Kamis, 17 Oktober 2019

Ke Eropa, Berkendara Kata (2)

Tak sedikit yang tanya, kenapa bisa lolos program Residensi Penulis Indonesia dari Komite Buku Nasional dan Kemendikbud ini. Seperti apa proposal yang diajukan, dan pertanyaan lain di sekitar itu, semua terkait kelolosan saya mengikuti residensi penulisan di Belanda ini. Ya, saya jawab hampir sama. Dan jawaban awal yang saya lontarkan adalah, saya ini sepertinya hanya beruntung. Tak lebih dari itu. Bahkan mirip keberuntungan saya sebagai orang desa yang bisa pergi ke mana-mana karena mengendarai kata-kata.

Bahkan saat mendaftar pun, saya sama sekali tak yakin. Sebab saya membayangkan dan mendengar, di luar sana banyak sekali para penulis dan sastrawan-sastrawan "sangar" (besar) yang telah mendaftar. Dan saya hanya modal nekat, meski tetap saya sungguh-sungguh dalam prosesnya. Tak jarang saya bertanya sana-sini, konsultasi pula kepada beberapa kawan, terutama yang telah menjalani residensi serupa pada tahun sebelumnya. Semua itu saya simak dengan baik, segala yang tumbuh dari mulut atau dari kata-kata yang bermunculan di layar percakapan WhatsApp.

Mau bagaimana lagi, saat pengumuman siapa saja yang lolos residensi ini pun, saya sungguh kaget. Kaget pertama, nama saya muncul dalam deretan peserta residensi. Kaget kedua, ternyata total pendaftar hingga 437, dan yang lolos hanya 34 (total peserta residensi di dalam dan luar negeri), sedangkan jika yang di luar negeri saja ada 17 peserta. Lalu jika sudah begitu, apalagi kalau bukan semata-mata karena keberuntungan? Sungguh, tak lebih dari itu.

Bahkan dalam mendaftarkan diri, ini kali pertama bagi saya. Dan alhamdulillah langsung terkabulkan. Sungguh sangat tak saya sangka. Jika boleh saya menengok residensi penulisan di daerah 3T yang saya ikuti beberapa bulan yang lalu itu, saya telah mendaftar kedua kalinya. Barulah selepas pendaftaran kedua saya bisa lolos. Tahun 2018 saya mendaftar, namun tak lolos. Awalnya pun, saat mendaftar residensi ke luar negeri ini saya sempat berpikiran ini salah satu ikhtiar untuk ikut, yang utama ikut dulu. Pikir saya kala itu, daripada tidak ikut sama sekali. Setidaknya, ada ikhtiar yang patut dicatat.

Dan ada hal lain yang saya kira cukup penting serta perlu diperhatikan dalam mendaftar residensi ini. Bahkan ini pun sesungguhnya warisan dari kawan baik saya, yang telah lolos tahun lalu pada residensi serupa yang sedang saya jalani ini. Ya, kawan baik saya yang mohon maaf tak saya sebutkan namanya. Namun bolehlah jika suatu saat ingin lebih tahu, mari kita ngopi bersama, ngobrol lebih jauh, dan tentunya jika diizinkan oleh kawan saya itu, maka akan saya sampaikan siapa nama kawan baik tersebut.

Beberapa hal ini tentu agak berasa di luar ketentuan-ketentuan umum dan khusus yang diterbitkan oleh panitia. Beberapa hal tersebut di antaranya, yang pertama, proposal yang kita ajukan haruslah jelas, ingin melakukan apa, di mana, kenapa memilih itu, memilih tempat atau kota itu dan kenapa tidak yang lainnya. Lalu yang kedua, segala itu tentu yang berkait-paut dengan apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Terkait dengan proses kreatif (penulisan karya) yang telah kita lakukan sebelumnya. Yang ketiga,  ini sesungguhnya yang paling penting. Meski kerap ini dianggap klise. Adalah doa kuat.

Kiranya itu, sebab dalam pengajuan proposal itu tak begitu panjang. Dan proposal itu pun hanya diterima panitia melalui pengisian dalam Google Formulir. Jadi, tak panjang-panjang. Tentu harus singkat, padat, dan jelas. Ini juga juga sama, bisa dianggap klise lagi rupanya.

Alhamdulillah, selepas melewati perjalanan di udara yang cukup panjang, tibalah saya di Schiphol International Airport Amsterdam Belanda. Pada Rabu, 16 Oktober 2019 pukul 13.45 waktu di Amsterdam, pesawat yang saya tunggangi mendarat. Sangat melelahkan. Sebab sebelumnya perjalanan dari Jakarta menuju Doha Qatar selama 8,5 jam. Setelah itu transit di Doha Qatar selama 18 jam. Untungnya bisa menjalani City Tour di negeri kaya Qatar selama 3 jam. Lalu ada Sleeping Room gratis bagi para pelancong yang mengikuti City Tour di Qatar.

Kemudian saya harus menunggu hingga pagi, bermalam hanya tidur sejenak-sejenak dan waktu subuh (waktu setempat) saya bangun dan berkemas untuk penerbangan selanjutnya. Selama sekitar 7 jam perjalanan dari Doha Qatar menuju Amsterdam Belanda. 

