Hikayat
Penyakit Hati
■cerpen Setia Naka Andrian
Aku ingin suatu saat
menemukan orang yang menjual hati. Merelakan salah
satu organ terpenting dalam
tubuhnya untuk dijual kepadaku yang kali ini sangat membutuhkan. Tentunya hati yang belum
terluka seperti hatiku ini. Berapapun harganya
pasti akan kubeli. Karena setidaknya aku masih memiliki sisa warisan rumah beserta tanahnya, itu satu-satunya. Apapun taruhan untuk mendapatkan hati yang baru, pasti akan
kukorbankan. Aku pun mau
bila orang itu menghendaki
tukar tambah dengan hatiku, walaupun nantinya orang itu akan menanggung beban hatiku.
Sungguh, aku harus segera menemukan hati, kemanapun akan kucari. Karena kali ini aku merasa tak punya pilihan lain. Sakit hatiku telah terlampau
akut. Tak ada yang mampu menyembuhkan. Beberapa
kali berkunjung kepada bermacam-macam ahli
psikologi namun hasilnya
tetap saja nihil. Beberapa kali hinggap di
tempat-tempat hiburan dengan
berbagai macam minuman keras termahal yang kutenggak hingga ke sebuah lokalisasi dengan sejuta perempuan label atasan, namun semuanya tak mampu mengobati. Karena hati, aku telah kehilangan hatiku. Termasuk kedua orangtuaku juga seorang adikku, mereka telah mati terbunuh perempuan yang sempat mengaduk-aduk hatiku.
Perempuan itu telah menggondol seluruh isi rekening dan surat-surat tanah
milik keluargaku yang sebelumnya telah dipercayakan semua kepadaku. Harta yang seharusnya digunakan untuk pengobatan bapakku yang sedang mengidap
kanker mata yang sangat ganas. Akhirnya bapakku meninggal.
Selanjutnya
ibuku sakit-sakitan akibat tertekan hatinya,
lagi-lagi karena hati. Ibuku mati karena tertekan akibat kematian bapakku dan juga karena belum bisa menerima setelah kehilangan seluruh harta benda yang telah lama dikumpulkan, yang sebelumnya diniatkan pula untuk naik haji bapak dan ibuku.
Karena ibuku terlampau memikirkan itu dengan hati, maka akhirnya
ibuku menyusul bapakku.
Setelah itu giliran adik
perempuanku yang sejak lahir mengidap keterbelakangan mental, dan karena sudah tidak ada lagi yang mengurus. Maka ia dibawa oleh tetangga ke sebuah panti asuhan. Namun sungguh malang nasib adikku, setelah beberapa
bulan dititipkan, panti
asuhan itu terlibat kasus penjualan anak.
Akhirnya adikku pun telah resmi hilang, hingga sekarang belum
ada kabar yang jelas. Ada yang bilang telah dijual di luar negeri, dijadikan apa
aku kurang tahu. Yang pasti dari kepolisian pun tak becus mengusut
kasus tak berduit itu. Karena keseluruhan korbannya
adalah anak dari orang-orang terpinggirkan dan bahkan anak-anak yang sudah tidak memiliki keluarga
ataupun sanak saudara. Aku pun akhirnya mencoba ikhlas kehilangan bagian hidupku yang
terakhir dan satu-satunya itu.
***
Suatu hari aku mencoba
keluar rumah, berjalan mengikuti langkah yang entah menuju kemana. Yang pasti tujuan utamaku adalah menemukan hati. Setiap menemui orang, aku menanyakan di mana ada toko, warung, atau apa saja yang menjual hati. Namun mereka malah menganggap aku gila, dan mengumpat yang bermacam-macam kepadaku. Aku
pun tidak mempedulikannya,
aku terus berjalan dan semakin menjauh dari rumah, terus berlari meninggalkan semakin jauh.
Setelah berjalan cukup
jauh, aku melihat kerumunan orang. Aku
pun langsung mendekati. Siapa tahu di situ sedang ada perhelatan tawar-menawar hati. Benar,
ramai sekali. Aku semakin yakin kalau di situ sedang ada tawar-menawar hati. Benar
sekali, aku mendengar mereka meneriakan hati, “Hatimu rusak! Kau sungguh
rusak! Kau taruh di mana hatimu, Kakek?”
