Minggu, 06 Juli 2014

Guru Saya Rajin Minum Susu

Oleh Setia Naka Andrian



Dalam ingatan yang terus memanjang, saya mulai gemar meraba seberapa penting guru mengikat tubuhku. Karena saya yakin guru dan murid memiliki keseimbangan yang berimbang antara keduanya. Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priyayi membibirkan bahwa sistem guru diletakkan atas dasar perbedaan bakat spiritual di antara berbagai individu dan kelompok, bakat yang bisa ditingkatkan tetapi hanya sampai titik tertentu. Sehingga kita tak pernah akan mampu membaca status spiritual dan kemampuan batin seseorang hanya melalui aspek-aspek luarnya saja. Sehingga seorang pengamen dalam kenyataannya bisa saja lebih tinggi bakat spiritualnya dari seorang gubernur.
Semacam dokter dengan pasien, guru merupakan ayah simbolis bagi muridnya. Sehingga kita tak heran jika banyak menjumpai seorang ayah yang lebih tenang menceritakan sosok gurunya daripada sejarah orangtuanya sendiri. Saya kali ini pun akan lebih banyak memutar ingatan tentang ayah simbolis tersebut. Karena memang banyak hal yang dapat saya kenang dari bangku sekolah, ketimbang dari rumah. Melihat dari masa kecil hingga sekarang telah membuktikan bahwa hari-hari saya habis termakan jam pelajaran sekolah dan tugas-tugas yang menggenangi pikiran setiap malam. Hingga terkadang susah tidur, lalu menggiring saya untuk keluar menuju tempat nongkrong bersama teman-teman senasib.
Saya pun ingat, sejak umur empat tahun sudah dilempar orangtua saya untuk nangring di bangku TK ketika pagi hari. Lalu dilanjut siangnya di TPQ/ Madrasah. Kemudian malamnya harus mengaji kepada kiai di masjid. Hingga waktu sisa dalam sela-sela kerangkeng sekolah itulah yang saya gunakan semaksimal mungkin untuk bermain bersama teman-teman. Entah itu main kelereng, petak umpet, hingga sesekali membolos sekolah untuk pergi ke hutan untuk bermain sambil berburu mangga atau buah-buah musiman lainnya.