Ya, begitu melelahkan. Namun saat mendarat di tanah residensi ini, mata saya berkaca-kaca. Kembali lagi saya resapi, sangat tak terbayangkan bagi saya untuk menginjakkan kaki di jagat kincir angin ini. Bismillah. Semoga kerja residensi penulisan selama dua bulan ini berjalan lancar. Sangat diharap doa dari semua pihak. Dan tentu, terima kasih sangat untuk program Residensi Penulis Indonesia 2019 yang telah membawa saya ke Belanda. Terima kasih Beasiswa Unggulan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Komite Buku Nasional, Universitas PGRI Semarang, Jarak Dekat Kendal, serta berbagai pihak yang tak bisa saya sebut satu-satu. Salam.[]

Ke Eropa, Berkendara Kata (1)


Sama sekali tak saya sangka sebelumnya. Sungguh, bahwa kata-kata menjadi kendaraan utama yang mengantarkan saya hinggap ke mana-mana. Bahkan tahun 2019 ini saja, selepas kata-kata mengantarkan saya untuk melakoni residensi penulisan selama satu bulan di Polewali Mandar Sulawesi Barat, kembali kata-kata memberi kesempatan berpetualang lagi kepada saya. Ya, berkat izin Tuhan, kata-kata membawa saya terbang ke Eropa. Kata-kata mengantarkan saya untuk melakukan residensi selama dua bulan di Leiden dan kota-kota lain di Belanda.

Eropa, dalam benak masa kecil saya adalah benda asing yang sulit saya terka wujud atau rupa lainnya. Kecuali yang terpajang di dinding ruang kelas saya saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) kala itu.

Ya, semua seakan berhenti hanya dalam peta usang kala itu. Dan Belanda, menjadi sebatas kabar masa silam yang begitu berlalu. Barangkali sempat saya benci, ketika tak sedikit orang-orang di sekitar masa kecil saya yang menganggap bahwa Belanda begitu bertaring kepada bangsa Indonesia.

Jika boleh dihitung, dan tentu jika boleh jujur, ini adalah kali kedua pelancongan saya ke luar negeri. Dan kali pertama ya hanya di negeri tetangga semata. Baru setahun lalu pula saya membuat paspor untuk keperluan acara di Kelantan Malaysia, yang tak lain adalah sebuah kegiatan berkait-paut dengan kata-kata pula. Ya, sebuah Konvemsyen Sastra yang dihelat oleh Persatuan Penyair Malaysia dan Kementrian Pendidikan Malaysia kala itu.

Sungguh, segala itu sama sekali tak pernah terbayangkan. Apalagi bagi masa kanak-kanak saya kala itu. Seorang anak lelaki dekil yang tinggal di sebuah desa, tidak dekat dari jalan raya. Bahkan saat SD pun, anak lelaki kurus itu mengenyam pendidikan dasar di sekolah berkategori IDT (Inpres Desa Tertinggal). Saya ingat betul saat di bangku SD tersebut. Itu di SD N Penjalin Kec. Brangsong Kab. Kendal, Jawa Tengah. Di sekolah bercap tertinggal (kala itu), setiap dua kali dalam seminggu siswa-siswanya mendapatkan asupan makanan dan minuman gratis. Saya ingat, jika tidak susu dan lemper ya bubur kacang hijau dan telur puyuh rebus. Itu yang terkadang membuat saya dan teman-teman sangat bahagia. Paling tidak, sedikit meringankan uang jajan kami kala itu. Dan bagi kami, itu semua adalah jajalan yang bisa terbilang cukup mahal. Sebab biasanya kami hanya jajan es lilin dan kerupuk bakar (kerupuk usek) bersambal semata. Atau jajanan-jajanan lain yang sangat tak bergizi.

Jangankan perihal residensi selama beberapa bulan di Belanda, membayangkan naik pesawat saja ya hanya mampu saya imajinasikan sekenanya saat tak sedikit pesawat yang melintasi di atas rumah, di kampung halaman saya. Ya, pesawat terbang (montor mabur: sebutan untuk pesawat).

Dan kini, sejak memasuki gerbang pendidikan tinggi, saya tak jarang mendapat kesempatan untuk melakoni berbagai aktivitas sastra dan kesenian lain. Mengunjungi kota-kota, menghinggapi daerah lain di luar pulau. Alhamdulillah, hingga berujung terus sampai sekarang kerap diberi kesempatan mengendarai kata-kata untuk hinggap ke mana-mana. Dan tentu, segala kerja itu berkait-paut serta bermula dan bermuara dari kata-kata. Jika saya berangkat karena menunggangi kata-kata, sepulang dari keberangkatan itu pun tentu harus membawa cindera kata.

Barangkali jika boleh jujur, sepertinya saya tak akan pernah ke mana-mana, bahkan tak akan pernah sampai ke Eropa, selain tanpa kata-kata. Sederhananya, uang dari mana untuk biaya hidup berbulan-bulan di negeri-negeri schengen yang begitu mahal segalanya ini? Bayangkan saja, untuk menginap saja perbulan sudah menghabiskan uang 8 jutaan. Itu hitungan tiap kepala. Lalu bagaimana jika dua kepala dan seterusnya?

Rabu, 26 Juni 2019

Pembukuan Cerpen dan Kerja Komunitas (Derap Guru, April 2019)


Pembukuan Cerpen dan Kerja Komunitas
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku                  : Kekasih Lautong dan Melati untuk Lin
Penyusun                     : Sulung Pamanggih, dkk.
Penerbit                       : Cantrik Pustaka
Cetakan                       : I, Februari 2017
Tebal                           : xiv + 125 halaman
ISBN                           : 978-602-60963-6-4



