Manusia yang sehat adalah manusia yang mau berpikir dan memikirkan. Berpikir untuk menang dan memikirkan agar yang lain tidak kalah. (SNA)
Rabu, 30 April 2014
Jumat, 18 April 2014
Bikin Video Klip Sebagai Kado Ultah (Harian Rakyat Jateng, 17 April 2014)
http://rakyatjateng.com/berita-702-bikin-video-klip-sebagai-kado-ultah.ht
ml
ml
SEMARANG, RAKYATJATENG.COM - Berawal dari
keinginan sederhana dari seorang lelaki yang hendak memberikan kado istimewa
pada ulang tahun kekasihnya, kado yang berbeda dari yang lainnya. Maka, ia pun memberikan
kado ulang tahun berupa lagu dan video klip hasil karyanya sendiri.
Laki-laki muda tersebut adalah Setia Naka Andrian, mahasiswa yang saat ini baru
saja mendapatkan gelarpascasarjana di Universitas Negeri Semarang.
Naka, sapaan akrab dari laki-laki
berusia 25 tahun asal Kendal tersebut biasa menghabiskan hari-harinya
berkreativitas di Semarang. Ia sering kali turut serta dalam berbagai
komunitas di Kota Lumpia tersebut. Di antaranya yakni komunitas
Sastra Lembah Kelelawar, Teater Gema, Teater Nawiji dan Rumah Diksi Kendal. Pada
hari Selasa, 15 April 2014 di Rumah Kos Plewan 1 No 41 Semarang, sebuah video klip
digarap dengan sederhana namun dengan kesungguhan layaknya musisi sungguhan.
Seluruh ruangan kamar kos ditutup rapat dengan menggunakan kain hitam yang
biasanya digunakan untuk pertunjukan teater.
“Awalnya ini iseng, ya impian sederhana
seorang cowok yang hendak memberikan kado ulang tahun untuk pacarnya. Karena
saya berniat memberikan sesuatu yang lain, maka saya berupaya membuat lagu.
Lagu itu berjudul ‘Seribu Bayang dalam Ponsel’. Setelah jadi,
lalu saya minta untuk diaransemen oleh Mas Arfin Arca Kendal untuk
kemudian dilanjutkan ke Mas Iwan Franzy agar bias jadi video klip
sekalian,” ujar Naka.
"Sudah puluhan kali lebih membuat
video klip semacam itu. Bahkan tidak hanya dari dalam kota saja, luar kota pun
sering dibuat. Namun, ia mengaku baru kali itu diminta untuk
membuat video klip oleh seorang anak kos di kamar kosnya. Pastinya sangat
panas karena ruangan kamar kos benar-benar disulap layaknya studio pembuatan
video klip dari label besar,” tutur Iwan Franzy, pria asli kelahiran Kendal
yang juga DOP (Director of Photography) Arca Production Kendal.
Pada kesempatan pembuatan video klip
dari Naka itu, ia juga dibantu dari kawan-kawan Komunitas Musisi
Kendal. Biar bagaimanapun, aktivitas semacam rekaman lagu, pembuatan
video klip dan lain sebagainya yang terkait dengan kreativitas anak muda saat
ini juga diramaikan oleh kawan-kawan komunitas tersebut.
Arca Production Kendal sendiri
sudah berdiri sejak 2009 lalu. Production house tersebut memulaidebutnya dengan
proses kreatif recording musik yang diramaikan oleh teman-teman musisi Kendal.Lalu, pada
tahun 2013, tim Arca mulai mengembangkan gerak kreativitasnya menuju
pembuatan video klip dengan kualitas yang bisa ditandingkan. “Kalau tidak percaya,
nanti bisa dilihat upload video kami di youtube. Kami sempat mengupload video
semacam band dari Doit dan beberapa band musisi-musisi indie,” ungkap Arfin
Rizka, Direktur Arca yang merupakan lulusan Universitas Negeri
Semarang Jurusan Musik.
Naka menambahkan bahwa untuk konsep
video klip yang benar-benar pertama itu, memang benar-benar sangat melelahkan.
“Saya rasa jauh lebih melelahkan dibandingkan dengan saat mengisi vokal ketika
rekaman dilangsungkan beberapa bulan yang lalu. Dan ini memang proses
kebut-kebutan karena digunakan untuk kado ulang tahun pada bulan April ini,”
pungkas Naka. (Ely)
Sabtu, 26 Oktober 2013
Ulasan dalam Meja Cerpen #9 Komunitas Lembah Kelelawar
Kematian Tokoh Perempuan dalam Cerita
Setia Naka Andrian
Jika
kamu seorang tokoh perempuan dalam pertunjukan teater, maka kamu adalah orang
pertama yang patut berbangga. Kamu tiba-tiba akan melompat seribu kali lipat
dibandingkan kehidupanmu yang sebenarnya. Kamu tidak sekadar menjadi tokoh
perempuan dalam panggung, namun kamu telah sampai menjadi cerita sekaligus
panggung pertunjukan itu sendiri. Jika kamu telah melampaui dirimu sendiri
sebagai perempuan, dirimu sebagai cerita serta dirimu sebagai panggung.