Beberapa Guru Berpengaruh (dari Beribu Guru yang Mencuri Perhatian)
Pertama, adalah kedua orangtuaku tersurga. Karena bagamanapun banyak pertunjukan yang kami rayakan bersama-sama. Walaupun sesungguhnya saya sangat kekurangan waktu untuk sekadar berjabat bibir dengan mereka. Karena kedua orangtuaku termasuk para pekerja keras, saya harus sulit bertemu mereka ketika nyala mahari masih berdendang di bumi. Hingga saya sering menangis ketika sore hari sepulang dari Madrasah, banyak teman-teman yang disambut oleh kedua orangtunya. Namun saya sendiri harus tanpa mereka, hanya nenek saja yang menyambutku dengan mata yang cukup berkaca pula. Ah, biarlah. Walau bagaimanapun, kedua orangtua saya merupakan pahlawan tersendiri atas tanggung jawabnya.
Sesuai dengan syair lagu berikut ini, yang sering dibisikkan oleh ibu ke telinga saya. Dondong opo salak/ duku cilik-cilik/ gendhong apa mbecak/ mlaku thimik-thimik/ adik nderek ibu/ tindak menyang pasar/ ora pareng rewel/ ora pareng nakal/ mengko ibu mesti mundhut oleh-oleh/ kacang karo roti/ adik diparingi/. Terlihat jelas, bahwa orangtua saya memberi banyak pilihan tentang hidup, tentang kemandirian, juga tentang kasih sayang mereka ketika semua yang dilakukan memang untuk anaknya, pasti akan membawa buah tangan untuk saya saat itu dan masa depan. Tentang banyak pilihan yang mereka berikan kepada saya dalam menjalani putaran roda usia dan tanggung jawab hidup yang semakin memanjang seiring dengan angka yang terus berlari menggerus kontrak hidup ini.
Kedua, adalah guru TK. Waktu itu adalah awal mula saya dikenalkan huruf-huruf hingga terangkai kata dan kalimat yang semakin memjanjikan saya untuk sedikit berprosa membaca nasib. Dan saya rasa guru (awal) inilah yang paling berpengaruh, sejak awalnya saya tidak mengetahui apa-apa hingga mampu mengeja dan merangkai kalimat serta membibirkan dialog-dialog dalam buku-buku yang kesepian. Juga yang mengajariku bagaimana lipatan kertas menjadi bermacam binatang dan kapal terbang. Walaupun sekarang saya sudah lupa bagaimana cara membuatnya.
Saya ingat betul, dulu ada dua guru TK yang membimbing. Yakni bu Paijem dan bu Sur. Waktu itu pun saya sering merepotkan kedua orang tersebut. Setiap pulang sekolah, saya diantar oleh salah satu dari guru saya itu. Karena waktu itu saya berangkat bersama dengan bapak yang sejalan dengan tempat kerjanya. Namun ketika pulang saya sering tidak ada yang menjemput. Hingga saya diantar oleh bu Sur atau bu Paijem menuju ke rumah, atau seringnya ke tempat kerja paman saya yang kebetulan berdekatan dengan sekolah.
Waktu itu pun ternyata saya sudah punya mata yang cukup nakal, saya lebih memilih untuk diantar bu Sur. Walaupun ia hanya mengenakan sepeda, sedangkan bu Paijem mengendarai motor. Karena secara usia ia lebih muda, dan terlihat cantik ketimbang bu Paijem yang sudah setengah baya. Namun terkadang saya dengan terpaksa harus diantar bu Paijem, ketika bu Sur berhalangan atau ada urusan lain.
Ketika TK pun saya memiliki kenangan yang cukup cantik. Waktu itu selain saya mengagumi sosok guru (bu Sur), saya juga dipertemukan dengan seorang perempuan yang saya rasa sangat baik kepada saya. Namanya Nana, ia berusia satu tahun lebih tua ketimbang saya. Saya ingat betul, karena saya sempat dipertemukan kembali ketika kita sama-sama sudah duduk di bangku SD, namun kita berbeda sekolah. Waktu itu saya kelas lima dan ia kelas enam. Dipertemukan pada sebuah andong, ketika saya sedang bepergian dengan ibu. Juga ia sama, dengan ibu tercintanya. Namun saya cukup menyesal waktu pertemuan itu. Saya malu-malu, begitu pula ia. Sehingga tak sempat saya berucap terimakasih, bertegur sapa atau sekadar menanyakan kabar. Namun saya masih ingat betul bagaimana nyala matanya yang mengitari mataku. Dan saya masih tetap tak mampu berbuat apa-apa hingga sekarang jejaknya hilang.
Saya menganggap ia juga salah seorang guru. Perempuan kecil yang sering menolong saya ketika terjatuh dari ayunan, ia pun sering mengantrikan saya untuk bergiliran bermain pada suatu permainan yang ada di TK saya tersebut. Waktu itu saya cukup terkagum dengan perempuan yang dalam ingatan saya cukup menawan. Dan sepertinya itulah kali pertama saya menemukan miniatur cinta dari seorang lawan jenis. Hehe.
Ketiga, adalah guru SMA. Ada pahlawan khusus yang sempat menyelamatkan saya ketika SMA. Dua guru  yang setelah saya telusuri ternyata telah sering menyelamatkanku dari bahaya-bahaya ketika kenaikan kelas. Karena ketika itu saya sering membolos dan sempat cuti cukup lama saat hinggap beberapa waktu tanpa sebab ke Jakarta. Kedua guru itu pun yang telah secara diam-diam mengirim tulisan saya ke beberapa media sastra, dan ternyata termuat berkali-kali. Padahal waktu itu saya sangat tidak paham tentang email dan sekawan-kawannya itu. Salah satu guru pun sering membela saya habis-habisan di hadapan guru-guru yang lain ketika rapat akhir tahun. Namun pada akhirnya tetap saja saya terselamatkan, hingga kelas dua saya masuk ke kelas favorit yakni kelas IPA. Begitu juga ketika kelas tiga. Walaupun saya sering mendapat rangking satu, namun dari bawah. Hehe.
Saya pun hingga kini tak paham, betapa jaman telah menjerumuskan saya ke jalan yang benar (bagi saya). Karena begitu baik alam dan manusia memihak saya. Seperti halnya ketika saya harus tersesat di kampus pendidikan yang entah ini hingga benar-benar khatam. Saya juga sempat khawatir di awal pertemuan dengan orang-orang yang cukup sangat gila dalam menangani hidup, dalam beberapa komunitas yang bangsat, namun saya yakin, saya begitu berguru kepadanya. Dalam ending-ending pada adegan-adegan tertentu saya sering menemukan kebahagiaan yang megah.
Maka bagaimanapun beberapa guru berpengaruh (dari beribu guru yang mencuri perhatian) saya tersebut hingga kini menjadi musim tersendiri untuk saya kenang. Semacam doa yang selalu muncul dari ingatan yang berbunga-bunga dan terus menunggu-nunggu.***

Rumah Diksi, Juli 2012

Tulisan ini dimuat dalam buku kumpulan esai "Mengingat Guru" UKM Kias, April 2012.

