Sastra Lokal dan Kebinekaan
Oleh Setia
Naka Andrian
Musyawarah
Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi II) 2017 telah terselenggara pada 18 hingga
20 Juli di Hotel Mercure Ancol Jakarta. Ini kali kedua perhelatan yang
diselenggarakan Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, selepas Munsi pertama pada tahun lalu.
Jika
tahun lalu peserta Munsi dipilih berdasarkan rekomendasi tiap-tiap daerah bagi
para pegiat sastra, kali ini peserta yang diundang Munsi lebih diperketat lagi.
Yakni di antaranya melalui seleksi buku (karya) yang dikirimkan kepada panitia,
kemudian diseleksi oleh dewan kurator. Selain itu, undangan peserta Munsi dari
para alumni Munsi I yang telah turut serta dalam penulisan antologi puisi Munsi
I tahun 2016. Selanjutnya, undangan Munsi kategori yang ketiga berasal dari
para budayawan, pemerhati, dan pakar sastra yang berkompeten.
Perhelatan
Munsi II ini tentu telah menjadi sebuah pertemuan yang menghantarkan para
sastrawan Indonesia dalam perbincangan hangat. Yakni menyibak Kebinekaan
Indonesia yang saat-saat ini kerap didengungkan dalam berbagai gerak
perbincangan dan laku, baik di kalangan akademisi, pemerintah, komunitas seni
budaya, hingga masyarakat luas. Mengingat berbagai persoalan dinilai kian
menjadi-jadi, berupaya menggoyahkan kebinekaan Indonesia.
Dalam
sebuah perbincangan yang disampaikan Radhar Panca Dahana, ia menegaskan
bahwasanya karya sastra Indonesia tentu sudah sangat mencerminkan kebinekaan
Indonesia jika kita semua mau menengok dan kembali pada karya-karya sastra
lokal. Bahkan, dunia pun akan tergeleng-geleng melihat karya sastra kita. Jika
kita tengok, berapa provinsi yang ada di Indonesia ini, kemudian berapa
kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, bahkan berapa kampung yang melingkupinya.
Jika
karya sastra lokal dari segenap titik daerah itu kita garap, setiap tahunnya
akan bermunculan berapa karya sastra di Indonesia ini? Segala ini akan bergulir
sehat jika para sastrawan tergerak untuk lebih memperhatikan dan berupaya
sekuat tenaga untuk mengangkat sastra lokal tersebut.
Setidaknya,
melalui garapan sastra lokal tersebut dapat menjadi bahan pijakan untuk
pembelajaran sastra kita. Sudah tentu, suntikan Kebinekaan Indonesia kepada
anak didik di sekolah sebagai sebagai sebuah ikhtiar tercapainya pendidikan
karakter bagi generasi penerus bangsa dapat dilalui dengan guyuran karya-karya
sastra lokal.
Pada
Munsi II ini pun, didapati perbincangan mengenai Sastrawan Masuk Sekolah,
dengan tujuan akan terjadi gerak sinergi antara guru bahasa Indonesia dan
sastrawan lokal dalam pencapaian gerak pembelajaran sastra yang lebih berdaya
guna. Selain itu, sekiranya para sastrawan lokal juga dapat membantu
mengaktualisasikan proses kreatifnya kepada siswa, terutama terkait sastra lokal
yang hendak atau sedang digarap dan ditekuninya.
Sudah
tentu ini terkesan bukan sebagai kerja yang mudah, tidak seenteng membalikkan
telapak tangan atau mengubah posisi belahan rambut. Namun, segala ini tentu
dapat dilakukan perlahan. Dengan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak
terkait, kepedulian Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tentunya, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta kesadaran kolektif dari berbagai
pihak lain, termasuk bagi para sastrawan lokal. Kenapa perlu dicanagkan program
Sastrawan Masuk Sekolah?
Selama
ini, tidak sedikit telah dikeluhkan bahwa guru-guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia kerap melewati (melompati) materi kesastraan dalam pembelajarannya.
Jika tidak melewati (melompati), mereka sampaikan dengan seadanya dan
sesampainya, atau seingat-ingatnya saja, apa yang masih nyangkut dalam
sisa-sisa ingatan masa kuliah.
Apalagi
dulu pada masa kuliah hanya didapat di kelas saja, itupun dosennya kerap izin
tidak masuk kelas, ditambah lagi tidak ikut unit kegiatan mahasiswa (UKM)
sastra, tidak pernah menghadiri acara atau diskusi-diskusi sastra, buku-buku
sastra juga hanya koleksi yang diwajibkan dari dosen mata kuliah itu semata.
Lalu pengalaman kesastraan dari mana yang dikantongi?
Entahlah,
dengan alasan apa pun, tentu segala itu sangat tidak bisa dimaafkan. Dosa besar
bagi dunia pengajaran! Dosa turun-temurun yang tiada pernah terampuni! Sudah
menjadi rahasia umum, tidak jarang didapati kasus itu, guru melompati materi sastra
dalam mengajar di kelas.
Padahal
sudah sangat jelas, anak didik sangat perlu disuntik sastra. Bahkan sudah
menjadi keharusan bagi negara-negara maju, bahwa bacaan-bacaan sastra wajib
dikonsumsi semua siswa, semua mahasiswa dalam bidang ilmu apa pun. Setiap tahun
diharuskan mengkhatamkan sekian puluh judul buku sastra.
Nah
jika di Indonesia ini bagaimana? Jangankan semua siswa atau mahasiswa semua
bidang ilmu, bagi yang jelas-jelas menekuni sastra saja, berapa buku sastra
yang diwajibkan untuk ditelan setiap tahunnya? Sudahkah kampus-kampus yang
ditangkringi program studi kesastraan memberlakukan aturan itu dengan ketat dan
tegas?
Mustahil
kita berteriak-teriak, mendengung-dengungkan kebinekaan, toleransi, dan seabrek
kemuliaan-kemuliaan berkehidupan. Kita paham, tanpa sastra, sudah tentu hidup
ini akan menjadi kaku. Akan semakin sering kita temui generasi penerus bangsa
yang kehilangan roh spiritual, moral, dan jiwa nasionalisme. Akan sering pula
kita temukan orang-orang yang memiliki sumbu pendek, mudah menyalahkan orang
lain yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya.
Bahkan,
akan mudah mengkafirkan kaum lain yang katanya tidak sesuai dengan
keyakinannya. Begitu panjangnya pekerjaan rumah kita. Lalu hendak kita mulai
dari mana? Tentu, yang paling sederhana adalah jawaban klise yang begitu
menggedor telinga kita, dimulai dari diri kita sendiri. Dimulai dari kesadaran kolektif
berbagai pihak yang telah tersebut sebelumnya tadi.***
─Setia Naka Andrian, Lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Peserta
Munas Sastrawan Nasional (MUNSI II) 2017. Bukunya yang telah terbit, kumpulan puisi “Perayaan Laut” (April,
2016) dan bunga rampai “Remang-Remang Kontemplasi” (November, 2016). Tahun
ini akan menerbitkan beberapa buku puisi, di antaranya “Manusia Alarm”
dan “Orang-Orang Kalang”.