Maka
untuk saat ini hingga beberapa saat yang belum dapat saya tentukan, saya yakin,
jika kamu masih merasa sebagai perempuan, maka saya tidak pernah percaya jika
kamu memilih mati begitu saja dalam ceritamu. Kamu berpotensi untuk berkembang
menjadi apa saja. Kamu pasti akan menjadi barang bukti yang paling berlanjut
untuk dibicarakan orang-orang. Semua itu akan mudah, selama kamu masih menjadi
perempuan yang berjalan dan mengepakkan sayap, bukan yang memilih mati dalam
ceritamu sendiri.
Tokoh
perempuan dalam cerpen Kunang-kunang yang
Beterbangan karya Adefira Lestari adalah persoalan pertama yang saya
khawatirkan sejak memulai membaca
cerita. Walaupun sebelum tokoh perempuan tersebut, judul cerita juga membuat
saya cukup kecewa. Bayangan saya sudah lari ke mana-mana. Saya memikirkan hal
yang aneh-aneh mengenai kunang-kunang. Barangkali siapa pun akan merasakan
seperti itu. Kunang-kunang benar-benar saya harapkan akan membangun cerita yang
menghadirkan karakter-karakter yang hidup di dunia realitas keseharian dan
memperlihatkan hal-hal yang tidak sekedar biasa atau bahkan aneh dalam cerita
ini.
Namun
ternyata begitu cerita ini dibuka, saya sepertinya langsung bisa menebak. Waduh
sepertinya kunang-kunang tidak begitu terlibat banyak dalam cerita ini. Saya berpikir,
ini pasti Adefira akan menyuarakan pertarungan emosi dan kehampaan perempuan. Jangan-jangan
cerita ini akan terkesan cerewet dan tergesa-gesa menyuarakan emosinya. Ternyata
benar, barangkali siapa saja yang membaca akan mengalami hal sama seperti yang
saya rasakan. Sebenarnya bisa jadi bukan persoalan serius kalau tokoh perempuan
digarap dengan serius dan tidak tergesa-gesa. Namun cerita sudah dibuka dengan takdir,
dan di situ terdapat perempuan. Siapa saja pasti akan menebak, bahwa cerita ini
adalah kematian tokoh perempuan─ketidakberdayaan perempuan.
“Takdir Tuhan tak pernah salah,
Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu
yang tidak kita ketahui,” itulah perkataan terakhir Hamid yang kudengar sebelum
ia pergi meninggalkanku di sebuah halte.
Barangkali
takdir dan perempuan dalam cerita Adefira ini sudah terlalu banyak mengotori
pikiran kita. Dari mulai gosip-gosip tetangga hingga yang kerap hadir dari
sinetron. Intinya sama, pemakluman. Perempuan pasti yang memaklumi. Namun saya untuk
sementara ini juga ikut-ikutan memaklumi, dan berusaha untuk melanjutkan
membaca cerita. Saya mencoba sejenak melupakan tokoh perempuan, Nora─yang
terkesan lahir sebagai diri yang tergesa-gesa.
Setelah
saya melanjutkan cerita, ternyata yang saya khawatirkan terjadi lagi. Setelah
dihadapkan dengan tokoh perempuan, kini tiba-tiba muncul lagi tokoh anak
perempuan. Menurut saya ini persoalan baru lagi, kehadiran Abidah juga
tiba-tiba dengan penuh ketidakjelasan. Misalnya mengenai anak yang kemungkinan
hasil hubungan di luar nikah, kenapa juga Abidah bisa sekolah? Padahal tidak
memiliki kejelasan status ayahnya atau status lainnya.
***
Sebenarnya
saya sangat berharap banyak dari cerita Adefira ini, banyak hal yang menurut
saya perlu digarap lagi. Bagi saya, perempuan dalam cerita adalah ladang
garapan utama yang dapat dikembangkan ke mana saja. Saya tidak akan
mempersoalkan bagaimana latar belakang penulis, jika sudah berani menulis,
misalnya mengenai kebinalan perempuan, maka ya seharusnya harus berani
mengembangkan sebinal-binalnya perempuan. Jika sudah berani menenggelamkan kaki
hingga paha, maka harus siap pula jika suatu saat ada tokoh yang harus menenggelamkan
seluruh tubuhnya. Misalnya dalam ending cerita, Nora begitu saja menyerah. Dia
tidak berbuat apa-apa.
....
pernyataan itu kembali kudengar
dari bibir Hamid. Dia menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Hingga aku pun
sulit melepaskannya.
Saya
rasa, sebejat-bejatnya perempuan, pasti dia juga punya perasaan. Dalam hal ini,
Nora pasti punya cinta yang tulus. Tidak semudah itu dia melupakan penderitaan
selama ditinggal Hamid. Lalu apakah semudah itu Nora? Saya yakin, banyak
pekerja seks komersial yang memiliki pacar sebenarnya, walaupun dia banyak
memiliki pacar hitungan semalam atau hitungan jam. Itu bukti bahwa Nora juga
seharusnya bisa semacam itu, bisa sakit hati, bisa terluka yang sulit sembuh,
dan lainnya.
