Bioskop Sesuai Kategori Umur
Oleh Setia
Naka Andrian
Saya
ingat, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), kali pertama
saya mulai menonton bioskop. Saat itu saya sangat penasaran dengan gedung
bioskop yang ‘katanya’ menampilkan film-film yang bagus, terbaru dan tentu saya
bayangkan sebagai tontonan yang begitu mutakhir. Awal perjumpaan saya tersebut
bermula ketika boomming film Ada Apa Dengan
Cinta (2002) yang ditulis Jujur Prananto, Prima Rusdi dan Rako Prijanto. Film
cinta yang begitu romantis pada masa itu di kalangan remaja dengan sutradara
Rudy Soejarwo itu menandai awal perjumpaan saya mengenal bioskop.
Meskipun
awalnya saya menyaksikan film itu tidak di bioskop, melainkan melalui tayangan
yang saya putar melalui VCD bajakan yang saya ambil diam-diam dari kakak saya.
Video dengan gambar seadanya tersebut saya nikmati diam-diam ketika rumah sepi.
Lalu karena saya penasaran dan cukup keasyikan dengan film romantis tersebut,
maka saya bersama teman, tetangga yang sudah kuliah, mengajak menonton bioskop
di Semarang. Mengingat saat itu saya belum berani pergi sendirian dari Kendal
ke Kota Lunpia tersebut, dan pasti tidak mendapat izin dari orangtua jika akan
pulang cukup malam.
Beberapa
tahun kemudian, perjumpaan kedua dengan film kisah cinta yang begitu kocak, 30
Hari Mencari Cinta (2004) yang ditulis dan disutradarai Upi Avianto. Kedua film
tersebut menjadi sebuah penanda personal bagi saya, setidaknya juga bagi anak
seusia saya pada masa itu. Itu beberapa di antara film-film remaja yang bermunculan
dan terekam begitu kuat dalam ingatan saya, bahkan masih saja terngiang hingga
saat ini.
Film Konsumsi
Remaja Masa Kini
Kedua
film pada masa saya di atas, tentu belum seberapa dengan film-film yang
dikonsumsi remaja yang bermunculan saat-saat ini. Masih pada batas-batas
kewajaran. Namun, kita ketahui bersama, beberapa film konsumsi remaja masa kini
yang tidak mendidik bermunculan begitu saja. Seperti digelontorkan begitu deras
tanpa penyaringan. Kita simak saja, film-film horor yang sangat digemari anak
muda zaman sekarang dengan bumbu-bumbu panas. Entah dari mulai arwah
suster-suster yang gemar keramas, ngesot, hingga segenap film-film bernada
kisah anak muda dengan balutan gaya hidup hedonisme serta tampilan tubuh-tubuh perempuan
seksinya.
Bahkan,
fenomena semacam tersebut, pada era digital saat ini, siapa saja begitu mudah
menikmati film-film dari youtube
selepas ditayangkan di bioskop. Siapa saja dapat mengkonsumsinya. Walaupun jika
kita ketahui, saat ini alamat website tertentu harus disesuaikan dengan umur,
dan itu hanya pada umur yang dicantumkan dalam akun surat elektronik (e-mail).
Tentu masih bisa dilewati dengan mudah oleh anak-anak yang belum cukup umur.
Tinggal buat saja akun dengan usia yang dituakan. Beres, dan selanjutnya bisa
berselancar dengan mudah menikmati unggahan-unggahan video yang belum
selayaknya ditonton.
Lebih-lebih
saat ini bioskop sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian orang. Ibaratnya, kalau
tidak pernah nonton bioskop maka akan menyandang olokan “katrok!” Maka sudah
pasti, siapa saja akan berupaya untuk mengejar agar tidak disemprot dengan
ejekan tersebut. Sangat disayangkan lagi, beberapa hari yang lalu, 12 Februari.
Beredar petisi “@cinema21, @CGVblitz, @cinemaxxtheater, Jual Tiket Bioskop
kepada Penonton Sesuai dengan Kategori Umur!” yang dilayangkan di Change.org
Indonesia oleh Fellma Panjaitan, warga Jakarta.
Fellma
dengan petisinya tersebut muncul akibat kegelisahannya ketika beberapa kali
melihat anak-anak menonton film-film yang belum saatnya ditonton. Barang tentu
kita juga tidak jarang melihat semacam yang disaksikan Fellma tersebut. tidak
sedikit film yang bergelimah bumbu sex bebas
(free sex), bahasa kotor (foul
language), kekerasan (violence), dan narkoba (drugs).
Mengingat
segala itu sangat penting, tentu selanjutnya pihak-pihak yang terlibat dalam penyeberan
film-film dalam bioskop, termasuk 21, XXI, Blitz atau Cinemaxx, harus mau
mengambil langkah mulia demi keselamatan generasi penerus bangsa ini. Harus
dipertegas tayangan dengan kategori Rated G (Semua Umur), Rated PG (Bimbingan Orang Tua), Rated PG-13 (Bimbingan
Orang Tua untuk Anak Dibawah 13 tahun), dan Rated R (Restricted/terbatas).
Memang
saatnya itu semua digalakkan. Jangan sampai pula orang-orang tua mengajak
anak-anak yang belum seharusnya menonton tayangan yang diputar di bioskop. Agar
tidak lagi kita dengar berita-berita kriminal yang dilakukan oleh anak di bawah
umur, agar tidak ada lagi anak di bawah umur memperkosa karena nonton porno. Ini
semua terjadi di negeri kita tercinta ini. Kalau perlu, untuk mendeteksi para penonton
bioskop, sepertinya mereka perlu menunjukkan tanda pengenal, termasuk KTP/SIM. Ini
yang bermunculan di bioskop, lalu bagaimana dengan yang beredar luas di
televisi? Sungguh, semua ini perlu ketegasan dari Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI). Semoga.***
─Setia Naka
Andrian, Dosen
FPBS Universitas PGRI Semarang. Tahun ini akan menerbitan dua buku puisinya, “Perayaan
Laut” dan “Manusia Alarm”. Salah satunya akan diluncurkan bulan April,
bertepatan dengan ritual mengakhiri masa lajangnya.