Sabtu, 29 April 2017

Jalan Tol dan Kematian Kota (Tribun Jateng, 29 April 2017)

Jalan Tol dan Kematian Kota
Oleh Setia Naka Andrian

Selepas peristiwa pembebasan lahan usai, yang didahului dengan tarik-ulur harga tanah, tragedi kecil dengan pemerintahan desa/kelurahan, atau bahkan hingga berdemo menuju pemerintahan tinggi di atasnya. Kita tak jarang akan melihat di warganet, orang-orang mengunggah foto riwayat rumahnya. Dari mulai potret awal ketika rumah didirikan, diperjuangkan dengan bertaruh keringat dari tahun ke tahun, hingga saat terjadi penggusuran akibat proyek pembangunan jalan tol.
Mereka seakan begitu tak rela melepas tanahnya. Berdalih, segala itu warisan leluhur yang tak terkira nilainya, dan patut dipertahankan sampai kapan pun! Namun akhir kata dalam unggahan foto-fotonya, “Biarlah segala ini berakhir. Biar bagaimanapun, semua ini demi suksesnya gerak pembangunan bangsa dan negara!”
Segala itu belum berakhir begitu saja. Tentu akan menyisakan berbagai persoalan baru bagi masyarakat kita. Awal mulanya, harga bangunan dan tanah yang diganti oleh pemerintah terkesan berduit-duit, melimpah-ruah. Ternyata setelah dibelikan lahan baru, kemudian membangun rumah lagi, uang tersebut tidak cukup. Lalu akhirnya, masyarakat lagi yang kelimpungan. Mengadu lagi, mengumpat lagi! Menyalahkan pemerintah lagi!
Belum lagi persoalan baru yang menimpa kota. Tentu ini bukan lagi hal sepele dan dapat dibiarkan begitu saja. Bergelimang pekerjaan rumah yang tidak hanya menyangkut harkat diri perorangan. Namun sudah berdampak pada kelangsungan hidup khalayak dan masa depan kota. Bayangkan saja, misalnya di kota kecil semacam Kendal. Selepas jalan tol Semarang-Batang dibangun, kemudian selanjutnya beroperasi. Apa yang akan terjadi dengan wilayah yang awalnya sebatas kota singgah ini?
Kota yang sebelumnya dimanfaatkan oleh pengguna Jalan Pantura hanya sebatas untuk merebah selepas mengisi bahan bakar di pom bensin, melucuti lelah sejenak di hotel-hotel melati, atau sekadar mencari warung-warung pinggir jalan untuk mengobati perut yang lapar. Segala itu sebatas mampir, tidak lebih! Kota singgah ini pun, sebelumnya seakan tak kuasa memberikan kemanjaan apa-apa. Baik itu untuk memanjakan mata atau bahkan lidah mereka!
Mata para pengendara, pelancong yang lewat tadi seakan semakin tak menemukan sesuatu yang berkesan. Seakan tiada lagi yang terkenang, membuat mereka kelak akan mampir lagi ketika melewati kota ini. Bahkan untuk urusan lidah, yang kita pahami dapat menjadi keutamaan bagi orang-orang bepergian. Siapa pun pasti ingin menjalani wisata kuliner! Sudahkah itu digarap di kota singgah semacam Kendal ini?
Seharusnya segala ini menjadi kegelisahan bersama. Kita harus sadar, kota ini bukan kota tujuan. Selepas jalan tol Semarang-Batang beroperasi, kita akan kejatuhan dampak yang bertubi-tubi. Bisa jadi, kota singgah yang dahulunya hendak bercita-cita menjadi kota tujuan pun akan pupus seketika. Bahkan untuk mempertahankan menjadi kota singgah (lagi) pun harus melalui jalan lebih panjang dan lengang.