Jumat, 18 April 2014

Bikin Video Klip Sebagai Kado Ultah (Harian Rakyat Jateng, 17 April 2014)

http://rakyatjateng.com/berita-702-bikin-video-klip-sebagai-kado-ultah.ht
ml

SEMARANG, RAKYATJATENG.COM - Berawal dari keinginan sederhana dari seorang lelaki yang hendak memberikan kado istimewa pada ulang tahun kekasihnya, kado yang berbeda dari yang lainnya. Maka, ia pun memberikan kado ulang tahun berupa lagu dan video klip hasil karyanya sendiri. Laki-laki muda tersebut adalah Setia Naka Andrian, mahasiswa yang saat ini baru saja mendapatkan gelarpascasarjana di Universitas Negeri Semarang.
Naka, sapaan akrab dari laki-laki berusia 25 tahun asal Kendal tersebut biasa menghabiskan hari-harinya berkreativitas di Semarang. Ia sering kali turut serta dalam berbagai komunitas di Kota Lumpia tersebut. Di antaranya yakni komunitas Sastra Lembah Kelelawar, Teater Gema, Teater Nawiji dan Rumah Diksi Kendal. Pada hari Selasa, 15 April 2014 di Rumah Kos Plewan 1 No 41 Semarang, sebuah video klip digarap dengan sederhana namun dengan kesungguhan layaknya musisi sungguhan. Seluruh ruangan kamar kos ditutup rapat dengan menggunakan kain hitam yang biasanya digunakan untuk pertunjukan teater.
“Awalnya ini iseng, ya impian sederhana seorang cowok yang hendak memberikan kado ulang tahun untuk pacarnya. Karena saya berniat memberikan sesuatu yang lain, maka saya berupaya membuat lagu. Lagu itu berjudul ‘Seribu Bayang dalam Ponsel’. Setelah jadi, lalu saya minta untuk diaransemen oleh Mas Arfin Arca Kendal untuk kemudian dilanjutkan ke Mas Iwan Franzy agar bias jadi video klip sekalian,” ujar Naka.
"Sudah puluhan kali lebih membuat video klip semacam itu. Bahkan tidak hanya dari dalam kota saja, luar kota pun sering dibuat. Namun, ia mengaku baru kali itu diminta untuk membuat video klip oleh seorang anak kos di kamar kosnya. Pastinya sangat panas karena ruangan kamar kos benar-benar disulap layaknya studio pembuatan video klip dari label besar,” tutur Iwan Franzy, pria asli kelahiran Kendal yang juga DOP (Director of Photography) Arca Production Kendal.
Pada kesempatan pembuatan video klip dari Naka itu, ia juga dibantu dari kawan-kawan Komunitas Musisi Kendal. Biar bagaimanapun, aktivitas semacam rekaman lagu, pembuatan video klip dan lain sebagainya yang terkait dengan kreativitas anak muda saat ini juga diramaikan oleh kawan-kawan komunitas tersebut.
Arca Production Kendal sendiri sudah berdiri sejak 2009 lalu. Production house tersebut memulaidebutnya dengan proses kreatif recording musik yang diramaikan oleh teman-teman musisi Kendal.Lalu, pada tahun 2013, tim Arca mulai mengembangkan gerak kreativitasnya menuju pembuatan video klip dengan kualitas yang bisa ditandingkan. “Kalau tidak percaya, nanti bisa dilihat upload video kami di youtube. Kami sempat mengupload video semacam band dari Doit dan beberapa band musisi-musisi indie,” ungkap Arfin Rizka, Direktur Arca yang merupakan lulusan Universitas Negeri Semarang Jurusan Musik.

