Senin, 23 Desember 2019

Agama Air (Kompas.id, 21 Desember 2019)


Agama Air
■cerpen Setia Naka Andrian



Sebelum cahaya hari ini napasnya tersendat-sendat hingga sepenuhnya lenyap di sisi barat kepala jagat, dan sebelum ada pertanyaan-pertanyaan keluar dari mulut para pelayat, “Ia meninggal karena apa? Apakah ia bisa hidup tanpa minum? Ada berapa sungai yang akan diwariskan kepada kita?”
Sebelum semua itu bergulir. Bolehlah aku bercerita tentang kisah yang sempat menyangkut dalam hari-hari masa kecilku.
Sore hari. Hampir serupa dengan waktu kali ini. Pun sama di Sungai Blorong ini. Aku ingat betul, sore itu kakek tiba-tiba menghampiriku. Saat itu aku sedang duduk sendirian, selepas mandi di sungai bersama tiga orang teman sekampung. Salah seorang perempuan, dua sisanya laki-laki yang tak lebih tampan dariku (masa kecil). Tentu pembaca bisa sedikit punya bayangan. Meski tak sepenuhnya gamblang.
Aku melamun, menatapi sungai jernih, tepinya berpasir. Persis seperti bibir pantai. Bahkan semasa kecil itu, aku sering bilang kepada ibuku, saat hendak izin main ke sungai, aku selalu bilang, “Ibu, aku ke pantai dulu.” Kali pertama ibuku kaget dan bertanya, “Hah, pantai mana? Sama siapa? Pantai itu jauh. Kau tidak boleh ke sana sendirian. Tidak boleh pula ke sana hanya dengan ketiga temanmu itu yang masih kecil-kecil. Kau bisa hilang. Kau bisa dimakan ikan raksasa.”
Begitulah ibuku. Termakan kisah-kisah miring tentang Sungai Blorong. Sungguh menyakitkan jika diresapi kala itu, saat masih masa awal di bangku SD itu. Meski jika sekarang, aku sadar. Itu semua karena kasih sayang tak terhingga sepanjang masa. Seperti yang tertanam dalam lagu yang moncer di telinga kita sebagai anak sejati seorang ibu itu.
Mari kita kembali ke bibir pantai (imajinasi) masa kecilku itu. Di pasir-pasir yang tak putih itu, aku melamun jauh. Melihat sumur-sumur kecil yang kekal ke dalam. Jika aku ingat-ingat, diameternya kisaran tujuh jengkal jari tanganku kala itu. Sumur yang berdinding anyaman bambu-bambu. Air di dalamnya sangat jernih. Melampaui jernihnya air sungai. Sejernih air mineral yang kita temukan saat ini. Sungguh. Dulu, siapa saja sering minum langsung air itu, meski hanya disaring dengan sarung atau kain apa saja.
Sekarang kita kembali pada bagian saat kakek hadir mengagetkanku. Ia menepuk pundak kecilku. Sontak aku kaget. Lamunanku kala itu terpecah-belah. Meski jika diminta untuk mengingatnya sekarang, dan diminta untuk mengisahkannya, sungguh aku sangat kesulitan. Seperti apa lamunanku kala itu.
Yang pasti, aku hanya ingat, kakek bilang kepadaku, “Kau jangan berlama-lama di sungai ini sendirian. Apa lagi teman-teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap.”
“Memang teman-temanku sudah pulang, Kek. Namun lihat perempuan-perempuan itu. Mereka masih mandi. Masih mencuci pakaian. Masih menimba air. Memasukkan air-air sungai ke sumur, menggunakan tengadah tangan-tangannya.”
Dengan sambil menjelajah pandangan menyisir semua sumur-sumur di tepi sungai itu, kakek dengan keras menyeretku, “Ayo lekas pulang! Sudah tidak ada siapa-siapa di sini!”
Sampai sekarang, aku masih berupaya keras untuk menangkap maksud beberapa perkataan kakekku kala itu. Namun bagaimana lagi, saat aku hendak berjuang keras menangkap maksud kata-kata itu, saat aku tersadar betapa pentingnya mengungkap, sungguh sangat disayang, kakek sudah tiada. Akhirnya, aku hanya bertanya-tanya pada diri sendiri, kepada segala sisa debu dalam jarum-jarum jam di rumahku.
Namun izinkan aku melanjutkan apa adanya cerita ini, hingga sepenuhnya usai.
Selepas sampai di rumah, kakek masih memarahiku dengan perkataan-perkataan yang masih senada seperti saat di sungai tadi. Hanya dengan rupa improvisasi secukupnya. “Kau jangan berlama-lama di sungai itu sendirian. Apa lagi teman-teman seusiamu sudah pergi pulang semua. Lihat langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap. Kenapa kau tak lekas pulang? Sudah tidak ada siapa-siapa di sungai itu!”
Aku tak menjawab apa-apa. Karena saat itu, aku menganggap kakek sedang tidak wajar. Tidak seperti kakek biasanya. Ia sangat aneh. Matanya sedang tak beres. Kakek tak melihat apa yang aku lihat di sungai. Ya, melihat perempuan-perempuan di sungai itu. Yang hadir sesaat selepas ketiga temanku pergi pulang duluan. Pasti selalu begitu. Hari itu saat kakek menjemputku pun begitu. Aku selalu asyik, tenang, dan sangat damai saat memandangi mereka saat mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya. Lebih-lebih mereka melakukan segala itu tanpa bercakap-cakap. Suasana begitu sunyi, hanya gemericik air yang tebentur batu-batu, pohon-pohon atau tumbuhan-tumbuhan menjalar yang melambai di sungai. Perempuan-perempuan itu hanya saling bertatap mata dengan nyala yang sangat teduh, dan bertatap senyum sangat lembut dengan perempuan lainnya. Pun saat aku di situ, mereka sangat menyambutku, dengan tatapan matanya yang sangat teduh, dengan tatapan senyumnya yang sangat lembut.
