Minggu, 29 Januari 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 29 Januari 2017)



Sejarah Keyakinan

Ia muncul di pagi hari
Semenjak setahun lalu resmi cuti
Dari perhelatan panjang
Datang seorang diri
di antara noda dan duka-duka

Ia yang sering mati dalam kemenangannya
Dari banyak kisah-kisah yang diputar
Dari pasukan berkuda
Hingga pemahat arca
yang kerap dilupakan senjata

Ia lah takdir yang berpura-pura
Ia lupakan diri dan siapa seharusnya umat nista
Rumah ini, satu-satunya saksi yang tiada dosa
Selagi masih diam
Mereka akan sama-sama dipenjara
Doa-doa yang belum berakhir
Masih menggiring mereka
Menuju jalan pelarian,
Sekali lagi, sekali lagi
Hingga semuanya lupa
jika sudah tak bernyawa lagi

Kendal, September 2016


Gagal Beriman

Kau yang baru saja pulang
Katamu, kau baru saja
melarikan diri
Dari rombongan umat
yang sering dihujani banyak mimpi

Kau selalu merasa terlambat
Pulang ketika orang-orang sedang kelaparan
Kau pun kerap diminta mati tiba-tiba
dan kau mau,
Memberanikan bunuh diri gantung kaki
Menyaksikan kemenangan semu
Atas kegagalan diri sendiri

Ah, malam terlalu pandai berbohong
Hingga pagi-pagi sekali
kau baru mau gantung diri
Dihadapan meraka
Kau minta menyanyikan sayonara
Video doa-doa diputar
Kau gagal menjadi diri paling beriman

Kendal, September 2016


Takdir Tubuh

Inilah takdir tubuhmu
yang sering dilupakan
Kemarau panjang tak habis hilang
Tak bisa berterus terang

Seperti apa langit
Ujung yang dirindukan
Sebab, dulu sering dipisahkan
Bahwa tak ada yang lahir selamanya
Begitu pula tak ada
yang tak hidup sementara

Tubuh-tubuh bergelimpangan
menjadi mesin,
Menelusuri jalan-jalan
Menutup pintu
Menghentikan udara
Semua binasa di hadapan takdir
dan duka-duka dirindukan
masa lalu keabadiannya

Kendal, September 2016


Dukuh

Jusru sebaliknya,
Wanglu Krajan belum punah
Lihatlah, kebiasaan mulia
dibangun di tepi sungai
Anak-anak menyanyikan lagu
tentang ibu-ibunya yang lupa mandi

Lihatlah, demi mereka
yang memburu pagi
Wanglu Krajan tetap bertahan
meskipun gempuran generasi baru
dan zaman yang terus bergerak
dokumentasi tubuh-tubuh tergeletak

Keadaan berguguran
tak seperti dulu,
sebelum orang-orang sibuk
Memotret ketelanjangan diri sendiri

Kendal, September 2016


Tubagus dan Eksistensi Pecinan Semarang (Jawa Pos, 29 Januari 2017)


Tubagus dan Eksistensi Pecinan Semarang
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku              : Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota
Penulis                       : Tubagus P. Svarajati
Penerbit                     : Bukusaya
Cetakan                     : Agustus 2016
Jumlah Halaman       : xxv + 260 halaman
ISBN                         : 978-602-9682-65-6