Naka menambahkan bahwa untuk konsep video klip yang benar-benar pertama itu, memang benar-benar sangat melelahkan. “Saya rasa jauh lebih melelahkan dibandingkan dengan saat mengisi vokal ketika rekaman dilangsungkan beberapa bulan yang lalu. Dan ini memang proses kebut-kebutan karena digunakan untuk kado ulang tahun pada bulan April ini,” pungkas Naka. (Ely)




Sabtu, 26 Oktober 2013

Ulasan dalam Meja Cerpen #9 Komunitas Lembah Kelelawar

Kematian Tokoh Perempuan dalam Cerita
Setia Naka Andrian

Jika kamu seorang tokoh perempuan dalam pertunjukan teater, maka kamu adalah orang pertama yang patut berbangga. Kamu tiba-tiba akan melompat seribu kali lipat dibandingkan kehidupanmu yang sebenarnya. Kamu tidak sekadar menjadi tokoh perempuan dalam panggung, namun kamu telah sampai menjadi cerita sekaligus panggung pertunjukan itu sendiri. Jika kamu telah melampaui dirimu sendiri sebagai perempuan, dirimu sebagai cerita serta dirimu sebagai panggung.
Maka untuk saat ini hingga beberapa saat yang belum dapat saya tentukan, saya yakin, jika kamu masih merasa sebagai perempuan, maka saya tidak pernah percaya jika kamu memilih mati begitu saja dalam ceritamu. Kamu berpotensi untuk berkembang menjadi apa saja. Kamu pasti akan menjadi barang bukti yang paling berlanjut untuk dibicarakan orang-orang. Semua itu akan mudah, selama kamu masih menjadi perempuan yang berjalan dan mengepakkan sayap, bukan yang memilih mati dalam ceritamu sendiri.
Tokoh perempuan dalam cerpen Kunang-kunang yang Beterbangan karya Adefira Lestari adalah persoalan pertama yang saya khawatirkan sejak memulai  membaca cerita. Walaupun sebelum tokoh perempuan tersebut, judul cerita juga membuat saya cukup kecewa. Bayangan saya sudah lari ke mana-mana. Saya memikirkan hal yang aneh-aneh mengenai kunang-kunang. Barangkali siapa pun akan merasakan seperti itu. Kunang-kunang benar-benar saya harapkan akan membangun cerita yang menghadirkan karakter-karakter yang hidup di dunia realitas keseharian dan memperlihatkan hal-hal yang tidak sekedar biasa atau bahkan aneh dalam cerita ini.
Namun ternyata begitu cerita ini dibuka, saya sepertinya langsung bisa menebak. Waduh sepertinya kunang-kunang tidak begitu terlibat banyak dalam cerita ini. Saya berpikir, ini pasti Adefira akan menyuarakan pertarungan emosi dan kehampaan perempuan. Jangan-jangan cerita ini akan terkesan cerewet dan tergesa-gesa menyuarakan emosinya. Ternyata benar, barangkali siapa saja yang membaca akan mengalami hal sama seperti yang saya rasakan. Sebenarnya bisa jadi bukan persoalan serius kalau tokoh perempuan digarap dengan serius dan tidak tergesa-gesa. Namun cerita sudah dibuka dengan takdir, dan di situ terdapat perempuan. Siapa saja pasti akan menebak, bahwa cerita ini adalah kematian tokoh perempuan─ketidakberdayaan perempuan.
“Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” itulah perkataan terakhir Hamid yang kudengar sebelum ia pergi meninggalkanku di sebuah halte.