Pembukuan kumpulan cerpen terbaik, setidaknya menjadi bukti keberadaan bagi media terbitan semacam majalah, buletin, dan koran. Menjadi upaya pergulatan kepengarangan atas capaian estetika bagi komunitas. Mengukur kualitas karya dari tahun-tahun yang telah berjalan dan terlewat dalam kurun waktu tertentu. Dengan harapan mampu menjadi ikhtiar pengingat, penanda, etos, dan pengukur gerak proses kreatif dalam berkomunitas.
Buku kumpulan cerpen Kekasih Lautong dan Melati untuk Lin karya Sulung Pamanggih, dkk. (Cantrik Pustaka, Februari 2017) menjadi bukti pergolakan gerak komunitas anak muda (mahasiswa) yang menempa diri dalam gerak literasi. Cerpen-cerpen terbaik dikumpulkan selama enam tahun terbitan buletin Keris yang digawangi UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) KIAS Universitas PGRI Semarang, sejak 2010 hingga 2016. Berisi dua belas cerpen dengan tawaran ragam tema, ditulis oleh mahasiswa dengan latar belakang berbeda-beda pula.
Diawali dengan cerpen berjudul Lik Tarbu garapan Sulung Pamanggih, mengisahkan kesetiaan sang suami (Lik Tarbu) dalam merawat istrinya yang lumpuh. Sebuah cerpen dengan bangunan narasi dan dialog yang mengalir pelan, namun masih syarat dengan pergolakan yang menyesaki benak pembaca atas detail pengisahannya.
Terlihat sangat sabar Lik Tarbu menyikat gigi istrinya, membersihkan lubang telinga serta mengusap-usap tubuhnya sampai bersih. (hlm. 1). Konflik muncul dan digiring sedemikian rupa selepas istrinya meninggal. Lik Tarbu, seorang lelaki tua kaya yang gila atas kematian istrinya. Ia seakan tak kuasa menjalani hidup tanpa istrinya yang meninggal saat hamil. Bahkan Lik Tarbu tak pernah mau untuk menikah lagi, meskipun tak sedikit perempuan yang datang hendak melamarnya.
Sudah lima pelamar yang ditolak, padahal mereka bisa dibilang cantik. Ada juga mahasiswi dari kota yang melamarnya, namun Lik Tarbu tetap menolak. (hlm. 10). Dalam cerpen ini, Sulung Pamanggih seolah-olah berupaya menyuguhi pembaca dengan tema sederhana, namun ia pertimbangkan bagaimana cerita itu menjadi berarti bagi pembaca.
S. Prasetyo Utomo, dalam pengantarnya memberikan penguatan bahwasanya dua belas cerpen cenderung pendek secara struktur, tetapi tetaplah memenuhi kesempurnaan unsur-unsurnya. Tema-tema yang diangkat berkisar pada kegelisahan pencarian akan eksistensi manusia yang dibenturkan pada konflik batin untuk memahami pihak lain di luar diri seseorang.
Buku kumpulan cerpen ini pada saat peluncurannya berkesempatan dihadiri dan diulas Agus Noor. Ia menyoroti cerpen Bulan Terlanjur Pecah garapan Khoerul Maftuhah yang dihadirkan dengan ide menarik. Dikisahkan dalam cerita, terdapat seorang perempuan yang tubuhnya menjadi beku ketika musim hujan datang. Kemudian tubuhnya akan pecah, lalu perempuan itu akan memunguti tubuhnya kembali hingga tubuhnya menjadi seperti semula.
Namun, bagi Agus Noor, kisah itu kurang mampu meyakinkan pembaca. Menurutnya, seabsurd apa pun sebuah cerita harus mampu meyakinkan pembaca. Dalam cerita, absurd tidak ditopang dengan argumen-argumen yang mendukung dan membangun peristiwa. Tidak dihadirkan bagaimana yang dialami perempuan itu akibat keturunan, penyakit, dan lainnya. Seyogianya, simbol-simbol yang ditawarkan pun dapat dipertanggung jawabkan.
Terlepas dari segala kekuatan dan kelemahannya itu, setidaknya kehadiran buku ini menjadi sebuah monumen tersendiri bagi dunia literasi kampus dan berupaya merekomendasikan beberapa penulis berbakat untuk berproses di medan juang yang lebih menggetarkan. Baik dalam ajang-ajang festival kepenulisan dan pertarungan penerbitan cerpen di media massa. Setidaknya tidak sedikit penulis dalam buku kumpulan cerpen ini, selepas mereka lulus kuliah telah menorehkan cerpen karyanya di ruang-ruang media lokal maupun nasional.***

─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Minggu, 23 Juni 2019

Makam Nyai Malinda (Suara Merdeka, 23 Juni 2019)


