Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puisi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 November 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 26 November 2017)




Menulismu Adalah

menulismu adalah
puisi di dalam lekuk pipi
yang tiba sesaat
selepas aku malu-malu
berselancar lemas
di atas telapak tanganmu

menulismu adalah
meneguk anggur
saat dunia sedang sibuk
memilih bercuriga
kepada kamu
kepada siapa saja
yang kerap urung bertemu

menulismu adalah
menyibak cahaya
yang kerap melarikan diri
dari balik jendela rumah
dari balik dada
yang melambatkan degubnya

menulismu adalah
tanda tanya
yang tak sempat
dikirimkan
sebagai pesan dan janji
yang tak pernah kunjung matang

menulismu adalah
kalimat pertama
yang sering kita lupakan bersama
sebelum memulai merapal tanya
mana luka
mana duka
mana binar matamu
yang sederhana

Kendal, November 2017


Aku Pesan Namamu

aku pesan namamu
dalam secangkir kopi
selepas adzan tak lagi bunyi
selepas kehilangan
tiada pernah dibaca lagi

aku pesan senyummu
dalam sekental rindu
selepas segalanya
urung mengetuk pintu
lupa datang di pagi-pagi

aku pesan namamu
dalam segelas teh pahit
dalam keheningan
yang diciptakan
dari gelagat matamu
yang tak lagi wajar
mengunjungi sunyi-sunyi

aku pesan namamu
saat semua orang tahu
jika aku adalah kegagalan itu
yang memilih pulang
untuk menemukan
nama-nama baru
selain dari nama-namamu

Kendal, November 2017


Minggu, 12 November 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 12 November 2017)


Perintah Demang Kalang

Telunjuk tanganmu,
Tak sebatas peringatan bagi kami
yang diam
Demang ini, yang mengutus
anak buah terpilihnya
untuk menyibak hutan

Mereka menyebut diri
dengan bubak yoso
Telunjuknya menuju Coyudo
Kakinya seakan lihai
menggelinding sendiri
Membuka areal pemukiman
di wilayah Gemuh sebelah barat

Coyudo inilah tokoh kami
yang mengawali
dukuh Wanglu Krajan
melahirkan diri di Poncorejo

Lambat laun, selepas
Coyudo mampu
melaksanakan tugas mulia
mencetak kampung,

ia membawa keluarga
dan sanak saudaranya
untuk tinggal dan menempati
muara hidup kami

Kami memulai suara baru,
mencipta kepantasan berkali-kali
Menimbun keganasan bertubi-tubi

Kendal, Juli 2017


Rumah Tak Berwujud

Sebagai rumah,
kami memilih
untuk tinggal di tengah

Sebagai tanah,
kami memilih
untuk sesekali dalam tengadah

Sebagai air,
kami kerap memilih
tinggal di rumah lain
Yang sama sekali

Sebagai wujud,
Kepada siapa
yang paling pantas
untuk kelalaian kami?

Kendal, Juli 2017


Berapa Meter Angkat Kaki

Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah bekerja
di kota besar itu
kau nampak seperti api
Jakarta semacam kabut
Yang menyambar
kening-keningmu

Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah pandai menciptakan
orang-orang baru

Para pekerja membabi-buta
Lihatlah mata mereka, Kalang
Dari nyalanya,
nampak para prajurit
Berkejaran dengan bayangannya
Hingga menjelang
masa akhir tugasnya
Mereka menemukan
pasangan hidup
Dari tepi
bayangannya sendiri

Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah menjadi orang tua
Mereka tiada lagi dapat
mempertahankan perkawinan
yang kini dikatakan kuno

Sudah berapa meter
kau angkat kaki, Kalang
Lihatlah, Wanglu Krajan
telah mengubah perkawinan
endogami menjadi eksogami

Lihatlah Kalang,
Perjodohan anak-anakmu pun
mengikuti arus perubahan zaman
seperti masyarakat desa-desa lain
Yang kian meninggalkan
muara-muaramu

