Senin, 23 Maret 2015

Bocah Pengulum Jempol (Suara Merdeka, 21 Oktober 2012)

Bocah Pengulum Jempol
■cerpen Setia Naka Andrian



Seandainya itu permen, pasti ia akan menangis karena bisa habis. Namun itu jempol. Dikulum berjam-jam, berhari-hari hingga bertahun-tahun pun tak pernah akan kikis. Paling-paling hanya lumutan saja karena terlalu lemas dibasahi air liur. Begitulah, mengulum jempol yang selalu dilakukannya.
Munyu, nama pemberian pak RT pada masa itu. Ditiupkan selepas melihat si pengulum jempol itu mukim di dunia ini. Kami cukup heran. Bayi laki-laki yang sejak lahir sudah mengulum jempol. Ia pun tidak menangis ketika lahir dari rahim ibunya. Begitu membrojol ia langsung tertawa-tawa, sembari melumat jempolnya sendiri pada sela-sela tawanya. Sontak kami yang melihatnya kaget sekaget-kagetnya.
Kini Munyu berumur lima belas tahun. Masih yang selalu mengulum jempol. Namun kali ini yang dikulum bukan jempolnya sendiri. Setiap hari ada beberapa jempol orang yang selalu ia rebut untuk dikulum. Tak ada orang yang berani menolaknya. Karena Munyu begitu kekar dan beringas walaupun usianya baru belasan. Ia akan sangat marah jika ada seseorang yang melawan untuk tidak menyerahkan salah satu jempolnya untuk dikulum dengan lunyam.
Jika marah matanya akan mendadak melotot dan memerah. Giginya tiba-tiba mengeluarkan taring yang begitu lancip. Lalu jari-jari tangannya pun seketika menumbuhkan kuku-kuku hitam yang tajam dan panjang seperti kuku iblis yang siap menikam.
Ia tak pernah makan. Entah, barangkali makan ya mengulum jempol itu. Air liurnya sendiri yang ia telan. Karena ia juga tak pernah membeda-bedakan jempol siapa yang dikulum. Entah itu laki-laki atau perempuan, cantik atau tampan. Tak masalah itu jempol hitam, bolang-bolang atau putih mulus. Bahkan jempol kudisan pun tetap ia lahap dengan begitu lunyam.
***

Munyu terlahir di liang lahat. Bocah perawakan besar dan hitam itu dulunya dikira sudah mati semasa dalam kandungan. Ketika ibunya meninggal karena bunuh diri. Akibat depresi atas penciptaan janinnya oleh beberapa lelaki berandal yang sering meresahkan warga Kalinyowo ini. Beberapa lelaki tak bertanggung jawab yang menitipkan sperma cikal bakalnya untuk muncul di dunia ini. Namun ternyata setelah hampir beberapa detik lagi cangkul ditancapkan tanah untuk menimbun mayat ibunya, tiba-tiba terdengar suara bayi yang tertawa-tawa. Semua orang yang hadir di pemakaman itu sempat ketakutan. Teringat film-film yang berkisah beranak dalam kubur. Ingatan kami membuncah, ternyata fiksi itu benar-benar terjadi di kampung kami.
Sore itu langit begitu muram menyambut kelahiran Munyu yang tertawa-tawa. Seperti hendak hujan. Namun ternyata mendung urung menumpahkan tangis setelah menyambut kelahiran bayi yang begitu riang keluar dari rahim ibunya yang sudah tak bernyawa.
Orang sekampung pun khawatir dengan bocah yang tumbuh dengan asing itu. Munyu, nama yang begitu akrab bagi kami. Karena bagaimanapun ia merupakan segala sesuatu yang begitu eksis menebar ke telinga rumah-rumah. Orang-orang sering memperbincangkannya di warung-warung, pos ronda, atau bahkan di masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya.
Semasa kecil, Munyu sering ditakut-takuti ketika sedang asyik mengulum jempolnya. “Jangan kamu kulum terus jempolmu! Nanti bisa habis,” begitulah yang sering dikatakan oleh pengasuhnya, pak RT masa itu—Sujai. Lelaki setengah baya yang kini menjabat lurah di kampung kami. Namun Munyu tak juga bergidik. Walau sempat juga dilihatkannya mbah Jaman yang beberapa jarinya lenyap akibat terkikis suatu penyakit.
Bayi Munyu dulunya dicela-cela oleh orang-orang sekampung. Karena kelahirannya begitu tak diinginkan, bahkan tak dikehendaki oleh ibunya sendiri. Kami menganggap, kenapa susah-susah mengurus anak haram semacam itu. Nanti malah bisa jadi pembawa sial. Lebih-lebih ibunya juga tak jelas asal-usulnya. Dulu ibunya tinggal sebatangkara di kampung kami.
Namun karena kebaikan hati Sujai, ia tetap diasuh dengan penuh kasih sayang. Walaupun waktu itu tak ada seorang pun yang mau mengasuh atau sekadar menimang lalu selang beberapa hari menjualnya. Padahal sesungguhnya di kampung kami terkenal sebagai pasar anak. Posisi kami sebagai bandar, pemegang sah laju perdagangan anak di kampung kami. Hal ini begitu marak dan terkenal dimana-mana. Setiap hari banyak berdatangan orang-orang yang hendak berjual-beli anak. Mereka kebanyakan datang dari luar kampung, bahkan hingga luar daerah.
Entah, barangkali kami tak mau mengasuh Munyu karena takut terjadi mala petaka. Karena kami meyakini akan timbul bencana besar jika seseorang mengasuh anak haram semacam Munyu. Lebih-lebih ia lahir di liang lahat. Sungguh menakutkan. Kami sangat ciut, walaupun kami akui sesungguhnya dosa atas perdagangan anak telah menjadi tradisi turun-temurun di kampung kami. Namun bagi kami, anak yang kami perjualbelikan setidaknya bukan anak haram. Benar-benar terlahir dari pasangan suami-istri yang sah, dan tentunya anak-anak itu bersertifikat yang dilindungi undang-undang.
Sujai sering disuguhi berbagai wejangan dari para tetangga mengenai pengasuhannya terhadap Munyu. Juga tak jarang ia dilempari umpatan yang memerahkan telinga. Namun tetap saja ia ikhlas merawat Munyu. Istri tercintanya yang bernama Rukinah pun menganggap Munyu layaknya anak kandungnya sendiri. Karena bagaimanapun takdir tak memihak, berpuluh tahun mereka belum juga dikaruniai keturunan.
Namun Rukinah pun terkadang berkecil hati. Ketika umpatan-umpatan dari warga terlampau sering menimpalinya. Akan tetapi dengan penuh lapang dada, Sujai tak pernah menyalahkan atau memarahi orang-orang yang mengumpat keluarga kecilnya. Ia juga berusaha menjelaskan kepada istri tercintanya, bahwa Munyu tak berdosa. Jadi kenapa ia harus disalahkan? Ia tak tahu apa-apa tentang sejarahnya. Pula mengenai benih yang tertanam hingga berujung melahirkannya ke dunia ini.
***