Makam Nyai Malinda
■cerpen Setia Naka Andrian



Malinda, begitulah nama dalam nisan yang selalu basah dengan aroma kembang-kembang. Kerumun orang-orang pun mengantri dari hari ke hari. Sungguh, tak seperti pada umumnya peziarah datang ke makam alim ulama atau kiai. Kali ini nisan yang bertulis Malinda pun ramai pengunjung. Lebih-lebih ketika Ramadan seperti ini.
Para pengunjung juga bukan peziarah pada umumnya. Mereka datang dengan busana yang nyetil, banyak orang menyebut itu gaya you can see. Wow, siapa sebenarnya Malinda? Banyak orang bertanya-tanya seperti itu. Apakah ia dulunya seorang istri kiai besar? Atau mungkin ia seorang pemuka agama yang tersohor pada masanya? Warga kampung sekitar pun dulunya sering memperdebatkan tentang hal itu, namun jarang yang berani angkat bicara berpanjang lebar. Kebanyakan memilih untuk diam. Takut kalau terjadi apa-apa. Maklum karena berurusan dengan makam.
Pengunjung datang dari berbagai kota. Peziarah yang aneh, mengenakan pakaian yang aneh-aneh pula. Tidak wajar sebagai seorang peziarah. Kebanyakan perempuan cantik-cantik dan seksi-seksi yang datang ke makam itu. Mereka menebar aurat. Hingga terkadang membuat para pemuda warga kampung setempat dijadikan sebagai wisata tersendiri, mereka menyebutnya sebagai wisata cuci mata.
Setiap kamis sore para pemuda yang kebanyakan berumur belasan tak ingin ketinggalan untuk berwisata di makam Malinda. Bukan untuk menyaksikan makam Malinda yang biasa-biasa saja itu, makam yang hanya ditandai dengan nisan beton kusam tanpa cat. Tak lain mereka ingin menyaksikan para peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi setiap harinya. Lebih-lebih pada bulan Ramadan seperti ini, benar-benar setiap hari selalu saja banyak peziarahnya. Sehingga membuat para pemuda sangat tak ingin ketinggalan untuk menyaksikan wisata cuci mata itu.
Hal semacam ini telah menjadi tren tersendiri bagi para pemuda setempat. Bahkan ada yang bilang kalau melewatkan satu hari saja, maka akan disebut oleh teman-temannya sebagai pemuda nggak gaul. Mereka tak peduli dengan bulan Ramadan sekalipun. Bagi mereka sore hari yang paling menyenangkan adalah ngabuburit sambil berwisata cuci mata di makam Malinda. Bayangkan saja, wisata cuci mata itu telah menandingi hingar-bingar sebuah konser musik rock kolosal termegah sepanjang abad ini. Sungguh mampu membius mereka sebagai tren tersendiri.
Lama-kelamaan wisata cuci mata itu tercium oleh masyarakat lebih luas. Bahkan kali ini tidak hanya para pemuda yang masih umur belasan saja, namun para om-om pun tak mau ketinggalan. Kali ini semakin ramai saja makam Nyai Malinda, orang-orang menyebutnya begitu. Menambahkan gelar nyai sebelum nama populer Malinda. Sungguh sangat ramai, hingga semua itu telah dijadikan sebagai tambang untuk mengeruk uang bagi warga setempat. Kepala desa pun memberi ijin kepada masayarakat untuk menjadi tukang parkir di makam tersebut, termasuk juga berjualan makanan untuk buka puasa bagi para pengunjung.
Masyarakat setempat pun sepertinya sangat senang, ketika banyak mobil mewah berdatangan dari berbagai kota besar di negeri ini. Para konglomerat pun menyempatkan diri bersama teman-teman seperjuangannya untuk menyaksikan kemegahan wisata cuci mata ini. Wow, sungguh sangat aneh. Sebuah makam menjadi tempat wisata yang begitu ramai, pengunjung setiap harinya semakin bertambah. Ibaratnya, setiap satu pengunjung hari ini akan bercerita setidaknya kepada dua orang untuk berkunjung besok.
Bayangkan saja bila hari ini yang berkunjung dua ratus orang, pasti otomatis besok akan datang empat ratus orang yang berbeda. Bukan main, itu setiap hari pada bulan Ramadan. Kalau seperti ini terus-menerus pasti kelak makam Nyai Malinda ini akan dikelola oleh dinas pariwisata, sebagai sebuah wisata cuci mata yang paling menghebohkan sepanjang abad ini.
Semakin hari komplek pemakaman Nyai Malinda semakin hiruk-pikuk dipadati peziarah. Juga otomatis warga setempat pun memanfaatkan sebagai lapangan kerja, semakin banyak yang menjadi tukang parkir, pedagang, hingga ada beberapa warga yang memiliki modal telah mendirikan penginapan di sekitar komplek pemakaman tersebut.
Sampai-sampai para keluarga peziarah makam lainnya pun kehabisan tempat untuk sekadar membisikkan doa kepada mendiang arwah yang jasadnya diabadikan bertetanggaan dengan makan Nyai Malinda. Lalu ada beberapa warga setempat, termasuk kepala desa beserta para jajaran kabinetnya berniat untuk mengadakan rapat guna mencanangkan penutupan komplek pemakaman tersebut.
Kepala desa sempat menuturkan, jika para keluarga yang memiliki sanak saudara yang di makamkan di komplek pemakaman tersebut dan mereka merasa terganggu dengan adanya wisata cuci mata, maka kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga warga kampung siap untuk membantu pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda tersebut.
Kehendak yang direncanakan oleh kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga warga kampung itu pun semakin terdengar di mana-mana. Para wartawan dari berbagai media masa lokal maupun nasional pun turut andil, setiap hari berduyun-duyun memotreti wisata cuci mata itu. Mereka berdesakan mencari informasi tentang wisata yang paling heboh sepanjang abad ini.