Ternyata benar,
kakek tua itu terluka. Darahnya mengucur di sekujur tubuh dan membasahi bajunya di sekitar dada. Ia pasti sedang ada masalah mengenai hatinya. Mungkin ia senasib denganku atau mungkin ia sedang
mempertahankan hatinya yang hendak dirampas orang-orang itu. Ya, aku harus segera berbuat sesuatu untuk menyelamatkan kakek tua itu.
“Maaf, Tuan-tuan! Mau
kalian apakan kakek tua tak berdaya ini? Apa
salahnya hingga ia diperlakukan seperti ini?”
“Hai bocah ingusan, tahu
apa kau ini? Jangan ikut
campur urusan kami!”
“Ya, kau tidak tahu apa-apa! Mending kau pergi jauh dari sini!
Sebelum kami akan mencelakakanmu
juga!”
“Ya, cepat lekas pergi!”
Sial, aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku harus cari
cara untuk dapat menolong kakek
tua ini. Tanpa banyak
pikir, aku langsung membawa lari kakek tua itu. Kuseret
dari mereka dan langsung
kubopong di bahuku. Untungnya berat badannya ringan, tubuhku juga masih kekar. Jadi aku dapat leluasa
membawanya lari. Walaupun dengan sedikit
tergopoh aku lari dan mereka tetap mengejarku.
Sampai di tikungan aku langsung menyelinap di semak. Aku mengendap-endap sambil menyibak jalan agar menghindar
dari kejaran mereka.
Syukurlah, aku telah lari jauh dari kejaran mereka. Walaupun tergopoh dan sungguh
terengah-engah. Kududukkan kakek tua ini di suatu tempat yang cukup
aman dari kejaran mereka. Ia nampak gemetaran dan nyaris tak mampu berbuat apa-apa.
Darah masih juga mengucur dan membasahi sekitar dadanya.
Hingga itu membuat aku tak tega untuk menanyakan
sesuatu kepadanya. Sepertinya aku harus mencari sesuatu agar dapat menenangkannya. Mungkin ia
lapar. Benar, sepertinya begitu. Wajahnya terlihat begitu pucat. Bibirnya memutih dalam giginya yang menggigil. Hingga ia
tak mampu mengucap sepatah kata pun untuk merespon kehadiranku yang mungkin cukup asing baginya. Ya,
aku harus segera menyarikannya makan. Apa
saja, yang penting dapat
mengganjal perutnya.
***
Ternyata benar, ia
begitu kelaparan. Tanpa keluar kata ataupun sekadar sapa, ia langsung melahap beberapa pisang yang kubawakan dari memetik di pohon sekitar. Setelah itu ia terdiam dan memandangiku dengan penuh tanya yang aneh. Sepertinya ia ingin menyampaikan
sesuatu, bibirnya nampak bergeming. Benar sekali, ia ingin
berkata sesuatu. Ya, tubuhnya semakin mendekatiku
dan tangannya
berusaha meraih tubuhku.
“Anak muda,” datar suaranya menyapaku.
“Ya, Kek.”
“Kenapa kau menolongku?”
“Karena Kakek sedang membutuhkan pertolongan, maka
aku berhak untuk menolongmu,
Kek.”
“Sederhana itukah?”
“Sebenarnya
tidak juga, Kek.”
“Lalu?”
“Awalnya aku tertarik ingin mendekati kerumunan waktu itu karena aku
mengira saat itu sedang ada
perdebatan tawar-menawar hati, maka seketika aku langsung berniat untuk mendekat.”
“Adakah sesuatu tentang hati yang kau maksud?”
“Aku sedang ingin mencari hati untuk menggantikan hatiku, Kek.”
“Maksudmu, hati yang
termasuk salah satu organ tubuh manusia atau hati tentang perasaan manusia?”
”Keduanya, Kek.”
“Hahahahahahahahahaha.”
“Kenapa Kakek tertawa?”
“Kau gila!”
“Aku gila, Kek?”
“Ya, kau gila yang akut.”
“Maaf Kek, bukannya kata
mereka hati kakek juga gila?”
