnya, ketika sinden mengalun
menebarkan suara tingginya. Seperti halnya adegan makan dan minum yang
diperankan oleh cerita-cerita wayang lainnya, namun ada yang beda, Ki Jemblung memerankan
adegan dengan benar-benar memasukkan makanan serta minuman ke dalam perutnya.
Namun ia sama sekali tidak kebelet ingin kencing atau sekadar meludah. Malah
para pengunjung yang kembung hingga
berkali-kali kebelet kencing,
perutnya mual hingga bolak-balik mengantri di WC.
Menurut sejarah yang beredar dan
terbibir merata pada kalangan warga setempat, Ki Jemblung dianggap sebagai
dalang yang sangat ditakuti. Kehadirannya sangat diperhitungkan oleh masyarakat
serta kawan-kawan seperdalangannya. Tubuhnya terlihat masih kekar dengan wajah
yang nampak garang, walaupun raut wajahnya telah menunjukkan usia menua.
Banyak yang menganggap kalau Ki
Jemblung merupakan dalang yang sangat sakti, mendalami ilmu tertentu yang
jarang dan bahkan tidak mungkin dimiliki oleh orang lainnya, termasuk juga
teman seperdalangannya. Namun tak ada satu pun warga yang menggubris hal itu, tak
ada yang berani mempertanyakan. Mereka takut kepada Ki Jemblung, mereka takut
jika Ki Jemblung marah atau melakukan sesuatu hal yang tidak diinginkan hingga
menghentikan niatnya untuk mempertunjukkan wayang. Kalau sampai Ki Jemblung
marah, maka warga tidak akan pernah lagi mendapatkan pertunjukan plus-plus,
plus terhibur dan plus mengisi perut. Karena bagaimanapun dalam pertunjukan wayang
Ki Jemblung yang terpenting bagi warga adalah perihal mengisi perut. Jika
menonton pertunjukan wayangnya menjadi kenyang, maka rampunglah pertanyaan-pertanyaan
miring menyangkut hal lain mengenai Ki Jemblung yang aneh dan luar biasa itu.
Namun memang pertunjukan wayang Ki
Jemblung sangat menarik dan selalu update
dengan berbagai masalah sosial, politik dan budaya yang sedang panas di
kalangan masyarakat, bangsa dan negeri tercinta ini. Ki Jemblung juga lihai menyajikan
pertunjukan wayang dengan balutan humor yang khas, meskipun sesungguhnya
garapan yang diangkat adalah masalah-masalah yang cukup berat. Termasuk
mengenai perbenturan agama, perbedaan pandangan antaragama, hingga
masalah-masalah perhelatan politik hingga korupsi, mengenai Gayus dan
rekan-rekan senasibnya.
Setiap kali ada kabar tentang pertunjukan
wayang Ki Jemblung, selalu saja menarik perhatian masyarakat luas. Para
pengunjung berdesakan memadati area pertunjukan yang digelar di lapangan yang
sudah ditata sedemikian rupa sebagai tempat pertunjukan wayang. Area yang cukup
luas, dengan atap jerami kering dan penyangga bambu yang cukup kuat menahan
panas serta hujan. Tempat yang cukup sederhana dan khas, namun semua itu
benar-benar mampu melebihi dan menandingi keberadaan gedung-gedung pertunjukan
yang megah. Lebih mengena dan memahami kebutuhan masyarakat, sebuah tempat
pertunjukan yang tidak memungut sepeserpun uang, namun malah mampu
mengenyangkan dan menyangga kebutuhan perut siapa saja yang hadir. Bahkan
hingga menarik perhatian bagi warga luar kota hingga luar daerah yang memaksa
untuk ikut berbondong-bondong menyaksikan pertunjukan yang digegerkan oleh Ki
Jemblung setiap malamnya. Hingga benar-benar pagi para penonton rela
menyaksikan, rela untuk menunda bahkan menghentikan aktivitas yang hendak
dilakukan pagi harinya. Bahkan anak-anak usia sekolah pun menunda sekolah di pagi
harinya, banyak di antaranya yang harus benar-benar tidak berangkat sekolah.
Juga para orangtua yang rela berdesakan dan satu malam penuh melupakan
segalanya. Hingga pasangan suami-istri, kawula muda yang berpasang-pasangan rela
menghentikan aktivitas cintanya. Semua dilakukan demi menyaksikan pertunjukan
wayang dari Ki Jemblung. Malah ada yang lebih parah, di antaranya banyak yang
meninggalkan pengajian umum yang biasa diselenggarakan di desa setempat, bila
jadwalnya berbenturan dengan pertunjukan wayang itu. Warga lebih memilih untuk
tidak hadir pengajian dan mengutamakan untuk berbondong-bondong datang
menyaksikan aksi dari Ki Jemblung.