Selain
tokoh perempuan, dari cerita ini juga saya temukan ada hal kecil yang menurut
saya perlu digarap. Mengenai kehadiran tokoh-tokoh yang sekiranya berpengaruh
atau tidak. Misalnya kehadiran tokoh Wulan dan Tito dengan pernikahannya. Lalu
ada pula Tanu yang menurut saya juga belum digarap secara serius keberadaannya.
Barangkali kehadiran tokoh yang kuat akan membentuk cerita yang kuat pula. Atau
dari cerita yang ampuh akan melahirkan tokoh yang kuat? Namun terserah, itu
pilihan. Percaya atau tidak, itu juga pilihan. Kita juga diperkenankan untuk
memilih memulai dari mana saja. Namun saya yakin, barangkali Adefira akan berhasil
menulis Kunang-kunang yang Beterbangan
ini jika berkenan mempertimbangkan tokoh-tokohnya. Misalnya dengan menghadirkan
Nora yang tidak hanya menjadi perempuan yang menyerah begitu saja. Tidak hanya
melacur yang begitu saja, tidak hanya melahirkan Abidah dari Hamid yang begitu
saja. Atau mungkin berani membunuh tokoh yang sekiranya diperlukan hanya sementara
saja. Barangkali.***
Setia Naka Andrian, berkicau di @setianaka
Kamis, 12 September 2013
Kaliwungu-Kendal: Reuni dan Produksi Budaya Identitas
Oleh Setia Naka Andrian
Lagi-lagi daerah (kecil)
mengambil bagian untuk muncul dalam peta kesastraan Indonesia. Rumah, puisi dan
penyair menjadi produksi identitas dalam berproses. Karena barangkali puisi
lahir―selanjutnya ditentukan masa depannya oleh penyair dalam rumahnya
masing-masing. Entah itu rumah yang ditinggalkan, rumah yang dipulangi, atau
bahkan rumah yang hanya mukim dalam kenangan setelah mereka menang ketika
menemukan rumah yang menculiknya.
Setelah beberapa waktu lalu di
Sragen sempat mempertemukan penyair-penyair dari seluruh Indonesia untuk
menulis puisi dengan tema seragam (Sragen), kini Kendal pun menyusul (berbunyi).
Namun di kota tersebut menggiring hal yang tak sama. Sabtu (19/1) Plataran Sastra
Kaliwungu mempertemukan beberapa penyair kelahiran Kendal yang barangkali kini
telah diculik kota lain, serta beberapa yang memilih menetap di Kendal.
Sebut saja nama besar yang
diculik kota lain dan telah dibesarkan di kota tersebut. Yakni Ahmadun Yosi Herfanda,
yang kini telah menetap di Jakarta sebagai penyair religius-sufistik. Juga
banyak menulis cerpen, kolom dan esei sastra. Sehari-hari dia mengajar pada
Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ). Selanjutnya ada Gunoto Sapharie dan Mudjahirin Tohir
yang barangkali meninggalkan rumah namun tak jauh-jauh, yakni di Semarang.
Malam itu mereka bersama
penyair-penyair (muda) Kendal saling berjabat kisah mengenai proses kreatif dan
rumah kreatif (komunitas). Karena barangkali kini kota itu semakin menggeliat
dengan munculannya berbagai komunitas, sebut saja Lestra, Bongkar, Rumah Diksi,
Tebing, Omah Gores, Komik, Plataran Sastra kaliwungu, serta Lerengmedini.
Komunitas yang bergelimang itu semakin mencuat dengan tatanan sustainable community dalam
kegiatan-kegiatan bersama.
Dalam pertemuan (reuni)
tersebut, juga telah dibagikan dummy Antologi
18 Penyair asli kelahiran Kendal yang dalam waktu dekat akan terbit. Kita
berharap semua itu tidak sebatas reuni karya semata. Karena barangkali
pertemuan bukanlah sebatas pembukuan bersama. Paling tidak dengan adanya
puisi-puisi yang terkumpul, penyair-penyair yang terlibat dapat semakin membawa
diri sebagai senjata untuk melakukan ikhtiar penemuan dan permenungan lain.
***
Budaya identitas mereka
suguhkan (?). Ratusan halaman berisi puisi atas segala bentuk teriakan penyair
untuk membela dirinya sendiri, bahkan rakyat (tertindas). Penyair dengan
senjata andalan licentia poetarum melenggang-menari
dengan kebebasan mengucurkan bahasa dalam puisi-puisinya. Sejalan dengan yang
ditegaskan Teeuw (1983), bahwa bahasa yang digunakan dalam karya sastra
cenderung menyimpang dari penggunaan bahasa sehari-hari.
Lalu apakah puisi masih menjadi
puisi atau telah mampu berubah wujud menjadi identitas yang juga bakal diproduksi
masyarakat? Atau sebatas diproduksi penyair untuk dirinya sendiri saja? Ketika
puisi telah berupaya menjadi sejarah, kota, tradisi, mitos, bahkan puisi yang
sebatas menjadi pesta estetika setiap kali hadir dalam diskusi-diskusi yang
berpusingan.