Kini semakin lengkap saja menelusur permukaan hingga ke akar-akar pelosok negeri ini tentang kabar yang menggemparkan mengenai sebuah wisata cuci mata, sebuah tempat wisata yang hiruk-pikuk dengan para peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi setiap harinya. Lebih-lebih pada bulan Ramadan seperti ini, benar-benar setiap hari selalu saja bertambah banyak para peziarahnya.
Sebuah pelosok kampung yang dulunya sepi dan sangat jauh dari keramaian kini telah menjadi pusat wisata yang hiruk-pikuk. Kepala desa beserta para jajaran kabinetnya pun kali ini benar-benar ingin menutup komplek pemakaman tersebut.
Kepala desa juga telah menugaskan para jajaran kabinetnya dan beberapa warga kepercayaan untuk mendatangi para keluarga yang memiliki sanak saudara yang di makamkan di kompek pemakaman tersebut, untuk membicarakan perihal pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda.
Kali ini kepala desa benar-benar semakin mempertegas kehendak tersebut. Atas dukungan para jajaran kabinet serta masyarakatnya, pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda pun semakin hampir terealisasikan.
“Mari kita urus pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda. Agar kampung kita benar-benar menjadi tempat wisata yang besar sepanjang abad ini! Agar kelak menjadi tempat yang bersejarah dan menghasilkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat kita. Sehingga warga kita akan benar-benar makmur dan sejahtera!”
Begitulah ungkap kepala desa dengan sangat lantang di hadapan forum rapat pencanangan penutupan komplek pemakaman dan pembongkaran serta pemindahan jasad-jasad yang diabadikan bertetanggaan dengan makam Nyai Malinda. Semua warga pun setuju dengan apa yang dikatakan oleh kepala desa. Karena memang hal tersebut sudah menjadi kesepakatan dan kehendak bersama.
Mengingat segenap warga pun merasa diuntungkan dengan adanya wisata cuci mata tersebut. Mereka tak mempedulikan apa pun mengenai segala dampak yang akan ditimbulkan dari wisata aneh itu. Walaupun anak-anak mereka yang masih umur belasan menjadi saksi tentang wisata terheboh sepanjang jaman di negeri ini.
Namun ternyata ada sesuatu yang belum terpikirkan oleh kepala desa beserta para jajaran kabinetnya dan juga segenap warga kampung. Yakni tentang penyebab makam Nyai Malinda yang begitu banyak dikunjungi oleh para peziarah. Semua itu terbesit ketika banyak dari wartawan yang menanyakan tentang keganjilan itu kepada para warga.
Namun tak satu pun warga yang mampu menjawabnya. Yang diketahui oleh warga setempat hanya sebatas para peziarah yang cantik-cantik, menor, bahenol dan seksi-seksi yang setiap harinya berkunjung adalah datang dari luar kota. Jadi para peziarah memang bukan dari warga tetangga, bukan pula dari warga setempat.
Mengingat Nyai Malinda sudah meninggal pada puluhan tahun yang lalu, ada yang bilang sudah hampir delapan puluh tahunan. Jadi meninggalnya Nyai Malinda sudah seumur manusia. Sehingga sangat sulit untuk mengetahui asal-usulnya. Juga karena warga setempat menganggap hal itu adalah keramat.
Mereka takut menanyakan sesuatu tentang hal yang terkait dengan orang yang sudah mati, sekalipun harus bertanya kepada para peziarah yang bahenol-bahenol itu. Ditambah lagi warga setempat pun tak ada yang tahu tentang sanak saudara ataupun keluarga dari Nyai Malinda. Entah tak ada yang tahu, atau mungkin ada namun tidak ingin mengungkap, atau bahkan di kampung ada yang benar-benar keluarganya tapi tidak mau diketahui.
Ah, terlalu banyak kemungkinan-kemungkinan yang bermunculan. Namun begitulah, semua menjadi wajar-wajar saja dan standar-standar saja ketika warga setempat tak menggubris hal itu. Bagi warga setempat yang terpenting hanyalah mengeruk duit, ketika wisata cuci mata menjadi ladang untuk mengunduh duit. Sudah, segala jabat cerita selesai ketika bertemu dengan yang namanya duit.
Lalu tiba pada suatu hari warga digegerkan oleh berita dari surat kabar lokal, di situ tertuliskan perihal Nyai Malinda. Bahwa ia merupakan seorang mantan pelacur yang telah tobat. Namun warga setempat kala itu tak mau menerima dan mengampuni segala perbuatannya. Kemudian semua itu berangsur-angsur dan warga tetap tidak mau menerima keberadaan Nyai Malinda.
Hingga akhirnya ia mati karena sakit keras. Setelah beberapa tahun kemudian, tempat pemakaman yang digunakan untuk mengebumikan Nyai Malinda tergusur proyek pembangunan pelebaran jalan. Lalu salah seorang pekerja menemukan jasad yang masih utuh dengan kain kafan yang masih putih dan bersih pula. Jasad itu adalah Nyai Malinda.
Hingga selanjutnya makam Nyai Malinda dijadikan sebagai tempat ziarah bagi para pelacur, sampai saat ini. Karena bagi para pelacur yang berkunjung, berziarah ke makam Nyai Malinda adalah wujud untuk mencari berkah dalam melacur. Ungkap wartawan atas pengakuan seorang nenek tua renta yang ternyata tinggal di kampung tersebut. Seorang sepuh yang dulunya juga sempat mengurus pemindahan jasad Nyai Malinda di komplek pemakaman yang sekarang ini. Ya benar, nenek itu juga seorang mantan pelacur. Ungkap salah seorang wartawan surat kabar lokal setempat.***