Sesaat setelah kakek meredakan kata-katanya, dan seperti sangat menunggu ada beberapa kata terucap dari mulutku, aku pun menghempaskan tangannya yang memegangi tanganku. Aku lari ke kamar. Kakek pun membiarkanku. Lalu aku melompat dari jendela. Lari sekencang-kencangnya. Melewati kebun-kebun di sebelah rumah. Menerobos tanah-tanah kosong yang hanya dipenuhi alang-alang dan rerumputan liar yang tingginya melampaui tubuhku.
Aku nampak kelelahan. Keringat mengucur sekujur tubuhku. Tidak seperti biasanya. Meski memang, biasanya aku menuju ke sungai tak pernah lari seperti sekarang ini. Biasanya pun tidak ada tragedi jemput paksa dari kakek.
Dan, hujan tiba-tiba turun dengan sangat lebat. Ini tidak seperti biasanya pula. Sungguh. Atau jangan-jangan, ada benarnya apa yang dikatakan kakek. Bahwa katanya, langit sudah nampak tak beres. Sebentar lagi akan turun hujan. Napas cahayanya juga sudah tersendat, sebentar lagi hari akan sangat gelap. Kau bisa hilang, disembunyikan gelap.
Ah, aku tak boleh takut. Aku ingat, kata kakek di lain kesempatan, “Anak laki-laki tak boleh penakut! Harus siap menghadapi berbagai kemungkinan. Bahkan terhadap segala kemungkinan yang sangat tidak kita inginkan sekalipun, yang sangat menyakitkan sekalipun!”
Itu kata kakek. Sangat membantuku kala itu. Sangat memompa energi tersendiri bagi keberanianku sebagai seorang anak kecil yang masih ingusan. Akhirnya aku pun terus lari sekencang-kencangnya. Sungai menjadi tujuan utama yang harus kutunaikan hari itu. Karena bagaimanapun, aku laki-laki. Dan aku tak mau meninggalkan segala sesuatu yang belum tuntas. Aku tak mau pergi dari sungai sebelum semua orang pergi. Seperti biasanya. Aku tak mau seorangpun menjemputku paksa untuk mengakhiri perjumpaanku dengan sungai, dengan sumur-sumur itu, dengan perempuan-perempuan itu. Termasuk oleh kakekku sendiri. Aku tak mau. Semuanya harus tuntas. Tanpa sisa. Harus selesai. Harus kuakhiri saat semua orang pergi meninggalkan sungai. Aku akan pulang selepas perempuan-perempuan itu meninggalkan sungai!
Begitu kiranya yang aku rasakan saat itu. Sungguh sok heroik. Namun, apa adanya begitu yang aku rasakan saat itu.
Mari kita lanjutkan ceritanya saat itu. Aku berharap, pembaca jangan marah-marah, jangan sinis, dan mohon menahan segala umpatan, jangan ditumpahkan sembarangan. Sekadar saran, alangkah baiknya, seduhlah kopi terlebih dahulu. Lalu lanjutkan kembali membaca cerita ini.
Tibalah aku di sungai. Aku harus bersusah payah menjemputnya kembali, atas ulah jemputan paksa dari kakekku. Aku melangkah turun ke sungai. Sekitar tiga puluh langkah kaki anak-anak untuk tiba di dasar sungai, di pasir-pasir tepi aliran sungai, yang didapati perempuan-perempuan mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Langkah kaki kecilku kala itu cukup kesusahan, menapaki satu persatu anak tangga dari tanah, menuju ke dasar sungai. Hujan masih lebat. Langit hampir gelap. Napas cahayanya sudah sangat terengah-engah, sebentar lagi akan meninggalkanku, tak lagi menerangiku di sungai.
Namun segala itu kulupakan begitu saja, saat aku masih melihat perempuan-perempuan itu masih dalam aktivitas yang sama. Aku sungguh bahagia. Aku bisa menunaikan perjumpaanku dengan mereka, hingga mereka benar-benar usai dan meninggalkan sungai. Sungguh, bahagianya aku saat itu. Mereka masih dalam posisi yang sama. Tiada yang berkurang sedikitpun. Tidak bergerak dari posisi semula saat aku masih di sungai, saat aku belum dijemput paksa oleh kakekku. Meski hari telah hujan lebat. Langit sudah semakin gelap. Namun mereka tetap mandi, tetap mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Hujan masih mengguyur lebat. Aku pelan-pelan mendekati mereka. Menggerakkan langkah pelan untuk mendekat. Semakin dekat, dan dekat. Sesampai pada jarak lima langkah kaki kepada mereka, aku berhenti. Aku menatap mereka dari belakang. Hujan semakin lebat. Mereka tiba-tiba bersamaan menoleh kepadaku. Dengan tatapan tajam yang aneh. Tidak seperti biasanya. Semakin tajam tatapannya. Mulutnya nampak bengis mengutukku. Sungguh. Ini tak seperti yang kudapatkan pada hari-hari biasanya. Sambutan mereka kepadaku tak seperti biasanya. Tiada lagi tatapan matanya yang sangat teduh. Tiada lagi tatapan senyumnya yang sangat lembut.
Berangsur-angsur mereka semua pergi meninggalkan sungai. Dengan langkah kepergian yang tak seperti biasanya. Mereka melangkahkan kaki menjauh dariku. Tubuhnya bergerak ke depan, namun kepalanya tak sedikit pun memutar sesuai gerak tubuhnya. Kepala mereka semua masih terus menghadapku. Matanya menatapku dengan sangat tajam dan aneh. Mulutnya pun nampak sangat bengis. Tubuhku gemetar tak karuan. Mereka terus melangkah jauh meninggalkanku. Berjalan jauh dari tepi sungai, naik ke atas, melawan arus sungai. Hingga sepenuhnya mereka lenyap di tikungan sungai. Aku merasa sangat kacau. Tubuh terguncang. Aku semakin tak sanggup mengendalikan diri.
***

Ada yang menepuk pundakku. Dan bangunlah tubuhku, bangunlah jiwaku. Aku berdiri pelan, sambil menata tubuh dan jiwaku sendiri. Pelan-pelan mata kuarahkan kepada siapa yang telah menepuk pundakku, saat tertidur. Ternyata bukan kakekku. Ia nampak seperti seorang pemungut sampah. Selepas mataku membuka penuh, sungguh aku kaget. Aku berdiri di tempat yang aneh. Namun aku sangat mengenali. Ini sungai. Ya, benar. Ini sungai yang setiap hari aku kunjungi. Aku berjumpa dengan perempuan-perempuan mandi, mencuci pakaian, dan menimba air dimasukkan ke dalam sumur-sumur itu menggunakan tengadah tangannya.
Aku sangat ingat, dan sangat hafal. Namun ini ada yang berubah, semuanya sangat beda. Sungai tak lagi berair lagi, tak lagi berpasir lagi. Sumur-sumur itu telah penuh dengan sampah-sampah. Perempuan-perempuan itu telah tiada. Orang-orang kampung berdiri di atas bantaran sungai. Di tangan kanan mereka, digenggam ember dengan erat-erat. Mata mereka menatapku dengan sangat lemah.***

Kendal-Pati, Juni 2019

Catatan:
Sungai Blorong merupakan sebuah sungai yang ada di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Sungai yang diyakini warga setempat sebagai sungai yang dihuni Nyi Blorong. Sungai yang berkelok, seperti kelokan jalan ular raksasa yang dilewati oleh Nyi Blorong.

Puisi Setia Naka Andrian (Buletin Tanpa Batas, Agustus 2019)



Bunga yang Tumbuh dari Perahu
:fa

Bunga, kau mawar yang tumbuh
dari perahu-perahu. Seratus abad
lamanya aku menunggumu. Di tepi
mimpi yang mekar dari ujung telunjuk
yang pernah kau arahkan mengaliri
sepanjang garis telapak tanganmu.
Mengalir, mengalir, dan menganakpanah,
hingga sekarang, ketika kau tumbuh
dewasa.

Lihatlah bunga, jarimu telah menemukan
putaran roda dalam doa yang mengatasnamakan
mataku kepadamu. Sungguh, kau melampaui
kebaikan-kebaikan yang mengabadikan
peristiwa.

Bunga, tahukah kau, kini kau semacam
tanah airku. Sungguh, kau tiba-tiba menjadi
ruang angkasa. Apa lagi semenjak orang-orang
telah yakin jika tubuhmu terbuat dari pahala.
Setiap pagi, kau semakin tumbuh dari doa-doa
yang ramah mengatasnamakan manusia.
Sebagai umat yang memburu garis tangan,
yang belum tentu disepakati bersama-sama.

Sanggar Gema, Juli 2014


Takdir yang Mempertemukan Kita
:fa

Begitulah takdir, mempertemukan kita
dari perjalanan dan penghianatan-penghianatan.
Ia yang membawa kita menelusuri jejak dan
luka-luka. Ia yang mengajak kita berjabat cerita
dengan nasib dan kemanusiaan. Ia yang mengajari,
bagaimana kita menjadi hujan, angin, laut dan
berakhir menjadi malapetaka yang paling bijaksana.
Hingga kita tak sempat berburuk sangka.
Begitulah takdir, yang kelak akan menanyakan
kepada kita. Takdir menanyakan banyak hal
kepada kita. Di depan dada kita, dan kita tak
menjawab apa-apa, kecuali saling mencium kening
di antara kita. Lalu kita meletakkannya pelan-pelan,
tepat di bawah kaki ibu-ibu pejalan kaki yang selalu
menyebut-nyebut nama kita dalam setiap doa dan
ramalan buruk yang paling bijaksana.

Sanggar Gema, Juli 2014


Seberapa Perempuan Kau Mempercayaiku
:fa

Sayang, seberapa perempuan kau mempercayaiku.
Apakah kau sadar, jika saat ini telah tercipta jalan
layang di antara perasaan kita. Bahkan kita masih
begitu kuat untuk mengingat bagaimana cara lilin
menyalakan rindunya yang begitu panjang dalam
dada kita. Waktu itu, ketika kau dan aku masih
sempat mengumpat air mata tetangga kita. Ketika
kebahagiaan sedang malas bersuara kepada
kebencian yang masih selalu berpaling muka
dengan kerelaan.
Bayangkan saja, kaki dan tangan mereka
telah malas membaca matematika dan segala
teka-teki yang muncul setelah pesta kepergian.
Dan aku cukup heran, sedang kemarin, kita cukup
meragukan bagaimana panjang jabat tangan dan
suara yang sempat menyimpan pesan sepanjang
rumah. Lalu dada kita malas mendewasakan
barang sepenggal ciuman. Tentunya kau masih
ingat, bukankah kita juga ada karena berpuluh jam
menunggu saat rumah kita diselamatkan berkepung
doa yang tak tahu dari mana asal luapannya?

Bilik Kunang-kunang, Juli 2014


Perasaan yang Menjadi Dinding Rumah
:fa

Sayang, percayalah, kelak perasaan kita
akan menjadi dinding rumah yang paling
mekar setiap harinya. Lihatlah, dada kita
sudah mahir berjabat cerita. Udara yang
dikeluarkannya telah menjadi cahaya paling
ramah. Mengawali setiap ucapannya dari
persoalan-persoalan kecil yang sering
dilupakan orang-orang. Bahkan, kita selalu
berusaha menyelesaikannya dengan hanya
mengingat bagaimana kesedihan telah mahir
menipu kita.
Bayangkan saja, dada kita selalu berusaha
menahan bagaimana kecemasan yang selalu
mengawali keyakinan kita. Dada kita telah mahir
bagaimana membacakan doa dan bagaimana
mengutuk dosa. Dan sepertinya, mereka telah
menemukan jawaban dari beragam pertanyaan
yang dulu sempat kita perdebatkan. Saat itu, kau
tak begitu pandai menyembunyikan rahasia
seperti sekarang. Kau melakukan semuanya
kepadaku, termasuk kesedihanmu yang selalu
kau luapkan dengan rindu.

Bilik Kunang-kunang, Juli 2014


Jika Benar Kau Turun

Jika benar kau turun sebagai pedang,
maka doakan aku sebagai penjara.
Lalu bebaskan aku dengan pura-pura.
Namun jika kau turun sebagai kota,
berilah aku risalah mengenai sebuah
desa yang pernah kita telusuri bersama.
Ketika kita masih sama-sama mencari
tahu bagaimana perasaan orang-orang
yang membenci kenangan dan bagaimana
kebencian mengatasnamakan dirinya.
Kepada air mata orang-orang itu, dan
seberapa jauh kita menaruh penyesalan.
Sebagai kata terakhir yang pernah kita
ibaratkan bersama-sama pada sebuah
rumah yang saat itu sedang dipertaruhkan
dengan nama tuhannya masing-masing.

Sanggar Gema, Juli 2014




Minggu, 15 Desember 2019

Catatan Kecil; Kepada Keluarga Coelen


Siapa yang akan mengira, suatu saat kita akan dijatuhkan pada sebuah titik tertentu? Siapa yang dapat meramalkan dengan begitu presisi bagaimana takdir sebuah tubuh? Ya, tentu tak ada yang sanggup. Semua kehendak Tuhan.

Begitu pula, saat saya dan istri dijatuhkan dalam sebuah keluarga yang begitu menerima kami. Sedalam-dalam menyambut begitu baik kehadiran kami. Bahkan telah yakin terhadap kami, sebelum kami hinggap di rumahnya.

Keluarga itu adalah Keluarga Coelen. Jika boleh menyebut, mereka tinggal di Value Island (Pulau Nilai). Nama itu saya ajukan sebagai nama pulau kecil yang begitu tenang dan damai sebagai sebuah daerah hunian. Sebuah pulau kecil yang dikelilingi kanal, dan hanya ada satu jembatan untuk menuju pulau tersebut.

Nama itu saya ajukan saat suatu malam, saya terlibat perbincangan dengan Kang Robert Coelen. Ia mengisahkan tentang sebuah laman yang berisi segala informasi terkait perkembangan dan perencanaan teknologi di sebuah perkampungan kecil di kota tua Leiden itu. Saya diajak untuk melihat laman tersebut, akhirnya saya buka alamatnya melalui laptop saya. Dan, terbukalah dengan otomatis diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Maka nampaklah sebuah nama tampilan laman tersebut, "Pulau Nilai".

Ah, sungguh nama yang menarik. Kami pun berkali-kali menyuarakan nama itu dengan begitu takjub. Lebih-lebih, nama itu merupakan sebuah forum khusus dalam sebuah laman yang hanya bisa diakses oleh warga di kampung itu. Begitu seriusnya sebuah perkampungan kecil itu, bukan? Bahkan suatu malam, Kang Robert sempat berpamitan. Katanya, ia hendak hadir di sebuah forum warga tersebut untuk membahas mengenai teknologi tepat guna yang dapat mengatasi segala wujud alternatif produksi energi. Berat sekali forum warga itu bukan? Entahlah, padahal itu hanya forum warga setempat. Bukan forum yang diselenggarakan oleh sebuah perguruan tinggi atau forum-forum ilmiah lainnya. Bayangkan!

Di Keluarga Coelen tersebut, sejak awal sebelum kami jumpa, segalanya seakan tumbuh dalam segala keyakinan yang begitu mekar. Di antara kami saling yakin. Berkait-paut. Bahkan saya sendiri seperti tak habis pikir, masih ada keluarga yang seperti itu. Menyambut dengan baik, menganggap kami, saya dan istri saya sebagai keluarga. Penuh, serupa anak sendiri.

Ya, kami beruntung bisa dikenalkan dengan Keluarga Coelen tersebut. Tak lain berkat kebaikan Mas Sigit Susanto mengenalkan saya dengan Mas Syahril Siddik, selanjutnya Mas Syahril Siddik mengenalkan saya dengan Teh Tuti Coelen. Akhirnya kami tinggal di rumah Keluarga Coelen. Lebur menjadi satu. Terciptalah keutuhan yang saling berpadu. Meski barangkali, kami yang lebih banyak menyerap pelajaran-pelajaran dari keluarga itu. Meski dalam segala hal, bahkan dalam keyakinan, kami sangat beda.

Namun bukankah segala perbedaan itu jika bertemu, akan semakin menjadi menguatkan segala yang kita miliki dan kita yakini bukan? Dari segala perbedaan itu, kami saling belajar. Dan tentu bukan semakin memudarkan, justru kian menguatkan segala yang kita miliki dan yang kita yakini.

Kiranya dua bulan kami bersama, sejak 16 Oktober 2019 itu. Tinggal dalam satu atap rumah yang begitu hangat. Rumah yang tidak hanya menghalau segala dingin musim yang menampari dari luar saja. Namun, rumah dan seisinya yang utuh menjaga kami dari segala hal yang tak patut kami terima. Dari mulai Teh Tuti dan Kang Robert, serta kedua anaknya begitu baik menyambut serta memelihara benak dan batin kami. Meski sesungguhnya tidak ada ikatan apa pun di antara kami. Sungguh, hampir segalanya kami beda. Barangkali persamaannya hanya satu: kami adalah sama-sama manusia!

Setiap kali makan, kami memasak bersama. Meski sesungguhnya yang kita makan pun akan selalu beda. Ada yang mereka makan, ternyata kami tidak memakannya. Akhirnya, mereka menghormati kami. Bahkan kerap kali sangat menjaga dan lebih mengutamakan makanan kami.

Mereka telah banyak mengenalkan tentang nilai-nilai hidup yang sebelumnya tak pernah kami tahu. Bagaimana menjadi manusia, bagaimana menjadi dewasa, menjadi keluarga, mengelola waktu, mencipta mimpi-mimpi, dan tak sedikit tawaran-tawaran dalam menghadapi segala hidup yang kian tak karuan ini.

Sungguh, kami terkadang merasa aneh dan bingung sendiri. Betapa baiknya orang-orang asing ini. Betapa pedulinya mereka kepada kami yang sesungguhnya entah dan tak jelas ini. Kadang saya berpikir, apakah ini semua hanya mimpi? Ternyata tidak, ini sungguh nyata. Dan saya merasa ini anugerah yang begitu besar bagi kami.

Ya, seperti yang saya sampaikan tadi. Kami begitu rupa dianggap sebagai keluarga sendiri. Persis, kami seperti anak-anak mereka. Hampir setiap hari istri saya memasak, menyiapkan makanan berasama, belanja bersama, dan hingga tak jarang selalu makan bersama. Baik makan pagi, siang, atau malam. Bahkan saat ulang tahun Kang Robert, kami diajak makan malam bersama dengan kedua anaknya.

Tentu, tak henti-hentinya kami mengucapkan terima kasih sangat. Begitu besar terima kasih kami, dan begitu pula kami mengucapkan maaf yang sama besarnya dengan terima kasih itu. Sebab kami yakin, sebagai "anak", kami pasti selalu diberi banyak kebaikan. Begitu pula, kami pasti selalu berbuat kesalahan.

Ya, selama dua bulan, kami merasa hidup dalam sebuah keluarga sendiri. Mendapat kasih dan sayang serupa keluarga sendiri. Perhatian yang diberikan pun serupa perhatian mereka kepada anak-anaknya. Kami seakan hanyut dalam sebuah ruang dan waktu yang sama sekali tak kami duga sebelumnya. Sebab yang kami pikirkan sebelumnya tak seperti itu. Kami kerap was-was, takut dan segala macam perasaan yang entah. Bagaimana lagi, kami akan tinggal selama dua bulan di sebuah tempat yang sangat jauh. Dan itu kali pertama. Jika boleh bilang, kami tak punya modal apa-apa.

Namun saya seakan lenyap, hanyut dalam keluarga yang begitu hangat itu. Hingga suatu saat, perpisahan pun tiba. Ya, hari itu datang saat saya mencoba menuliskan catatan ini. Hari ini, Sabtu, 14 Desember 2019. Siang hari waktu Belanda, kami harus bergegas pulang ke Tanah Air. Burung besi bernama lengkap Qatar Airways akan mengantarkan kami kembali kepada kenyataan, ke kampung halaman. Penerbangan terjadwal sore hari. Akhirnya kami pun di antar ke Schiphol International Airport bersama Teh Tuti dan Kang Robert.

Sebelum berangkat menginjakkan kaki keluar rumah, kami pun menyempatkan diri untuk mengucapkan kata pamit. Meski sungguh, terasa berat saya memulai untuk mengucapkannya.

Saya sempat bingung, harus memulai dari mana. Kata-kata pun seakan menutup dirinya rapat-rapat dalam tubuh ini. Mereka seakan enggan keluar. Begitu rapat, sembunyi, dan malas mengucapkan bait-bait perpisahan itu.

Seusai kami sarapan, dan setelah berulang kali saya coba, akhirnya kata-kata itu keluar dengan begitu terbata-bata. Dengan sangat lambat, tak seperti biasanya. Tak selancar kata-kata yang saya tuliskan kali ini, dalam catatan kecil ini.

Kami berucap pamit. Terima kasih sangat atas segala yang diberikan kepada kami, dan mohon maaf atas segala salah atau khilaf yang tentu kerap keluar dari diri kami. Dan, keluarga itu pun menyambut sama seperti kami. Sama-sama terima kasih dan minta maaf. Teh Tuti berucap, "Bawa yang baik-baik dan tinggalkan segala yang buruk."

Kami pun akhirnya saling melepas. Kami diantar menuju Schiphol. Peluk hangat perpisahan, perasaan tak karuan, mata berkaca-kaca seakan hendak tumpah dengan sendirinya. Namun kami pendam dengan pelan pada diri kami masing-masing. Berusaha tabah, namun kami tak bisa. Meski sungguh, kami saling melihat dan merasakan segala itu di antara kami. Dan kami saling berucap serta meyakinkan dalam hati. Bahwa suatu saat, pasti akan jumpa kembali. Kami berucap dan sangat yakin, "Kita adalah keluarga baru. Suatu saat kita pasti akan jumpa kembali. Pasti. Entah di Indonesia, atau di Belanda, atau di belahan dunia sebelah mana pun." Yang pasti, kami tak akan pernah bisa melupakan segala kebaikan-kebaikan yang begitu bernilai di Pulau Nilai itu.

Teh Tuti dan Kang Robert serta seluruh Keluarga Coelen di Pulau Nilai, kami tunggu di Kendal. Kami ajak singgah pula ke Tayu Pati. Menikmati aneka ikan laut dan tentu kopyor yang begitu menggoda itu. Dan, Ustaz Syahril Siddik pun mengamini, saat sama-sama melepas kami di Schiphol yang bertepatan sedang ada aksi Green Peace yang begitu riuh itu. Beliau juga kami tunggu di kampung halaman kami. Suatu saat. Insya Allah.[]

Sabtu, 14 Desember 2019

Pembatas Buku Itu Cendera Kata



Barangkali memang sudah menjadi kebiasaan bagi siapa saja, selepas bepergian akan selalu ditagih oleh-oleh. Diminta cendera mata oleh siapa saja. Sudah, itu pasti. Entah bagi yang serius meminta, menanti, atau yang hanya iseng semata. Atau entah.

Nah, sama halnya dengan lawatan saya ke Negeri Penjajah kali ini, sejak 16 Oktober hingga 14 Desember 2019. Tidak sedikit teman, saudara, kenalan, mantan, atau siapa pun, yang meminta cendera mata itu.

Terus terang, dan bukan berlagak sombong atau bagaimana. Maaf, jika teman saya, kenalan saya, atau saudara saya sedikit dan bisa dihitung dengan jari, pasti sudah saya bawakan apa pun yang diminta. Entah baju, celana, kaos, topi, sepatu, sandal, kaca mata, meja, kursi, almari, atau bahkan calon pasangan pun akan saya bawakan bagi teman-teman yang masih mengidap jomblo akut. Hehe.

Selain itu, lawatan saya ini sangat terbatas. Barangkali tak sesederhana yang terbayangkan. Bahkan terbatas tidak hanya ukuran nominal uang saja, namun waktu dan banyak hal lain. Dan memang, sejak dulu kala, saya paling malas membawakan apa pun. Diminta atau dititipi apa pun yang tentunya segala itu di luar kerja lawatan saya. Jika itu masih terkait dalam lingkaran kerja kreatif, bisa jadi saya masih akan membantu. Itu pun jika kerja lawatan saya sudah aman.

Sering saya diumpat, dicibir, atau apa pun di sekitar itu, sebab tak bisa memenuhi. Dan barangkali saya akan dianggap egois, tidak tahu diri, tidak mau membantu, dan lainnya di sekitar itu. Tolong dan maaf, barangkali Anda tak tahu kondisi yang sesungguhnya dihadapi. Bagaimana kaki-kaki dan tangan-tangan saya, mata saya, telinga saya, mulut dan hidung saya bergerak dalam kerja lawatan ini. Bagaimana tubuh yang selalu berperang dengan musim yang durjana dan lainnya. Ya, barangkali dikira semua enak, nyaman, melenggangkan tubuh di tanah residensi sebagai turis bergelimang kemewahan. Tidak, sungguh, tidak sesederhana itu, Kawan! Suatu saat akan saya kisahkan satu-satu.

Ini lawatan saya kali ketiga, jika diukur sebagai sebuah kerja kreatif yang cukup lama dan jauh. Kali pertama saat hinggapi Kelantan Malaysia, lalu sebulan di Polewali Mandar Sulawesi Barat, dan kali ketiga ini selama dua bulan di Leiden Belanda. Bahkan saat menjalani itu semua, istri saya pun tidak saya beri oleh-oleh apa pun. Duh!

Tentu saya juga ingin belajar adil, satu tidak, ya yang lain tidak. Satu sama, ya yang lain sama. Maka sudah, saat ini saya menciptakan sebuah Cindera Kata. Itu berwujud pembatas buku, memuat sebuah puisi saya dan foto atas lukisan yang saya ambil dari Rijksmuseum Amsterdam.

Ya, puisi itu berjudul "Amsterdam Kemarin". Salah satu puisi yang saya tulis saat menjalani residensi, kerja lawatan di Negeri Penjajah ini. Dan, puisi itu tak lain merupakan salah satu puisi yang bakal masuk dalam buku terbaru saya. Judul buku dan penerbitnya, masih dirahasiakan. Nanti saat yang tepat, pasti akan saya kabarkan.

Ya, begitu sederhananya. Maaf, dan sungguh maaf bagi siapa pun yang kerap mengharap serta memohon segala itu. Sungguh, bukan maksud apa-apa. Jika Anda termasuk yang mau memperoleh Cindera Kata itu, boleh mampir atau temui saya. Selama persediaan masih ada, pasti saya berikan.

Memang, awalnya saya berniat mencipta Cindera Kata berupa buku. Namun segala itu urung, selepas ada tawaran dari sebuah penerbit yang hendak mengapresiasi karya saya. Tentu selepas saya pulang dari residensi ini. Selepas berembuk dan melewati pertimbangan cukup panjang dengan penerbit, maka terputuskanlah jalan baik itu. Cindera Kata tidak lagi sebuah buku, namun sebuah pembatas buku.

Ya, begitulah. Terkadang segala sesuatu tak semulus yang kita rencanakan. Semua bisa berubah. Yang pasti, segala oleh-oleh itu tak jauh-jauh dari kata. Mau bagaimana lagi, hanya itu yang bisa saya berikan. Tidak bisa lebih. Jika hendak minta lebih, mohon maaf, jangan minta kepada saya. Minta saja kepada Pak Jokowi, biar dikasih bonus sepeda sekalian deh!

Dan, jika hendak minta lebih dari itu, bolehlah Anda mengapresiasi buku terbaru saya itu. Bagaimana mau minta gratis pula? Ah, sepertinya maaf juga. Dan sudah cukup sering pula kiranya saya merelakan buku-buku saya untuk digratiskan kepada tidak sedikit orang. Bahkan jika dibanding dengan yang saya jual, tidak akan pernah menutup dengan yang saya gratiskan. Bolehlah bagi Anda yang sempat saya beri salah satu atau dua buku saya secara cuma-cuma, acungkan jari dalam hati saja. Dan bolehlah pula jika ada relawan yang hendak menghitung berapa jumlah orang dan buku yang diterima itu.

Masak sih mau terus-terusan begitu? Bolehlah disimak sejenak bagaimana kerja penerbitan itu. Ada proses panjang di balik terciptanya sebuah buku. Dari mulai proses penulisnya, penyuntingannya, perwajahan dan tata letak isi bukunya, proses cetaknya, dan lain-lain. Ada kerja panjang dan tentu sangat lengang. Akan mulai kapan dan dari mana kita menghargai sebuah kerja kreatif?[]

Minggu, 08 Desember 2019

Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 8 Desember 2019)




Menunggu Ujian

Aku bertanya kepadamu,
“Kau tidak takut dengan ujian?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Kita tunggu saja di sini.”
“Ujian sedang di mana?”
"Di hari yang jauh sana
ujian sedang bersama banyak berita."

Lalu kita sepakat menunggu,
Mencoba tenang,
menyambut dengan matang

Tengadah tangan terbuka lebar
Mata berkedip dengan pelan
Sesekali kita bertatapan

Namun, ujian tak kunjung datang

"Kenapa lama ya?
Apakah ujian malas jalan kaki?"
--tanyaku kepadamu
"Tidak. Ia serupa sepeda."
"Berarti ia punya banyak roda?"
"Tidak. Ia memiliki sayap."
"Apakah ia sepeda bersayap?"
"Tidak. Ia tak suka terbang."

Ujian belum juga datang.
Kita masih setia menunggu.

Tengadah tangan kita masih terbuka lebar
Mata pun berkedip dengan pelan
Sesekali kita bertatapan

Dan tiba-tiba, dari ujung tikungan sana
banyak jawaban bermunculan
Datang seperti pasukan tanpa aba-aba,
Sontak mereka mengelilingi kita

Dan kita sama-sama kaget
--mata kita berkedip dengan kencang

Aku kemudian bertanya kepadamu,
"Bukankah kita menunggu ujian?"

Namun kau hanya diam
Kemudian, salah seorang jawaban
mendekat
Mulutnya nyaris menempel di telingaku,
Ia berbisik,
"Ujian kewalahan
menghadapi berita harian.
Ia sedang lelah dan malas
mengunjungi siapa-siapa.”

Kau masih saja diam
Hanya mata kita saja
yang masih saling bertatapan
Dan berkedip dengan sangat kencang

Seorang jawaban lain mendekat,
Ia berbisik di telingaku,
“Lekaslah pulang. Kau harus segera
mencipta banyak soal."

Leiden, November 2019


Tumbuh dari Mesin Waktu

Hari ini, aku tumbuh
dari mesin waktu
Yang diciptakan dari debu
dan batu-batu

Hari ini, aku tumbuh
dari mesin waktu
Di antara orang-orang berpetualang
memungut diri mereka sendiri
yang tercecer di jalan-jalan

Hari ini, aku tumbuh
dari mesin waktu
Di antara produksi musim
yang telah menyayat
ratusan tahun yang beku

Hari ini, aku tumbuh
dari mesin waktu
Di antara kertas-kertas tua
yang bermekaran
di jalan-jalan tak berujung itu

Hari ini, aku seperti
tak lagi tumbuh
dari mesin waktu
Lalu aku menyangka,
segalanya hadir begitu saja
Namun ternyata,
Segalanya telah melumpuhkan
segenap sejarah
yang diam-diam mengakar di kepalaku

Leiden, November 2019

Kamis, 07 November 2019

Tiga Minggu Sudah di Leiden



Hari Rabu, 6 November 2019 tak terasa telah menginjakkan kaki dalam benak dan batin saya. Ternyata memang selalu benar, waktu begitu cepat menggelinding. Seperti yang ditulis Afrizal Malna dalam puisi Abad Yang Berlari, Dunia berlari, dunia berlari. Seribu manusia dipacu tak habis mengejar.

Seakan kerja waktu begitu rupa melampaui segala jenis putaran apa pun di jagat ini. Terus bergerak, tak pernah mau berhenti. Meski saya sempat yakin, hanya fotografer saja yang mampu sejenak menghentikan waktu. Bersamanya, kita sering diajak menyeberangi lautan detik-detik, kemudian singgah sejenak di masa lalu. Yang terkadang begitu asing dan lampau.

Dan, sudah tiga minggu saja kiranya tubuh ini hinggap di Leiden. Ya, tepat pada Rabu 16 Oktober 2019 yang lalu, saya tiba di tanah residensi ini. Burung besi Qatar Airways itu yang telah membawa tubuhku dari Jakarta hingga mendarat dengan baik di Schiphol International Airport, Belanda. Nama bandara yang begitu saya ingat, atas penegasan Joss Wibisono dalam pesan singkatnya saat masa persiapan residensi saya: Schiphol bukan Schipol (yang katanya kerap ditulis oleh orang-orang Indonesia).

Ya, Schiphol, dengan dua huruf h. Sebuah bandara yang kerap disebut ada di Amsterdam. Dalam keterangan di pemesanan tiket penerbangan pun begitu, tertulis Amsterdam. Dan menurut Joss Wibisono pula, itu Schiphol, bukan Amsterdam. Sebab Schiphol itu terletak di antara Amsterdam dan Leiden. Jarak Schiphol ke Amsterdam berkisar 15 kilometer, begitu pula sama jaraknya jika menuju ke Leiden.

Sesaat selepas saya tiba di Schiphol, saya dijemput oleh Teh Tuti. Ibu kos yang baik hati, yang telah cukup membantu saya dalam berbagai kebutuhan saya di Leiden. Perempuan kelahiran Bandung yang telah menikah dengan orang Belanda, dan selanjutnya menetap di Leiden. Kami sudah saling berkirim pesan sejak saya masih disibukkan diri dalam persiapan residensi. Tak lama kemudian, saya bergerak bersama Teh Tuti menggunakan sebuah mobil yang dikendarainya.

Mobil melaju cukup kencang menuju Waardeiland Leiden, tempat tinggal saya selama dua bulan residensi. Ya, dalam kecepatan sekitar 120 km/jam. Atau bahkan lebih. Namun dalam kendaraan terasa tenang saja. Entah, barangkali karena jenis mobilnya beda dengan yang kerap saya kendarai di Indonesia. Meski saya cukup dikenal sebagai offroder (amatiran), namun kecepatam maksimal di jalanan lapang seringnya maksimal 100 km/jam. Itupun sudah terasa kendaraan bergetar jika melebihi kecepatan itu. Selain jika lebih dari batas kecepatan itu, pasti akan ada navigator yang cubit-cubit perut saya sebelah kiri pula.

Pada hari ini, ada hal yang cukup menengangkan sebenarnya. Ini terkait tempat mukim riset saya. Yakni di Perpustakaan Universitas Leiden (dalam bahasa Belanda: Universiteitsbibliotheek Leiden). Ya, di balik kemanjaan yang ditawarkan UB (sebutan yang akrab di kalangan mahasiswa Universitas Leiden), ternyata ada sesuatu yang membuat begitu deg-degan, sangat khawatir. Bagaimana tidak, tepat pada Selasa kemarin, saya telah meminjam beberapa edisi majalah. Setiap arsip berisi setu tahun terbitan. Lalu saya baca dengan pembacaan cepat, dan saya abadikan bagian yang saya inginkan menggunakan kamera ponsel. Sudah, bertumpuk majalah itu sudah usai saya pinjam. Langsung saya kembalikan.

Dan ternyata, laporan pengembalian buku itu hanya beberapa saja yang tersampaikan. Ada sekitar tujuh laporan pengembalian yang belum tersampaikan. Lalu akhirnya, sudahlah, sambil mencoba melegakan diri, semoga besok sudah beres semua. Sebab saya tahu juga, hari sudah sore. Petugasnya sudah harus istirahat, harus lekas pulang. Saya pun beranjak dari perpustakaan. Bergerak pulang menuju tempat tinggal. Meski sungguh, belum bisa juga menghilangkan rasa takut. Bagaimana tidak, itu majalah lawas. Berbandel-bandel pula! Bayangan saya: bagaimana jika saya harusengganti berbundel-bundel majalah lawas itu. Berapa ratus euro dendanya? Waduh!

Namun ternyata hari berikutnya (Rabu ini), laporan pengembalian peminjaman dalam akun saya masih tetap utuh. Belum bergerak. Padahal ada enam buku yang saya kembalikan pagi hari ini, dalam hitungan beberapa menit saja daftar pinjaman itu telah lenyap. Alias enam buku itu selamat, terkembalikan, hilang dalam daftar peminjaman.

Saya tak habis pikir, kenapa yang saya kembalikan kemarin sore itu belum juga tersampaikan. Dalam akun perpustakaan yang terus saya amati. Saya intai baik melalui ponsel maupun melalui laptop. Namun tetap saja, tak kunjung bergerak.

Ya, apa boleh buat. Akhirnya saya melaporkan segala itu kepada admin perpustakaan. Saya mengirim pesan melalui surat elektronik (e-mail), menuju alamat yang biasanya mengabarkan mengenai beberapa pinjaman pustaka yang siap diambil. Jadi selain ada pemberitahuan dalam laman perpus, juga selalu ada pemberitahuan dalam surat elektronik.

Dan tentu, saya menunggu jawaban itu sambil berdiam diri di perpustakaan, tepatnya di ruang Asian Library. Ruang yang begitu sunyi, meski tak pernah sepi dipenuhi tubuh-tubuh yang fokus dengan kepalanya masing-masing. Khusuk dengan penyelesaian kerjanya masing-masing. Tak ada suara dari mulut. Jika ada, paling hanya bisik-bisik yang begitu lembut.

Dan, alhamdulillah. Tak lama kemudian, ada balasan dalam surat elektronik saya. Begitu cepat responnya. Ini yang awalnya begitu mengagetkan saya. Sungguh, sudah saya rasakan sejak awal mula berhubungan dengan lembaga ini. Benar, tak ada batasan dalam melayani siapa pun. Perlu dicatat: siapa pun! Tidak pandang siapa yang menghubungi. Sungguh tak terbayangkan. Saya sempat berpikir: siapa saya, sudah mengenal saya? Tentu belum dan sama sekali tidak kenal. Namun bagaimana, responnya sungguh sangat cepat. Tidak dalam hitungan hari. Apalagi berbulan-bulan. Yang tentu segala itu pernah saya (kita) alami saat menghadapi birokrasi yang begitu kompleks di Indonesia tercinta.

Meski tidak semua, namun hampir yang saya hadapi begitu. Bahkan sama-sama lembaga pendidikan yang saya hubungi menjelang residensi ini. Yang dari lembaga ini, hanya hitungan jam. Maksimal tiga jam, surat sudah terbalas. Sedangkan bagaimana dengan lembaga pendidikan yang tak akan saya sebutkan namanya itu, yang tak lain adalah sebuah lembaga pendidikan di Indonesia tercinta. Butuh waktu berbulan-bulan. Bahkan saat itu hampir setiap minggu saya menghampiri, menanyakan. Namun apa, sampai detik ini, sampai tulisan ini saya tulis pun, belum ada kabar balasan surat saya. Bayangkan!

Padahal tubuh saya sudah bergerak, sudah menghampiri. Sudah berjumpa tubuh. Saya sowan dengan baik-baik. Akting sedemikian rupa agar tampak lebih sopan dan lain sebagainya. Namun bagaimana, tak ada hasil sama sekali. Saya berpikir: lantas bagaimana jika surat itu hanya dilayangkan melalui surat elekstronik semata? Bagaimana jika pesan itu hanya disampaikan melalui udara atau melalui cahaya (internet)? Yang begitu nyata sudah merelakan diri, tubuh digerakkan dengan begitu disiplinnya setiap minggu saja tak ada hasil, tak ada jawaban. Meski saya sudah turuti untuk berkunjung ke sana, berkunjung lebih ke sana lagi. Sudah ikut untuk naik tangga, turun tangga, lalu naik lagi.

Namun entahlah. Ini sekadar pengisahan kecil, yang tentu saya lalui dengan kaki sendiri. Dengan luapan pikiran dan perasaan yang tidak pinjam. Paling tidak, catatan kecil ini menjadi salah satu 'olahraga kata' di sela-sela menjalani riset selama dua bulan di tanah residensi ini (yang sudah tiga minggu berjalan).

Tentu segala ini akan menjadi penyeimbang saya saat bergerak di antara tumpukan-tumpukan masa lalu yang tersimpan rapi di Belanda, di Negeri Kincir ini. Ya, sebab tak sedikit manuskrip dan segala hal tentang Indonesia ada di sini. Meski, saya sendiri merasa lebih deg-degan daripada persoalan peminjaman pustaka di perpustakaan tadi.

Tentunya segala itu menghantui saya saat berhadapan dengan berderet manuskrip yang telah berusia ratusan tahun. Dengan aksara jawa, dengan berbahasa Jawa kuno, dan belum lagi dengan goresan yang tipis. Bahkan ada pula tulisan bersambung, yang pembacaannya sangat lebih sulit melampaui goresan tangan dokter. Sungguh, sangat butuh kesabaran, kesadaran, serta ketabahan untuk sepenuh lahir dan batin dalam menyelami lembar demi lembar dokumen agung itu.[]