Jika kita menengok lebih jauh yang
terjadi di Banyumas, karya fenomenal Ronggeng
Dukuh Paruk dari Ahmad Tohari. Identitas yang dimunculkan dari penulis
telah menjadi milik masyarakat sepenuhnya. Pembaca telah menemukan jati diri
dalam karya yang ditelurkan. Yang tidak hanya menjadi milik masyarakat sastra
Banyumas atau masyarakat umum Banyumas saja. Namun sepenuhnya telah menjadi kepunyaan
orang Indonesia dan menjadi salah satu kekayaan sastra Indonesia. Lalu kelak
apakah Kendal sanggup menemukan hal yang sama?
Barangkali
tidak menjadi persoalan untuk kota produktif semacam Kendal. Karena pada
kenyataannya kota tersebut belakangan ini telah menerbitkan beberapa antologi
puisi: Gusdurku, Gusdurmu, Gusdur kita;
Merajut Sunyi Membaca Nurani; Sogokan kepada Tuhan; Tidak Ada Titik, Masihkah Kalian Melawan?;
Tebing; serta antologi cerpen Kausal. Semoga segala itu bukan sebatas
produksi identitas yang penuh dengan kesepian-kesepiannya saja. Namun kelak
mampu menempatkan sastra sebagai aktivitas rutin yang semakin memiliki rumah
yang kuat. Kendal, khususnya Kaliwungu dengan kota santrinya, barangkali kelak
akan memunculkan sastrawan religius-sufistik semacam Ahmadun Yosi Herfanda.
Semoga.***
Puisi: Eksistensi Tubuh yang Bersilaturahmi
Oleh
Setia Naka Andrian
Puisi
adalah makhluk
penyair yang paling berbudi. Tindakan serta segala
hal mengenai tingkah lakunya
menjurus pada harkat dan martabat sebagai hamba yang luhur. Mengalir atas
kemuliaan daya saing yang tak tertandingi oleh mahluk (puisi) ciptaan penyair lain. Sanggup menemukan
pelbagai masalah dan memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana.
Namun ada kalanya puisi belum sanggup menyelesaikan kecemburuan di
antara sesamanya. Seringkali egonya
meninggalkan prasangka buruk bagi estetika
puisi
lainnya. Tingkah laku dalam pemenuhan kesehariannya pun menjadi ujung yang paling agung untuk
memilih dan memilah pelbagai perselisihan dalam silaturahmi di media.
Idealisme
Penyair sebagai
Jurus Tersembunyi
Budi
murni seseorang
tak mungkin mengenal yang di luar pengalaman, karena pengetahuan budi itu
selalu mulai dengan pengalaman. Metafisika murni tidak mungkin terjadi (Kant dalam Poedjawijatna, 1978).
Hal itu
memberi sepetak penerangan bahwa penyair akan
selalu dihadapkan pelbagai tindakan menyeluruh. Sebagai dirinya, dari, oleh dan untuk dirinya sendiri pula. Penyair mengakui keberadaan puisinya, puisi ‘ada’ atas dirinya. Lahir sebagai
pribadinya, dan akan meneruskan hidupnya sendiri yang pendek atau berkepanjangan. Maka ia akan
merasa sama sekali tidak mengikat maupun tidak pula ingin diikat oleh
sesamanya. Dalam arti benar-benar berdiri sebagai individu yang mampu menaruh
persoalan dan memecahkannya—menanam penyakit dalam dirinya sekaligus akan
mengobatinya.
Segala bentuk pengorbanan pun akan senantiasa
menjadi persoalan yang pelik bagi sesamanya. Misal hal tersebut kurang
disepakati oleh orang lain yang paling terdekat secara biologis maupun psikis,
antara ia dengan orangtua, saudara, hingga kepada pasangan (baca: pacar, suami/
istri). Dikarenakan ia ingin menjadi individu yang benar-benar tunggal untuk
penemuan dan perenungan tertentu dalam masa depan harkat dan martabatnya sebagai
penyair
seutuhnya. Pertanggungjawabannya dilakukan ketika ia harus menentukan pilihan
yang tersembunyi atas dasar perilaku yang sering dianggap menyimpang dan kurang
disepakati oleh sesamanya. Namun hal itu mutlak sebagai jalan yang wajib
ditempuh penyair.
Konservasi
Puisi
dalam Jagad Penyair
Kita sering menguping bahwa individu tak dapat terbelah
lagi. Ia hadir atas kehendak diri sendiri sebagai manusia perseorangan. Lahir
untuk menemukan kontrol sebagai “aku”
(penyair) untuk bersaing dengan sesamanya. Pun puisi yang dilepas oleh penyair dan telah dibekali nasibnya masing-masing. Entah akan diam saja atau berusaha untuk
mengubah agar lebih
baik.
Individu bukan berarti manusia sebagai suatu
keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas.
Yakni sebagai manusia perseorangan. Sebagai diri sendiri untuk melakukan
kesehariannya masing-masing agar
menemukan kesejatian dirinya masing-masing pula (Lysen, 1967).
Dapat kita lihat penyair di sekitar penyair lainnya. Mereka berdiri sendiri dalam pelbagai hal yang sama. Namun sesungguhnya berbeda. Penyair dibilang sejenis, tapi tidak sama. Karena para penyair berupaya untuk membeda-bedakan
diri. Masing-masing ingin menunjukkan capaian estetika kepada penyair lain agar mendapat pengakuan sebagai hadiah atas
kerja cerdas yang dilakukannya. Sehingga penyair lain akan merasa bahwa ia
mampu memperoleh yang diinginkan. Maka otomatis penyair yang lain itu akan mempelajari pemenuhan capaian tersebut.