Semarang, Desember 2015-2019

Senin, 10 Juni 2019

Bahasa dan Emotikon (Jawa Pos, 9 Juni 2019)


Bahasa dan Emotikon
Oleh Setia Naka Andrian



Seperti apa gerak dan produksi bahasa kita hari ini? Tentu kita begitu mafhum, bagaimana bahasa berjalan menelusuri kampung-kampung, kota, sekolah, perguruan tinggi, pondok pesantren, dan segenap ruang-ruang lain yang sangat memungkinkan penuh dengan laku komunikasi diri terhadap liyan. Dari situ, bahasa bergerak sesuai dengan siapa yang menggunakannya. Bahasa menelusuri gerak zaman yang terus melaju dengan cepat, bersanding dan beriringan dengan perkembangan teknologi informasi.
Jika sejenak menengok bagaimana komunikasi jarak jauh yang diselami pada tahun-tahun lampau sebelum ponsel, komputer dan internet bermekaran. Kita akan mendapati masyarakat berkirim surat dari kota satu dengan kota lain, dari pulau satu dengan pulau lain, atau bahkan dari negara satu dengan negara lain. Surat dikirim melalui kantor pos, penerima menanti berhari-hari dengan sepenuh sabar hingga surat itu mendarat. Kemudian, pengirim menanti kembali balasan surat dengan sangat tabah. Berlarik-larik surat dituliskan. Berlembar-lembar pesan, segala rasa dan emosi ditumpahkan dalam surat.
Selepas itu, hadirlah ponsel, komputer, dan internet. Kita seakan dihadapkan pada sebuah jagat yang tak berjarak, tak terbatas. Segalanya nampak begitu dekat. Kita seakan dengan leluasa dapat berkirim pesan dengan begitu cepat.
Bahkan lagi, semenjak media sosial tumbuh subur di antara kita. Segalanya begitu rupa bertumpah-ruah di mana-mana. Pesan singkat begitu mudah kita layangkan. Belum lagi saat marak grup WhatsApp. Ah, segala yang sesungguhnya tak akan pernah diungkapkan, karena ada grup WhatsApp maka diluncurkanlah, disebarkan. Dikarenakan begitu mudah dan sangat murahnya hitungan pengiriman pesan, maka berselancarlah segala kata dan gambar. Menyesaki mata kita, saat membuka ponsel.
Barangkali, kita ingat bagaimana saat belum ada WhatsApp. Kita akan sangat berhati-hati dan sangat menghitung berapa jumlah huruf yang akan kita kirimkan melalui pesan singkat (SMS) dari ponsel jadul kita. Sebuah alat telekomunikasi yang hanya digunakan untuk mengirim pesan singkat dan panggilan suara (telepon).
Bahkan, saat itu sempat terjadi kecemasan di antara para pemerhati dan pecinta bahasa, yang katanya berdalih akan merusak produksi bahasa! Kata-kata sedemikian rupa disingkat hingga setiap kata menyusut menjadi dua atau tiga huruf. Bahkan saya ingat, saat masih duduk di bangku SMA dulu, di kalangan saya dan teman-teman kala itu marak menggunakan pesan singkat tanpa menggunakan spasi, dengan kata-kata yang sudah disingkat pula dengan dua atau tiga huruf. Bayangkan, itu semua karena menghemat biaya pengiriman pesan singkat dari ponsel!
Lantas bagaimana saat ini, saat segalanya sudah tumpah ruah dan dapat dilakukan melalui ponsel pintar dalam genggaman tangan kita. Kita seakan tak berkutik saat ponsel pintar bertengger dalam timangan jari-jari kita. Saat berkumpul bersama teman, duduk dan ngopi bersama, tentu tak jarang di antara kita justru kerap didapati asyik sendiri dengan ponsel pintar.
Tidak fokus dengan perbincangan dalam pertemuan yang sesungguhnya sudah dijanjikan dan direncanakan itu. Bahkan kita pun seakan tak kuasa dengan godaan-godaan yang muncul dari pemberitahuan dalam setiap aplikasi serta segenap fitur dari ponsel pintar kita. Sudah buka WhatsApp, kemudian buka Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, belum lagi saat tergoda mati-matian dalam rentetan permainan (game). Sudahlah, usai sudah! Dalam lingkaran perjumpaan hanya didapati di antaranya senyum-senyum sendiri, tertawa-tawa sendiri, asyik dengan candaan dalam WhatsApp atau media sosial lainnya.
Dari segenap ilustrasi pengisahan yang tak panjang itu, setidaknya kita dapat menelusuk pelan, bagaimana gerak dan produksi bahasa kita saat ini. Jika sudah pasti, kita cukup dibuat tergesa-gesa dalam setiap langkah komunikasi kita. Setiap ada informasi, tanpa ditimbang matang, langsung saja dilempar, disebar ke seluruh media sosial yang kita miliki. Ya, jika informasi itu benar. Namun jika segala informasi yang kita sebar itu hoax, pasti kita jadi ikut andil pula dalam kerja penyebaran kebohongan. Bayangkan! Semua itu karena kemudahan.
Warganet pun saat ini mudah terbakar atas segala pemberitaan yang digoreng di sana-sini. Siapa saja mudah berkomentar, melepas segala perkataan dengan tanpa filter apa pun. Tidak hanya bergurau, meledek, atau menghina teman. Bahkan kepada presiden pun, mereka begitu leluasa melempar hinaan dan tuduhan-tuduhan. Ujaran-ujaran kebencian pun diproduksi dengan begitu masif, melenggang bergerak ke mana-mana, menampar dan dilempar kepada siapa saja.
Lalu, jika awalnya ada yang gelisah dengan penyingkatan kata-kata, kini tidak lagi berhenti di situ. Pada era media sosial kali ini, kita begitu gandrung untuk setiap saat menatap layar ponsel pintar kita. Komunikasi bergerak dengan cepat, murah, dan sangat mudah. Saat begitu banyaknya media sosial yang kita pegang, akirnya kita seakan dibuat mentah dalam memproduksi bahasa. Dari situ, emotikon menjadi sandaran utama.
Emotikon dikenal akrab dalam KBBI V sebagai sebuah ilustrasi, ikon, atau kelompok karakter pada papan tombol yang menunjukkan ekspresi wajah, sikap, atau emosi, biasa digunakan dalam komunikasi elektronik, media sosial, dan sebagainya. Emotikon seakan tengah meremukkan bahasa komunikasi kita.
Saat zaman surat bergelimang, segala rasa dan emosi tumpah ruah dalam berlarik kata-kata, dalam untaian ukiran tulisan tangan di atas berlembar-lembar kertas. Kini rasa dan emosi yang ditumpahkan dalam kata-kata seakan kian usai. Kita lebih memilih menggunakan emotikon untuk mewakili segala rasa dan emosi kita. Entah dengan menggunakan emotikon senyum, sedih, tertawa kecil, hingga tertawa lebar (besar). Sedikit-sedikit pula kita akan melempar jempol hingga puluhan, saat didapati informasi yang atau segala sesuatu yang istimewa dan membanggakan.
Bisa jadi, produksi emotikon itu karena kita terlalu sibuk, entah atas kesibukan kerja, atau sibuk mengurusi seabrek pemberitahuan dalam media sosial kita. Lalu bisa juga, kita sudah malas memproduksi kata-kata. Atau bahkan, kita sudah jemu menanggapi pesan atau informasi yang dikirim oleh lawan komunikasi kita. Namun setidaknya, produksi bahasa komunikasi kita kian tak bertulang dan menjadi hambar. Tak lagi ditumpahi rasa dan emosi dalam pesan-pesan singkat di ponsel pintar kita.***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Tahun ini ia mengikuti Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemendikbud di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Minggu, 02 Juni 2019