Munyu tak mau mengenyam bangku sekolah. Padahal pada usianya yang masih belasan, saban hari ia seharusnya tak keluyuran semacam itu. Ia sudah mulai malas sekolah dan memutuskan untuk tidak mengenyam pendidikan sejak kali pertama ia didaftarkan ke sekolah dasar. Dulu ia sempat masuk kelas selama satu hari, dan hanya bertahan pada hari itu saja. Selanjutnya ia tak lagi mau berangkat sekolah. Karena ia diejek dan juga dimusuhi teman-temannya ketika ia mulai merebut jempol mereka untuk dikulum.
Ia pun marah-marah ketika teman-temannya tak menghendaki salah satu jempolnya untuk dikulum. Namun waktu itu jika marah matanya tidak melotot dan belum memerah seperti sekarang ini. Ia hanya menangis saja semacam rengekan anak-anak kecil pada umumnya, sambil mengeluarkan air mata. Giginya pun belum bertaring. Juga jari-jari tangannya belum menumbuhkan kuku-kuku hitam yang tajam dan panjang layaknya yang kami ketahui saat ini.
Entah, kami tak tahu awal mulanya kenapa Munyu menjadi buas dan menyeramkan semacam yang kami lihat saat-saat ini. Kami dibuatnya resah. Seluruh warga merasa semakin ketakutan setiap kali harus bertemu atau sekadar memperbincangkannya di warung-warung, pos ronda, atau bahkan di masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya.
Munyu semakin menjadi-jadi. Sebagai lurah, Sujai tak mampu menangani. Walaupun itu anak asuhnya sendiri. Barangkali ia menyimpan rahasia lain, atau entah. Kami tak paham.
***

Kian hari Munyu semakin meraja-lela. Setiap hari harus ada beberapa jempol untuk dikulumnya. Semakin tak ada orang yang berani menolaknya. Kian hari Munyu semakin kekar dan beringas. Ia akan semakin sangat marah jika ada seseorang yang melawan untuk tidak menyerahkan salah satu jempolnya untuk dikulum dengan lunyam. Matanya memerah dan melotot nyaris lepas. Giginya yang bertaring seakan semakin lancip saja setelah sempat menggigit jempol Salim, seorang pemuda gagah di kampung kami. Salim tak sanggup berkutik saat ia bersikeras melawan dan tidak memberikan jempolnya untuk dikulum. Munyu menggigit hingga jempol Salim terputus. Jari-jari tangannya yang ditumbuhi kuku-kuku hitam yang tajam itu pun mencakar-cakar sekujur tubuh Salim. Menusuk-nusuk mata dan lehernya hingga mati.
Setelah itu Munyu meninggalkan begitu saja mayat Salim yang tergeletak. Ia bergegas mencari orang lain untuk dikulum jempolnya. Kecanduannya terhadap jempol terlihat semakin akut. Ia akan semacam sakaw jika sehari saja tidak mengulum jempol.
***

Keresahan dan kecemasan warga semakin meledak-ledak semenjak si pengulum jempol itu memakan korban jiwa. Kampung kami nampak sepi tanpa aktivitas. Kami lebih memilih untuk mengunci pintu dan berdiam di rumah. Anak-anak kecil di kampung kami pun kami larang untuk bermain di luar rumah. Kami benar-benar tidak kemana-mana. Anak-anak di kampung kami pun tidak berangkat sekolah.
Kampung kami benar-benar mati mendadak. Siang yang seharusnya kami beraktivitas, namun kami gunakan untuk menimbun resah satu persatu di dalam kamar. Tiap malam pun semakin mencekam. Lampu-lampu di depan rumah atau di jalan-jalan juga tak bernyala. Kami sengaja mematikan lampu-lampu itu agar Munyu mengira kampungnya telah mati juga seiring kebrutalannya merenggut nyawa Salim.
Selepas pagi atau ketika petang, kami sering mengintip keluar rumah dengan penuh kecemasan serta keresahan yang bercampur dengan bertumpuk ketakutan. Beberapa kali kami mendapati Munyu masih terus melaju menyisir jalan. Kali ini ia kelihatan sedih. Walau matanya masih melotot dan memerah. Namun ronanya nampak pekat kesedihan. Giginya pun masih bertaring yang seakan membuat mulutnya susah menutup. Ia meraung-raung kesedihan. Tak seperti biasanya ketika suaranya menukik liar dengan nada beringas marah. Jari-jari tangannya dengan kuku-kuku hitam yang tajam itu pun masih terlihat matang untuk siap mencakar-cakar dan menerkam apa saja.
***

Berhari-hari yang hampir berbulan-bulan, kampung kami masih saja sepi. Barangkali kampung kami telah mati ketakutan selepas kematian lampu di jalan-jalan dan di seluruh rumah kami yang telah berduka atas kepergian Salim.
Jika dilihat dari luar, rumah-rumah di kampung kami pun nampak gelap. Lampu-lampu yang benerang di dalam rumah dan di kamar-kamar tertutup tirai yang begitu tebal. Hingga membuat nyala benerang di rumah kami tak mampu menyelinap keluar dari jendela.
Orang-orang di kampung kami telah benar-benar ketakutan untuk keluar rumah, jika harus mati konyol dimangsa keganasan bocah pengulum jempol itu. Kami lebih memilih untuk berdiam di kamar bersama istri. Sepanjang hari, siang atau malam terus berguling di kasur. Mendekam dalam selimut dan pancaran AC yang terus mengucurkan musim pencipta timbulnya hangat pelukan di kamar-kamar kami. Sambil memegang ponsel, memburu pelanggan untuk mengantri anak-anak kami yang lahir dari kolong ranjang. Kamar kami semakin ramai. Ranjang bergelayut ke atas dan ke bawah. Ke kanan dan ke kiri.***

                                                          Rumahdiksi, Agustus 2012


Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja (Rakyat Jateng, 27 September 2014)

Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja
                                                            cerpen Setia Naka Andrian