Lewat esai-esainya, Tubagus P. Svarajati lugas dalam berpendapat terkait dengan riwayat dan masa depan Pecinan Semarang.
Cobalah menyusuri Semarang saat menyambut Imlek. Antusiasme itu sangat terasa di sudut pecinan ibu kota Jawa Tengah tersebut.
Mulai Wotgandul, Gang Baru, Gang Pinggir, sampai Gang Lombok. Pasar Imlek Semawis ke-14 juga digelar di Semarang pada tahun Ayam Api ini.
Semarang memang memiliki etnis Tionghoa yang cukup banyak. Kelentengnya saja mencapai puluhan, persisnya 70.
Dan, berbicara pecinan di Semarang tentu tak lepas dari sosok Tubagus P. Svarajati. Ia dianggap sosok paling representatif dalam memberikan pandangan tentang keberadaan dan arus gerak seni-budaya pecinan di Semarang.
Dalam bukunya, Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota (2016), melalui esai-esainya yang terbagi menjadi empat, yakni pecinan, kota, seni, dan tokoh, Tubagus menyinggung mengenai segala sesuatu yang terkait dengan pengembangan/penataan kawasan.
Terutama tentang kesenian dan seni rupa di Semarang. Khususnya dalam lingkup ruang gerak di kawasan Pecinan.
Melalui buku ini atau jika siapa saja yang sempat bersinggungan dan dihadapkan langsung pada sosok Tubagus, pasti akan muncul pandangan bahwa orang ini nyinyir dan sinis. Namun, Tubagus kerap diakui berbagai kalangan sebagai orang yang lugas dalam setiap berpendapat terkait riwayat dan masa depan pecinan di Semarang. Kejernihan pun selalu ia torehkan dalam esai-esainya di buku ini.
Tubagus menggarap berbagai hal yang timbul dan berkembang dari masyarakat Pecinan Semarang. Gagasan dan ktitik pedasnya ia kelola apik atas kerusakan lingkungan, transportasi, turisme, gerak kesenian dan sastra (folklore). Pada salah satu esainya yang bertiti mangsa 2012, Tubagus berpendapat bahwasanya merancang pembangunan kawasan pecinan perlu dipikirkan. Sebagai destinasi wisata terpadu agar terhindar dari ekses-ekses yang merugikan.
Karena itu, semuanya harus terorganisasi dengan baik. Pihak pengelola yang kerap mengaku sebagai representasi warga Pecinan Semarang pun tak boleh hanya terfokus pada sisi komersial.
Ia berharap, dalam segala pengelolaan warga dan tata wilayah, harus jelas bagaimana konsepnya. Misalnya, dalam tataran konsep turisme. Harus jelas akan seperti apa yang hendak dipraktikkan dan dijalankan.
Ada tidak dampak positif bagi warga. Bagi Tubagus, setiap bangunan kebijakan yang menyangkut warga haruslah dapat meluaskan lapangan kerja, meningkatkan devisa, dan memeratakan pembangunan antarwilayah.
Tentu, yang paling utama adalah masyarakat lokal harus terlibat langsung dalam segenap perencanaan dan pengelolaan. Dan, warga benar-benar mengakui sebagai penikmat pertama.
Buku ini juga memuat surat terbuka yang ditulis Tubagus untuk wali kota Semarang, Gonjang-Ganjing Pecinan Semarang (hlm. 77). Ia lontarkan catatan atas apa yang terjadi dan tentu ia berikan pula bagaimana rekomendasinya.
Disebutkan bahwasanya Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) bukan wakil atau representasi warga Pecinan Semarang. Rekomendasinya, bilamana Kopi semawis tetap hendak berkiprah dan hendak memenuhi janjinya perihal “Revitalisasi Pecinan Semarang”, mereka harus melakukan riset yang memadahi.
Segala hal itu berkaitan erat dengan situs-situs warisan budaya (heritage) yang bermekaran. Tubagus beranggapan, peran pemerintah atau lembaga apa pun di luarnya hanyalah sebagai akselerator.
Gerakan serupa itu lazim disebut sebagai aksi masyarakat madani (civil society). Tujuannya, kelak orang-orang dalam kota atau yang dari luar mengenal (penuh) Pecican sebagai pusat kebudayaan, terutama di Semarang. Kebinekaan yang diimpikan pun pelan-pelan tak hanya utopis.***


─Setia Naka Andrian, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang. Menulis buku “Perayaan Laut” (April 2016), Remang-Remang Kontemplasi (2016).

Selasa, 24 Januari 2017

Puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 22 Januari 2017)

Nak, Pukul Kebodohanmu

Nak, pukul kepalamu
Luka takkan kau temui
dari tanganmu sendiri
Nak, pukul mulutmu
Bicara takkan kau lukai
dari lidahmu sendiri

Nak, lupakan isi kepalamu
Ketika itu,
kau akan bahagia,

“Ibu, aku nampak lebih sehat
Melampaui tanganmu,
mulutmu, lidahmu
Atau bahkan sekujur tubuh
Namun tidak lebih,
untuk menjadi sepertimu,
yang mati-matian memukul
kebodohan-kebodohanku.”