Jika tidak segera mengambil tindakan berarti, cepat atau lambat kota ini akan berangsur-angsur mati. Para pengendara, pelancong, turis lokal maupun manca, akan lebih memilih berselancar di jalan tol yang lepas dan bebas hambatan itu. Menuju kota-kota tujuan semacam Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar (Bali). Kota singgah ini tidak akan kebagian apa-apa. Masyarakat kita yang (katanya) telah mendapat berduit-duit dari hasil pembebasan tanah pun seakan mereda. Menikmati kehidupan baru di tempat tinggal baru, dan ‘seolah-olah’ merajut kebahagiaan baru.
Lagi-lagi pemerintah kabupaten/kota (Bupati Kendal) harus segera lepas tindakan. Masyarakat pun wajib membantu. Persoalan ini akan mulus dilalui hanya dengan kerja kolektif. Sudah tentu, sangat perlu mendengar pertimbangan dari tokoh/sesepuh masyarakat, sejarawan, budayawan dan seniman dalam gerak pembangunan yang benar-benar meriwayatkan kearifan kota.
Mau diapakan kota ini, hendak dibawa ke mana, mau disulap menjadi apa, dan lain sebagainya. Sudah seharusnya, tatanan kota pun harus dikemas ulang sedemikian rupa. Merujuk yang sudah disinggung sebelumnya, secara sederhana, kota ini wajib memanjakan mata dan lidah para pelancong! Kedua itu tentu dapat kita jadikan sebagai awal pijakan.
Setelah keduanya selesai, maka kemanjaan hati pun akan dilampaui. Para pelancong akan berkesan, mereka akan terkenang atas kemanjaan-kemanjaan yang dihidangkan di hadapan mata, lidah, dan tentunya di hati. Maka mau tidak mau, kelak mereka akan mengulangi persinggahannya lagi. Akan datang kembali, mengajak orang-orang baru, mengabarkan kepada handai-taulan dan sanak-saudara. Otomatis, pundi-pundi pedagang akan semakin penuh, perekonomian masyarakat kota bergerak melambung tinggi.
Sudah seyogianya perlu dipetakan lagi, mana saja tempat-tempat wisata di Kendal ini yang berpotensi digarap lagi. Terutama wisata alam di kota ini yang sekiranya masih bertenaga untuk memanjakan mata khalayak. Tentu hal ini sebetulnya bukan lagi menjadi sesuatu yang sulit. Tidak sedikit wisata alam di kota ini yang memiliki daya pukau. Ada Curug Sewu, Goa Kiskendo, Pulau Tiban, Pantai Sikucing, dan lainnya. Tentu salah satu tugas saat ini, hanya bagaimana mengelolanya lebih baik lagi. Lihat saja beberapa waktu dekat ini, Sungai Bladon yang terletak di Dusun Krayapan-Brangsong telah membuktikan.
Sungai yang tidak disangka-sangka itu tiba-tiba meledak dibanjiri banyak pengunjung. Masyarakat hilir-mudik, tidak hanya dari dalam kota saja yang berdatangan, namun menyedot ratusan warga dari kota-kota tetangga. Sungai yang terkesan masih asri, bersih, dan cocok untuk digunakan berfoto di balon pelampung yang bisa disewa pelancong. Itu menjadi salah satu bukti atas aset alam yang dimiliki kota ini. Sudah saatnya kota berbenah. Proyek pembangunan tol sudah berjalan. Sebentar lagi akan beroperasi. Seluruh lapisan masyarakat wajib urun rembug, turut andil dalam menciptakan masa depan kota yang lebih baik!***