Jika masih dimusimkan, pada sisa nyawa ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit lampu-lampu kota. Seperti tahajud kita yang tak hancur walaupun berkali-kali kening kita tak jelas dibanting-banting pada lantai untuk kesekian kali dalam pertemuan rutin yang lama mereka tawarkan pada setiap Jumat-jumat. Seperti penolakan usulan pembangunan jalan desa yang masih saja berhenti pada proposal-proposal yang tertumpuk menunggu dipelajari, dan kita tak heran memiliki riwayat yang berbeda-beda agar terselamatkan serta terkagum-kagum menanamkan canda yang lumayan sempurna untuk mencuri hati dari sekedar senyum-senyum dan mengerdipkan sebelah mata. Dan orang-orang di sekitar kita tak lagi membaca ketenangan, tak beda dengan seumpama udara-udara segar dan dinginnya puncak yang terlalu memaksa menyentuh panasnya tubuh kita yang terlanjur menggigil berdoa. Namun doa-doa kita pun semakin pucat saja, belum sempat tidur dan dipaksa ditidurkan.
Aku takut jika kelak kita akan pulang dalam keberangkatan yang beda. Disibukkan untuk menyusun kembali gerbong-gerbong kereta yang masih penuh penumpang, belum lagi banyak yang masih menunggu di stasiun-stasiun dan pemberhentian-pemberhentian ilegal. Dan kita masih saja pada garis tangan yang belum sama tapi memaksa rel-rel serta batu-batu kecil disekitarnya agar tidak lari dan lepas untuk melanjutkan perselingkuhan-perselingkuhan serupa. Lalu kau akan menunjuk banyak hal tentang beberapa rel yang rusak dan jalan kita akan terhenti cukup lama sebelum kesadaran untuk perbaikannya. Dan para penumpang dalam gerbong kereta semakin kesakitan, belum lagi yang semakin kelaparan menunggu pada pemberhentian-pemberhentian yang ilegal tadi. Dan kita terpaksa belum lunas mati, hanya mengulur kesakitan-kesakitan yang lelah dalam rumah masing-masing. Tanpa doa ataupun pengantar-pengantar yang suci sebelum kita benar-benar berhenti.
Ya Allah Yang Maha Bijaksana, tentukanlah sebenar-benarnya kebenaran yang harus kubenarkan dalam pembenaran serta pembenahan hidupku ini. Aku, juga mewakili istriku sangat ikhlas terhadap apa pun yang akan menimpa kami. Aku tak tahu tentang guyur hujan yang setiap malam menimpa seusai sujud yang terpenggal. Hingga merangkak terus dan menelusur pada rupa langit yang tak lagi cerah ketika pagi. Langit malam pun kini warnanya semakin tanpa hitam pekat. Sehingga malam yang tadinya berbintang dengan nyala cerah, kini telah lemah entah kenapa. Begitu pula ketika pagi, yang seharusnya langitnya cerah, namun kini telah menjadi muram, tertutup atap rumahku yang semakin tua seiring usiaku. Enam puluh lima tahun, kapan kau akan menambah? Atau sampai di sini saja? Sudah lengkap dengan tuntutan usia nabi, maka aku pun harus yakin, ketika aku sebagi umatnya pastilah akan mengikutnya, juga dalam usia. Lalu kau kapan Ina, kuatkah kau tanpaku bila angka ini menutup?
Kau masih belum terlampau tua, Ina. Jika kelak kita benar-benar dipisahkan karena tutup usia, kau tentunya tak mungkin kebingungan untuk mencari penggantiku. Lima puluh lima tahun bagi perempuan riang sepertimu tak membuat raut wajahmu kusam, apalagi kerut, tak mungkin. Kau masih cantik, Ina. Apalagi rambutmu tak terlihat menguban sedikit pun. Bukan karena kerudung yang selalu meutupinya, namun juga itu tak membuat rambutmu beraroma apek, apalagi berkutu. Semua yang kau miliki indah, Ina. Kau masih kelihatan cantik. Alismu masih bergaris seperti halnya tulisan latin. Matamu menyala kunang-kunang. Tubuhmu pun masih anggun dengan penutup aurat yang sempurna. Namun sayang, hanya saja nasib yang membuatmu tua pada pakaian. Karena seharusnya kulit sawo matang darimu tak pantas mengenakan kebaya lusuh serta jarit warisan loak itu. Namun apa boleh buat, itulah yang dapat aku berikan kepadamu. Sekadar penutup aurat yang kita surgakan, agar kita tak kepanasan kelak jika di akherat.
Kita memang tak cukup jika berserah, terlampau mudah untuk menanam. Namun hanya beberapa sisa nyawa ini yang dapat kusempurnakan untukmu. Tak lain, semenjak lima belas tahun yang lalu ketika kita dipertemukan, kau tak menampakkan signal penolakan terhadap persaanku. Walaupun seharusnya kala itu aku tak pantas untukmu juga. Karena kau adalah mantan istri seorang lurah yang sangat berkuasa di kampung ini. Seorang pengusaha kaya raya dan tetap menjabat hingga tahun ini, walaupun akhirnya pun aku harus diusir dan menjadi warga di hutan. Dan kau lebih membelaku. Tuduhan penipuan terhadapku telah kau bela, walaupun akhirnya membuat kita diasingkan. Kau dituduh sebagai pembangkang suami dan sekaligus sebagai perempuan yang menyelingkuhinya.
Ah, biarlah. Jika memang ini takdir. Walaupun sebenarnya sungguh bahagianya diriku ketika menemukanmu. Aku berlindung di balik kerudungmu. Walaupun nasib pun tak mempertemukan kita sebagai pasangan suami-istri yang sah. Orang-orang kampung telah terhasut oleh lurah mantan suamimu, agar tak ada seorang pun yang mau menikahkan kita. Para kiai pun tak ada yang mau menikahkan kita secara agama. Semua telah teracuni seorang lurah yang pernah menjadi orang nomor satu dalam hatimu. Tapi semua kini telah berubah ketika tuduhan penipuan telah menghakimiku. Kau pun telah menjadi penolong tunggal bagiku. Tapi semua tak membuatku selamat. Begitu pula kau yang telah membuat dirimu sendiri terjerumus dalam nasibku. Juga perasaan kita pun tak dapat sempurna menyatu dengan ikatan resmi. Berpuluh tahun hingga aku hampir mengakhiri usia ini. Dan kita pun tak bisa melakukannya tanpa ada pernikahan. Namun, walaupun begitu kita tetap memahami. Kita pun tak pernah sama sekali melakukan hubungan suami-istri. Kita serumah, kita sekamar, namun kita tak dapat setubuh. Biarlah bila di luar sana orang-orang berkata lain. Allah maha tahu.
“Kang, apakah kau menyesali dengan takdir kita?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena garis tangan.”
“Maksudmu, nasib? Takdir, Kang?”
“Bukan juga.”
“Lantas?”
“Allah.”
“Kenapa dengan Allah?”
“Dia yang telah memberi.”
“Lantas kau tak juga mau berusaha, Kang?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena doa-doa kita telah semakin pucat saja. Nyawaku pun hanya tinggal sisa.”
“Lima belas tahun yang telah kita lewati ini akan tetap kau sia-siakan, Kang? Kau tak ingin mencari cara untuk dapat menyatukan kita secara sempurna? Aku tak ingin jika hanya perasaan saja yang kita seragamkan. Aku pun tak ingin jika sudah serumah, sekamar, namun tak setubuh. Aku ingin kita menyempurnakan penyeragaman perasaan kita, Kang.”
“Aku pun juga ingin seperti itu, Ina. Tapi bagaimana lagi? Akankah aku harus merengek kepada suamimu?”
“Apa? Suamiku, Kang? Bukan, aku sudah tidak menjadi istrinya. Aku pun sudah lima belas tahun tak dinafkahi olehnya. Namun bukankah kau yang telah menafkahiku di hutan ini? Lima belas tahun telah kita lewati bersama. Ketika berawal dari gubug hingga rumah yang cukup gagah dengan batang-batang kayu jati besar sebagai penyangga. Ini semua karena kamu, Kang. Aku mohon, sempurnakanlah penyeragaman perasaan kita. Aku ingin kau berusaha dengan cara apa pun, Kang.”
“Ina, apa kau tak ingat kerudungmu?”
“Aku lelah, Kang. Bukankah aku juga manusia sepertimu? Yang juga membutuhkan seperti apa yang diinginkan oleh perempuan-perempuan di luar sana. Hujan telah mengguyur deras. Langit pun sangat gelap. Apakah kau tak ingin melindungiku dengan sempurna? Apakah kau selamanya tak ingin setubuh denganku? Hingga tutup usiamu?”
“Jika masih dimusimkan, pada sisa nyawa ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit lampu-lampu kota. Seperti tahajud kita yang tak hancur walaupun berkali-kali kening kita tak jelas dibanting-banting pada lantai untuk kesekian kali dalam pertemuan rutin yang lama mereka tawarkan pada setiap Jumat-jumat. Seperti penolakan usulan pembangunan jalan desa yang masih saja berhenti pada proposal-proposal yang tertumpuk menunggu dipelajari, dan kita tak heran memiliki riwayat yang berbeda-beda agar terselamatkan serta terkagum-kagum menanamkan canda yang lumayan sempurna untuk mencuri hati dari sekedar senyum-senyum dan mengerdipkan sebelah mata. Dan orang-orang disekitar kita tak lagi membaca ketenangan, tak beda dengan seumpama udara-udara segar dan dinginnya puncak yang terlalu memaksa menyentuh panasnya tubuh kita yang terlanjur menggigil berdoa. Namun doa-doa kita pun semakin pucat saja, belum sempat tidur dan dipaksa ditidurkan.”
“Gunung telah membawa gerakan yang tenang ketika sesaat setelah ia meledakkan tubuhnya. Hingga bayang-bayang atas segala pertemuannya dengan manusia membawa perpisahan di antaranya. Lalu semua akan lari mencari petunjuk, hingga yang sedang asyik bermain domino pun ikut peran berduyun menuju serambi Masjid yang telah terkepung berjuta umat.”
“Namun, apakah kau akan tetap berkeinginan sama ketika gunung yang kau agungkan telah tak lagi mampu meledakkan tubuhnya lagi?”
“Kau menyerah?”
“Tidak juga.”
“Lantas?”
“Ingin rasanya pada sisa nyawa ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit lampu-lampu kota.”
“Kita bisa keluar dari rumah ini, Kang. Kita harus meninggalkan kampung ini.”
“Tidak bisa, Ina. Aku tak sanggup lagi. Aku tak ingin ada yang terluka karena nasibku. Begitu pun orang lain yang tak tahu menau tentang aku.”
“Kau ingin membiarkan kebiadaban lurah itu?”
“Tentunya, iya. Aku ingin berserah saja.”
“Berarti apakah kau juga tak menginginkanku? Jawab, Kang? Aku tak ingin kau hanya diam, namun berpikir tak jelas di belakang.”
“Aku ingin kelumpuhan ini menjadi sebab yang tak lepas sebelum semua telah terbalik. Karena aku masih yakin jika kebenaran akan tetap menang. Jika di dunia kalah, nanti di akherat pasti akan dibenarkan oleh Dia Yang Maha Membenarkan.”
“Aku paham. Aku pun sangat paham tentang yang dilakukan lurah itu. Ketika kau masih berjaya, kau masih memiliki sesuatu yang megah. Hingga akhirnya lurah itu telah mengambil segalanya darimu. Dan kau tenang. Itu yang membuatku terkagum kepadamu.”
“Namun sekarang semua telah berjalan beda. Aku akan tetap menjadi diriku. Sebagai hamba yang mengabdi, terhadap pemilik segala hidup ini. Aku berlingdung, semoga ada kehendak dari-Mu, Allah.”