Kendal, Juli 2017


Ajari Kami Menjadi Beban

Kalang, ajari kami menjadi beban
Tujuan yang bukan pilihan
banyak orang

Kalang, ajari kami menjadi beban
Dunia yang tak dikehendaki
banyak orang

Kalang, ajari kami menjadi beban
Alam pikiran yang tak dipikirkan
banyak orang

Kalang, ajari kami menjadi beban
Seperti yang kau haturkan
Untuk kekekalanmu sendiri

Kalang, ajari kami menjadi beban
Menjadi surga kecil
Menjadi belantara hening
Yang sanggup mengurusi kami
Sebab berhari-hari ini,
lelap telah melanda batin-batin kami

Kendal, Juli 2017


Mesin Penghancur

Kaulah mesin penghancur itu,
Yang mengajarkan kami
Semakin jauh
Meninggalkan banyak jejak
di sekitar rumah-rumahmu

Kaulah mesin penghancur itu,
Yang menjadikan kami
Semakin ragu
Untuk menjawab
Permintaan-permintaanmu

Kaulah mesin penghancur itu,
Yang menuntun kami
Semakin menemukan cara baik
Untuk mengejar banyak wirid
Yang tak pernah kau kehendaki

Kendal, Juli 2017


Jadikan Kami Muridmu

Wanglu Krajan,
Jadikan kami murid-muridmu
Jadikan kami abdi
bagi amalan guru-guru

Wanglu Krajan,
Jadikan kami murid-muridmu
Turunkanlah kepada kami
Kepada kepala-kepala kami
Yang telah lama
Menjadi abdi
bagi benak kami sendiri

Wanglu Krajan,
Jadikan kami murid-muridmu
Bangunkanlah rumah lain
di tubuh kami
Agar alam tak pernah redup
Untuk tak sekalipun
Mengubah arah kemudi
dari segenap petunjuk-petunjukmu

Kendal, Juli 2017



Minggu, 09 April 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 9 April 2017)

Zikir Mimpi

Berzikirlah kami,
di tepi sungai
yang tak berair lagi

Berzikirlah kami,
di tepi kening
yang tak bergaris lagi

Berzikirlah kami,
di tepi leher
yang tak berurat lagi

Berzikirlah kami,
di hadapan kampung
yang tak hidup lagi

Bermimpilah kami,
memohon lahir kembali
berkali-kali

Sarang Lilin, April 2017


Libatkan Benak Kami

Libatkan benak kami
Untuk memiliki umurmu
Yang tinggal sisa-sisa ini

Di surga yang sementara
dan semena-mena ini
Kami seakan lama
dipaksa mengembara
di tanah kelahiran sendiri

Lalu seperti apa kemudian hari
Jika segalanya
dilepas dengan tangan kiri

Hutan lebat kami
Daun-daun hijau yang urung tumbuh lagi
Semua kelimpungan, di musim
yang belum rampung ini
Semua hilang sekelebat

Dan di reruntuhan iman ini
Kami pasrahkan bulat-bulat
Kami geletakkan dengan sekarat
Betapa dunia telah memujimu
Menuju kehampaan
yang tak pernah selesai

Lalu kami semakin bimbang,
Jalan mana yang hendak kau tempuh
untuk benak kami yang tak bersisa ini?