Para
penyair
pada puncaknya
masing-masing dapat dilihat dari rumahnya
(kelompok/ komunitas) jika mereka telah mencapai tingkat peradaban yang
lebih tinggi dibandingkan rumah lain.
Sedangkan penyair yang “primitif” adalah penyair yang masih sedikit diferensiasinya. Maka para penyair/ rumah yang lebih maju tersebut
menunjukkan corak dari sifat-sifat dan tabiat yang semakin berkasta dalam jagad estetika. Mereka akan lebih tangguh, dapat melakukan
beraneka rupa
pekerjaan dapur estetika yang
dijalankan dalam perkembangan arus perpuisian
modern.
Lalu bagaimanakah diferensiasi itu terjadi? Penyair yang “primitif” tidak
dapat berkembang dalam berdikari
semata.
Ia tidak
mungkin mampu mencapai
peradaban estetika yang
lebih baik jika hanya mengandalkan pembawaan alam sahaja yang
telah dimiliki sejak lahir.
Karena tanpa pengaruh faktor-faktor tertentu dari luar tubuh penyair, perkembangan tidak akan
begitu saja terguyur dari langit. Maka, mari bersilaturahmi.***
RumahDiksi, Agustus 2012
Mati Suri─Sastrawan (Kampus)
Oleh
Setia Naka Andrian
Siapa yang bertanggung jawab atas keberadaan
bibit-bibit (sastrawan) yang mondar-mandir pada lingkungan kampus? Para dosen?
Atau keberadaan mahasiswa itu sendiri atas berbagai penunjang kreativitasnya?
Semua benar, berbagai pihak bertanggung jawab
atas masalah ini. Dirinya sendiri otomatis, pasti paling bertanggung jawab atas
survive-nya. Lalu dosen juga punya
pengaruh besar, keterlibatannya pun cukup memiliki singgasana. Ia berfungsi
sebagai pengarah dan pengaruh. Memang dalam proses kreatif sesungguhnya tak
perlu seorang guru/ dosen pun pasti bisa jadi. Namun, kali ini dan dalam
tulisan ini menyatakan bahwa guru/ dosen berpengaruh dalam proses kreatif
seseorang. Ia menuntun pada jalur aman. Ketika dalam persidangan kelas seorang
guru/ dosen menindaklanjuti beberapa orang yang disinyalir memiliki sedikit
amunisi untuk bergelut dalam sastra. Semisal saja diberikan sedikit kelonggaran
waktu dan tempat semisal siswa/ mahasiswa tersebut dimungkinkan harus pernah/
sering bolos sekolah/ kuliah. Ini bukan semata-mata karena pembelaan bagi
orang-orang yang memiliki sedikit atau bahkan banyak kegiatan di luar
pelajaran/ kuliah. Namun ini adalah keadaan yang memang harus diadili.
Beberapa waktu lalu saya pernah menjumpai
mahasiswa yang ternyata ia sering tidak masuk kuliah. Bila masuk pun ia sering
terlambat masuk kelas. Setelah ditelusuri ternyata ia merupakan mahasiswa yang
sering/ aktif mengikuti/ nebeng pada kegiatan/ aktivitas di luar kampus. Nah,
karena terlalu serinya membolos, berangkat dengan tidak berangkat lebih banyak
tidak berangkatnya, bahkan ia sempat tidak mengikuti ujian tengah semester,
juga sempat tidak mengikuti ujian akhir semester. Lalu bagaimana bila Anda
sebagai guru/ dosennya? Apa yang akan dijatuhkan terhadap mahasiswa nggondhes tersebut? Dikondom saja
otaknya ya? Biar nggak keluyuran kemana-mana imajinasi dan kreativitasnya?
Hahaha
Dalam hal ini, diharapkan guru/ dosen mau
mempertimbangkan dengan begitu matang. Jangan langsung memvonis begitu saja
sehingga mahasiswa tersebut tak mampu berbuat apa-apa ketika kehilangan nilai,
bahkan dipersulit untuk mendapatkan nilai. Maka tolong lah, diberi kesempatan
mahasiswa tersebut untuk sedikit berbicara pada ujian susulan dengan peran yang
sama seperti halnya ujian yanmg dilakukan oleh mahasiswa lainnya. Karena saya
yakin hal yang dilakukannya di luar kampus belum tentu dan bahkan tidak dapat
dilakukan oleh semua mahasiswa pada umumnya. Memang semua benar, bila yang di
kampus selalu datang masuk kuliah dan mengikuti ujian pasti dimungkinkan
mendapat nilai bagus. Namun apakah mahasiswa itu juga mampu melakukan hal yang
digeluti oleh mahasiswa aktif di luar tadi? Semisal undangan-undangan yang
terkait tentang sastra, antologi bersama, festival sastra mahasiswa, baik lokal
maupun nasional?