                                                                                 Palebooné, 080811, 07.32 am.

Panggung Kelopak Mata (Rakyat Jateng, 9 Agustus 2014)

Panggung Kelopak Mata
■cerpen: Setia Naka Andrian

Jason Rabdillah, S.Pd. Seorang sarjana pendidikan yang baru lulus dari salah satu institut keguruan swasta terkemuka di kota ini. Pemuda bertubuh gemuk dan tidak terlalu tinggi yang langsung mendapat pekerjaan setelah beberapa saat nangkring gelar sarjana pendidikan di belakang namanya. Ia mendapat panggilan mengajar pada sebuah lembaga pendidikan swasta, SD Bina Jiwa. Di mata teman-teman seangkatan dan sepergaulannya, ia diacungi jempol empat. Karena setelah lulus langsung kerja, dengan tidak memandang mengajar apa itu. Yang terpenting, ia telah mampu mengenakan baju rapi dan sepatu kulit yang mengkilap licin dengan semir hitamnya. Menyandang tas laptop dengan tanpa memperhitungkan walaupun isinya hanya tumpukan buku-buku kumpulan puisi dan cerpen yang ternyata semua buku itu terdapat karyanya, beberapa pengalaman semasa kuliah yang diharapkan kini dapat ia pergunakan sebagai bahan mengajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun ternyata ia belum begitu beruntung, mengajarnya di SD. Ia dinobatkan sebagai guru kelas yang wajib untuk mengajar semua mata pelajaran. Namun dalam hati ia cukup bersyukur, karena di SD juga ada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga ia masih berbangga kelak tetap dapat menularkan kemampuan dahsyatnya dalam menulis puisi dan cerpen. Karena bagaimanapun ketika masih mahasiswa namanya cukup diperhitungkan dalam peredaran sastra lokal maupun nasional. Beberapa puisi dan cerpennya sering nangkring pada surat kabar lokal maupun nasional.

Pagi-pagi buta ia terbangun dari tidur. Tak seperti hari-hari biasanya semasa ia masih mahasiswa, selalu bangun kesiangan dan terkadang disengaja tidur pagi karena semalaman asik begadang sambil diskusi ngalor-ngidul bersama kawan-kawan komunitas sastranya. Walaupun sesungguhnya ia wajib bangun pagi karena tuntutan jadwal kuliah pagi. Namun semua itu tak begitu dihiraukan dan tak menjadi beban. Pikirnya kuliah tak begitu penting, yang utama baginya adalah berkomunitas dan berkarya. Hingga akhirnya semua itu menggiringnya untuk menempuh kuliah sampai tujuh tahun, dan semua itu tak dipikirnya sia-sia. Karena ia sering menjuarai lomba penulisan puisi dan cerpen, baik tingkat provinsi maupun nasional. Juga seabrek kumpulan buku puisi dan cerpen yang terdapat karya-karya kebanggaannya.
***

“Selamat pagi,” sapa senyum ramah seorang satpam sekolah. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Begini, Pak. Saya guru baru yang mendapat panggilan untuk langsung mengajar hari ini,” Jason Rabdillah, S.Pd., guru muda yang merasa gagah ketika dipanggil ‘Pak’ untuk kali pertamanya di sekolah yang diharapkan dapat ia tunggangi untuk sambung napasnya.
“Oh, begitu. Salam kenal, Pak. Nama saya Tugimin. Biasa dipanggil Pak Gim,” mengulurkan tangan kanannya sambil nyengir.
“Oke, Pak Gim. Nama saya Jason Rabdillah. Boleh dipanggil siapa saja, asal masih merujuk dari nama asli pemberian tante saya, Jason Rabdillah,” saut pula dengan nyengir.
“Siap, Pak! Silakan masuk ke kantor yang ada diujung sana. Nanti Bapak temui Pak Rahman, beliau waka kurikulum SD Bina Jiwa ini.”
“Terimakasih, Pak Gim. Salam.”

Ia langsung menuju tempat yang ditunjukkan oleh Pak Gim, satpam yang ramah dan murah nyengir.
“Permisi, Pak. Bisakah saya bertemu dengan Pak Rahman?”
“Oh, saya sendiri. Silakan masuk, Pak. Kira-kira ada perlu apa?”
“Saya Jason Rabdillah, Pak. Kemarin yang mendapat panggilan mengajar di SD Bina Jiwa ini.”
“Oh, iya, Pak Jason Rabdillah. Selamat, Pak. Kami memilih Bapak untuk mengajar di sekolah tercinta ini. Hari ini juga Bapak langsung saya antar ke lelas. Namun sebelumnya maaf, Pak. Kami hanya mampu menggaji Bapak sebulan tiga ratus ribu rupiah saja. Seperti yang telah saya katakan kemarin melalui sms.”
“Oh, tak apa Pak. Bagi saya gaji bukanlah yang utama. Namun nilai pengabdian saya untuk mendidik generasi penerus bangsa ini.”
“Sungguh mulia sekali dirimu anak muda,” tersenyum bangga kepada guru muda berwajah bulat itu.