Barangkali takdir dan perempuan dalam cerita Adefira ini sudah terlalu banyak mengotori pikiran kita. Dari mulai gosip-gosip tetangga hingga yang kerap hadir dari sinetron. Intinya sama, pemakluman. Perempuan pasti yang memaklumi. Namun saya untuk sementara ini juga ikut-ikutan memaklumi, dan berusaha untuk melanjutkan membaca cerita. Saya mencoba sejenak melupakan tokoh perempuan, Nora─yang terkesan lahir sebagai diri yang tergesa-gesa.
Setelah saya melanjutkan cerita, ternyata yang saya khawatirkan terjadi lagi. Setelah dihadapkan dengan tokoh perempuan, kini tiba-tiba muncul lagi tokoh anak perempuan. Menurut saya ini persoalan baru lagi, kehadiran Abidah juga tiba-tiba dengan penuh ketidakjelasan. Misalnya mengenai anak yang kemungkinan hasil hubungan di luar nikah, kenapa juga Abidah bisa sekolah? Padahal tidak memiliki kejelasan status ayahnya atau status lainnya.
***
Sebenarnya saya sangat berharap banyak dari cerita Adefira ini, banyak hal yang menurut saya perlu digarap lagi. Bagi saya, perempuan dalam cerita adalah ladang garapan utama yang dapat dikembangkan ke mana saja. Saya tidak akan mempersoalkan bagaimana latar belakang penulis, jika sudah berani menulis, misalnya mengenai kebinalan perempuan, maka ya seharusnya harus berani mengembangkan sebinal-binalnya perempuan. Jika sudah berani menenggelamkan kaki hingga paha, maka harus siap pula jika suatu saat ada tokoh yang harus menenggelamkan seluruh tubuhnya. Misalnya dalam ending cerita, Nora begitu saja menyerah. Dia tidak berbuat apa-apa.
....
pernyataan itu kembali kudengar dari bibir Hamid. Dia menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Hingga aku pun sulit melepaskannya.
Saya rasa, sebejat-bejatnya perempuan, pasti dia juga punya perasaan. Dalam hal ini, Nora pasti punya cinta yang tulus. Tidak semudah itu dia melupakan penderitaan selama ditinggal Hamid. Lalu apakah semudah itu Nora? Saya yakin, banyak pekerja seks komersial yang memiliki pacar sebenarnya, walaupun dia banyak memiliki pacar hitungan semalam atau hitungan jam. Itu bukti bahwa Nora juga seharusnya bisa semacam itu, bisa sakit hati, bisa terluka yang sulit sembuh, dan lainnya.
Selain tokoh perempuan, dari cerita ini juga saya temukan ada hal kecil yang menurut saya perlu digarap. Mengenai kehadiran tokoh-tokoh yang sekiranya berpengaruh atau tidak. Misalnya kehadiran tokoh Wulan dan Tito dengan pernikahannya. Lalu ada pula Tanu yang menurut saya juga belum digarap secara serius keberadaannya. Barangkali kehadiran tokoh yang kuat akan membentuk cerita yang kuat pula. Atau dari cerita yang ampuh akan melahirkan tokoh yang kuat? Namun terserah, itu pilihan. Percaya atau tidak, itu juga pilihan. Kita juga diperkenankan untuk memilih memulai dari mana saja. Namun saya yakin, barangkali Adefira akan berhasil menulis Kunang-kunang yang Beterbangan ini jika berkenan mempertimbangkan tokoh-tokohnya. Misalnya dengan menghadirkan Nora yang tidak hanya menjadi perempuan yang menyerah begitu saja. Tidak hanya melacur yang begitu saja, tidak hanya melahirkan Abidah dari Hamid yang begitu saja. Atau mungkin berani membunuh tokoh yang sekiranya diperlukan hanya sementara saja. Barangkali.***