Ibu berkata,
“Hari sudah larut. Lekas tidur.
Robohkanlah rumahmu.
Besok ibu tidak masak lagi.”

Semarang, Januari 2017



Resensi Remang-Remang Kontemplasi oleh Usman Roin (Tribun Jateng, 22 Januari 2017)

Belajar Budaya Lewat Esai

Judul Buku        :  Remang-Remang Kontemplasi: Bunga Rampai 2009-2016
Penulis                :  Setia Naka Andrian
Penerbit              :  Rumah Diksi Pustaka, Kendal
Cetakan              :  November 2016
Tebal                   :  x + 248 halaman
ISBN                   :  978-602-6250-25-4

MEMBACA-esai satrawan kadang membingungkan karena begitu dalamnya kata yang digunakan untuk mewakili ungkapan rasa, ide dan gaya pemikirannya. Hingga, orang awam kadang tidak bisa langsung memahami apa yang disampaikan. Namun siapa sangka melalui buku ”Remang-Remang Kontemplasi” karya Setia Naka Andrian ini, pembaca akan dibawa pada gaya bahasa yang renyah dalam menyikapi persoalan dunia bila ditinjau dari aspek budaya dan sastra. Terlebih, penulis juga fasih soal sastra dan budaya.
Buku ini hadir sebagai pergulatan ide yang ’mahal’, karena dihimpun dari gagasan-gagasan kecil yang muncul untuk kemudian diteruskan melalui sebuah kontemplasi  yang alhasil kemudian disajikan menjadi utuh. Maka saat membaca buku ini pembaca akan mendapati esai dari tiga hal, mulai dari seni budaya, satra, dan pendidikan. Semua esai tersebut punya nafas budaya dan sastra yang begitu kental namun bukan yang membingungkan melainkan lugas, nyata, dan mampu menguliti sebuah ide persoalan yang terjadi tanpa tirai selembarpun.
Buku setebal 248 halaman ini sebenarnya karya yang telah disajikan sudah terlebih dahulu tayang di beberapa media masa. Tentu ini menjadi nilai plus karena secara konseptual pemikiran sudah dilemparkan ke publik untuk kemudian coba dihimpun dalam bunga rampai secara utuh.
Akhirnya, betapa mahalnya nilai buku ini karena gagasan ’yang tercecer’ kemudian coba disatukan menjadi buku dan dihadirkan ke pembaca. Pesannya tidak lain agar saat punya ide segera olah, jangan didiamkan melainkan dilanjutkan dalam kontemplasi yang mendalam. So, buku ini layak dibaca karena mengajak kepada pembaca membangun potensi kreatif diri yang terpendam agar bisa dibaca orang lain.
 


Peresensi  :  Usman Roin
Mahasiswa S2 PAI UIN Walisongo Semarang

dan Penulis Buku ’Langkah Itu Kehidupan’.

Rabu, 18 Januari 2017

Narasi 'Miring' Pendidikan Kita (Wawasan, 18 Januari 2017)