Jason Rabdillah langsung diantar menuju kelas oleh Pak Rahman. Hari ini ia sangat bahagia. Dalam hati ia berkata, inilah awal pijakan sejarah yang baru. Memulai untuk menyongsong kerja dengan mencerdaskan anak bangsa, generasi penerus negeri ini.
“Silakan, Pak. Ini ruang kelas yang kami serahkan sepenuhnya untuk Bapak,” ia diantar hingga depan pintu kelas. “Mulai hari ini hingga seterusnya kelas ini menjadi tanggung jawab Bapak. Didiklah mereka dengan penuh cinta dan pengorbanan.”
“Baik. Terimakasih, Pak. Saya akan mengemban tanggung jawab ini dengan sepenuh,” tegas Jason Rabdillah dengan mantab.
Sungguh tak diduga sebelumnya, kelas terasa hening dan sepi. Ia sangat kaget, dan dalam hati bertanya-tanya, kenapa ruang kelas SD begitu tenangnya? Tak ada saut manuk atau kekacauan siswa bermain seperti yang ia bayangkan. Menurut pengalamannya pun pasti anak-anak SD akan selalu gojeg dan berteriak-teriak seenaknya. Ia pun dulu begitu, semasa SD ia merupakan siswa yang terkenal bandel dan sulit diatur. Namun kenapa dengan kelas ini? Apa yang tejadi?
Guru muda Jason Rabdillah berjalan menyisir ruang kelas, melewati sela-sela bangku siswa sembari menatapi wajah mereka. Namun mereka tetap saja diam dan seperti terlamun yang entah kemana. Ia semakin heran, bau tubuhnya sama sekali tak digubris oleh para siswa. Sejumlah dua puluh anak terdiam tanpa kata, hanya tangan mereka bergerak-gerak sedikit dengan ayunan yang tak beraturan. Mata mereka berkedip, namun terasa seperti kosong memandang sesuatu yang entah tak bertumpu mana ujungnya.
Ia semakin bertanya-tanya, benar-benar aneh. Kedatangannya sama sekali tak digubris sedikit pun oleh para siswa. Lalu ia mendekati mereka satu per satu dan memandanginya. Oh, masih saja mereka terdiam dengan pandangan kosong. Di antara mereka sama sekali tak ada interaksi apapun, walaupun sekadar mencolek teman sebangku.
Kemudian ia memandangi mata mereka. Ia mendekat dan matanya dijatuhkan tepat pada mata salah seorang siswa, kira-kira sejarak dua puluh sentimeter. Namun tetap saja siswa itu masih asik dengan lamunannya yang entah. Kosong dan sama sekali tak menggubris matanya yang menunjuk beberapa mata siswa di kelas.
Lalu dengan sebegitu cepatnya ia terpikir sesuatu, apa mungkin mereka buta? Namun kenapa buta berjamaah begini? Ya, benar. Kali ini tidak salah lagi. Ia yakin kalau seluruh siswa yang ada di kelas ini matanya buta. Mata mereka terlihat memandang sesuatu yang entah. Terbukti, di antara mereka tak ada satupun yang berinteraksi dengan sesamanya. Mereka sepertinya asik dengan dunia lamunannya masing-masing. Beberapa di antaranya ada yang sampai berkaca-kaca matanya, nyaris hampir menjatuhkan airmata. Mungkin terlalu serius dengan pendalaman lamunnya. Wajah para siswa di kelas ini bersih-bersih dan bersinar secerah harapan yang kuat. Namun sayang, mereka masih kurang beruntung. Ia menghela napas sambil meniupkan hembusan syukur kepada Tuhan. Ternyata masih banyak orang yang jauh kurang beruntung ketimbang dirinya.
Jason Rabdillah semakin kebingungan. Semangatnya yang menggebu ketika hendak mengajar telah lari entah kemana. Ia terlihat mati gaya. Keinginannya untuk menularkan keterampilan menulis puisi dan cerpen semakin dirasa punah. Ia merasa tak yakin untuk mengajar mereka, dua puluh siswa semuanya buta. Kegelisahannya itu semakin menjadi-jadi, berjam-jam ia tak melakukan apa-apa. Hanya mondar-mandir mengelilingi sela-sela bangku di kelas yang hening. Raut mukanya memerah, bibirnya seperti menggumam yang tak penuh. Matanya berkaca-kaca, pikirannya terbang kemana-mana. Kali ini ia memang benar-benar kebingungan hingga tak mampu berbuat apa-apa. Kedua kakinya melangkah dengan pelan seiring dengan putaran pikirannya yang tak menentu. Terasa gerak tubuhnya tak terkendali dengan kegelisahan organ tubuhnya masing-masing. Seluruh siswa yang ada di kelas itu pun masih saja tenang. Hal itu membuat pikirannya semakin tak karuan. Keringat berbiji-biji jagung berhamburan dari pori-pori kulitnya. Selain ia kebingungan ingin mengajar apa kepada siswanya, ia juga ketakutan jika diketahui oleh waka kurikulum atau kepala sekolah, ketika ternyata ia belum mampu mengajar. Maka ia otomatis akan kehilangan pekerjaan. Walaupun gajinya tak seberapa, namun tanggung jawab telah melekat di pundaknya.
Ia benar-benar kebingungan untuk memulai pelajaran. Padahal ia lulus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, yang secara penuh ia memperoleh berbagai matakuliah pengajaran dan pembelajaran, yang terkenal dengan sebutan microteaching. Kali ini ia merasa semua yang didapatkan semasa kuliah sia-sia. Ternyata segala yang diperolehnya masih mlempem ketika hendak diamalkan.
***

Hingga berjam-jam, Jason Rabdillah masih tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengajar siswanya. Mereka masih tetap diam dengan lamunan kosong yang masih entah pula. Kelas masih hening, jam pelajaran hampir usai. Ia masih tetap kebingungan dan tak mampu melakukan apa-apa. Kedua kakinya masih tetap melangkah dengan pelan seiring dengan putaran pikirannya yang tak menentu. Terasa gerak tubuhnya pun masih tak terkendali dengan kegelisahannya masing-masing. Seluruh siswa yang ada di kelas itu pun masih saja tenang, hal itu membuat pikirannya semakin tak karuan. Keringat berbiji-biji jagung berhamburan dari pori-pori kulitnya. Sesungguhnya ia pun kasihan kepada para siswa, ketika ia belum mampu memberikan apa-apa kepada mereka. Dalam benaknya, ia merasa kelak akan mendapat gaji buta dari siswa-siswanya yang buta jika hari ini tak memberikan apa pun kepada mereka.
“Wahai pemuda mana telurmu?” Jason Rabdillah kaget dengan sekaget-kagetnya, handphone dalam saku celananya berteriak dengan nada dering pembacaan puisi Sutardji Calzoum Bachri dengan sangat lantang. Ia menghiraukan siapa pun yang meneleponnya, ia lebih menghargai pembacaan puisi Bang Tardji. Karena baginya memenggal pembacaan puisi dari penyair siapapun, walaupun itu hanya rekaman, semua itu sama halnya memenggal pembacaan orang mengaji, walaupun itu bukan pembacaan langsung. Baginya memotong pembacaan puisi adalah berdosa. Lalu ia mendengarkan pembacaan puisi Bang Tardji dengan seksama hingga selesai.
“Apa gunanya merdeka kalau tak bertelur? Apa gunanya bebas kalau tak menetas? Wahai bangsaku! Wahai pemuda! Mana telurmu? Burung jika tak bertelur, tak menetas, sia-sia saja terbang bebas! Kepompong menetaskan kupu-kupu, kuntum membawa bunga, putik jadi buah, buah menyimpan biji, menyimpan mimpi, menyimpan pohon dan bunga-bunga. Uap terbang menetas awan. Mimpi jadi, sungai pun jadi, menetas jadi. Hakekat lautan. Setelah kupikir-pikir, manusia ternyata burung berpikir. Setelah kurenung-renung, manusia adalah burung merenung. Setelah bertafakur, tahulah aku, manusia harus bertelur. Burung membuahkan telur. Telur menjadi burung. Ayah menciptakan anak. Anak melahirkan ayah. Wahai para pemuda! Wahai garuda! Menetaslah! Lahirkan lagi Bapak bagi bangsa ini! Menetaslah seperti dulu para pemuda bertelur emas! Menetas kau dalam sumpah mereka!”
Pembacaan puisi Bang Tardji telah membakar semangatnya. Seperti ada kekuatan besar yang menyelinap dalam jiwanya. Ia langsung bergegas memulai pelajaran dengan menyapa semua siswa.
“Mohon perhatiannya anak-anak. Sebelumnya, selamat pagi!”
Ia menyapa dengan lantang, namun ternyata tak seorang siswa pun yang menjawab sapanya. Ia tetap sabar, dan mencoba memulai pelajaran.
“Anak-anak, maukah kalian semua berdiri? Bapak ingin kalian berdiri,” seketika mereka serentak berdiri tanpa bantahan atau ungkap yang tidak mengenakkan. Namun tetap saja mereka belum ada yang mau membibirkan kata-kata. Pikirnya tak apa, ini awal, besok mungkin akan berbeda. Baginya kali ini sudah lebih dari cukup, karena mereka telah menuruti permintaannya.
“Bagus, kalian semua sungguh siswa yang pintar. Nah, sekarang maukah kalian memejamkan mata?” pikirnya akan memberikan apersepsi berimajinasi seperti yang sering ia lakukan dalam latihan proses kreatif bersama teman-teman komunitasnya.
“Maaf, Pak. Bagi kami tak ada bedanya antara memejamkan mata dengan membuka mata. Semua tetap akan terlihat gelap,” sontak salah seorang siswa dengan nada lugu membibirkan sanggahan kepadanya. Anak itu mengeluarkan airmata dari matanya yang tak melihat, diikuti pula dengan semua anak-anak yang lainnya.
“Maaf, Bapak tidak bermaksud menyakiti kalian. Sekali lagi maaf, Bapak sayang kepada kalian semua. Kalian anak-anakku. Kalianlah telurku, dan kelak kalian juga yang akan bertelur. Maafkan saya, anak-anakku.”
Tiba-tiba handphone di sakunya kembali memutar pembacaan puisi Bang Tardji, ia kembali mendengarkan dengan seksama pembacaan puisi tersebut. Anak-anak didiknya pun sepertinya mendengarkan kelantangan pembacaan puisi Bang Tardji yang berjudul ‘Wahai pemuda mana telurmu?’ hingga selesai. Kemudian ia mengangkat teleponnya.
“Selamat siang, Pak. Apakah benar ini Pak Jason Rabdillha?”
“Ya, benar. Maaf, ini siapa dan ada perlu apa?”
“Begini, Pak. Kami bermaksud ingin memanggil Bapak untuk mengajar di SMA Gelora Budaya, sebagai pengajar Bahasa dan sastra Indonesia dengan fokus pengajar penulisan kreatif. Apakah Bapak berkenan memenuhi panggilan kami?”