Sarang Lilin, April 2017


Pendidikanmu Apa, Kalang

Pendidikanmu apa, Kalang
Kami baru dengar
Dari suara-suara
yang dibentangkan
di pohon-pohon menjalar
di tanah-tanah yang lapang

Pendidikanmu apa, Kalang
Di atas barisan umat-umat bergelengan
Yang mengepalkan tangannya
untuk menembusmu,
melukai jantungmu
yang biasa dipilih untuk ke hadirat

Pendidikanmu apa, Kalang
Didikanmu atas pertimbangan apa
Pandangan masyarakatmu
pandangan apa
Kini, semua seperti luka
yang diputar kembali
di permukaan punggung kami
yang telah terlanjur berlubang-lubang ini

Sarang Lilin, April 2017

Jumat, 10 Februari 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Majalah Basis, 1 Februari 2017)


Mimpi Buruk

Seburuk apa mimpi yang kita rindukan
Tidur yang belum pulas
Atau terjaga yang tak kunjung reda
dihabisi kelaparan paling sesak di dada

Seburuk apa mimpi yang kita rindukan
Ranjang yang dihakimi
Atau kursi-kursi mangkrak
yang menunggu kehancuran

Seburuk apa rindu yang kita impikan
Mata kita terlanjur panas
Menyisakan obat nyamuk,
kopi, dan ketela bakar

Kita tak berdaya
Dihujani televisi dan koran-koran
Mereka memerahkan telinga
Memberitakan diri sendiri
Memproduksi kematian tubuh sendiri

Kendal, September 2016



Minggu, 29 Januari 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 29 Januari 2017)



Sejarah Keyakinan

Ia muncul di pagi hari
Semenjak setahun lalu resmi cuti
Dari perhelatan panjang
Datang seorang diri
di antara noda dan duka-duka

Ia yang sering mati dalam kemenangannya
Dari banyak kisah-kisah yang diputar
Dari pasukan berkuda
Hingga pemahat arca
yang kerap dilupakan senjata

Ia lah takdir yang berpura-pura
Ia lupakan diri dan siapa seharusnya umat nista
Rumah ini, satu-satunya saksi yang tiada dosa
Selagi masih diam
Mereka akan sama-sama dipenjara
Doa-doa yang belum berakhir
Masih menggiring mereka
Menuju jalan pelarian,
Sekali lagi, sekali lagi
Hingga semuanya lupa
jika sudah tak bernyawa lagi

Kendal, September 2016


Gagal Beriman

Kau yang baru saja pulang
Katamu, kau baru saja
melarikan diri
Dari rombongan umat
yang sering dihujani banyak mimpi

Kau selalu merasa terlambat
Pulang ketika orang-orang sedang kelaparan
Kau pun kerap diminta mati tiba-tiba
dan kau mau,
Memberanikan bunuh diri gantung kaki
Menyaksikan kemenangan semu
Atas kegagalan diri sendiri

Ah, malam terlalu pandai berbohong
Hingga pagi-pagi sekali
kau baru mau gantung diri
Dihadapan meraka
Kau minta menyanyikan sayonara
Video doa-doa diputar
Kau gagal menjadi diri paling beriman

Kendal, September 2016


Takdir Tubuh

Inilah takdir tubuhmu
yang sering dilupakan
Kemarau panjang tak habis hilang
Tak bisa berterus terang

Seperti apa langit
Ujung yang dirindukan
Sebab, dulu sering dipisahkan
Bahwa tak ada yang lahir selamanya
Begitu pula tak ada
yang tak hidup sementara

Tubuh-tubuh bergelimpangan
menjadi mesin,
Menelusuri jalan-jalan
Menutup pintu
Menghentikan udara
Semua binasa di hadapan takdir
dan duka-duka dirindukan
masa lalu keabadiannya

Kendal, September 2016


Dukuh

Jusru sebaliknya,
Wanglu Krajan belum punah
Lihatlah, kebiasaan mulia
dibangun di tepi sungai
Anak-anak menyanyikan lagu
tentang ibu-ibunya yang lupa mandi

Lihatlah, demi mereka
yang memburu pagi
Wanglu Krajan tetap bertahan
meskipun gempuran generasi baru
dan zaman yang terus bergerak
dokumentasi tubuh-tubuh tergeletak

Keadaan berguguran
tak seperti dulu,
sebelum orang-orang sibuk
Memotret ketelanjangan diri sendiri

Kendal, September 2016