─Setia Naka Andrian, Dosen UPGRIS, Menulis buku Perayaan Laut dan Remang-Remang Kontemplasi.

Minggu, 09 April 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 9 April 2017)

Zikir Mimpi

Berzikirlah kami,
di tepi sungai
yang tak berair lagi

Berzikirlah kami,
di tepi kening
yang tak bergaris lagi

Berzikirlah kami,
di tepi leher
yang tak berurat lagi

Berzikirlah kami,
di hadapan kampung
yang tak hidup lagi

Bermimpilah kami,
memohon lahir kembali
berkali-kali

Sarang Lilin, April 2017


Libatkan Benak Kami

Libatkan benak kami
Untuk memiliki umurmu
Yang tinggal sisa-sisa ini

Di surga yang sementara
dan semena-mena ini
Kami seakan lama
dipaksa mengembara
di tanah kelahiran sendiri

Lalu seperti apa kemudian hari
Jika segalanya
dilepas dengan tangan kiri

Hutan lebat kami
Daun-daun hijau yang urung tumbuh lagi
Semua kelimpungan, di musim
yang belum rampung ini
Semua hilang sekelebat

Dan di reruntuhan iman ini
Kami pasrahkan bulat-bulat
Kami geletakkan dengan sekarat
Betapa dunia telah memujimu
Menuju kehampaan
yang tak pernah selesai

Lalu kami semakin bimbang,
Jalan mana yang hendak kau tempuh
untuk benak kami yang tak bersisa ini?

Sarang Lilin, April 2017


Pendidikanmu Apa, Kalang

Pendidikanmu apa, Kalang
Kami baru dengar
Dari suara-suara
yang dibentangkan
di pohon-pohon menjalar
di tanah-tanah yang lapang

Pendidikanmu apa, Kalang
Di atas barisan umat-umat bergelengan
Yang mengepalkan tangannya
untuk menembusmu,
melukai jantungmu
yang biasa dipilih untuk ke hadirat

Pendidikanmu apa, Kalang
Didikanmu atas pertimbangan apa
Pandangan masyarakatmu
pandangan apa
Kini, semua seperti luka
yang diputar kembali
di permukaan punggung kami
yang telah terlanjur berlubang-lubang ini

Sarang Lilin, April 2017

Selasa, 21 Maret 2017

Dalang Jemblung (Majalah Kanal, Vol. III, Edisi V, April 2017)