Narasi ‘Miring’ Pendidikan Kita
Oleh Setia Naka Andrian

Lagi-lagi ada kasus yang mencoreng pendidikan kita. Sepertinya tidak pernah ada henti-hentinya persoalan menyelimuti pendidikan kita. Jika tidak persoalan dari dalam, ada masalah terkait kekerasan terhadap siswa yang dilakukan guru,  dan yang dilakukan wali murid terhadap guru. Selanjutnya baru-baru ini masih ada saja didapati hukuman fisik terhadap siswa kita. Mereka terlambat masuk sekolah, lalu diberi hukuman fisik di bawah guyuran hujan deras. Akhirnya membuat mereka tumbang pingsan dan harus menjalani perawatan di puskesmas dan rumah sakit.
Melihat kasus tersebut, tentu masyarakat kita tidak akan terima alasan apa pun dari pihak sekolah. Kasus ini, tentu menjadi tambahan untuk deretan persoalan pendidikan kita. Bagaimana akan maju dan berkualitas sesuai cita-cita pendidikan nasional kita, jika masih saja ada hambatan-hambatan. Pastinya segala hal yang merugikan bagi siswa, guru, sekolah, bahkan bagi masa depan pendidikan kita.
Apa pun alasannya, segala bentuk kekerasan, baik verbal maupun fisik, tak seharusnya dilakukan oleh pengelola sekolah. Sekolah yang tentunya diidamkan bagi siswa sebagai tempat menuntut ilmu, bersosialisasi, berproses kreatif, menemukan jati diri, dan tentu sebagai ruang menjalani proses pendewasaan. Namun, jika masih saja ada suatu hal yang seperti kasus tindak kekerasan di sekolah tersebut. Maka, pendidikan di benak anak didik kita akan menjadi tempat yang membosankan, keras, dan menakutkan.

Butuh Pendidikan Ideal
Masyarakat kita, orangtua murid, barang tentu anak didik kita, sangat butuh pendidikan yang ideal. Seperti halnya yang dicatat Sutari Imam Barnadib (1983), bahwasanya Ki Hajar Dewantara dalam Taman Siswa selalu menitik-beratkan pendidikan yang bertumpu pada pertumbuhan anak didik secara harmonis.
Pendidikan kecerdasan, pikiran, kesusilaan, keindahan, dan keluhuran budi pekerti. Tidak lupa pula terkait pertumbuhan dan perkembangan jasmani. Juga pekerjaan tangan (keterampilan) mendapatkan perhatian, termasuk pendidikan kesenian yang mendapat perhatian istimewa, di antaranya seni suara, seni tari, seni lukis, seni sastra. Meskipun, segala itu perlu penggenjotan terus-menerus.
Laku harmonis dalam pendidikan, keselarasan dalam mensukseskan rencana dan cita-cita pendidikan, tentu yang utama menjadi tanggung jawab bagi pengelola sekolah. Lebih-lebih bagi nakhoda sekolah, yang tentu bertugas memegang komando tertinggi di atas kapal pelayaran pendidikan.
Kita semua pasti juga telah sadar. Masyarakat kita sadar. Bagaimana kondisi anak didik kita sekarang ini. Pola pikir dan segenap pemahamannya tentu berbeda dengan masa-masa anak didik yang hidup pada era 1980 atau 1990. Anak didik kita saat ini seakan merasa telah memiliki banyak pilihan. Segalanya seakan telah terpenuhi, dan dengan mudah mereka peroleh. Apa lagi era cyber seperti sekarang ini. Interaksi mereka terhadap teman sepergaulan, komunitas anak muda, bahkan terhadap dunia luar, segalanya dapat ditempuh hanya dalam hitungan detik.
Informasi tumbuh dan berlangsung dengan begitu cepat. Tentu, segala itu membuat anak didik kita seakan kehilangan kendali, jika memang misalnya, lingkungan tertentu kurang berpihak atau mungkin kurang menyenangkan baginya. Maka selanjutnya, anak didik kita akan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Tidak peduli yang dilakukannya berdampak positif atau negatif.

Memberi "Nilai Lain"
Terkait berderet penggambaran tersebut, sekolah yang dalam hal ini sebagai ruang berproses bagi anak didik kita. Maka, haruslah berupaya atau bahkan harus mampu menciptakan segala yang dibutuhkan anak, agar sekolah mendadi ruang menjalani proses pendidikan yang harmonis tadi.
Paling tidak, kepala sekolah sebagai nakhoda harus memberikan contoh positif. Mampu memberikan kebijakan atas tawaran yang menarik terhadap anak-anak didiknya. Harus sanggup memberikan ‘nilai’ lain, selain proses mengguyur materi pelajaran semata. Sekolah harus memompa penciptaan godaan bagi anak didiknya. Misalnya yang sempat disinggung tadi, terkait penyediaan ekstrakurikuler jasmani dan kesehatan (olahraga), kesenian, atau keistimewaan dukungan terhadap beragam kegiatan positif lainnya.
Setidaknya, godaan tersebut akan menjadi rangsangan lain, agar siswa merasa betah berproses di sekolah. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, paling tidak akan mengurangi aktivitas mereka di luar sekolah yang kiranya tidak bermanfaat. Kali ini, sekolah perlu mempertimbangkan iklim kegiatan positif bagi segenap anak didik dengan berbagai perlakuan istimewanya. Bukan malah membatasi atau malah melarang mereka. Maka yang berkembang saat ini, sekolah-sekolah sudah mulai berlomba-lomba dalam memberikan godaan atas penyediaan ekstrakurikulernya. Baik ekstra olahraga, kesenian, maupun tawaran aktivitas positif lainnya.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016) dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Selasa, 10 Januari 2017