“Lebih baik menyaksikan wayang Ki
Jemblung, lebih nyata, tidak seperti dalam pengajian yang hanya akan mengantuk
dengan suguhan-suguhan tidak masuk akal dan tidak langsung terealisasikan apa
yang dibicarakan. Jika membicarakan perihal dunya,
tidak langsung mendapatkan uang. Malah kemungkinan tidak pernah akan
mendapatkan. Namun beda jika dalam pertunjukan Ki Jemblung, kita akan langsung
nyata dan saat itu juga mendapatkan apa yang dibutuhkan dalam hidup, tentang
urusan makan dan minum yang lezat-lezat akan langsung terealisasikan secara
cepat serta benar-benar merata. Tidak seperti omong kosong yang biasa
digembor-gemborkan oleh para calon pemimpin yang hendak menguasai warga,”
ungkap salah seorang penggila Ki Jemblung yang membakar warga lainnya, hingga
meluas kemana-mana.
***
“Perntunjukan wayang dari Ki Jemblung
menjadi salah satu aktivitas yang sangat disayangkan untuk dilewatkan oleh
warga, hingga kehadirannya mengalahkan segalanya. Semakin lama dan jika
dibiarkan saja, pertunjukan tersebut semakin membabibuta dan bisa-bisa akan
menjadi masalah besar,” ungkap salah seorang pejabat desa. Karena banyak warga
yang mengusulkan dan meminta kepada Ki Jemblung untuk menggelar pertunjukan
wayangnya setiap malam. Warga ingin mendapatkan kekenyangan setiap hari,
mendapat penyelesaian kebutuhan perut setiap malam. Jelas semua itu akan
menjadi masalah besar. Ketika ditakutkan bila warga akan benar-benar meninggalkan
segala aktivitasnya dalam hidup, termasuk meninggalkan kebutuhan beragama,
bertuhan, hingga permasalahan kehidupan dan penghidupan lainnya. Maka ada
beberapa kalangan yang kurang sepakat dan sangat terganggu. Memicu para
pelaksana pengajian serta kepala desa dan seluruh jajaran kabinetnya untuk
menyingkirkan Ki Jemblung dari peredaran. Mereka takut bila semakin lama Ki
Jemblung akan dituhankan dan setidaknya dimungkinkan melahirkan ajaran/ agama baru
pada kalangan warga. Meracuni masyarakat untuk menuhankan pertunjukan wayang Ki
Jemblung dan secara tidak langsung akan menggiring mereka memberhalakan Ki
Jemblung. Bahwa Ki Jemblung lah yang mampu memenuhi kebutuhan kehidupan dan
penghidupan mereka, secara nyata menyelesaikan berbagai permasalahan yang
sangat pelik di mata warga setempat. Karena bagaimanapun warga setempat
kebanyakan sangat miskin. Juga terkenal malas-malas untuk bekerja. Maka
kehadiran Ki Jemblung menjadi penyelesaian tersendiri di mata warga.
Menyelesaikan masalah warga perihal berkehidupan dan berpenghidupan.
“Lebih baik menyaksikan wayang Ki
Jemblung, lebih nyata, tidak seperti di pengajian yang hanya akan mengantuk
dengan suguhan-suguhan tidak masuk akal dan tidak langsung terealisasikan apa
yang dibicarakan. Jika membicarakan perihal dunya,
tidak langsung mendapatkan uang. Malah kemungkinan tidak pernah akan
mendapatkan. Namun beda jika dalam pertunjukan Ki Jemblung, kita akan langsung
nyata dan saat itu pula mendapatkan apa yang dibutuhkan dalam hidup, tentang
urusan makan dan minum yang lezat-lezat akan langsung terealisasikan secara
nyata serta benar-benar merata. Tidak seperti omong kosong yang biasa
digembor-gemborkan oleh para calon pemimpin yang hendak menguasai warga,
tentang gemboran kesejahteraan dan lain-lainnya yang hanya gombal semata,”
ungkap salah seorang penggila Ki Jemblung yang membakar warga lainnya, hingga
semakin meluas dan merata kemana-mana.