Setia Naka Andrian, berkicau di @setianaka

Kamis, 12 September 2013

Kaliwungu-Kendal: Reuni dan Produksi Budaya Identitas

Oleh Setia Naka Andrian

Lagi-lagi daerah (kecil) mengambil bagian untuk muncul dalam peta kesastraan Indonesia. Rumah, puisi dan penyair menjadi produksi identitas dalam berproses. Karena barangkali puisi lahir―selanjutnya ditentukan masa depannya oleh penyair dalam rumahnya masing-masing. Entah itu rumah yang ditinggalkan, rumah yang dipulangi, atau bahkan rumah yang hanya mukim dalam kenangan setelah mereka menang ketika menemukan rumah yang menculiknya.
Setelah beberapa waktu lalu di Sragen sempat mempertemukan penyair-penyair dari seluruh Indonesia untuk menulis puisi dengan tema seragam (Sragen), kini Kendal pun menyusul (berbunyi). Namun di kota tersebut menggiring hal yang tak sama. Sabtu (19/1) Plataran Sastra Kaliwungu mempertemukan beberapa penyair kelahiran Kendal yang barangkali kini telah diculik kota lain, serta beberapa yang memilih menetap di Kendal.
Sebut saja nama besar yang diculik kota lain dan telah dibesarkan di kota tersebut. Yakni Ahmadun Yosi Herfanda, yang kini telah menetap di Jakarta sebagai penyair religius-sufistik. Juga banyak menulis cerpen, kolom dan esei sastra. Sehari-hari dia mengajar pada Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong dan ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Selanjutnya ada Gunoto Sapharie dan Mudjahirin Tohir yang barangkali meninggalkan rumah namun tak jauh-jauh, yakni di Semarang.
Malam itu mereka bersama penyair-penyair (muda) Kendal saling berjabat kisah mengenai proses kreatif dan rumah kreatif (komunitas). Karena barangkali kini kota itu semakin menggeliat dengan munculannya berbagai komunitas, sebut saja Lestra, Bongkar, Rumah Diksi, Tebing, Omah Gores, Komik, Plataran Sastra kaliwungu, serta Lerengmedini. Komunitas yang bergelimang itu semakin mencuat dengan tatanan sustainable community dalam kegiatan-kegiatan bersama.
Dalam pertemuan (reuni) tersebut, juga telah dibagikan dummy Antologi 18 Penyair asli kelahiran Kendal yang dalam waktu dekat akan terbit. Kita berharap semua itu tidak sebatas reuni karya semata. Karena barangkali pertemuan bukanlah sebatas pembukuan bersama. Paling tidak dengan adanya puisi-puisi yang terkumpul, penyair-penyair yang terlibat dapat semakin membawa diri sebagai senjata untuk melakukan ikhtiar penemuan dan permenungan lain.
***
Budaya identitas mereka suguhkan (?). Ratusan halaman berisi puisi atas segala bentuk teriakan penyair untuk membela dirinya sendiri, bahkan rakyat (tertindas). Penyair dengan senjata andalan licentia poetarum melenggang-menari dengan kebebasan mengucurkan bahasa dalam puisi-puisinya. Sejalan dengan yang ditegaskan Teeuw (1983), bahwa bahasa yang digunakan dalam karya sastra cenderung menyimpang dari penggunaan bahasa sehari-hari.
Lalu apakah puisi masih menjadi puisi atau telah mampu berubah wujud menjadi identitas yang juga bakal diproduksi masyarakat? Atau sebatas diproduksi penyair untuk dirinya sendiri saja? Ketika puisi telah berupaya menjadi sejarah, kota, tradisi, mitos, bahkan puisi yang sebatas menjadi pesta estetika setiap kali hadir dalam diskusi-diskusi yang berpusingan.
Jika kita menengok lebih jauh yang terjadi di Banyumas, karya fenomenal Ronggeng Dukuh Paruk dari Ahmad Tohari. Identitas yang dimunculkan dari penulis telah menjadi milik masyarakat sepenuhnya. Pembaca telah menemukan jati diri dalam karya yang ditelurkan. Yang tidak hanya menjadi milik masyarakat sastra Banyumas atau masyarakat umum Banyumas saja. Namun sepenuhnya telah menjadi kepunyaan orang Indonesia dan menjadi salah satu kekayaan sastra Indonesia. Lalu kelak apakah Kendal sanggup menemukan hal yang sama?
Barangkali tidak menjadi persoalan untuk kota produktif semacam Kendal. Karena pada kenyataannya kota tersebut belakangan ini telah menerbitkan beberapa antologi puisi: Gusdurku, Gusdurmu, Gusdur kita; Merajut Sunyi Membaca Nurani; Sogokan kepada Tuhan; Tidak Ada Titik, Masihkah Kalian Melawan?; Tebing; serta antologi cerpen Kausal. Semoga segala itu bukan sebatas produksi identitas yang penuh dengan kesepian-kesepiannya saja. Namun kelak mampu menempatkan sastra sebagai aktivitas rutin yang semakin memiliki rumah yang kuat. Kendal, khususnya Kaliwungu dengan kota santrinya, barangkali kelak akan memunculkan sastrawan religius-sufistik semacam Ahmadun Yosi Herfanda. Semoga.***

Puisi: Eksistensi Tubuh yang Bersilaturahmi

Oleh Setia Naka Andrian

Puisi adalah makhluk penyair yang paling berbudi. Tindakan serta segala hal mengenai tingkah lakunya menjurus pada harkat dan martabat sebagai hamba yang luhur. Mengalir atas kemuliaan daya saing yang tak tertandingi oleh mahluk (puisi) ciptaan penyair lain. Sanggup menemukan pelbagai masalah dan memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana.
Namun ada kalanya puisi belum sanggup menyelesaikan kecemburuan di antara sesamanya. Seringkali egonya meninggalkan prasangka buruk bagi estetika puisi lainnya. Tingkah laku dalam pemenuhan kesehariannya pun menjadi ujung yang paling agung untuk memilih dan memilah pelbagai perselisihan dalam silaturahmi di media.