Narasi Bus Masyarakat Kita (Wawasan, 10 Januari 2017)

Narasi Bus Masyarakat Kita
Oleh Setia Naka Andrian

Kita tentu paham, transportasi umum di negeri ini tentu masih meriwayatkan berderet persoalan yang belum kunjung selesai. Terutama di Semarang. Meskipun Pemerintah Kota (Pemkot) telah menciptakan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang dengan patokan tarif yang begitu murah, sekali jalan hanya dengan biaya umum Rp 3.500, dan pelajar hanya Rp 1.000. Namun masih saja menyisakan pekerjaan rumah yang dilontarkan masyarakat. Misalnya saja terkait kenyamanan, ketersediaan bus, serta jalur operasi.
Wali Kota Semarang, Hendar Prihadi (Radar Semarang, Minggu, 8/1) mengungkapkan bahwa pihaknya terinspirasi atas peristiwa ‘Om Telolet Om’ untuk menarik minat masyarakat agar beralih ke transportasi umum. Momen tersebut dimanfaatkan Pemkot dengan meluncurkan armada baru. Godaan diberikan dengan sebanyak 20 armadanya dilengkapi dengan klakson telolet. Akan diluncurkan pada Kamis (12/1) untuk Koridor I Mangkang - Penggaron. Selanjutnya, pada bulan Februari 2017, akan diluncurkan armada Koridor V PRPP – Dinar Mas, dan Koridor VI Undip – Unnes.
Upaya penambahan armada bus BRT serta perbaikan lainnya yang dilakukan Pemkot Semarang, tentu menjadi jalan tersendiri dalam rangka pemenuhan alat transportasi umum yang memadahi. Hal tersebut tentu menjadi godaan tersendiri dan akan membentuk mental masyarakat kita untuk lebih menggemari angkutan umum daripada menggunakan kendaraan pribadi. Paling tidak, upaya tersebut akan sedikit mengurangi beragam persoalan lalu lintas, termasuk kecelakaan dan kemacetan di jalan raya.
Jika kita simak saat ini, kemacetan yang menggila sudah tidak lagi menjadi milik ibukota semata. Angka kecelakaan lalu lintas pun tiap tahun selalu meningkat. Kota-kota lain seperti Semarang, kini turut serta meramaikan persoalan tersebut. Barang tentu, kecelakaan, kemacetan, hingga kontak emosi bagi para pengguna jalan itu sebagian besar disebabkan karena kepadatan arus kendaraan.

