Kamis, 09 Maret 2017

Kampus Bukan 'Menara Taring' (Derap Guru, Maret 2017)

Kampus Bukan 'Menara Taring'
Oleh Setia Naka Andrian

Seperti apa sesungguhnya kampus yang diidamkan mahasiswa masa kini? Tentu semua tak dapat disamakan atau dipukul rata dengan masa lalu. Misal saja, dulu mahasiswa bimbingan skripsi dengan susah payah menggunakan mesin ketik manual, sedangkan saat ini sangat nyaman menggunakan laptop bermerek dan tentu berharga mahal. Jika dulu setiap salah harus mengetik berulang-ulang dengan kertas yang berbeda hingga menumpuk kertas-kertas yang salah, namun kini dengan sangat mudah mengklik “delete” dengan file tersimpat dan kemudian mencetak lagi dengan kertas baru.
Barang tentu, hal tersebut akan memberi ‘sedikit’ perbedaan ketangguhan yang dialami akademisi masa lalu dengan akademisi masa kini. Melalui tempaan yang begitu keras, dilakukan berulang-ulang, maka ilmu akan sangat membekas dan kuat tertanam dalam diri. Seharusnya dengan segala kemudahan dan perkembangan teknologi saat ini, akan mampu menciptakan generasi yang lebih unggul. Jika generasi kita mampu memanfaatkan segala kelebihan-kelebihannya. Termasuk terkait teknologi yang tentu tidak ditemukan pada masa lalu. Tinggal bagaimana sikapnya memuliakan gelimang kecanggihan tersebut, karena informasi dan segalanya sudah dengan sangat mudah didapatkan.
Tentu kita yakin, jika mahasiswa, masyarakat akademis yang berproses di kampus, memiliki cita-cita mulia untuk memajukan dirinya dalam tugas sebagai manusia terdidik. Hal tersebut sejalan dengan yang dipaparkan Satmoko (1999) bahwa manusia sebagai makhluk sosial yang berbahasa (untuk media berpikir dan berkomunikasi) sehingga mampu mencipta, belajar, bekerja, berproduksi, membedakan antara baik-buruk, beriman dengan yang gaib, menahan nafsu yang liar, memiliki kodrat, berusaha mengejar cita-cita idealnya, membina hubungan sosial dengan orang lain, hidup bermasyarakat dan berusaha menguasai sumber daya alam.

Perlakuan Lain
Maka sudah sepatutnya, ada perlakuan lain. Tindakan beda kepada mahasiswa dalam aktivitas pemerolehan ilmu di kampus. Harus ada upaya lain dalam pengelolaannya antara siswa dengan ‘maha’ siswa. Barang tentu mahasiswa sudah sepantasnya mendapat wilayah luas dalam pengembangan dirinya. Sudah saatnya mahasiswa mampu mencipta, belajar, bekerja, berproduksi, membedakan antara baik-buruk. Lalu tugas pengajar/dosennya bagaimana? Haruskah benak mahasiswa di kampus masih beranggapan sebagai gedung-gedung yang seram?
Tentu, mahasiswa, generasi perubahan bangsa ini sangat mengidamkan kampus yang segar, bergairah dan sangat anak muda. Lingkungan yang akan membuat mereka lebih leluasa dalam berpendidikan dan mengembangkan diri. Mengingat, posisi usia mahasiswa sangatlah perlu dipompa semaksimal dan seoptimal mungkin untuk menggapai segala angan dan cita-cita. Kita juga tentu tidak ingin, melihat lebih banyak lagi persoalan-persoalan yang bergelimang dalam dunia anak muda masa kini. Misalnya terkait kenakalan-kenakalannya, gaya hidup yang terlalu bebas, bahkan hingga menuju tindak kriminalitas.
Sepertinya kita perlu kembali memutar ingatan menuju pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang begitu mulia menjadi pijakan pendidikan di negeri ini. Konsep-konsep yang diberikannya tentu tidak kalah dengan pemikiran dan teori pendidikan modern yang berkembang hingga saat ini. Barang tentu sudah sangat kita ketahui, bahwa Ki Hadjar Dewantara jauh lebih dulu mengenalkan konsep Tri-Nga dari Taxonomy Bloom (cognitive, affective, psychomotor) yang kita ketahui sangat terkenal itu. Konsep tersebut di antaranya Ngerti (kognitif), Ngrasa (afektif) dan Nglakoni (psikomotorik).
Belum lagi konsep belajar yang selayaknya taman, proses pembelajaran yang menyenangkan. Melakoni dan menyelesaikan segala sesuatu dengan pemecahan bersama melalui perbincangan-perbincangan yang menyenangkan. Jika sudah seperti itu, tentu kita pelan-pelan akan sedikit menyingkirkan wabah penyakit dari gerakan teroris dan faham-faham radikalisme lainnya yang saat-saat ini begitu berkembang pesat di negeri ini, tidak sedikit pula yang bermunculan dan mengakar begitu kuat di kampus-kampus.
Tentu pemerintah dan lembaga-lembaga terkait termasuk kampus, tidak boleh gegabah. Jangan sampai timbul aktivitas latah akibat ada niatan besar untuk pencapaian program secara cepat dan instan. Pendidikan nasionalisme memang sangat penting dan sangat perlu. Namun, segala itu tidak dapat begitu saja dilakukan dengan mudah seperti halnya membalikkan telapak tangan. Segala itu membutuhkan proses. Membutuhkan perjalanan dan perlakuan pelan melalui pembiasaan aktivitas-aktivitas yang sehat.
Sudah saatnya kita memberikan kebebasan sepenuhnya bagi mahasiswa untuk berekspresi positif. Seluas-luasnya. Jangan sampai kampus menetapkan larangan-larangan yang terkesan menyudutkan mahasiswa atau seolah-olah memposisikan mahasiswa sebagai manusia yang selalu salah. Tentu kita sejenak harus sedikit merenungkan, bahwa sejatinya mahasiswa adalah ujung kemuliaan siswa. Mereka pada posisi atas. Beri kesempatan yang paling atas untuk mengembangkan posisi mulianya sebagai masyarakat akademis.
Seperti halnya yang disampaikan Prayitno (2009) pemuliaan kemanusiaan manusia dalam kehidupan sehari-hari nampak melalui aktualisasi dimensi-dimensi kemanusiaannya. Di antaranya dimensi kefitrahan, keindividulanan, kesosialan, kesusilaan, dan keberagamaan. Jika penampilan kelima dimensi kemanusiaan tersebut sudah benar-benar tertanam, maka setidaknya mahasiswa akan merasa lebih dimuliakan lebih dari kemuliaannya. Selanjutnya, potensi-potensi baru pun akan mengaliri lautan akademis kita. Kampus bukan lagi menjadi ‘menara taring’ bagi mereka. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Jumat, 10 Februari 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Majalah Basis, 1 Februari 2017)


Mimpi Buruk

Seburuk apa mimpi yang kita rindukan
Tidur yang belum pulas
Atau terjaga yang tak kunjung reda
dihabisi kelaparan paling sesak di dada

Seburuk apa mimpi yang kita rindukan
Ranjang yang dihakimi
Atau kursi-kursi mangkrak
yang menunggu kehancuran

Seburuk apa rindu yang kita impikan
Mata kita terlanjur panas
Menyisakan obat nyamuk,
kopi, dan ketela bakar

Kita tak berdaya
Dihujani televisi dan koran-koran
Mereka memerahkan telinga
Memberitakan diri sendiri
Memproduksi kematian tubuh sendiri

Kendal, September 2016



Kamis, 02 Februari 2017

Aroma Tubuh, Erotisme, dan Identitas (Wawasan, 2 Februari 2017)

Aroma Tubuh, Erotisme, dan Identitas
Oleh Setia Naka Andrian

Sarasehan yang digagas Subur L. Wardoyo, Nur Hidayat, serta teman-teman Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Universitas PGRI Semarang dengan tajuk Perempuan, Budaya Pop, dan Erotisme pada 21 Januari 2017 di Rumah Makan Chanadia Jalan Erlangga Semarang, memantik hadirin untuk lebih jauh meriwayatkan keberadaan bau (aroma tubuh perempuan) sebagai identitas dan kekayaan masyarakat kita.
Aroma tubuh, khususnya bagi perempuan, tentu kerap menjadi perhitungan panjang. Seorang perempuan tak akan begitu saja “melepas” tubuhnya di lingkungan masyarakat. Pasti akan dipersiapkan penampilannya, terutama pada sisi aroma tubuh. Barangkali jika penampilan sudah dipersiapkan baik-baik, sosoknya sudah cantik, namun jika urusan bau masih belum selesai, dan masih menyemburkan bau tak sedap, maka runtuhlah “harga” diri seorang perempuan itu.
Yang pasti, ilustrasi tersebut kerap hanyalah menjadi persoalan bagi perempuan semata. Terkait obrolan yang berjalan, di antara peserta diskusi ada yang menyampaikan bahwasanya seorang lagi-lagi tak selamanya selalu menuntut aroma sedap dari tubuh perempuannya. Jika semua itu sebatas tempelan, yang hanya diperoleh dari semprotan parfum atau deodoran yang diguyurkan di sekujur tubuhnya. Tak sedikit laki-laki yang mengatakan, bahwa mereka masih sangat merindukan aroma alami dari pasangannya atau perempuan yang diidamkannya.
Disampaikan oleh Subur, bahwa body chemistry akan menentukan seorang perempuan dan laki-laki saling terangsang. Pada posisi tertentu seorang laki-laki, misalnya, akan lebih memilih pasangannya dengan tanpa menggunakan aroma parfum. Ia lebih menghendaki pasangannya menyemburkan aroma tubuh yang alami. Biar pun selepas beraktivitas, berolahraga, dan berkeringat, namun sang laki-laki justru semakin berhasrat.
Di antara perempuan dan laki-laki itu, akan timbul reaksi alamiah yang kemudian berlanjut pada ruang-ruang pergerakan jasmani. Terutama pada laku spontan dari organ jasmaniah, seperti dari otak, jantung, otot-otot yang terpicu oleh rangsangan dari indra penciuman kita. Kemudian, segala itu akan kita yakini sebagai sebuah kecocokan, merasa berjodoh dan klik.
Barang tentu sangat kita lihat, dan sangat kita yakini, seorang perempuan justru cenderung akan menutupi bau badannya dengan pemenuhan aneka parfum pilihan yang dibelinya dengan harga yang begitu mahal. Kali pertama yang dilakukan selepas ia mengenakan pakaian, tentulah menyemprot sekujur pakainnya dengan aroma parfum tertentu. Segala itu, tak lain hanya demi sebuah kesan yang hendak ia sajikan kepada pasangannya (lawan jenis). Dengan harapan, akan terjalin sebuah pertemuan, perbincangan, dan hubungan yang hangat.
Perihal bau, yang awalnya kita percaya sebagai segala sesuatu yang keluar dari apa saja yang dapat ditangkap oleh indra penciuman kita, seperti bau anyir, harum, busuk. Maka kini, riwayat bau (aroma tubuh) tidak selesai atau berhenti begitu saja. Misalnya, peserta diskusi lain, Nanda Goeltom, salah seorang pria kelahiran Batak, turut serta mengisahkan perjumpaannya dengan bau. Ia menjelaskan bagaimana bau telah menjadi warisan dari leluhur kita.
Dalam obrolan yang berlangsung, bau yang ternyata sudah menjadi bagian dari identitas masyarakat kita, sejak dahulu kala. Orang Batak misalnya, akan sangat hafal dengan bau orang Madura, begitu pula sebaliknya. Di antara mereka akan sanggup mengenali, hanya berdasar pada bau yang ia terima melalui indra penciumnya. Seolah-olah, bau mengambil posisi yang melampaui dari tubuh yang memproduksi bau itu sendiri.
Selanjutnya, bau pun menjadi penanda keberadaan atau identitas tersendiri bagi sebuah kota/daerah tertentu. Bau atau aroma masakan misalnya, ditebarkan begitu rupa, disebar setinggi-tinggi ke udara. Dengan harapan, pada waktu-waktu tertentu saat aroma masakan itu dihadirkan, pada saat-saat yang menunjukkan waktu makan pagi, makan siang, atau makan malam, masyarakat akan mengetahui, bahwa ini sudah waktunya untuk makan. Waktunya untuk menepi, beristirahat sejenak, dan menikmati hidangan makanan.
Tentu, segala itu menggiring godaan tersendiri bagi masyarakat kita. Khususnya bagi yang sedang bepergian. Di tepi jalan, tak jarang warung-warung makan yang menggunakan metode aroma masakan untuk menarik minat pelanggan. Tak jarang di antara mereka mengudarakan aroma-aroma masakan khas kota/daerahnya. Sehingga, selain bernalar untuk berdagang, mereka juga punya tanggung jawab dalam usaha memanjangkan riwayat kota/daerah. Menjunjung tinggi identitas kota melalui pertahanan dan tawaran dalam godaan aroma-aroma masakan.
Bahkan kita ketahui bagaimana masyarakat lampau, sebelum ditemukan Global Positioning System (GPS) sebagai sistem navigasi berbasis satelit yang kerap menemani kita dalam setiap perjalanan, masyarakat kita saat itu akan mengetahui dan mengenal wilayah-wilayah tertentu hanya dengan bau (aroma). Kepekaan indra masyarakat kita saat itu akan benar-benar diuji. Saat mencium bau ikan-ikan asin, tentu kita yakin telah berada di wilayah pesisir pantai. Selanjutnya pada kota atau daerah lain pastinya meriwayatkan pula hal serupa.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016) dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.