Guru/ dosen juga berpengaruh terhadap iklim
sastra di kampus. Semisal ketika dapat menghasilkan para peneliti sastra yang
benar-benar matang dengan teori dan lincah
menelisik karya. Ia mampu menggiring mahasiswanya yang tidak hanya mencari
nilai. Dengan bertanya mendapat nilai (pikir mahasiswa pada umumnya), padahal
pertanyaannya terkadang sangat ngawur, asal
tanya, pertanyaan yang sudah ditanyakan teman lainnya dan sudah dijawab diulang
ditanyakan lagi, pertanyaan yang sudah tak perlu ditanyakan tapi ditanyakan
lagi. Uh, kacau-kacau. Haha
Peran dosen/ kampus terhadap iklim sastra juga
sebenarnya sangat memiliki singgasana. Semisal, tiap tahunnya berapa kampus
melahirkan karya lewat skripsi-skripsinya. Namun, berapa skripsi-skripsinya
yang benar-benar berpengaruh dari penulisnya? Skripsi yang benar-benar dari
hati ataukah skripsi demi toga? Hehe
Nah, bisa dibilang, mahasiswa yang sering tidak
masuk kelas karena sering mengikuti aktivitas di luar tadi, termasuk sebagai
mahasiswa yang mati suri. Ia terkesan mati dalam urusan kelas, namun
sesungguhnya ia menggelegar hidup di luar sana. Banyak yang dilakukan di luar
sana. Tetap sekolah/ kuliah dan juga tetap keluar. Maka ia adalah insan yang
patut dibilang ampuh, ketika ia dapat melakukan lebih terhadap sesuatu yang
dilakukan oleh orang lain. Maka semoga saja kelak orang-orang tersebut akan
mendapatkan sesuatu yang lebih juga dari yang telah didapatkan oleh orang lain,
amin.
Seperti
halnya seniman yang sering digemborkan telah mati dan jarang beraktivitas.
Namun pada kenyataannya ia tetap menjalani proses kreatif, misalnya saja ketika
seorang seniman masih tetap berproses kesenian dengan siswa-siswa SD, SMP atau
SMA─sebagai guru pengajar tentunya. Namun ia masih tetap menghidupi seni, ia
tetap berproses, walaupun terkadang terkesal mati─mati suri. Maka marilah tetap
berproses. Jangan lelah terhadap satu hal. Karena masih banyak yang harus dan
dapat kita lakukan. Satu tak dapat, cari yang lain. Yang lain belum dapat, maka
teruslah berjuang untuk mendapatkan yang lain lagi. Selamat. ***
Tradisi Instan
Oleh Setia Naka Andrian
Mbah Thomas Alpha Edison mengalami banyak kegagalan sebelum hingga akhirnya
mampu menyumbangkan bola lampu untuk ‘dunia’. Bagi Mbah Thomas, dalam setiap
kegagalan-kegagalan itu beliau dapat mengetahui bagaimana penyebabnya. Melebarkan
pikiran dan membuka diri terhadap masukan atau segala hal yang hadir di
dalamnya. Karena tidak mungkin penemuan agung Mbah Thomas itu diperoleh secara
santai dan atau hanya dengan udud-udud
serta ngopi tanpa melalui pemahaman serta
penyelidikan yang surga. Intinya setiap kali Mbah Thomas mengalami kegagalan, maka
otomatis beliau tidak akan pernah mengulangi kegagalan tersebut, bukan?
Begitulah proses. Ciptaan apa pun akan terdengar benar-benar agung ketika
melewati proses yang mendalam. Bukan semata hasil akhir. Karena setidaknya banyak
orang menilai pada satu persen keberhasilan/ kesuksesan, tanpa melirik pada
sembilan puluh sembilan persen kegagalan/ kesengsaraan sebelumnya.
Memang dewasa ini kemajuan teknologi telah meremas-remas
pemikiran. Segala hal telah disuguhkan secara instan. Sajian telah tercipta
manis dalam kemasan yang beraneka warna dan berjuta
rupa. Bermacam wujud dan bentuknya. Ada kemasan berbentuk kaleng sekali pakai
langsung lempar, ada kemasan plastik sekali pakai langsung bakar, dan ada juga
kemasan elastis sekali pasang satu klimaks langsung buang─kita
telah dihadapkan pada jaman kemasan. Dari segala yang berwujud dan akan
bergegas hilang hanya lewat satu kepulan (baca: asap). Misalnya budaya pesan skripsi yang telah mengakar pada kalangan mahasiswa. Banyak
terpampang pada pohon-pohon di jalanan, “Skipsi, hubungi nomor xxx xxxxxx.” Apakah kehidupan semudah itu? Kalau seperti ini,
apa arti proses penemuan semacam kepunyaan Mbah Thomas?
Semua
telah tergantung dan beralih fungsi. Dari generasi kutu buku menjadi generasi nggoogle
yang sekali klik langsung beribu informasi. Dari generasi surat pos disulap
menjadi generasi update status facebook. Pendek kata, kali
ini jarang ditemukan perenungan
mendalam untuk segala bentuk penemuan. Semua ingin lansung, singkat dan cepat
(baca: instan).
Rasanya
kita menjadi malas untuk berprosa. Tak lagi ada narasi yang tepat untuk
mengungkap perihal dalam sebuah penemuan. Jarang kita temukan salam pembuka,
isi dan penutup. Tinggal ketik sms, ketemuan, langsung deh masuk kamar. Instan
bukan?