Tak Percaya Angkutan Umum
Selama ini, masyarakat kita seakan tidak lagi percaya dengan keberadaan transportasi/angkutan umum. Mereka berdalih, bahwa dengan menggunakan angkutan umum, perjalanan mereka akan lebih lambat untuk sampai tujuan. Lebih lagi, perihal penyelenggara jasa angkutan umum yang dinilai kerap kurang berpihak kepada masyarakat kita. Serupa dengan sepenggal pengisahan God Bless dalam lagunya Bis Kota berikut.
Kulari mengejar laju bis kota. Belomba-lomba saling berebutan. Tuk sekedar, mendapat tempat di sana. Kucari dan terus kucari-cari. Namun semua kursi telah terisi dan akhirnya aku pun harus berdiri. Bercampur dengan peluh semua orang. Dan bermacam aroma bikin kupusing kepala. Serba salah, nafasku terasa sesak. Berimpitan berdesakan, bergantungan. Memang susah, jadi orang yang tak punya. Kemanapun naik bis kota.
Dalam lagu tersebut, begitu jelas bagaimana bus kota diriwayatkan. Berebut bus kota, kursi penuh, serta bermacam aroma keringat yang membuat udara pengap. Hingga ditegaskan, dengan terpaksa bus kota akhirnya hanya diminati orang-orang tak punya saja. Dikisahkan oleh /rif, dalam pengisahan serupa, bus kota hanya dinikmati bagi orang tak punya saja, Salah Jurusan. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup untuk bayar bis. Tapi sayang uangku tak cukup. Hanya cukup untuk bayar bis kota. Ku terjepit dalam bis. Yang telah penuh beraneka aroma.
Lagu berjudul Bis Kota yang dipopulerkan Franky Sahilatua pun memberikan ruang pengisahan serupa mengenai bus kota. Berikut syairnya, Berjalan di bawah lorong pertokoan. Di Surabaya yang panas. Debu-debu ramai beterbangan. Di hempas oleh bis kota. Bis kota sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang. Aku terjepit disela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan. Bis kota sudah miring ke kiri. Oleh sesaknya penumpang. Aku terjepit disela-sela ketiak para penumpang yang bergantungan. Berjalan di bawah lorong pertokoan. Di Surabaya yang panas. Debu-debu ramai beterbangan dihempas oleh bis kota.
Belum lagi yang dikisahkan Slank dalam lagunya berjudul BMW. Kemacetan, kesumpekan, menjadi santapan masyarakat kita. Berikut penggalan syairnya, Kebenaran mau rekaman di Jack Sound. Naik bis dari Potlot ke Pluit. Jalanan berantakan, semberautan. Agak sumpek, macet... Sore hari capek habis rekaman. Naik taksi dari Pluit ke potlot. Biar cepat terpaksa lewat jalan tol. Tetap aje (uughhh) macet...
Beberapa lagu tersebut, setidaknya telah mewakili seabrek riwayat persoalan transportasi umum kita. Bus sebagai salah satu angkutan umum yang sesungguhnya diidamkan masyarakat kita. Namun karena angkutan umum kita banyak menyisakan persoalan, akhirnya mereka lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi.

Mengakar Lama
Walaupun sesungguhnya, narasi bus sudah begitu lama mengakar di benak masyarakat kita. Jika kita tengok, misalnya saja pada anak-anak muda (remaja) sejak era 60-an, mereka telah menggemari dan begitu akrab dengan narasi tentang bus. Hingga mereka tergiring melalui pengisahan syair Koes Plus dalam lagu Bis Sekolah, dalam penggalan berikut. Bila ku pergi bersama kekasihku. Ku kan merasa gembira riang slalu. Bila menunggu sendiri. Sendiri hatiku sunyi. Dan hatiku kan bernyanyi. Bernyanyi lagu sepi. Bis sekolah yang kutungu. Kutunggu tiada yang datang. Ku telah lelah berdiri. Berdiri menanti nanti.
Narasi tentang bus bagi masyarakat kita, tentu telah meriwayatkan banyak hal. Dari mulai kritik terhadap gerak roda transportasi, fenomena telolet yang menggila, upaya pemerintah dalam menanggapinya, hingga pada wilayah keindonesiaan. Barang tentu, cerminan masyarakat kita akan begitu nampak ketika berada di bus. Misalnya saja, bagaimana penyikapan ‘kelelakian’ atau ‘kepemudaan’ masyarakat kita. Bagaimana laku kita ketika melihat ada penumpang lain yang berjenis kelamin perempuan, ibu-ibu yang menggendong anak, orang cacat, atau bahkan bagi penumpang yang lebih tua. Kita akan tetap diam saja, pura-pura baca buku, pura-pura memejam (mengantuk), atau kita relakan tempat duduk kita untuk mereka. Walaupun sudah pasti, banyak tempelan di bus yang mengingatkan kita.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.