Idealisme Penyair sebagai Jurus Tersembunyi
Budi murni seseorang tak mungkin mengenal yang di luar pengalaman, karena pengetahuan budi itu selalu mulai dengan pengalaman. Metafisika murni tidak mungkin terjadi (Kant dalam Poedjawijatna, 1978).
Hal itu memberi sepetak penerangan bahwa penyair akan selalu dihadapkan pelbagai tindakan menyeluruh. Sebagai dirinya, dari, oleh dan untuk dirinya sendiri pula. Penyair mengakui keberadaan puisinya, puisi ‘ada’ atas dirinya. Lahir sebagai pribadinya, dan akan meneruskan hidupnya sendiri yang pendek atau berkepanjangan. Maka ia akan merasa sama sekali tidak mengikat maupun tidak pula ingin diikat oleh sesamanya. Dalam arti benar-benar berdiri sebagai individu yang mampu menaruh persoalan dan memecahkannya—menanam penyakit dalam dirinya sekaligus akan mengobatinya.
Segala bentuk pengorbanan pun akan senantiasa menjadi persoalan yang pelik bagi sesamanya. Misal hal tersebut kurang disepakati oleh orang lain yang paling terdekat secara biologis maupun psikis, antara ia dengan orangtua, saudara, hingga kepada pasangan (baca: pacar, suami/ istri). Dikarenakan ia ingin menjadi individu yang benar-benar tunggal untuk penemuan dan perenungan tertentu dalam masa depan harkat dan martabatnya sebagai penyair seutuhnya. Pertanggungjawabannya dilakukan ketika ia harus menentukan pilihan yang tersembunyi atas dasar perilaku yang sering dianggap menyimpang dan kurang disepakati oleh sesamanya. Namun hal itu mutlak sebagai jalan yang wajib ditempuh penyair.

Konservasi Puisi dalam Jagad Penyair
Kita sering menguping bahwa individu tak dapat terbelah lagi. Ia hadir atas kehendak diri sendiri sebagai manusia perseorangan. Lahir untuk menemukan kontrol sebagai “aku” (penyair) untuk bersaing dengan sesamanya. Pun puisi yang dilepas oleh penyair dan telah dibekali nasibnya masing-masing. Entah akan diam saja atau berusaha untuk mengubah agar lebih baik.
Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas. Yakni sebagai manusia perseorangan. Sebagai diri sendiri untuk melakukan kesehariannya masing-masing agar menemukan kesejatian dirinya masing-masing pula (Lysen, 1967).
Dapat kita lihat penyair di sekitar penyair lainnya. Mereka berdiri sendiri dalam pelbagai hal yang sama. Namun sesungguhnya berbeda. Penyair dibilang sejenis, tapi tidak sama. Karena para penyair berupaya untuk membeda-bedakan diri. Masing-masing ingin menunjukkan capaian estetika kepada penyair lain agar mendapat pengakuan sebagai hadiah atas kerja cerdas yang dilakukannya. Sehingga penyair lain akan merasa bahwa ia mampu memperoleh yang diinginkan. Maka otomatis penyair yang lain itu akan mempelajari pemenuhan capaian tersebut.
Para penyair pada puncaknya masing-masing dapat dilihat dari rumahnya (kelompok/ komunitas) jika mereka telah mencapai tingkat peradaban yang lebih tinggi dibandingkan rumah lain. Sedangkan penyair yang primitif adalah penyair yang masih sedikit diferensiasinya. Maka para penyair/ rumah yang lebih maju tersebut menunjukkan corak dari sifat-sifat dan tabiat yang semakin berkasta dalam jagad estetika. Mereka akan lebih tangguh, dapat melakukan beraneka rupa pekerjaan dapur estetika yang dijalankan dalam perkembangan arus perpuisian modern.
Lalu bagaimanakah diferensiasi itu terjadi? Penyair yang “primitif” tidak dapat berkembang dalam berdikari semata. Ia tidak mungkin mampu mencapai peradaban estetika yang lebih baik jika hanya mengandalkan pembawaan alam sahaja yang telah dimiliki sejak lahir. Karena tanpa pengaruh faktor-faktor tertentu dari luar tubuh penyair, perkembangan tidak akan begitu saja terguyur dari langit. Maka, mari bersilaturahmi.***

RumahDiksi, Agustus 2012