“Ya, benar katamu. Hatiku memang gila. Tapi kenapa kau mau menolongku? Yang ternyata kau sudah tahu kalau hatiku
gila. Apakah kau ingin mencari
hati yang gila? Hahahahahahaha,”
“Sebenarnya ya
tidak, Kek. Aku ingin mencari
hati yang masih bersih. Hati yang mampu
memberiku ketenangan, hati
yang mampu meneduhkan
hidupku, intinya ya hati yang tidak seperti hati yang kumiliki sekarang ini, Kek. Sakit hatiku telah terlampau akut. Tak ada yang mampu
menyembuhkan. Beberapa kali berkunjung kepada bermacam-macam ahli psikologi namun hasilnya tetap saja nihil. Beberapa kali hinggap di tempat-tempat hiburan dengan berbagai macam minuman keras termahal yang kutenggak hingga ke
sebuah lokalisasi dengan sejuta perempuan label atasan, namun semuanya tak mampu mengobati. Karena hati, aku telah kehilangan hatiku. Termasuk kedua orangtuaku
juga seorang adikku, mereka telah mati terbunuh perempuan yang sempat mengaduk-aduk
hatiku. Perempuan itu telah menggondol seluruh isi rekening dan
surat-surat tanah milik keluargaku yang
sebelumnya telah dipercayakan semua
kepadaku. Harta yang seharusnya digunakan untuk pengobatan
bapakku yang sedang mengidap
kanker mata yang sangat ganas. Akhirnya bapakku meninggal. Selanjutnya ibuku sakit-sakitan akibat tertekan hatinya, lagi-lagi karena hati. Ibuku mati karena tertekan akibat kematian bapakku dan juga karena belum bisa menerima setelah kehilangan seluruh harta benda yang telah lama dikumpulkan, yang sebelumnya diniatkan pula untuk naik haji bapak dan ibuku.
Karena ibuku terlapau memikirkan itu dengan hati, maka akhirnya
ibuku menyusul bapakku. Setelah itu giliran adik perempuanku yang telah lama mengidap keterbelakangan mental, dan karena sudah tidak ada lagi yang mengurus. Maka ia dibawa oleh tetangga ke sebuah panti asuhan. Namun sungguh malang nasib adikku, setelah beberapa
bulan dititipkan, panti
asuhan itu terlibat kasus penjualan anak. Akhirnya adikku pun telah resmi hilang, hingga sekarang belum
ada kabar yang jelas. Ada yang bilang telah dijual di luar negeri, dijadikan apa
aku kurang tahu. Yang pasti dari kepolisian pun tak becus mengusut
kasus tak berduit itu. Karena keseluruhan korbannya
adalah anak dari orang-orang terpinggirkan dan bahkan anak-anak yang sudah tidak memiliki keluarga
ataupun sanak saudara. Aku pun akhirnya mencoba ikhlas kehilangan bagian hidupku yang
terakhir dan satu-satunya itu. Begitulah ceritanya, Kek.”
“Ya, aku cukup paham dengan masalahmu. Maukah kau menukar hatimu dengan hatiku?”
“Kakek yakin mau memberikan hati itu untukku?”
“Bila kau mau, ambillah. Silahkan, aku juga sudah terlalu tua dan aku rasa kau yang lebih membutuhkan hatiku yang sudah terlampau renta ini, hidupku pun pasti
tidak akan lama lagi.”
“Tapi Kakek tidak memiliki penyakit
hati kan? Selain hati yang gila
itu, Kek?”
“Ya, tak ada. Aku hanya
memiliki penyakit itu saja, hati yang gila,
itupun hanya kata orang saja.”
“Ya, kalau begitu aku mau, Kek.”
***
Aku sangat bahagia. Langsung saja Kakek dan aku
sepakat untuk bertukar hati. Terasa tak percaya dan tak sadar, aku merobek dadaku dan dada Kakek itu dengan sebilah batu tajam. Lalu kami saling bertukar hati, kakek itu merasa sangat kesakitan setelah kucongkel hatinya, begitu pula aku. Setelah
hati kami bertukar, tubuh dan perasaanku terasa ringan dan melayang-layang. Sepertinya ada sesuatu yang aneh, begitu pula yang terjadi di sekitarku.
Pohon-pohon dan segala tumbuhan berubah menjadi warna-warni yang menyala indah dengan beraneka wewangiannya. Kakek itu pun tiba-tiba lenyap entah kemana, dan tiba-tiba
banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru. Mereka mendekatiku,
tangan mereka mencoba
meraihku dan sepertinya hendak mengambil hatiku. Mereka meremas-remas dadaku. Semakin keras
dan menggila, terus meremas dan mengeroyok berebut tubuhku, mereka berteriak, “Beri
aku hati! Hatiku kesakitan! Aku ingin
memiliki hati yang sehat! Beri aku hatimu! Aku ingin memiliki hati yang suci!
Hati itu ada di tubuhmu!”
Sanggargema, Desember 2016-2017