Jadi
tak perlu repot-repot untuk memulai dengan berpuisi. Apa lagi berprosa/
mencipta cerpen untuk melumpuhkan pacar. Tak lagi ada perjalanan yang ranum. Jarang kita jumpai pertemuan kedua belah
keluarga, apalagi ritual ‘melamar’. Yang ada: ketemuan, lansung kunci pintu, matikan lampu, dan tiga bulan kemudian telat deh.
Maka
jangan heran bila tak lagi ada perjalanan diksi dalam proses penemuan keutuhan
ungkap. Bahkan tak ada, kali ini tradisi berprosa hampir terpasung mati dan ‘mendinosaurus’. Semua ingin segala sesuatu menjadi cepat-cepat dan singkat.
Tak perlu heran juga bila akan banyak kita jumpai orang
tergeletak mati mendadak karena stroke. Mau bagaimana lagi? Penemuan ‘sukses’ saja
diperoleh dengan cara instan, jadi jangan kaget dong bila jatuh dengan jalan
instan pula. Haha.
Katakan ‘Tidak’ untuk:
[Cara Mudah Menembak Pacar;
Cara Gampang Menjadi Ganteng; Cara Goblok Menggondol Duit, dll.]
Kali ini saya memberanikan
diri untuk berkata ‘tidak’ pada hal-hal yang tersebut di atas. Karena tidak
sedikit yang menanggapi secara mentah perihal itu. Saya berprasangka buruk
segala itu akan mempengaruhi mindset seseorang
dalam menanggapi sesuatu. Bahwa segala sesuatu akan diperoleh dengan mudah,
gampang, entheng, dsb.
Hemat saya, seperti
halnya penanaman yang salah ketika seorang ibu berkata kepada anaknya yang
jatuh karena tersangkut sesuatu, benda/ barang. Ibu tersebut berkata dengan
lantang, “Sayang, kenapa jatuh? Aduh, lantainya nakal ya? Injak dan pukul saja,
Sayang!” Bahkan ada yang lebih parah, “Kodoknya nakal ya, Sayang? Ayo injak
saja kodoknya, Sayang!”
Ibunya berkata seperti
itu dan mencontohkan menginjak serta memukul lantai. Hingga lantai/ tanah
disebut kodok atau hewan lainnya. Lalu anaknya pun mengikuti, menginjak dan
memukul seperti yang dicontohkan serta diperintahkan oleh ibunya.
Hal tersebut secara
tidak langsung menjadi sebuah kesalahan yang sangat fatal dalam penanaman pola
pikir. Seorang ibu tersebut menyuguhkan cara berpikir yang salah ketika
menanggapi sesuatu/ masalah. (baca: kekerasan). Setiap kali ada sesuatu/
masalah, yang dilakukan kali pertama adalah membalasnya. Kenapa tidak dengan
cara baik-baik? Misalnya dengan memberi pengertian kepada anaknya, bahwa anaknya
terjatuh karena lantai yang licin akibat susu dalam botol yang tertumpah, dsb.
Lalu ibu menasehati kepada anak agar berhati-hati bila hendak meminum susu atau
meletakkan botol susu, dsb.
Kembali pada masalah
awal─setidaknya ada banyak pengaruh negatif terhadap seseorang yang menelan
mentah judul buku dan atau kiat-kiat khusus untuk mendapatkan/ mempelajari
suatu ilmu tertentu. Pikirnya segala sesuatu akan mudah digapai. Segala ilmu
akan mudah dipelajari, segala karya dapat dengan mudah diciptakan, dsb. Karena
semua butuh proses, pengendapan, perenungan/ kontemplasi. Memerlukan koreksi
diri, penyuntingan/ editing. Semua ada tahapan-tahapannya. Tidak hanya langsung
teriak saja dengan lantang dan pede: “Jendela
untuk mengintip!”
Contoh lainnya─banyak
penulis-penulis besar yang mengatakan bahwa butuh sekejap untuk menulis, namun
memakan berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk
mengeditnya. Hal ini menjadi contoh yang sangat sederhana, bahwa segala sesuatu
sangat dibutuhkan proses. “Tak ada yang yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma.”
(pinjam: Syair Dhani Ahmad). Setiap kita melangkah harus melewati tangga/
tahapan-tahapan tertentu. Bukan semudah kentut yang dapat kita letupkan dengan
leluasa tanpa beban dosa.
Kemudian menilik
Afrizal Malna─yang baru-baru ini tengah meluncurkan sebuah buku Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan
Kata. Dalam buku tersebut penyair yang banyak memberi perhatian pada
fenomena tubuh dan bahasa dalam kesenian─terutama teater, tari, sastra, dan kemudian
juga seni rupa. Seseorang yang telah melecit dengan karya-karya handalnya yang
sudah terbit meliputi puisi, prosa, teater, sastra dan seni rupa─pembaca akan
digiring dalam pengungkapan buku tersebut dengan cara yang sangat sederhana.