Dalang Jemblung
■cerpen: Setia Naka Andrian

Ki Jemblung, bukanlah dalang yang biasa. Ia dikenal sangat luar biasa. Siapa saja yang datang dalam pertunjukan wayangnya, maka mereka akan kembung hingga berkali-kali kebelet kencing, membawa perut mereka mual hingga akan menciptakan antrian panjang di WC kepunyaan beberapa warga di dekat tempat pertunjukan. Padahal para pengunjung yang menyaksikan pertunjukan wayang Ki Jemblung sama sekali tidak makan atau sekadar memasukkan air putih ke perutnya. Hanya saja Ki Jemblung yang tak henti-hentinya makan makanan lezat dan minum berbagai jenis, masakan serta minuman yang beraneka rupa. Berkali-kali memakan nasi tumpeng setampah beserta lauk ayam bakar, goreng dan bermacam daging lainnya yang beragam hingga habis. Dimakan dengan lahap dan menambah tumpeng lainnya. Jika habis maka tanpa disuruh sinden atau pekerja lainnya menambah tumpeng yang baru dan masih hangat. Entah itu nasi putih setampah atau nasi kuning, berselang-seling.
Sama seperti dalang-dalang pada umumnya, ia memerankan cerita atas adegan-adegan melalui wayang-wayangnya. Tokohnya pun sama dengan yang dipakai oleh kebanyakan dalang, ada Gatutkaca, Werkudara, Janaka, dan lain-lainnya. Ia memerankan laku hidup, cerita-cerita yang sama pula disuguhkan oleh dalang-dalang lainnya. Ki Jemblung pun memerankan adegan makan dan minun yang menggila melalui wayang-wayangnya, ketika sinden mengalun menebarkan suara tingginya. Seperti halnya adegan makan dan minum yang diperankan oleh cerita-cerita wayang lainnya, namun ada yang beda, Ki Jemblung memerankan adegan dengan benar-benar memasukkan makanan serta minuman ke dalam perutnya. Namun ia sama sekali tidak kebelet ingin kencing atau sekadar meludah. Malah para pengunjung yang kembung hingga berkali-kali kebelet kencing, perutnya mual hingga bolak-balik mengantri di WC.
Menurut sejarah yang beredar dan terbibir merata pada kalangan warga setempat, Ki Jemblung dianggap sebagai dalang yang sangat ditakuti. Kehadirannya sangat diperhitungkan oleh masyarakat serta kawan-kawan seperdalangannya. Tubuhnya terlihat masih kekar dengan wajah yang nampak garang, walaupun raut wajahnya telah menunjukkan usia menua.
Banyak yang menganggap kalau Ki Jemblung merupakan dalang yang sangat sakti, mendalami ilmu tertentu yang jarang dan bahkan tidak mungkin dimiliki oleh orang lainnya, termasuk juga teman seperdalangannya. Namun tak ada satu pun warga yang menggubris hal itu, tak ada yang berani mempertanyakan. Mereka takut kepada Ki Jemblung, mereka takut jika Ki Jemblung marah atau melakukan sesuatu hal yang tidak diinginkan hingga menghentikan niatnya untuk mempertunjukkan wayang. Kalau sampai Ki Jemblung marah, maka warga tidak akan pernah lagi mendapatkan pertunjukan plus-plus, plus terhibur dan plus mengisi perut. Karena bagaimanapun dalam pertunjukan wayang Ki Jemblung yang terpenting bagi warga adalah perihal mengisi perut. Jika menonton pertunjukan wayangnya menjadi kenyang, maka rampunglah pertanyaan-pertanyaan miring menyangkut hal lain mengenai Ki Jemblung yang aneh dan luar biasa itu.
Namun memang pertunjukan wayang Ki Jemblung sangat menarik dan selalu update dengan berbagai masalah sosial, politik dan budaya yang sedang panas di kalangan masyarakat, bangsa dan negeri tercinta ini. Ki Jemblung juga lihai menyajikan pertunjukan wayang dengan balutan humor yang khas, meskipun sesungguhnya garapan yang diangkat adalah masalah-masalah yang cukup berat. Termasuk mengenai perbenturan agama, perbedaan pandangan antaragama, hingga masalah-masalah perhelatan politik hingga korupsi, mengenai Gayus dan rekan-rekan senasibnya.
Setiap kali ada kabar tentang pertunjukan wayang Ki Jemblung, selalu saja menarik perhatian masyarakat luas. Para pengunjung berdesakan memadati area pertunjukan yang digelar di lapangan yang sudah ditata sedemikian rupa sebagai tempat pertunjukan wayang. Area yang cukup luas, dengan atap jerami kering dan penyangga bambu yang cukup kuat menahan panas serta hujan. Tempat yang cukup sederhana dan khas, namun semua itu benar-benar mampu melebihi dan menandingi keberadaan gedung-gedung pertunjukan yang megah. Lebih mengena dan memahami kebutuhan masyarakat, sebuah tempat pertunjukan yang tidak memungut sepeserpun uang, namun malah mampu mengenyangkan dan menyangga kebutuhan perut siapa saja yang hadir. Bahkan hingga menarik perhatian bagi warga luar kota hingga luar daerah yang memaksa untuk ikut berbondong-bondong menyaksikan pertunjukan yang digegerkan oleh Ki Jemblung setiap malamnya. Hingga benar-benar pagi para penonton rela menyaksikan, rela untuk menunda bahkan menghentikan aktivitas yang hendak dilakukan pagi harinya. Bahkan anak-anak usia sekolah pun menunda sekolah di pagi harinya, banyak di antaranya yang harus benar-benar tidak berangkat sekolah. Juga para orangtua yang rela berdesakan dan satu malam penuh melupakan segalanya. Hingga pasangan suami-istri, kawula muda yang berpasang-pasangan rela menghentikan aktivitas cintanya. Semua dilakukan demi menyaksikan pertunjukan wayang dari Ki Jemblung. Malah ada yang lebih parah, di antaranya banyak yang meninggalkan pengajian umum yang biasa diselenggarakan di desa setempat, bila jadwalnya berbenturan dengan pertunjukan wayang itu. Warga lebih memilih untuk tidak hadir pengajian dan mengutamakan untuk berbondong-bondong datang menyaksikan aksi dari Ki Jemblung.
“Lebih baik menyaksikan wayang Ki Jemblung, lebih nyata, tidak seperti dalam pengajian yang hanya akan mengantuk dengan suguhan-suguhan tidak masuk akal dan tidak langsung terealisasikan apa yang dibicarakan. Jika membicarakan perihal dunya, tidak langsung mendapatkan uang. Malah kemungkinan tidak pernah akan mendapatkan. Namun beda jika dalam pertunjukan Ki Jemblung, kita akan langsung nyata dan saat itu juga mendapatkan apa yang dibutuhkan dalam hidup, tentang urusan makan dan minum yang lezat-lezat akan langsung terealisasikan secara cepat serta benar-benar merata. Tidak seperti omong kosong yang biasa digembor-gemborkan oleh para calon pemimpin yang hendak menguasai warga,” ungkap salah seorang penggila Ki Jemblung yang membakar warga lainnya, hingga meluas kemana-mana.
***