Ia terdiam. Bibirnya seperti terkunci, tak mampu menjawab apapun berkenaan dengan panggilan untuk mengajar di sekolah favorit bertaraf internasional yang terkenal dengan karakter studi sastra dan budayanya. Pandangannya menyapu ke seluruh siswa, airmata runtuh membasahi pipinya. Pikirannya berkecamuk antara panggung yang kelak akan dicipta dan disuguhkan kepada banyak mata dengan panggung yang tercipta oleh mata kosong yang ditontonkan kepedihannya kepada mata siapa pun. Walaupun mata yang menciptakan panggung pribadi itu tak mampu membedakan antara kepedihan atau kegembiraannya. Bagi mereka, semua adalah kepedihan. Mengucurkan airmata tanpa harus melihat kepedihan itu dengan matanya sendiri.

                                                      sanggargema, 191011, 02.56 am.


Haji Sukiyat (Pikiran Rakyat, 10 Agustus 2014)

Haji Sukiyat
■cerpen: Setia Naka Andrian

Ia sangat erat dengan tanah. Dari mulai pernah menjadi mantan juragan tanah hingga sempat juga bertugas sebagai penggali kubur, semasa ia masih miskin. Di mata warga, ia dikenal sebagai seorang yang kalem, low profile. Ia ramah, namun dibalik keramahannya dan setelah mendapatkan segalanya itu, ia disebut-sebut sebagai seorang juragan tanah yang kejam. Kalau sudah berurusan dengan tanah, maka siapa saja akan menjadi lawan perangnya. Ia merupakan seorang yang sangat kaya. Hampir tujuh puluh persen tanah di kampung ini bersangkut-paut dengan dirinya. Dari mulai makelar tanah kelas liang kubur hingga tanah lapangan sepak bola.
Namun itu dulu, dan sekarang semua telah berubah. Sukiyat, seorang lelaki setengah baya yang telah kehilangan segalanya. Ia tertipu ketika berniat hendak menunaikan ibadah haji. Semua harta, berhektar-hektar tanah dan rumah beserta isinya ludes tertipu oleh jaringan tertentu yang mengatasnamakan ONHK (Ongkos Naik Haji Kilat). Ia memilih jalan itu karena pada awalnya memang sangat kekurangan waktu, beberapa detik waktunya akan terasa sia-sia ketika harus menghabiskan beberapa bulan untuk melingkari Kabah. Beberapa detik waktunya sangat berarti, jika ditinggalkan maka ia akan mengidap kerugian yang sangat besar. Maka ia tergiur untuk mengambil jalur ONHK. Naik haji hanya satu hari.
Spekulasinya gagal. Awalnya ia beranggapan, dengan modal sebanyak-banyaknya akan menghasilkan duit yang jauh lebih banyak lagi. Semua yang direncanakan atas perhitungan yang sangat pelik kini terdengar sia-sia. Sukiyat sangat terjatuh. Ia menjadi tidak karuan. Yang dulunya dikenal sebagai seorang berkemampuan besar untuk mengatasi segala masalah, kini tertimpa masalah yang begitu besarnya. Ia sendiri tak mampu mengatasi. Benar-benar ia jatuh, tertimpa tangga, terinjak-injak dan sulit bangun. Semua harta, berhektar-hektar tanah dan rumah beserta seisinya ludes entah kemana. Jaringan yang dipercayainya tersebut telah kabur entah kemana. Sulit dilacak, polisi pun lepas tangan karena terlalu sulit mendeteksi kemungkinan-kemungkinan yang digambarkan oleh Sukiyat. Nyaris seratus persen ia telah berubah. Kesadarannya tak tahu lari kemana. Sepertinya memang ia benar-benar terjatuh jiwanya. Jarak pandang matanya terlihat tak menentu. Tingkah lakunya semakin aneh. Kemauannya yang bermacam-macam termuntahkan semua lewat bibirnya. Berjalan menyisir dan memutar kampung dengan omelan-omelan yang tidak karuan. Entah itu masalah berhektar-hektar tanah yang hilang, tanah galian semasa ia dulu menjadi penggali kubur ketika masih miskin, hingga tentang rumah yang telah mengusir seorang istri dan kedua anak perempuannya yang masih berumur belasan.
Ia semakin menjadi-jadi. Kini ia memakai setelan baju putih lengkap dengan peci putih yang akrab dikenakan oleh seseorang yang telah menjalani ibadah haji. Masih tetap berjalan menyisir dan memutar kampung dengan omelan-omelan yang tidak karuan. Seorang istri dan kedua anak perempuannya yang masih berumur belasan nampaknya tak lagi mengurus Sukiyat. Bahkan mereka memilih untuk meninggalkannya, pulang ke rumah orangtuanya yang ada di luar kota. Sukiyat pun tak menggubris dan memang tak tahu tentang hal itu. Ia bergeleng-geleng menelusuri jalan kampung dengan berbagai omelan hingga wiridnya yang aneh-aneh. Terkadang ia sempat kelelahan, terengah-engah semacam perenang yang baru mencapai finish dalam kekalahan. Lalu Sukiyat memilih untuk beristirahat di tempat-tempat tertentu yang menjadi milik umum, seperti pos ronda, jembatan, atau mungkin di masjid. Karena semua warga telah tak menggubris keberadaannya. Mengingat masa silam Sukiyat yang secara terang-terangan telah menyengsarakan banyak warga, tentang bisnis tanahnya dan beberapa tindakan mengais uang yang dinilai sangat merugikan warga kampung tersebut.
“Ngapain ngurusi Sukiyat? Ia kan bukan orang yang patut kita tolong!”
“Ya, benar sekali! Semua yang didapatkannya sekarang adalah akibat dari perbuatannya terdahulu!”
“Benar, jangan hiraukan dia! Biarkan ia menikmati dunianya! Semua yang terjadi padanya sekarang memang sudah setimpal dengan apa yang digariskannya dulu kepada kita!”
“Memang benar gemblung! Dia lah Haji Gemblung!”
“Sesuai dengan amal dan ibadahnya!”
“Hahahahhaaahahahaa!”

Namun terkadang ada beberapa warga yang merasa kasihan terhadapnya. Hingga beberapa warga ada yang memberi bungkusan makanan dan seplastik minuman hangat kepada Sukiyat. Ia pun tersenyum. Kadang juga nyengir sebagai simbol pengucapan terimakasih yang mendalam darinya. Lalu ia memakan dan meminumnya dengan lahap hingga habis.
***

Berhari-hari, berbulan-bulan telah ia lalui seorang diri dengan memutar sisa hidupnya. Setelah baju putih yang dulunya bersih kini telah berubah mewarna tanah. Tidurnya gelesotan di jalan-jalan kampung. Bila hujan ia memilih untuk hinggap di pos ronda. Peci putinya yang juga telah berubah mewarna tanah pun selalu ia kenakan. Tak pernah sekalipun lepas dari lingkar kepalanya. Tidur pun selalu ia kenakan. Bahkan pernah ada orang yang jahil menggodanya, dan meminta peci putih lusuhnya, namun tak diperbolehkan dan sangat dilawan olehnya. Ia berkata, “Jangan! Ini kepunyaan saya! Enak saja mau diminta! Jauh-jauh ngambil dari Makah kok seenaknya mau diminta begitu saja! Saya jauh-jauh kesana dengan ongkos yang sangat mahal tahu nggak? Berhektar-hektar tanah, rumah dan seisinya telah kupertaruhkan untuk pakaian dan peci putih suciku ini! Enak saja kamu mau meminta semua ini dariku! Ongkos naik haji itu mahal! Apalagi naik haji yang melalui jalur ONHK! Ongkos Naik Haji Kilat! Paham nggak?”
Tak ada yang berani memenggal atau sekadar menjeda omelan-omelan yang keluar dari mulut Sukiyat. Semua orang tahu tentang dirinya, juga perihal latar belakang yang sempat menyelinap dalam kehidupannya. Malah terkadang Sukiyat sempat mengamuk jika ada seseorang yang meledeknya. Entah itu mengusik keberadaannya ketika sedang asik melamun sendirian di jalan atau bahkan sangat marah ketika ia dipanggil hanya dengan sebutan Sukiyat, Si Sukiyat, atau Pak Sukiyat. Karena ia sangat menginginkan dan begitu menganjurkan untuk dipanggil Pak Haji Sukiyat. Mutlak. Baginya tidak ada yang boleh menawar, Pak Haji Sukiyat.
***

Hujan kali ini telah mengguyur begitu derasnya. Sukiyat masih dengan langkah tenang memutar mengitari jalan kampung. Menyisir langkah yang gontai, namun tetap bersikeras mencapai titik tertentu untuk menemukan tempat yang dikehendakinya. Beberapa orang ada yang sempat menawarkan kebaikan untuk meminjami payung, atau sekadar mengajaknya untuk menggunakan payung bersamaan. Namun semua niat kebaikan tersebut ditolaknya mentah-mentah. Malah kebanyakan dari mereka diomeli dengan begitu lantangnya. Bahkan ada yang sempat disemprot nama-nama hewan berkaki empat. Begitulah. Setelah itu tak ada yang berani mengusiknya. Kebanyakan memilih diam daripada ribut dengannya. Warga memilih untuk tidak mengurusinya, walaupun sebenarnya beberapa di antara mereka ada yang merasa sangat kasihan dengan keadaan yang menimpa Sukiyat.
Hujan ternyata terus mengguyur dengan semakin derasnya. Sukiyat nampak menggigil. Angin yang disertai hujan lebat itu perlahan telah membersihkan setelan baju putih dan peci putih yang dikenakan olehnya. Warna-warna tanah yang menempel pada setelan baju dan peci putinya telah luntur bersama guyurannya. Petir menyambar-nyambar, tak sedikitpun membuat Sukiyat takut. Ia masih memutar menapaki jalan-jalan kampung. Dengan berbagai omelan dan wiridnya yang entah tertuju untuk siapa. Entah untuk tuhannya, untuk harta bendanya yang lenyap atau mungkin untuk ketakutan-ketakutan yang melanda serta menggelisahkan jiwanya. Barangkali itulah yang dikehendaki Sukiyat untuk mengulang penemuan dirinya. Kini ia tengah memunguti kembali beberapa jiwanya yang tercecer dimana-mana. Menjarak terhadap berbagai hal atas penemuan-penemuan yang ternyata belum berujung. Maka ia terus memutar dan melingkar mencari penemuan itu.
***

Hujan telah reda. Sore berjingkrak dengan lambat melambaikan nyalanya untuk meninggalkan terang yang telah malas karena terlalu lama diguyur hujan. Sukiyat masih menggigil. Giginya menggigit-gigit berulang kali dengan begitu disiplinnya tanpa jeda. Tubuhnya gemetar. Kakinya terjinjit menapak di atas jalan berair dan tanah yang becek. Bibirnya nampak pucat. Langkahnya perlahan semakin pelan. Semakin lambat, nampak ia menahan lapar yang memnggedor-gedor perutnya. Kampung terasa sepi. Orang-orang sepertinya tidur lelap dengan selimutnya masing-masing. Suami-suami tengah tenang memeluk istrinya dengan sepenuh selimut. Anak-anak mereka yang masih kecil-kecil tengah nyenyak berpeluk dengan botol susunya masing-masing. Anak laki-laki dan perempuan yang sudah lumayan remaja ternyata sedang asik menghitung helai rambut kekasihnya masing-masing dan cemas menunjuk-nunjuk kamar orangtuanya. Mereka siap mengganti formasi atau jurus yang sedang diibadahi dengan begitu candanya, ketika nanti orangtuanya ternyata keluar dari kamar. Siap untuk mengganti peran.
Sukiyat masih terus memutar dan terus melingkar menapaki jalan-jalan kampung. Semacam ia ingin penuh menapaki tanah kampung dengan kakinya sendiri. Mencari penemuan dan menemukan pencarian. Ia masih terus berjalan dengan gigilnya. Selagi kampung terasa sepi. Selagi orang-orang sedang tidur lelap dengan selimutnya masing-masing. Selagi suami-suami tengah tenang memeluk istrinya dengan sepenuh selimut. Selagi anak-anak mereka yang masih kecil-kecil tengah nyenyak berpeluk dengan botol susunya masing-masing. Selagi anak laki-laki dan perempuan yang sudah lumayan remaja masih asik menghitung helai rambut kekasihnya masing-masing dan cemas menunjuk-nunjuk kamar orangtuanya. Selagi mereka siap mengganti formasi atau jurus yang sedang diibadahi dengan begitu candanya, ketika nanti orangtuanya ternyata keluar dari kamar. Selagi mereka, anak-anak yang sudah lumayan remaja sedang berpacaran di bawah dingin sisa hujan dan siap untuk mengganti peran jika hampir ketahuan oleh orangtuanya.
Sukiyat terhenti. Menatap masjid yang ada di hadapannya. Ia masuk menuju serambinya. Melihat-lihat dan merespon segala yang ada di dekatnya. Termasuk memegangi dan mengelus lantai keramik yang mengkilap bersih hingga menyentuh-nyentuh bedug yang ternyata menunggu dibunyikan untuk menyambut salat ashar yang ternyata lupa dibunyikan. Karena orang-orang tengah hangat dengan pelukannya masing-masing. Malas beranjak untuk sekadar mengelap lantai masjid dengan telapak kakinya masing-masing. Seketika itu, selagi kampung masih sepi, Sukiyat mengendap-endap dengan langkahnya yang cemas menuju tempat wudhu. Ia berkumur, membasuh wajahnya. Lalu setelah itu nampak mengingat-ingat lagi urutan wudhu lainnya yang harus dilakukan. Ia nampak mengingat-ingat dengan sebegitunya, lalu ia menemukan, membasuh kedua tangannya, kening yang menyapa beberapa helai rambutnya, kemudian berlanjut membasuh kedua telinga dan kedua kakinya.
Sukiyat menunaikan salat. Nampak fasih dengan komat-kamit yang meyakinkan dari gerak bibirnya. Sesampainya dalam sujud, ia nampak terhenti lama. Sangat lama, melalui beberapa detik, menit, hingga beranjak pada hitungan jam. Sukitat masih tetap terdiam dalam sujudnya. Tenang dan benar-benar terhenti dalam segala geraknya. Entah bersujud dengan mengucap apa. Belum ada yang tahu. Semoga setelah itu ada yang menuntun jalannya. 