Lihat saja judul buku tersebut. Ia tidak menggunakan kata ‘membedah’ atau ‘mengupas’
dalam pemilihan judul buku, melainkan ‘perjalanan’. Begitu pula isi buku
tersebut yang disajikan dengan bahasa yang sederhana. Lepas dari kesederhanaan
tersebut, Michael H. Bodden (University of Victoria, British Columbia, Canada),
mengatakan─buku ini penting. Saya menarik kesimpulan bahwa Afrizal termasuk
pengamat kegiatan teater dan sastra kontemporer di Indonesia yang paling lihai.
Dengan matanya yang tajam─separuh mata seniman, separuh mata sosiolog─dia bisa
melihat banyak hal yang gampang luput dari dari pemandangan orang lain. Bagi
Afrizal, teater tidak bisa berdiri sendiri: para pemain sudah memiliki
pengalaman pribadi di luar maupun di dalam ruang pentas. Tubuhnya pun sudah
dibentuk lewat pengalaman sosial dan sulit sekali menyembunyikan pola-pola
gerak badan yang sudah lama terdidik.
Kemudian, Marianne
Koeing (University of Bern, Switzerland), menambahkan─membaca buku Afrizal ini
saya bahkan merasa tidak hanya menghadapi suatu antologi saja, melainkan sebuah
kamus ensiklopedi di mana kita bisa mencari dan mendapatkan sekian banyak
informasi yang berguna. Namun, informasi di sini bukan informasi biasa saja
yang bersifat menjelaskan mengenai kenyataan teater kontemporer Indonesia,
melainkan informasi mengenai bagaimana─di bawah tema apa─kita bisa memandang
dan memahami teater. Di sini “teater kedua” dari Afrizal masuk, yaitu teater nyata, yang disaksikannya, seperti
yang terjadi dalam renungannya.
Begitulah, sesuatu/
karya yang dilahirkan pun barang tentu harus diawali dengan kesederhanaan.
Bukan dengan letupan yang menggelegar namun terkesan kering substansi. Tanpa
didasari research dan atau membaca serta
mencatat keadaan sekitar. Karena apakah kita akan tahu bagaimana sesuatu itu
bagus ketika kita tidak melihat sesuatu yang bagus dan nyata telah dibuktikan
dan diamini kebaikan serta substansinya oleh orang lain karena kita hanya
melihat sesuatu yang bagus dari anggapan diri sendiri untuk karya kita sendiri
dan atau suatu karya yang bagus hanya dilihat dengan kaca mata kita sendiri? Hemat
saya, berhenti pada satu titik tanpa
melihat dan atau memahami titik-titik yang lain adalah onani.
Onani─dalam
ranah kreatif
Karya merupakan
suatu ciptaan/ kreasi yang terlahirkan untuk orang lain dan atau tidak. Namun
pada dasarnya karya pasti akan dinikmati oleh ‘pihak kedua’. Misalnya pada
‘teater kedua’ Afrizal Malna menyebutkan, bahwa ranah tersebut adalah
pertunjukan yang mutlak milik penonton yang tak lepas dengan kaca mata serta
perenungannya masing-masing─setelah ‘teater pertama’ dibocorkan oleh kreator
dalam pertunjukannya. Sama halnya ketika seseorang menulis/ menciptakan
karyanya─benar, ia disebut kreator, saat itu. Lalu setelah itu kreator memiliki
tanggung jawab besar terhadap ciptaannya. Maka tiba pada fase ‘kedua’ yang
wajib dikitabkan bahwa penulis/ pencipta karya akan otomatis menjadi pembaca
yang harus melepaskan sifat dan sikap ‘penulis’-nya menjadi penyunting/ editor,
dan atau setidaknya sebagai pembaca─berkewajiban untuk menentukan bagus/
tidaknya, layak/ tidaknya, bersubstansi/ tidaknya, dsb.
Sehingga memang
sangat benar dengan yang saya sebutkan di atas─banyak penulis-penulis besar
yang mengatakan bahwa butuh sekejap untuk menulis, namun memakan
berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun untuk mengeditnya. Seperti
halnya para musisi ketika mengemas lagu ciptaannya─butuh waktu sedikit untuk
membungkus/ merekam/ nge-track lagu.
Namun setelah itu memakan waktu lama untuk editing,
mixing, dan mastering.
Onani─sebuah
kenikmatan, kepuasan dan kecemasan yang hanya dirasakan oleh diri sendiri.
Tanpa melibatkan pihak lain. Mau jika disebut ‘penulis’ yang onani, ‘seniman’
yang onani, atau bahkan ‘kreativitas’ yang onani?
Jika tidak mau, mari
kita membuka diri. Bahwa kita tidak ‘berdikari’ (baca: berdiri di atas kaki
sendiri). Kita masih butuh orang lain. Kita masih butuh referensi lain,
buku-buku lain, komunitas-komunitas lain, namun jangan untuk ‘pacar-pacar/
wanita-wanita lain’. Haha.
Namun jika bangga
menyandang ‘onani’─sobek-sobek tulisan ini, bakar dan lupakan. Karena ini semua
bukan apa-apa. Perubahan terjadi atas bagaimana niatan kita dalam mengambil
keputusan. Mari tradisikan proses! Semoga.
Palebooné, 100711, 06.31
pm.
Langganan:
Postingan (Atom)