Lapak Baca Bergerak di Mandar (Suara Merdeka, 2 Juni 2019)


Lapak Baca Bergerak di Mandar
Oleh Setia Naka Andrian


Belakangan ini begitu menjamur laku literasi di berbagai daerah. Entah apa sebab, namun pasti segala itu bukan karena Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang digemborkan pemerintah. Para pegiat literasi seakan berasyik masyuk dalam geraknya, meski dalam lingkup lebih kecil, yakni di kampung halamannya masing-masing. Jika di dekat kampung halaman saya, di Kendal Jawa Tengah, ada geliat beberapa ruang (komunitas) yang kerap menjaga napas literasi yang tidak sekadar bergegiatan apa-adanya lalu seusai acara langsung berfoto dengan mengacungkan jari tangan berbentuk “L”.
Misalnya, Komunitas Lerengmedini Boja Kendal dengan salah satu programnya Wakul Pustaka, Pelataran Sastra Kaliwungu Kendal dengan diskusi dan penebitannya, Lapak Baca Ora Niat dengan program lapak jalanannya, Jarak Dekat Kendal dengan program forum Jurasik (Jumat Sore Asik), diskusi-diskusi, serta penerbitan buku-buku indie-nya, Lesbumi Kendal, Sanggar Kejeling dengan perpustaan di kampung Sidomulyo, Lestra Kendal dengan program Hajatan Kebun Sastra.
Mei ini, terhitung sejak 1 Mei 2019 hingga nanti bulan ini usai, saya berkesempatan mengikuti Residensi Sastrawan Berkarta ke Wilayah 3T. Saya ditempatkan di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat. Tentu, bayangan saya sebelum berangkat residensi sudah menerawang jauh bagaimana geliat “Pusataka Bergerak” yang begitu kentara di Sulawesi Barat, khusunya di Polewali Mandar (Polman). Maka tak ambil waktu lama, beberapa hari selepas di Polman, saya langsung memburu beberapa pegiat literasi ‘bergerak’ di sini. Alhasil, berkat koneksi beberapa teman lama serta berkat jaringan internet yang aman, saya lekas dapat menghubungi beberapa pegiat literasi tersebut untuk lekas berjumpa. Sebutlah, di antaranya ada Muhammad Ridwan Alimuddin (Nusa Pustaka), Ramli Rusli (Rumah Pustaka), dan M. Rahmat Muchtar (Uwake’ Culture Foundation).
Suatu hari, saya pagi-pagi mengunjungi Nusa Pustaka. Disambut dengan hangat oleh Ridwan, yang tak lain, ia adalah penulis buku-buku kebaharian. Di antaranya berjudul Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut? (2004), Sandeq: Perahu Tercepat Nusantara (2009), Kabar Dari Laut (2013), Ekspedisi Bumi Mandar (2013), Orang Mandar Orang Laut (2013), dan beberapa judul lain. Bahkan saat ini, ia juga tengah proses penulisan buku tentang perhajian di tanah Mandar.
Pagi hari hingga siang, kami berbincang banyak hal perihal Mandar. Saya begitu terbantu, banyak informasi yang saya dapatkan tentang Mandar. Bagaimana alamnya, budaya, dan manusianya. Dan sore hari, saya berkesempatan untuk diajak melapak bersamanya. Ridwan pada sore itu hendak menuju ke sebuah perkampungan di tepi pantai Desa Pambusuang, Kec. Balanipa, Kab. Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Ia membawa sepeda yang membawa buku-buku bacaan. Buku-buku bacaan anak-anak diangkut dalam tas yang digantungkan di kanan dan kiri boncengan sepedanya. Armada itu ia beri nama “Sepeda Pustaka”. Meski, Ridwan juga kerap melapak dengan menggunakan ATV Pustaka, serta “Perahu Pustaka” yang begitu moncer itu.
Bagi Ridwan, sesungguhnya bukan persoalan minat baca yang kurang bagi anak-anak, khususnya di sebuah perkampungan nelayan yang disinggahinya. Tidak sedikit didapati anak-anak yang berkerumun dan begitu antusias untuk memilih serta meminjam buku yang dibawanya. Begitu sampai tepi pantai (yang tak lain juga didapati para pembuat perahu Sandeq, perahu tercepat Nusantara itu), Ridwan menggelar lapaknya. Buku-buku ditata. Tanpa jeda lama, anak-anak di kampung pantai itu langsung bergegas memilih buku-buku yang dilapaknya. Ya, mereka anak-anak dari para nelayan dan pembuat perahu di tepi pantai itu.

Penuh Ketelatenan
Mereka berdesakan, mengantri, untuk meminjam buku. Mereka pinjam buku itu selama beberapa hari. Ridwan mencatat buku-buku yang mereka pinjam. Jika di antara mereka ada yang tak bisa hadir untuk meminjam, maka orangtua merekalah yang turut serta mengantrikan untuk meminjam buku. Hari lainnya pun, Ridwan akan dikerumuni anak-anak pantai itu. Terus begitu, berkelanjutan. Tiada pernah berkesudahan.
Pegiat lain yang saya jumpai, ialah M. Rahmat Muchtar dan Ramli Rusli. Kedua pegiat ini tak beda dengan apa yang dikerjakan Ridwan. Rahmat menggunakan “Bendi Pustaka” dan Ramli pun menggunakan “Sepeda Pustaka” seperti yang digunakan oleh Ridwan. Mereka sama-sama, menelusuri kampung-kampung di sekitar tempat tinggal mereka. Segala itu mereka kerjakan dengan penuh ketelatenan, kesabaran, dan ketabahan.
Ridwan, Rahmat, dan Ramli, tak jarang harus menyisihkan bahkan mengalahkan segala kebutuhan pribadi demi memanjangkan napas “Pustaka Bergerak” yang mereka kerjakan. Sudah tentu segala itu sangat menyita materi, tenaga, waktu, dan pikiran. Mereka harus berkeliling, menjemput para pembaca di kampung-kampung. Sebab bagi mereka, begitu yang lebih efektif. Anak-anak di jemput, lapak-lapak digelar di jalan-jalan kampung.
Sesungguhnya, mereka pun memiliki perpustakaan yang dikelola secara mandiri. Baik dibangun di dekat rumah atau di dalam rumah para pegiat literasi itu. Bahkan, ada di antara mereka yang rela menggunakan sepetak tanahnya untuk didirikan perpustakaan dan tak membangun rumah di area itu. ***

—Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal, sejak 4 Februari 1989. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku. Kini ia sedang menjalani Residensi Sastrawan Berkarya dari Badan Bahasa di Polewali Mandar Sulawesi Barat.