                                               Sanggargema, 111111, 02.56 am.


Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 8 Maret 2014)

Pistol Air

Kau hadir setiap hari Sabtu. Selalu tak lupa menembak mataku yang kelelahan mengunjungi tidur siang. Kau guyur dengan pistolmu yang matang. Sebagai air yang sudah melupakan jika dirinya basah. Kau ingat, sorenya kau menawariku seorang perempuan yang sangat bangga menyirami perasaannya sendiri. Kata perempuan itu, dunia berasal dari napas tembakau: kehidupan yang tak tahan menjadi boneka. Ia juga sempat bercerita, jika malam-malam pada hari Sabtu kerap sering mencurigai pagi terlalu terburu mencari peribadatan baru. Hingga akhirnya kau memilih ditembaki banyak pistol, yang tak lagi berisi air.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Air Mata yang Hilang

Ceritakan kepadaku, bagaimana air mata hilang selepas hujan menggujur pipimu yang berwarna keemasan. Di situ, banyak ditemui duka-duka yang merindukan bapaknya. Sontak kau menangis. Kau tak cukup perasaan, karena mulut di hatimu kini sudah terlalu dipenuhi daging-daging yang mengental akibat kekurangan bahan bakar. Hingga akhirnya kau muncul sebagai bayangan. Air mata tetap hilang, dan kau hanya menjadi beban yang panjang. Semakin kehilangan banyak tangan.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Tabrakan

Ada yang bertabrakan di lenganmu, Kawan. Mereka anak-anak kecil yang sering berdoa di bawah hujan. Ada yang bertamasya di dadamu, Kawan. Mereka remaja-remaja yang rajin membaca kematian di tengadah tangan. Ada yang berdansa di telingamu, Kawan. Mereka para dewasa ahli bernyanyi di ruang sembunyi-sembunyi. Ada yang bertepuk tangan di keningmu, Kawan. Mereka para pengasah pedang, mengintai luka-lukamu di kening yang berlubang. Hingga akhirnya banyak yang belum kau ketahui tentang tubuhmu yang bersembunyi, Kawan. Di dalamnya banyak ditemukan tubuh-tubuh yang mencurigaimu diam-diam. Di balik jendela kamar-kamarnya, mereka berjamaah mengintai takdir yang lupa direncanakan. Tabrakan terjadi di mana-mana. Di kakimu, di jantungmu, bahkan di urat lehermu.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Ada yang Mati di Keningmu

Ada yang tiba-tiba mati di keningmu, Kawan. Ia pohon berwarna emas yang pernah dilahirkan dari lengan yang panjang. Akarnya menjalar sebagai takdir yang dipertemukan sehari setelah jadwal kematian. Kau tahu, batangnya menyerupai bayi yang kehilangan hidung. Rantingnya melambangkan jari-jari tangan penari yang khusyuk mendoakan nasib penonton. Dan di sekelilingnya, pemakaman-pemakaman telah menunda prosesi kematiannya. Lalu orang-orang mendirikan tenda di keningmu. Sebagai diri yang pura-pura berdoa.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Seorang Luka

Ada yang belum sempurna di balik luka-lukamu. Mereka nampak paling malas menemukan dadamu. Kau harus tahu, siapa laki-laki yang selama ini mendoakanmu sebagai daun. Dialah yang menamai dirinya sebagai luka. Seorang luka yang memiliki teman bernama luka pula. Mereka adalah luka-luka yang katanya selalu tumbuh setiap hendak tidur. Mereka lah luka-luka yang selalu bersetia terhadap ramalan menuju takdir menjelang mimpimu sebelum terluka. Ketika kau bangun, ada luka yang menjawab dirinya sebagai siluman. Hingga akhirnya kau tak tahu apa-apa. Semua luka menjadi binasa di luar kepada.

Bilik Revolusi, Januari 2015





Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 8 Maret 2014)


Negeri Berhidung Panjang

Inilah negeri kita. Hidungnya melebihi panjang sejarah neneknya. Katanya, ia banyak menemukan aroma bencana dari riwayat manusia yang bersalah-sangka. Kau tahu, dari hidungnya telah banyak dirazia suara yang bersembunyi seakan-akan doa. Mereka menemukan serigalanya dari setiap bencana-bencana yang dihalau dengan ritual-ritualnya. Hingga akhirnya semua muram dengan segala tindakan yang dipasrahkan di telinga. Lalu semua orang pura-pura bertamasya, menyaksikan kematian yang dikunjunginya dari makam-makam para pendoa.

Saranglilin, Maret 2015


Ada yang Begitu Pasrah

Ada yang begitu pasrah di hadapanmu. Ia rumah yang dulunya tak berpintu. Tempat yang sempat memeliharamu menjadi batu. Ia rumah yang dulunya paling merindukanmu. Kesetiaan yang selalu tumbuh saat doa begitu acuh mengulurkan tangannya kepadamu. Kini, rumah telah terlanjur berpintu. Kau menjadi tak cukup usia untuk bertemu.

Saranglilin, Maret 2015


Surat untuk Paman
:almarhum

Paman, ternyata sudah cukup lama dunia kita terbelah. Warna langit dan tetesan air mata kita pasti telah berbeda pula. Maukah kau menceritakan semua itu untukku, Paman? Dan barangkali, di sana waktu telah benar-benar lenyap di rumahmu. Jarak dan ingatan tentang takdir telah lenyap menjadi batu. Dan kau, Paman, telah lahir kembali sebagai wujud kebaikan-kebaikanmu saat itu. Ingat, Paman, duniamu saat ini pasti sangat luas, bukan? Seperti apa? Sudahkah bertemu dengan orangtuamu, Paman? Ya, mereka kakek dan nenekku. Yang pastinya akan membaurkan mimpi-mimpimu di sana. Paman, jaga diri baik-baik di sana, ya. Semoga di sana kau menemukan surga yang dipenuhi orang-orang yang lahir dari bijaksana. Orang-orang yang tak pernah kelelahan membantumu mengacungkan jari untuk presentasi kebaikan-kebaikanmu.

Saranglilin, Maret 2015


Lima Setengah Tahun

Hari ini, tepat lima setengah tahun, aku mengenalmu. Aku ingat, kala itu, kau mengenalku dari puisi. Bahkan, kau lebih dulu menemui puisiku daripada aku.
Barangkali, ini kuungkap kembali supaya kau tahu, bahwa kita telah sama-sama dilahirkan dari payung rindu. Tubuh kita ditakdirkan sebagai dingin yang kekal. Di antara curah hujan yang tak lagi peduli terhadap laut.
Dan hanya kau, yang memejamkan mata di balik dada ini. Kau membuatku berlinang ketika orang-orang masih selalu mencoba membenciku dengan sepenuh pengekalan yang sengaja ditaburkan.
Katamu, panjang usia kita ini seperti kredit mobil. Dan aku hanya tersenyum, menapaki lesung pipimu yang selalu saja menjauhkanku dari keraguan dan putus asa.

Saranglilin, Maret 2015