“Perntunjukan wayang dari Ki Jemblung menjadi salah satu aktivitas yang sangat disayangkan untuk dilewatkan oleh warga, hingga kehadirannya mengalahkan segalanya. Semakin lama dan jika dibiarkan saja, pertunjukan tersebut semakin membabibuta dan bisa-bisa akan menjadi masalah besar,” ungkap salah seorang pejabat desa. Karena banyak warga yang mengusulkan dan meminta kepada Ki Jemblung untuk menggelar pertunjukan wayangnya setiap malam. Warga ingin mendapatkan kekenyangan setiap hari, mendapat penyelesaian kebutuhan perut setiap malam. Jelas semua itu akan menjadi masalah besar. Ketika ditakutkan bila warga akan benar-benar meninggalkan segala aktivitasnya dalam hidup, termasuk meninggalkan kebutuhan beragama, bertuhan, hingga permasalahan kehidupan dan penghidupan lainnya. Maka ada beberapa kalangan yang kurang sepakat dan sangat terganggu. Memicu para pelaksana pengajian serta kepala desa dan seluruh jajaran kabinetnya untuk menyingkirkan Ki Jemblung dari peredaran. Mereka takut bila semakin lama Ki Jemblung akan dituhankan dan setidaknya dimungkinkan melahirkan ajaran/ agama baru pada kalangan warga. Meracuni masyarakat untuk menuhankan pertunjukan wayang Ki Jemblung dan secara tidak langsung akan menggiring mereka memberhalakan Ki Jemblung. Bahwa Ki Jemblung lah yang mampu memenuhi kebutuhan kehidupan dan penghidupan mereka, secara nyata menyelesaikan berbagai permasalahan yang sangat pelik di mata warga setempat. Karena bagaimanapun warga setempat kebanyakan sangat miskin. Juga terkenal malas-malas untuk bekerja. Maka kehadiran Ki Jemblung menjadi penyelesaian tersendiri di mata warga. Menyelesaikan masalah warga perihal berkehidupan dan berpenghidupan.
“Lebih baik menyaksikan wayang Ki Jemblung, lebih nyata, tidak seperti di pengajian yang hanya akan mengantuk dengan suguhan-suguhan tidak masuk akal dan tidak langsung terealisasikan apa yang dibicarakan. Jika membicarakan perihal dunya, tidak langsung mendapatkan uang. Malah kemungkinan tidak pernah akan mendapatkan. Namun beda jika dalam pertunjukan Ki Jemblung, kita akan langsung nyata dan saat itu pula mendapatkan apa yang dibutuhkan dalam hidup, tentang urusan makan dan minum yang lezat-lezat akan langsung terealisasikan secara nyata serta benar-benar merata. Tidak seperti omong kosong yang biasa digembor-gemborkan oleh para calon pemimpin yang hendak menguasai warga, tentang gemboran kesejahteraan dan lain-lainnya yang hanya gombal semata,” ungkap salah seorang penggila Ki Jemblung yang membakar warga lainnya, hingga semakin meluas dan merata kemana-mana.
Sungguh semakin menggila. Warga semakin yakin kalau Ki Jemblung adalah segalanya. Warga datang tidak hanya ingin menyaksikan pertunjukan wayang serta ingin menimba ilmu sosial, berkehidupan, beragama dan bertuhan saja. Namun kedatangan mereka yang paling utama adalah ingin mencari kenyang. Maklum, warga setempat secara perekonomian bisa dibilang termasuk kalangan bawah ke bawahnya lagi. Sehingga tak heran jika pertunjukan Ki Jemlung menjadi hal utama, syarat pokok untuk memperpanjang sambung napas bagi warga setempat yang memang serba kesulitan untuk memperoleh makan. Karena secara garis besar pekerjaan warga setempat hanya sebagai buruh tani dan kuli bangunan yang tak menentu kapan kerja serta kapan mendapatkan imbalan.
Warga semakin meninggalkan segalanya. Urusan kehidupan dan penghidupan lainnya semakin ditinggalkan dan benar-benar mandeg. Para pelaksana pengajian serta kepala desa dan seluruh jajaran kabinetnya ingin menghentikan peredaran Ki Jemblung. Banyak cara yang sudah dilakukan. Namun karena masyarakat sudah sangat akut teracuni virus pertunjukan wayang dari Ki Jemblung, maka semua itu terdengar hanya sia-sia belaka. Segala yang dilakukan tidak membuahkan hasil untuk penghentian peredaran Ki Jemblung, karena seluruh warga memberontak keras. Warga tidak sepakat atas kebijakan kepala desa beserta para jajaran kabinetnya, ketika ingin menghentikan peredaran pertunjukan Ki Jemblung. Para pengelola pengajian pun semakin putus asa, tak mampu berbuat apa-apa. Warga semakin tergila-gila dengan Ki Jemblung, dan pertunjukan pun akhirnya berlangsung setiap malam dalam setiap harinya.
***