Minggu, 24 Maret 2019

Jagat Visual pada Musim Politik (Suara Merdeka, 24 Maret 2019)

Jagat Visual pada Musim Politik
Oleh Setia Naka Andrian



Seantero Indonesia sedang hangat membincangkan pemilihan orang-orang nomor satu, dari wakil rakyat daerah hingga presiden dan wakil presiden. Di mana-mana riuh. Tak hanya suara menggedor telinga, mata khalayak pun dipaksa melihat wajah-wajah yang hendak berlaga di panggung pemilu. Wajah yang dipajang di jalan, menggoda sepenuh senyuman, menebar keramahan.
Para pegiat desain komunikasi visual Universitas Selamat Sri (Uniss) Kendal menyambut hal itu, beberapa waktu lalu. Mereka berpameran seni rupa “Ajar Wanter” di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kendal. Instalasi dari bambu tak bercat dan tali rafia begitu rupa menyangga karya mereka, menyulap ruang selayaknya gedung pameran. Siang itu, terselenggara pula obrolan, membincang “Desain Grafis dalam Pusaran Politik”. Pemantik dua dosen muda Uniss, Didung Pamungkas dan Dwi Hantoro, serta Hevy Indah Oktaria dari KPU Kendal. Ada kegelisahan di antara mereka.
Keinginan, impian, niatan untuk turut serta mewujudkan pesta demokrasi yang bersih, aman, dan penuh godaan visual. Bukan sampah visual. Sampah visual setidaknya tak lagi hanya ditempel semena-mena dan tak berizin resmi. Namun sebagai sesuatu yang mampu membuat mata khalayak jemu. Puluhan karya itu begitu menggoda.
Karya bermula dari duplikasi sederhana benda-benda di sekitar kita; sepatu tanpa kaki, botol minuman dalam pangkuan, potret wajah, kehidupan kecil di kampung halaman. Semua itu menggiring, menuju ke keberanian; menggoda siapa pun untuk belajar berani, bersuara, berbuat sesuai dengan kehendak diri dan khalayak. Segenap obrolan dan karya yang dipajang mengajak kita makin memahami kehadiran diri bagi diri sendiri, orang terdekat, dan khalayak lebih ramai. Bagaimana posisi dan tanggung jawab kita untuk menjaga, merawat, dan menyangga pesta penyerahan suara itu?

Tokoh Lama, Tokoh Baru
Kesadaran kolektif hadirin jadi riwayat tersendiri bagi kenyataan yang lewat, yang telah berlalu. Yang kerap menggedor, bahkan melukai mata kita. Benar, segala itu telah jadi santapan sehari-hari. Kita seakan disuguhi segala sesuatu yang sama.
Beragam foto yang dipajang dan dipamerkan, mengintai mata kita. Merekalah tokoh lama yang percaya diri berlaga kembali, sedangkan tokoh baru turut serta ambil gaya. Kita rindu, kapan lagi menemukan tokoh baru yang bermunculan karena laku dan gerak kemaslahatan mereka. Bukan tokoh yang menghadirkan wajah duluan di jalan dengan desain dan editan sedemikian rupa, tanpa kita ketahui seluk-beluk dan takdir dia di hadirat khalayak. Makin hari kita kian rindu tokoh yang hadir di lingkaran publik tanpa kehendak sendiri. Tokoh yang terpanggil, tercipta bersama suara alam, suara Tuhan yang dititipkan pada rakyat. Segala peristiwa dan kegelisahan itu menyadarkan kita, betapa tidak sedikit tokoh dan pemimpin yang selalu ingin tampak di muka.
Kerap berupaya mengendalikan tatapan mata kita, melalui foto program kerja, keberhasilan pemerintahannya. Segalanya dinampakkan melalui gambar dia. Bukan gambar rakyat, bukan figur yang menjalankan program atau sosialisasi yang ditawarkan pemangku kepentingan.
Betapa semua itu hadir begitu saja, berterus-terang, tanpa upaya meraih godaan visual di mata publik. Di forum di tengah pameran, beragam kegelisahan bertumpahruah. Adalah tanggung jawab bersama, tugas besar pegiat desain grafis, untuk memikirkan keberlangsungan gerak visual masyarakat. Sebab, makin hari pemangku kebijakan, para pemimpin, politikus, telah dibentuk dan disiapkan dengan cara apa saja untuk menggapai puncak.
Mereka hadir dengan diri yang seolah-olah, diri yang dipercantik melalui gerak media massa. Diri yang menguasai media massa atau bahkan memiliki media massa. Upaya pegiat desain komunikasi visual itu jadi jawaban tersendiri atas keinginan menjaga, merawat, dan menyangga pesta demokrasi yang sebentar lagi bergulir. Mereka memberanikan diri berbuat, menyumbang, dan memenuhi kesadaran kolektif khalayak. Mereka menyuguhkan, mengajak, menciptakan tatanan yang memberi harapan bagi harkat hidup rakyat. (28)

—Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku.