Selasa, 23 Februari 2016

Bioskop Sesuai Kategori Umur (Wawasan, 23 Februari 2016)

Bioskop Sesuai Kategori Umur
Oleh Setia Naka Andrian

Saya ingat, saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), kali pertama saya mulai menonton bioskop. Saat itu saya sangat penasaran dengan gedung bioskop yang ‘katanya’ menampilkan film-film yang bagus, terbaru dan tentu saya bayangkan sebagai tontonan yang begitu mutakhir. Awal perjumpaan saya tersebut bermula ketika boomming film Ada Apa Dengan Cinta (2002) yang ditulis Jujur Prananto, Prima Rusdi dan Rako Prijanto. Film cinta yang begitu romantis pada masa itu di kalangan remaja dengan sutradara Rudy Soejarwo itu menandai awal perjumpaan saya mengenal bioskop.
Meskipun awalnya saya menyaksikan film itu tidak di bioskop, melainkan melalui tayangan yang saya putar melalui VCD bajakan yang saya ambil diam-diam dari kakak saya. Video dengan gambar seadanya tersebut saya nikmati diam-diam ketika rumah sepi. Lalu karena saya penasaran dan cukup keasyikan dengan film romantis tersebut, maka saya bersama teman, tetangga yang sudah kuliah, mengajak menonton bioskop di Semarang. Mengingat saat itu saya belum berani pergi sendirian dari Kendal ke Kota Lunpia tersebut, dan pasti tidak mendapat izin dari orangtua jika akan pulang cukup malam.
Beberapa tahun kemudian, perjumpaan kedua dengan film kisah cinta yang begitu kocak, 30 Hari Mencari Cinta (2004) yang ditulis dan disutradarai Upi Avianto. Kedua film tersebut menjadi sebuah penanda personal bagi saya, setidaknya juga bagi anak seusia saya pada masa itu. Itu beberapa di antara film-film remaja yang bermunculan dan terekam begitu kuat dalam ingatan saya, bahkan masih saja terngiang hingga saat ini.

Film Konsumsi Remaja Masa Kini
Kedua film pada masa saya di atas, tentu belum seberapa dengan film-film yang dikonsumsi remaja yang bermunculan saat-saat ini. Masih pada batas-batas kewajaran. Namun, kita ketahui bersama, beberapa film konsumsi remaja masa kini yang tidak mendidik bermunculan begitu saja. Seperti digelontorkan begitu deras tanpa penyaringan. Kita simak saja, film-film horor yang sangat digemari anak muda zaman sekarang dengan bumbu-bumbu panas. Entah dari mulai arwah suster-suster yang gemar keramas, ngesot, hingga segenap film-film bernada kisah anak muda dengan balutan gaya hidup hedonisme serta tampilan tubuh-tubuh perempuan seksinya.
Bahkan, fenomena semacam tersebut, pada era digital saat ini, siapa saja begitu mudah menikmati film-film dari youtube selepas ditayangkan di bioskop. Siapa saja dapat mengkonsumsinya. Walaupun jika kita ketahui, saat ini alamat website tertentu harus disesuaikan dengan umur, dan itu hanya pada umur yang dicantumkan dalam akun surat elektronik (e-mail). Tentu masih bisa dilewati dengan mudah oleh anak-anak yang belum cukup umur. Tinggal buat saja akun dengan usia yang dituakan. Beres, dan selanjutnya bisa berselancar dengan mudah menikmati unggahan-unggahan video yang belum selayaknya ditonton.
Lebih-lebih saat ini bioskop sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian orang. Ibaratnya, kalau tidak pernah nonton bioskop maka akan menyandang olokan “katrok!” Maka sudah pasti, siapa saja akan berupaya untuk mengejar agar tidak disemprot dengan ejekan tersebut. Sangat disayangkan lagi, beberapa hari yang lalu, 12 Februari. Beredar petisi “@cinema21, @CGVblitz, @cinemaxxtheater, Jual Tiket Bioskop kepada Penonton Sesuai dengan Kategori Umur!” yang dilayangkan di Change.org Indonesia oleh Fellma Panjaitan, warga Jakarta.
Fellma dengan petisinya tersebut muncul akibat kegelisahannya ketika beberapa kali melihat anak-anak menonton film-film yang belum saatnya ditonton. Barang tentu kita juga tidak jarang melihat semacam yang disaksikan Fellma tersebut. tidak sedikit film yang bergelimah bumbu sex bebas (free sex), bahasa kotor (foul language), kekerasan (violence), dan narkoba (drugs).
Mengingat segala itu sangat penting, tentu selanjutnya pihak-pihak yang terlibat dalam penyeberan film-film dalam bioskop, termasuk 21, XXI, Blitz atau Cinemaxx, harus mau mengambil langkah mulia demi keselamatan generasi penerus bangsa ini. Harus dipertegas tayangan dengan kategori Rated G (Semua Umur),  Rated PG (Bimbingan Orang Tua), Rated PG-13 (Bimbingan Orang Tua untuk Anak Dibawah 13 tahun), dan Rated R (Restricted/terbatas).
Memang saatnya itu semua digalakkan. Jangan sampai pula orang-orang tua mengajak anak-anak yang belum seharusnya menonton tayangan yang diputar di bioskop. Agar tidak lagi kita dengar berita-berita kriminal yang dilakukan oleh anak di bawah umur, agar tidak ada lagi anak di bawah umur memperkosa karena nonton porno. Ini semua terjadi di negeri kita tercinta ini. Kalau perlu, untuk mendeteksi para penonton bioskop, sepertinya mereka perlu menunjukkan tanda pengenal, termasuk KTP/SIM. Ini yang bermunculan di bioskop, lalu bagaimana dengan yang beredar luas di televisi? Sungguh, semua ini perlu ketegasan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semoga.***


─Setia Naka Andrian, Dosen FPBS Universitas PGRI Semarang. Tahun ini akan menerbitan dua buku puisinya, “Perayaan Laut” dan “Manusia Alarm”. Salah satunya akan diluncurkan bulan April, bertepatan dengan ritual mengakhiri masa lajangnya.

Jumat, 12 Februari 2016

”Serat” Bikin Gairah (Suara Merdeka, 11 Februari 2016)

”Serat” Bikin Gairah

”Saya bisa menulis puisi di mana pun dan dalam situasi apa pun. Ketika mendapat inspirasi saya langsung mencatatnya di telepon genggam lalu mengembangkannya di rumah,” kata Setia Naka Andrian (27).
Puisi-puisi alumnus S-1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPGRIS dan S-2 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini kerap menghiasi halaman ”Serat” Harian Suara Merdeka (SM) yang terbit di hari Minggu.
Bagi pria kelahiran Kendal ini, puisi yang diterbitkan harian yang berulang tanggal kelahiran ke-66 pada 11 Februari ini jadi pembuktian kepada kedua orang tuanya di rumah. Maklum, kegiatannya yang padat baik di kampus maupun berbagai komunitas sastra membuat dia jarang pulang. Penerbitan karya puisinya jelas membuat dia bangga.
”Orang tua tahu karena setiap hari membaca SM. Dengan pemuatan puisi saya, mereka tahu bahwa di kampus saya melakukan hal positif,” katanya. Selain puisi, ia juga menulis cerpen dan esai. Cerpennya dua kali dimuat di halaman yang sama.
Lingkup Nasional
Kebanggaan lain Naka juga muncul lantaran persaingan ketat bagi karya seseorang untuk bisa dimuat. Lebih-lebih lagi meski SMitu koran lokal, tetapi ”Serat” yang berisi cerpen, puisi, dan esai telah memiliki lingkup nasional. ”SMbersanding dengan korankoran nasional yang juga menerbitkan karya sastra.
Para pengarang yang berebut mengisi kolom itu pun tidak hanya dari Jateng, tetapi dari berbagai daerah di Indonesia,” ujar penyair yang bakal menerbitkan buku puisi Perayaan Laut dan Manusia Alarm ini.
Bagi Naka, halaman sastra ini sangat bermanfaat bagi para pengarang. Apalagi buat dirinya yang merupakan pengajar sastra, kolom sastra di hari Minggu menjadi salah satu referensi ketika mengajar.
”Dari kolom tersebut para pengarang pemula belajar dan saling mengenal. Dan, kolom inilah yang menggairahkan kami untuk terus berkarya….” (Dhoni Z-62)


Selasa, 09 Februari 2016

Maskulinitas Ibu dan Kemuliaan Kecil di Sekitarnya (Rakyat Jateng, 9 Februari 2016)

Maskulinitas Ibu dan Kemuliaan Kecil di Sekitarnya
Oleh Setia Naka Andrian

Judul Buku                : Setengah Abad
Penulis                       : Dra. Asrofah, M.Pd.
Penerbit                      : FPBS Universitas PGRI Semarang
Cetakan                      : I, Februari 2016
Tebal                          : viii + 86 halaman






Pagi itu, saya dipanggil Ibu Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPGRIS. Bu Asrofah memberikan satu bundel kumpulan puisi. Saya diminta untuk memberi ulasan kecil untuk puisi-puisinya. Ada sejumlah 61 judul puisi yang termaktub dalam dummy buku puisi bertajuk “Setengah Abad”, yang dalam waktu dekat ini akan dibukukan untuk menyambut genap usia setengah abad beliau. Selanjutnya, angin segar melingkar di benak hingga segenap tubuh saya.
Mata saya berbinar, ternyata puisi masih memiliki ruang cukup besar bagi seorang pimpinan sesibuk dekan yang setiap hari harus mengajar dan mengatur segala aktivitas akademik di kampus tempat saya bekerja ini. Batin saya, sungguh, ini wilayah mulia, puisi menjadi bagian kecil yang memiliki peran besar dalam wilayah kehidupan seseorang. Lebih-lebih, puisi kali ini ditulis oleh seorang ibu yang tentu sangat besar pula peran dan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Belum lagi, jika selepas tanggung jawab kepada keluarga, ada tugas lain, yakni berkarier dalam tempat kerja tertentu. Lalu di mana wilayah yang diduduki puisi? Seperti apa kekuatan dan peran puisi dalam diri seseorang tersebut?

Puisi sebagai Spasi Hidup
Barang tentu, puisi dalam diri seseorang, diyakini lahir dari segala aktivitas kehidupan agama, kehidupan sosial, dan kehidupan individual. Segala itu direkam dan dicatat pelan oleh Bu Asrofah hingga usia setengah abad ini, usia yang sudah tidak diragukan lagi dalam ikhtiarnya untuk memenuhi kebermaknaan cinta manusia, cinta dunia, dan kecintaan kepada Tuhan Yang Maha Segalanya.
Dalam buku kumpulan puisi tersebut, puisi mengambil wilayah yang cukup mendalam, lebih-lebih bagi seorang penyair perempuan. Seperti yang dialami pula oleh sederet penyair perempuan lainnya semacam Hanna Fransisca yang juga berkarier sebagai pengelola bisnis di bidang otomotif. Kemudian ada pula Rieke Diah Pitaloka Intan Purnamasari, selain berpuisi, ia juga berkarier sebagai politikus dan pemain sinetron.
Selanjutnya, ada pula penyair perempuan ‘ibu rumah tangga’ yang baru-baru ini memenangkan sebagai juara ketiga dalam ajang bergengsi Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015. Penyair tersebut bernama Cyntha Hariadi, dalam manuskrip buku puisinya yang berjudul “Ibu Mendulang, Anak Berlari: Kumpulan Puisi Pendek di Atas Celemek”.
Saya melihat pelan, aktivitas kreatif yang dilakukan Bu Asrofah hampir memiliki nasib segaris dengan yang dilakukan oleh beberapa deretan nama-nama penyair perempuan yang saya sebutkan tadi. Dari mulai wilayah ibu rumah tangga, pekerjaan, hingga karier yang sama-sama ditekuni ‘ibu-ibu maskulin’ tersebut. Semuanya dilakukan dengan penuh kemuliaan, dan segalanya bermuara pada puisi. Dalam posisi ini, puisi mengambil wilayah yang cukup besar sebagai penggerak wilayah-wilayah lainnya.
Saya sendiri sangat yakin, bagaimana puisi menciptakan tenaga lain dalam kehidupan seseorang. Jika secara sederhana gelimang kehidupan dan segala aktivitas berkehidupan di dunia ini adalah sederet kalimat yang sangat panjang serta membuat napas kita megap-megap, maka tugas puisi adalah sebagai spasi. Seperti halnya saya ingat sepenggal puisi cinta sederhana yang sempat saya tuliskan, “Aku hanya ingin menjadi spasi untuk menghindarkanmu sebelum titik.”

Puisi, Ibu, dan Kehidupan Domestik
Dalam buku kumpulan puisi ini, Bu Asrofah berupaya menyampaikan sepenuh kesederhanaan dan kelegaan berkata-kata. Upaya-upaya tersebut timbul akibat posisi strategis yang dialami dalam kesehariaanya. Saya sangat yakin, betapa seorang ibu akan lebih mendalam merespon, mengendapkan dan menyublimkan segala hal yang menampari dirinya.
Misalnya beberapa alasan yang disampaikan juri sayembara manuskrip buku puisi DKJ 2015 (Oka Rusmini, Joko Pinurbo, dan Mikael Johani), sehingga memilih puisi-puisi Cyntha Hariadi, sang ibu rumah tangga sebagai pemenang ketiga, “Puisi dengan bahasa yang simpel, berhasil memotret kekompleksan kehidupan domestik bagi seorang ibu di Indonesia. Puisi-puisi yang bercerita tentang tetek-bengek urusan rumah secara literal, sekaligus rumah sebagai metafora tubuh dan jiwa seorang ibu yang dikacaubalaukan oleh pengalaman melahirkan dan membesarkan anak.
Segala itu sangat nampak, dan begitu tegas dipaparkan Bu Asrofah dalam sebagian besar puisi-puisinya. Di antaranya pada puisi berjudul “Hari Ibu di Tenda Mina”, /”Ibu... selamat hari ibu ya”/ “Ibu sehat aja to?”/ “Ibu kalau antri makan bawa roti ya....”/ “Adik sehat kok, Bu.”/ “Salam untuk Bapak ya, Bu....”// Melalui SMSmu terhapus rasa rindu/ Terima kasih Via anakku/ Kau ingat itu/ Inilah hadiah terindah bagi seorang ibu// Anak yang saleh/ Doakan ibu ya, Nak/ Besok masih satu kali lontar jamawat wustho dan ula//.
Dari puisi tersebut nampak agung hubungan ibu dan anak-anaknya. Dalam kondisi apa pun, saat anak-anaknya berjauhan dengan kedua orangtua, maka ibu tetap menjadi posisi paling utama. Ibu menjadi pilihan pertama sebelum bapaknya. Seorang anak pasti akan lebih memilih meletakkan kepala di pangkuan ibunya terlebih dahulu sebelum tiba di pelukan bapaknya. Misalnya saya ingat lagi puisi Andy Sri Wahyudi (2012), yang sama-sama menyoal “Hari Ibu”, / Aku tak cukup laki-laki untuk menjadi ibu/.
Dalam diri Bu Asrofah, saya sangat yakin, walaupun puisi menjadi ‘spasi’ dalam kehidupannya, namun puisi memiliki wilayah utama dalam hal posisi ‘curhat’ berkemanusiaan dan bertuhannya. Puisi menjadi upaya kecil ketika segala hal tak mungkin disampaikan begitu saja. Puisi menjadi muara kecil ketika banyak ‘tembok’ yang tak begitu bersahabat dan menjadi sangat transparan menyebarkan apa saja. Misalnya pada era berkicau dalam media sosial yang sangat populer saat ini.
Puisi menjadi mahluk hidup tersendiri dalam diri penyairnya. Misalnya saja dalam puisinya berjudul, “Di Dalam Laptop” berikut, /Kupegang dalam kegamangan/ Kubuka dengan kecewa/ Kusentuh tanpa ekspresi/ Kupandangi tiada henti/ File itu sudah tidak terbaca lagi// Tersimpan dalam ketidakpastian/ Terbungkus di atas arogansi yang tiada pernah dimengerti// Sekian waktu/ Kucari/ Kumengerti/ Kutulis/ Dan terhapus di tengah perjalanan yang menantang// Semangatku hilang bersama aturan semu//.
Puisi setidaknya menjadi upaya kecil dalam pengobat jiwa serta penyakit-penyakit lainnya. Bahkan, dapat menjadi ‘penggedor iman’ dan ‘nyawa’ tersendiri dalam diri seseorang yang beraktivitas lebih luas serta berhubungan dengan khalayak. Misalnya saja yang dilakukan di kampus tempat saya bekerja, setiap hari senin, sebelum melakukan aktivitas pekerjaan, dilakukan pembacaan puisi dan doa. Awalnya saya tidak sengaja melihat aktivitas mulia tersebut. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 06.30, saya berniat mengambil beberapa koran langganan saya di salah satu ruang. Tenyata ada lingkaran besar yang berisi pejabat-pejabat kampus, dosen, dan karyawan.
Lalu sontak saya langsung ikut melingkar. Puisi dibacakan, puisi menjadi penyeru kebaikan, penyemangat, dan pengobat bagi jiwa-jiwa yang disentuhnya. Hingga berikutnya puisi diakhiri, dan berlanjut pada muara doa-doa. Memang sangat benar, jika posisi puisi sangat tepat bersanding dengan doa. Puisi berada tepat di bawah doa. Puisi menjadi bagian kecil dari doa. Semoga.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Tahun ini sedang menyiapkan penerbitan dua buku puisinya, “Perayaan Laut” dan “Manusia Alarm”.

Sabtu, 06 Februari 2016

CommaWiki, Kamus Bahasa Kekinian (Tribun Jateng, 6 Februari 2016)

CommaWiki, Kamus Bahasa Kekinian
Oleh Setia Naka Andrian

CommaWiki, fenomena mutakhir yang saat ini sedang gencar di media sosial. Khususnya bagi kalangan anak muda masa kini. Sebuah file gambar berisi kata beserta makna kata dengan versi ‘sangat anak muda’. Semacam kamus, namun kali ini makna kata begitu jenaka dan kocak. Namun ada kalanya sangat menggugah serta sangat edukatif.
CommaWiki disebut pula sebagai meme kamus. Meme berarti lelucon yang muncul pada era digital seperti sekarang ini. Beredar melalui gambar, video, dan kata-kata. Maka, meme kamus dimaksudkan sebagai kamus kata bermakna lucu. Berdasarkan data yang dikutip dari kaskus.co.id dan hot.detik.com, penemu CommaWiki ialah seorang penulis blog. Ia bernama lengkap Putu Aditya Nugraha, pemuda asal Bali.
Pria pemilik akun @commaditya dan commaditya.com telah mengunggah ribuan CommaWiki melalui twitter pribadinya. Terbukti, akun yang dikelolanya sejak Agustus 2009 ini telah memiliki pengikut hingga 63,4 ribu.

Kamus Nyeleneh
Dalam hal ini, meme kamus mencatat makna kata yang sedikit nyeleneh atau menyimpang dari pengertian aslinya. Namun makna tersebut tetap bersumber langsung dan sangat dekat dengan kehidupan/pengalaman hidup kekinian.
Berikut beberapa yang tersebar luas di google images, “Kampus: tempat nyari ilmu dan gebetan buat nyemangatin belajar”; “Bad boy: lelaki berperilaku kurang ajar, tidak baik, dan sering tidak tahu diri, tapi ganteng”; “Mantan: yang sudah pergi, namun kadang datang tiba-tiba di pikiran, kadang tiba-tiba ngungkit kenangan”; “Masa lalu: beberapa orang terjebak di sana, bukan karena tidak bisa, tapi kadang memang tidak mau berusaha keluar.”; “Otw: keadaan di mana anda masih berkalung handuk atau di bawah selimut, sedangkan rekan anda sudah membusuk di titik pertemuan”; dan sebagainya.
Ratusan CommaWiki terunggah begitu melimpah juga di akun @CommaWikiIndo dengan pengikut 9.114 dan @CommaWiki dengan pengikut 863. Kedua akun ini, setidaknya menjadi rujukan anak-anak muda. Mereka mengambil file gambar atau kata-katanya untuk dipajang di media sosial yang dimiliki. Misalnya di facebook, twitter, instagram, blackberry messenger, path, dan lain sebagainya.
Berdasarkan pengamatan di google images, gambar-gambar dan kata-kata CommaWiki sebagian besar bersumber dari beberapa akun tersebut. Akun @CommaWikiIndo misalnya, dengan unggahan 3.158 memiliki pengikut lebih banyak dari akun @CommaWiki. Barangkali karena dinilai semua unggahannya bergambar dan tampak lebih menarik, dengan gambar-gambar ilustrasi yang terkait dengan kata-kata dalam meme kamus tersebut. Sedangkan akun @CommaWiki yang hanya menggunggah kata-katanya saja tanpa mengunggah visual/gambar.
Terkait CommaWiki juga sedikit banyak telah disinggung oleh Rahmat Agung Purnama dalam blog pribadinya: rahmatagungp.wordpress.com. Rahmat juga mengakui, bahwa penemu meme kamus ini adalah Putu Aditya Nugraha, salah satu pria yang mendapatkan keberuntungan WHV (Working Holiday Visa) di Sydney selama satu tahun. Ia sempat pula diundang tampil di salah satu TV nasional untuk membahas fenomena meme kamusnya ini. Putu, ternyata tercatat juga sebagai pembuat acara kreatif 'Malam Puisi' di Bali dan kemudian diikuti kota-kota lainnya di Indonesia.

Bahasa, Kreativitas, dan Kekinian
Kamus meme ini dapat dikatakan sebagai temuan baru dalam perkembangan bahasa Indonesia. Kendatipun, tetap saja tak lepas dari sisi positif dan negatifnya. Sisi negatif, misalnya terkait perusakan makna kata, jika dinilai tidak sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Sisi positifnya, tentu pada kreativitas pengelolaan cita rasa pemaknaan bahasa. Seseorang pun akan merasa menemukan ‘tawaran’ makna lain yang lebih ‘segar’ dari setiap kata. Tentunya, tetap pada garis substansi makna kata yang sesuai KBBI tersebut.
Bahkan cepat atau lambat, pihak-pihak yang ‘berwenang’ di dunia bahasa Indonesia akan segera turun gunung untuk menyikapi fenomena ‘kamus bahasa kekinian’ ini. Tak tanggung-tanggung, dengan sebutan CommaWiki Kamus Nyeleneh telah menjelma menjadi aplikasi yang dapat diunduh gratis untuk smart phone.
Jika sudah sampai pada titik penggunaan meme kamus ini di gadget, barang tentu penggunaan CommaWiki akan semakin merajalela. Anak-anak muda seusia sekolah atau mahasiswa akan gonta-ganti memasang meme kamusnya di smart phone, sambil senyum-senyum hingga tertawa lepas. Di sisi lain, guru-guru, dosen hingga peneliti bahasa barangkali akan tercengang dan berupaya mencari jalan keluar untuk merespons. Inikah fenomena kerusakan bahasa Indonesia? Atau ini fenomena kemutakhiran bahasa Indonesia?

─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Senin, 25 Januari 2016

Mental Plagiarisme (Koran Wawasan, 25 Januari 2016)

Mental Plagiarisme
Oleh Setia Naka Andrian

Plagiarisme menjadi penyakit paling kronis di dunia akademis kita. Penjiplakan yang sudah sangat mutlak melanggar hak cipta tersebut ternyata hingga saat ini tidak sedikit menjangkiti para pelajar, guru, mahasiswa, dosen, bahkan guru besar kita. Tentu kita ingat, kala itu cukup ramai diperbincangkan dan begitu menyeruak di beberapa media massa. Menghadapi kasus plagiarisme, kita seakan kesulitan untuk memeranginya.
Dalam bahasan ini, akan lebih fokus pada plagiarisme karya tulis, baik ilmiah maupun populer, yang kerap kali menggenangi lautan akademis kita. Lebih-lebih, sangat memprihatinkan jika mental plagiarisme meracuni mahasiswa. Walaupun sesungguhnya kebiasaan buruk ini dapat kita bunuh dengan sangat mudah. Pembunuhnya ya diri kita sendiri. Bagaimana pemahaman kita, mental kita, jika berhadapan dengan segala aktivitas kreatif dalam berpendapat atau bergagasan.
Kenapa perlu aktivitas kreatif? Sebelumnya mari kita simak lagu Slank berikut, “Kopi Air Hujan“ (2007): Lemparkan biji di halaman, kelak akan menjadi barang. Menadahkan tangan di jalanan, kelak akan menjadi uang. Pasang tampang pasang aksi, begitupun menghasilkan. Nggak ada tangis bayi kelaparan. Nggak ada dentuman meriam. Nggak usah takut deh. Di kampung di kota orang sibuk pada bisnis. Banyak yang punya rekening di negeri Swiss. Pemboikot sekarang pada modis-modis. Pengemis aja mudik carter bus. Hidup di alam yang ramah, di atas tanah subur dan kaya. Nggak usah pake banyak tenaga. Mikir sedikit pasti jalan. Hidup senang nggak ada perang. Makan kenyang ngapain ribut-ribut?
Sangat gamblang yang dilukiskan Slank dalam lagunya tersebut. Dalam lagu diimajinasikan, bahwa dunia sangat membuka lebar untuk digarap manusia. Kita akan sangat mudah melakukan apa saja. Asalkan ada niatan untuk bergerak. Lemparkan biji di halaman, kelak akan menjadi barang. Sangat sederhana, dan sangat mudah. Begitu saja, dengan tindakan sederhana saja sudah dapat menghasilkan. Apa lagi jika tindakan sederhana tersebut dilanjutkan/dibumbui dengan gerak kreatif. Apa jadinya? Tentu akan lebih bagus dan melimpah lagi hasilnya. Begitu pula dengan tindakan lain, bahkan hingga hal yang seharusnya sangat tidak baik, mengemis. Seseorang pasang tampang memelas, menadahkan tangan, akhirnya mendapat uang.

Upaya Kecil dalam Gerak Kreatif
Sangat benar yang diteriakkan Slank, “Mikir sedikit pasti jalan!” Lalu, apakah para plagiator tidak mau berupaya? Jawabnya tentu, ya benar, mereka malas mikir! Dalam hal ini terkait proses kreatif, misalnya. Seorang plagiator akan lebih bernapsu untuk menyelesaikan sesuatu. Semua ingin instan. Cepat jadi tulisannya, lalu dikirim di media, atau jika mahasiswa ya biar lekas bisa dikumpulkan sebagai tugas, dan lain sebagainya. Padahal, segalanya butuh proses panjang. Tak ada yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma. Misal penulis yang sudah sangat “pendekar”, dengan begitu cepat menyelesaikan karyanya, misalnya. Tentu itu bisa jadi kita saat ini hanya melihat 1% hasilnya saja, yang saat ini di hadapan kita. Lalu apa kita paham betul 99% perjuangan dan proses panjangnya yang tentu sangat jungkir-balik itu?
Sungguh sangat membahayakan. Mental plagiarisme, barangkali tidak sedikit dilakukan teman-teman mahasiswa dalam mengerjakan tugas kuliah. Asal comot saja dari internet. Karangan/pendapat orang lain diambil begitu saja, tanpa membubuhkan nama penulisnya. Diramu dari banyak tulisan dari beberapa blogger misalnya, hingga akhirnya menjadi satu jelmaan tulisan baru, menjadi karangan baru, atau makalah baru dengan modivikasi sedemikian rupa. Bahkan ada juga yang ditemukan beberapa paragraf sama persis. Menjadikan karangan/tulisan tersebut seolah-olah karya sendiri. Sungguh sangat sesat.
Barang tentu, semua itu ada karena plagiator tidak mau berusaha, alasannya kehabisan ide, buntu, dan lain sebagainya. Itu semua karena tidak ada upaya, sekecil apa pun upaya itu. Kita bisa menyimak beragam media massa yang terbit setiap harinya. Atau momen-momen penting di sekitar kita. Peristiwa besar, atau kejadian-kejadian sederhana lainnya. Dari situ, kita dapat meramunya menjadi karya. Entah itu karya tulis ilmiah, populer, atau bahkan bisa juga diramu menjadi karya seni. Tinggal semua yang kita tangkap tersebut direkam dengan baik, dicatat, lalu diendapkan. Kiranya apa yang terjadi, ada solusi apa, ada upaya apa untuk menanggulangi atau meluruskan, jika ada yang kurang lurus, misalnya.
Jika masih mentok, lakukan diskusi kecil dengan beberapa teman dekat. Bisa juga bersama teman-teman komunitas. Padahal saat ini sudah sangat banyak forum-forum diskusi, kegiatan-kegiatan seminar, misalnya jika di kampus. Semua itu bisa menjadi ruang galian untuk berproses kreatif. Walaupun dengan cara kere-aktif, kita akan tetap menemukan kebermanfaatan-kebermanfaatan lain. Tentunya, sangat banyak upaya-upaya kecil yang sekiranya dapat kita lakukan dalam proses pembelajaran. Jika seseorang masih mahasiswa, tentu malah sangat banyak ruang yang bisa menampung.
Saya ingat, dulu, saya bersama teman-teman dalam Komunitas Sastra Lembah Kelelawar, sebuah komunitas yang kami dirikan di luar lembaga kampus. Hampir setiap malam kami bertemu, waktu itu komunitas hanya beranggotakan empat orang saja. Kami bertemu, membawa masalah dan kegelisahannya masing-masing dalam wilayah kesenian dan budaya misalnya, atau bahkan hingga menjamah dunia politik. Kami diskusikan, kemudian masing-masing dari kami menuliskannya dalam berbagai jenis tulisan. Entah puisi, cerita pendek, esai, catatan perjalanan, dan tulisan-tulisan lainnya yang sangat sederhana dan bisa dibilang tidak kelihatan jenis kelaminnya.
 Lalu tulisan-tulisan tersebut kami muat sendiri dalam buletin komunitas buatan kami sendiri, yakni Buletin Kelelawar, atau kami kirim ke media kecil kepunyaan teman-teman komunitas lain. Dengan niatan, kami memulai proses. Dari hal-hal kecil yang sangat sederhana. Kami lepas dulu tulisan-tulisan yang bergantung pada gagasan-gagasan orang lain. Intinya, kami saat itu butuh dasar kuat dalam menulis. Kami upayakan sangat berdikari, biar tidak memanjakan diri dengan ketergantungan-ketergantungan gagasan/ide lain. Kami lakukan dan kami tulis segala yang sederhana, yang kami pahami saja, sejauh mana mata, hati dan jiwa kami mengembara dalam jagat kata-kata. Seperti halnya yang tentu sering dikatakan penyair Afrizal Malna dalam setiap pelatihan-pelatihan menulisnya, “Tulislah apa yang kamu lihat, bukan apa yang kamu pikirkan!” Hal tersebutlah pembelajaran yang sangat sederhana. Ibaratnya, kenapa harus jauh-jauh sampai bintang, jika di sekitar kita sangat banyak kunang-kunang. Bukankah begitu?


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan dua buku puisinya, “Manusia Alarm” dan “Perayaan Laut”.

Kamis, 31 Desember 2015

Stigma Sejarah dalam Teater

Stigma Sejarah dalam Teater
Oleh Setia Naka Andrian

Beberapa pekan lalu, panggung teater di Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang sengaja digelapkan teater Tikar. Kelompok asal kota Lunpia yang masih belia ini mementaskan naskah berbau eksistensialisme karya anggotanya sendiri, Iruka Danishwara. Sekitar tiga ratus penonton keluar dari lift dengan mata dingin. Barangkali, ini panggung teater tertinggi dalam sejarah seni pertunjukan.
Dengan langkah hati-hati, mereka pijaki lorong gelap dari dinding kain hitam. Mata mereka seolah sudah benar-benar disiapkan untuk merekam panggung pemeranan. Sutradara membocorkan separuh fenomena panggung. Lampu sorot warna hijau menyala dari bawah plastik-plastik bening yang digantung setinggi tiga meter dan lebar satu meter. Benang-benang putih sengaja ditata tak beraturan, membentangi backdrop hitam. Sutradara seolah mengajak penonton untuk lari menuju keruwetan masa silam. Manekin tubuh perempuan digantung. Bergerak-gerak pelan. Ke kanan dan ke kiri. Lampu tiba-tiba dimatikan. Ilustrasi digital mengalum dengan nada mencengangkan. Pertanda bahwa pertunjukan dimulai. Segenap penonton menyiapkan mata.
Semacam foto keluarga, aktor-aktor tak bergerak. Seorang ibu menutup mata kedua anaknya, laki-laki dan perempuan yang sedang duduk di kursi. Berdiri disebelah ibu, seorang ayah dengan tatapan dingin. Berganti beberapa pose. Menutup kedua mata ayah dan anak laki-lakinya dengan kedua tangan. Kemudian lampu dimatikan kembali. Aktor-aktor muncul lagi dengan dialog. Seorang nyonya menyapu. Membersihkan lantai kotor, pigura, dan dinding-dinding rumah dalam bahasa kenangan mereka.
Tiba-tiba empat orang menggerakkan kakinya di balik plastik-plastik putih bercahaya warna-warni. Kaki-kaki semakin bergerak kencang dengan langkah disiplin pasukan perang. Seorang nyonya berialog dengan tokoh-tokoh di balik plastik. Mereka menanyakan, kenapa juga nyonya masih terus saja menyapu. Sedangkan setiap hari selalu saja kotor, selalu saja ada yang mengotori. Begitu pula dengan niatannya untuk selalu membersihkan pigura dan dinding-dinding rumah.
Nyonya dijatuhi pertanyaan dari orang-orang di balik plastik, “Nyonya, mengapa kau begitu meluangkan waktu sekedar untuk menyapu teras rumahmu? Nyonya, tidakkah kau lelah harus selalu menyapu setiap pagi dan besok pagi sudah kotor lagi.” Jawab nyonya, “Ini bukan tentang lelah atau bosan. Bagaimana aku menyapu teras ini adalah bagaimana lapangnya dadaku.” Melalui bocoran teks tersebut, barang tentu penonton mulai digelisahkan dengan kesadaran aktor yang dibangun rapi oleh sutradara muda bernama Ibrahim Bhra. Aktor memancarkan detail tubuh, ruang, dan suasana.

Teater sebagai Peristiwa
Agus Noor (2015), mengungkap bahwa aktor harus mampu menghidupkan banyak suasana dalam panggungnya. Hingga yang berlangsung di panggung bukan semata-mata menyampaikan ide-ide yang abstrak, melainkan berhasil menghadirkan sebagai sebuah kisah dan peristiwa. Hal tersebut setidaknya telah disuguhkan teater Tikar. Kisah dan peristiwa sejarah disampaikan dalam miniatur keluarga. Namun tetap saja, stigma sejarah dihadirkan dengan tawaran konflik yang pelik. Melalui teks yang begitu olang-alik membuat para penonton berimprovisasi dalam benaknya masing-masing. Sejarah besar disajikan sederhana, bukti nyata dari sutradara untuk memberi tawaran lain menyoal sejarah yang biasanya disampaikan melalui peristiwa-peristiwa besar.
Dalam pertunjukan ini, tubuh-tubuh aktor bergerak, kata-kata bergerak, menuju ke arah bahasa teater yang utuh. Keajaiban-disuguhkan dari gesture yang kuat dari para pemeran. Hal itu menjadi sihir tersendiri dari tubuh teater. Gerak para aktor ditawarkan dengan tubuh-tubuh sejarah. Gerak mereka cepat, menjalani aktivitas peran dengan penuh kejutan. Mereka tawarkan deskripsi sejarah dalam kenangan yang tak pernah selesai. Kenangan yang tak pernah ada jika waktu dan tubuh mereka tak bergerak.
Kenangan disajikan sebagai bagian kecil dari stigma sejarah tubuh. Bagi mereka, sejarah adalah kesepakatan dari kenangan. Seperti dalam lakon, dilontarkan ibu kepada anaknya, “Tidak ada yang bisa aku lakukan, Nak. Kenangan seperti menahan segala langkah untuk beranjak. Entah bagaimana caranya, namun tidak juga aku temukan. Berulang kali yang aku temukan hanya kau dan Ayahmu. Di setiap sudut rasanya seperti bayangan yang terkena sinar terang, semakin jelas.”
Setidaknya, melalui pertunjukannya, teater Tikar berupaya menyuarakan kebenaran sejarah yang selalu saja dibunuh beragam kepentingan. Sejarah dianggap sebagai sebuah kesepakatan peristiwa yang seolah-olah terjadi dan dibuat jadi. Kenangan mengenai masa lalu keluarga diciptakan sebagai ikhtiar keabadian. Hingga akhirnya, setelah gelimang tubuh-tubuh aktor bergerak dengan mesin waktunya, pertunjukan diakhiri dengan seorang anak memeluk manekin. Ia tusuki manekin, tubuh kenangannya. Air-air muncrat dari tubuh manekin. Penanda semua ingin diakhiri.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.