Entah ilmu apa yang didalami oleh Ki Jemblung. Menurut sejarah yang terbibir pada kalangan warga setempat, Ki Jemblung merupakan orang sepuh yang hidup seorang diri. Ia tidak menikah serta tak jelas sanak-saudaranya. Ki Jemblung tinggal seorang diri di rumah tua yang cukup terpencil dan berjarak lumayan jauh dengan rumah-rumah yang lainnya. Tempat tinggalnya dikelilingi kebun pisang dan disebelah kanannya terdapat sungai pengairan sawah. Awalnya tempat itu dianggap tak berpenghuni, bangunan tua yang berdiri tegak tinggi semacam bangunan sisa Belanda. Namun sebenarnya itu asli bangunan yang dibuat oleh orang Jawa, karena terbukti masih ada corak bangunan yang sama dengan rumah-rumah warga setempat pada umumnya. Hanya saja rumah yang ditempati Ki Jemblung dibuat kira-kira lebih tinggi satu meter ketimbang bangunan-bangunan lainnya.
Pada mulanya rumah tua yang akrab disebut sebagai museum wayang oleh warga setempat itu memang benar-benar dimiliki oleh seseorang pengembang kebudayaan. Khususnya budaya Jawa, dialah Ki Jemblung. Sang pemilik rumah tua yang didapati ukiran-ukiran penanda corak kebudayaan Jawa dalam setiap guratan-guratan dan lekuk ukirannya. Namun banyak pula warga yang menganggap tempat itu keramat. Bila malam nampak menakutkan, hampir setiap warga yang melewati tempat itu terganggu oleh suara aneh-aneh yang membuat merinding. Itu semua diketahui oleh warga sudah sejak lama.
Namun semenjak Ki Jemblung membaur dan menyelenggarakan pentunjukan wayangnya, warga tidak lagi merasa rumah tua itu menakutkan. Hingga kini, pertunjukan terus bergulir berangsur-angsur setiap malam, bertahun-tahun dan turun-temurun. Kepala desa beserta para jajaran kabinetnya tidak henti-hentinya mencoba melenyapkan peredaran pertunjukan Ki Jemblung. Namun segala yang dilakukan selalu saja tidak membuahkan hasil. Warga semakin mengila memberontak jika terusik. Ki Jemblung masih dengan lantang menggemborkan pertunjukannya setiap malam. Para pengelola pengajian pun semakin putus asa. Masih seperti hari-hari yang lainnya, tak mampu berbuat apa-apa. Berdoa dan terus tanpa mengeja.



Sanggargema, November 2015

Kamis, 09 Maret 2017

Kampus Bukan 'Menara Taring' (Derap Guru, Maret 2017)

Kampus Bukan 'Menara Taring'
Oleh Setia Naka Andrian

Seperti apa sesungguhnya kampus yang diidamkan mahasiswa masa kini? Tentu semua tak dapat disamakan atau dipukul rata dengan masa lalu. Misal saja, dulu mahasiswa bimbingan skripsi dengan susah payah menggunakan mesin ketik manual, sedangkan saat ini sangat nyaman menggunakan laptop bermerek dan tentu berharga mahal. Jika dulu setiap salah harus mengetik berulang-ulang dengan kertas yang berbeda hingga menumpuk kertas-kertas yang salah, namun kini dengan sangat mudah mengklik “delete” dengan file tersimpat dan kemudian mencetak lagi dengan kertas baru.
Barang tentu, hal tersebut akan memberi ‘sedikit’ perbedaan ketangguhan yang dialami akademisi masa lalu dengan akademisi masa kini. Melalui tempaan yang begitu keras, dilakukan berulang-ulang, maka ilmu akan sangat membekas dan kuat tertanam dalam diri. Seharusnya dengan segala kemudahan dan perkembangan teknologi saat ini, akan mampu menciptakan generasi yang lebih unggul. Jika generasi kita mampu memanfaatkan segala kelebihan-kelebihannya. Termasuk terkait teknologi yang tentu tidak ditemukan pada masa lalu. Tinggal bagaimana sikapnya memuliakan gelimang kecanggihan tersebut, karena informasi dan segalanya sudah dengan sangat mudah didapatkan.
Tentu kita yakin, jika mahasiswa, masyarakat akademis yang berproses di kampus, memiliki cita-cita mulia untuk memajukan dirinya dalam tugas sebagai manusia terdidik. Hal tersebut sejalan dengan yang dipaparkan Satmoko (1999) bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa (untuk media berpikir dan berkomunikasi) sehingga mampu mencipta, belajar, bekerja, berproduksi, membedakan antara baik-buruk, beriman dengan yang gaib, menahan nafsu yang liar, memiliki kodrat, berusaha mengejar cita-cita idealnya, membina hubungan sosial dengan orang lain, hidup bermasyarakat dan berusaha menguasai sumber daya alam.