Sungguh semakin menggila. Warga
semakin yakin kalau Ki Jemblung adalah segalanya. Warga datang tidak hanya
ingin menyaksikan pertunjukan wayang serta ingin menimba ilmu sosial,
berkehidupan, beragama dan bertuhan saja. Namun kedatangan mereka yang paling
utama adalah ingin mencari kenyang. Maklum, warga setempat secara perekonomian
bisa dibilang termasuk kalangan bawah ke bawahnya lagi. Sehingga tak heran jika
pertunjukan Ki Jemlung menjadi hal utama, syarat pokok untuk memperpanjang sambung
napas bagi warga setempat yang memang serba kesulitan untuk memperoleh makan.
Karena secara garis besar pekerjaan warga setempat hanya sebagai buruh tani dan
kuli bangunan yang tak menentu kapan kerja serta kapan mendapatkan imbalan.
Warga semakin meninggalkan segalanya.
Urusan kehidupan dan penghidupan lainnya semakin ditinggalkan dan benar-benar mandeg. Para pelaksana pengajian serta
kepala desa dan seluruh jajaran kabinetnya ingin menghentikan peredaran Ki
Jemblung. Banyak cara yang sudah dilakukan. Namun karena masyarakat sudah
sangat akut teracuni virus pertunjukan wayang dari Ki Jemblung, maka semua itu
terdengar hanya sia-sia belaka. Segala yang dilakukan tidak membuahkan hasil
untuk penghentian peredaran Ki Jemblung, karena seluruh warga memberontak
keras. Warga tidak sepakat atas kebijakan kepala desa beserta para jajaran
kabinetnya, ketika ingin menghentikan peredaran pertunjukan Ki Jemblung. Para
pengelola pengajian pun semakin putus asa, tak mampu berbuat apa-apa. Warga
semakin tergila-gila dengan Ki Jemblung, dan pertunjukan pun akhirnya berlangsung
setiap malam dalam setiap harinya.
***
Entah ilmu apa yang didalami oleh Ki
Jemblung. Menurut sejarah yang terbibir pada kalangan warga setempat, Ki
Jemblung merupakan orang sepuh yang hidup seorang diri. Ia tidak menikah serta
tak jelas sanak-saudaranya. Ki Jemblung tinggal seorang diri di rumah tua yang
cukup terpencil dan berjarak lumayan jauh dengan rumah-rumah yang lainnya. Tempat
tinggalnya dikelilingi kebun pisang dan disebelah kanannya terdapat sungai
pengairan sawah. Awalnya tempat itu dianggap tak berpenghuni, bangunan tua yang
berdiri tegak tinggi semacam bangunan sisa Belanda. Namun sebenarnya itu asli
bangunan yang dibuat oleh orang Jawa, karena terbukti masih ada corak bangunan
yang sama dengan rumah-rumah warga setempat pada umumnya. Hanya saja rumah yang
ditempati Ki Jemblung dibuat kira-kira lebih tinggi satu meter ketimbang
bangunan-bangunan lainnya.
Pada mulanya rumah tua yang akrab
disebut sebagai museum wayang oleh warga setempat itu memang benar-benar
dimiliki oleh seseorang pengembang kebudayaan. Khususnya budaya Jawa, dialah Ki
Jemblung. Sang pemilik rumah tua yang didapati ukiran-ukiran penanda corak
kebudayaan Jawa dalam setiap guratan-guratan dan lekuk ukirannya. Namun banyak
pula warga yang menganggap tempat itu keramat. Bila malam nampak menakutkan,
hampir setiap warga yang melewati tempat itu terganggu oleh suara aneh-aneh
yang membuat merinding. Itu semua diketahui oleh warga sudah sejak lama.
Namun semenjak Ki Jemblung membaur dan
menyelenggarakan pentunjukan wayangnya, warga tidak lagi merasa rumah tua itu
menakutkan. Hingga kini, pertunjukan terus bergulir berangsur-angsur setiap
malam, bertahun-tahun dan turun-temurun. Kepala desa beserta para jajaran
kabinetnya tidak henti-hentinya mencoba melenyapkan peredaran pertunjukan Ki
Jemblung. Namun segala yang dilakukan selalu saja tidak membuahkan hasil. Warga
semakin mengila memberontak jika terusik. Ki Jemblung masih dengan lantang
menggemborkan pertunjukannya setiap malam. Para pengelola pengajian pun semakin
putus asa. Masih seperti hari-hari yang lainnya, tak mampu berbuat apa-apa.
Berdoa dan terus tanpa mengeja.
Sanggargema,
November 2015