Perlakuan Lain
Maka sudah sepatutnya, ada perlakuan lain. Tindakan beda kepada mahasiswa dalam aktivitas pemerolehan ilmu di kampus. Harus ada upaya lain dalam pengelolaannya antara siswa dengan ‘maha’ siswa. Barang tentu mahasiswa sudah sepantasnya mendapat wilayah luas dalam pengembangan dirinya. Sudah saatnya mahasiswa mampu mencipta, belajar, bekerja, berproduksi, membedakan antara baik-buruk. Lalu tugas pengajar/dosennya bagaimana? Haruskah benak mahasiswa di kampus masih beranggapan sebagai gedung-gedung yang seram?
Tentu, mahasiswa, generasi perubahan bangsa ini sangat mengidamkan kampus yang segar, bergairah dan sangat anak muda. Lingkungan yang akan membuat mereka lebih leluasa dalam berpendidikan dan mengembangkan diri. Mengingat, posisi usia mahasiswa sangatlah perlu dipompa semaksimal dan seoptimal mungkin untuk menggapai segala angan dan cita-cita. Kita juga tentu tidak ingin, melihat lebih banyak lagi persoalan-persoalan yang bergelimang dalam dunia anak muda masa kini. Misalnya terkait kenakalan-kenakalannya, gaya hidup yang terlalu bebas, bahkan hingga menuju tindak kriminalitas.
Sepertinya kita perlu kembali memutar ingatan menuju pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang begitu mulia menjadi pijakan pendidikan di negeri ini. Konsep-konsep yang diberikannya tentu tidak kalah dengan pemikiran dan teori pendidikan modern yang berkembang hingga saat ini. Barang tentu sudah sangat kita ketahui, bahwa Ki Hadjar Dewantara jauh lebih dulu mengenalkan konsep Tri-Nga dari Taxonomy Bloom (cognitive, affective, psychomotor) yang kita ketahui sangat terkenal itu. Konsep tersebut di antaranya Ngerti (kognitif), Ngrasa (afektif) dan Nglakoni (psikomotorik).
Belum lagi konsep belajar yang selayaknya taman, proses pembelajaran yang menyenangkan. Melakoni dan menyelesaikan segala sesuatu dengan pemecahan bersama melalui perbincangan-perbincangan yang menyenangkan. Jika sudah seperti itu, tentu kita pelan-pelan akan sedikit menyingkirkan wabah penyakit dari gerakan teroris dan faham-faham radikalisme lainnya yang saat-saat ini begitu berkembang pesat di negeri ini, tidak sedikit pula yang bermunculan dan mengakar begitu kuat di kampus-kampus.
Tentu pemerintah dan lembaga-lembaga terkait termasuk kampus, tidak boleh gegabah. Jangan sampai timbul aktivitas latah akibat ada niatan besar untuk pencapaian program secara cepat dan instan. Pendidikan nasionalisme memang sangat penting dan sangat perlu. Namun, segala itu tidak dapat begitu saja dilakukan dengan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Segala itu membutuhkan proses. Membutuhkan perjalanan dan perlakuan pelan melalui pembiasaan aktivitas-aktivitas yang sehat.
Sudah saatnya kita memberikan kebebasan sepenuhnya bagi mahasiswa untuk berekspresi positif. Seluas-luasnya. Jangan sampai kampus menetapkan larangan-larangan yang terkesan menyudutkan mahasiswa atau seolah-olah memposisikan mahasiswa sebagai manusia yang selalu salah. Tentu kita sejenak harus sedikit merenungkan, bahwa sejatinya mahasiswa adalah ujung kemuliaan siswa. Mereka pada posisi atas. Beri kesempatan yang paling atas untuk mengembangkan posisi mulianya sebagai masyarakat akademis.
Seperti halnya yang disampaikan Prayitno (2009) pemuliaan kemanusiaan manusia dalam kehidupan sehari-hari nampak melalui aktualisasi dimensi-dimensi kemanusiaannya. Di antaranya dimensi kefitrahan, keindividulanan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan. Jika penampilan kelima dimensi kemanusiaan tersebut sudah benar-benar tertanam, maka setidaknya mahasiswa akan merasa lebih dimuliakan lebih dari kemuliaannya. Selanjutnya, potensi-potensi baru pun akan mengaliri lautan akademis kita. Kampus bukan lagi menjadi ‘menara taring’ bagi mereka. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.