Minggu, 16 September 2018

Seni dan Ruang Berkesenian di Kendal (Suara Merdeka, 16 September 2018)


Seni dan Ruang Berkesenian di Kendal
Oleh Setia Naka Andrian



Tak banyak yang mengira digedung kecil di belakang GOR Bahurekso Kendal kerap terselenggara aktivitas dari para pegiatseni. Tak sedikit seniman cukup belia berproses kreatif di gedung serupa bangunan taman kanak-kanak itu.
Ya, bangunan tua itu adalah Balai Kesenian Remaja (BKR). Rumah para pegiat seni dan ruang bertemu beberapa komunitas yang tersudut dipusat kota. Sangat tak tersentuh pembangunan, minim fasilitas. Gedung yang hanya didiami dan dirawat seadanya oleh para pegiatseni di segenap jalan sunyi mereka.
BKR kalah rupa dari taman kota,alun-alun, seputaran jalan pusat kota yang selalu riuh. Orang-orang itu sekadar ingin melepas lelah, mengatasi dahaga, atau mengenyangkan perut semata. Lalu mereka berfoto,bersama beberapa teman,mengabadikan momen seadanya dialun-alun, di Taman Garuda, di bawah lambang Indonesia yang gagah, menjulang ke langit.
Tak ada yang salah denganupaya pemerintah mempercantik pusat kota atau mendirikan bangunan yang gemebyar ke hadirat mata khalayak. Namun para penyuara kebijakan tentu harus mempertimbangkan pula keberadaan ruang kreatif di pusat kota. Sebuah ruang yangkerap menjadi rumah bertemu,berdiskusi, menyibak gagasan, proseskreatif, serta mempresentasikan karya cipta.
Bolehlah kita tengok, misalnya,gelaran Barang Bukti Theater Parade #4, parade teater reguler yang digarap Teater Atmosfer Kendal, beberapa waktu lalu. Kita akan disuguhi parade teater di gedung yang sempit. Sesungguhnya tak jadi soalbesar atau kecil ruang akan tampak dengan seberapa orang yang menghuninya. Nah, saat parade teater itu, penonton membeludak. BKR pecah oleh kisaran 130 penonton pada tiap sesi, baik sore maupun malam. Belum lagi aktivitas lain; forum mingguan Jurasik (Jumat Sore Asik) dan seabrek laku kesenian lain.
Jika memasuki ruang pertunjukan, saat membuka pintu gedung, kita langsung menghadapi penonton yang lesehan di karpet lusuh. Bahkan jika ada penonton yang hendak keluar, pintu gedung tak dapat terbuka dengan leluasa. Harus ada beberapa penonton merelakan diri bergeseratau berdiri. BKR seakan anak tiri, atau bahkan anak yang tak dianggap memiliki orang tua. Ia berdiri lemas diantara gerak pembangunan yangkerap menyuarakan diri untuk mempercantik kota.

Di Mana Saja
Dewasa ini kita seakan tak bisamengelak dan beranggapan: kesenian dapat kita nikmati kapan saja dandi mana saja. Gawai di genggaman seakan mampu menjawab segalanya, termasuk sebagai ruang menyibak jagat estetika. Kita menapaki segenap keindahan di sebuah media, diruang kedua, selepas diabadikan dari ruang pertama yang berdarah-darah.
Kita tentu mafhum, tak sedikit pulayang masih beranggapan kesenian masih selalu butuh gedung. Ruang untuk mempresentasikan karya cipta, selepas beberapa waktu ditempaproses panjang. Ruang yang menjadidapur untuk menggodok berbagai gagasan, ide kreatif, hingga bahasan kerja bersama antarkomunitas. Kendali Seni Kendal, misalnya. Itulah gelaran tahunan, yang disebut embrio festival kesenian, yang telah berlangsung dua kali, 2016 dan 2017. Dan, tahun ini pun sudah mulai digodok.
Bolehlah jika kita bersuara dan meyakini, panggung di ruang publik dibuka begitu lebar. Seniman dapat memanfaatkan untuk menyuguhkan karya cipta. Seniman rupa dapat leluasa menunaikan gagasan di dinding-dinding, di tembok-tembok, bahkan di jalanan yang kerap dilewati manusia, yang ditempa panas dan hujan sekalipun.
Penyair pun dapat membacakan sajak di pasar, di lampu merah, atau dimana saja yang memungkinkan disinggahibanyak mata. Guyuran kata-kata akan bebas memasuki tubuh baru, puluhan, bahkan ratusan hati, akan turut serta menyambut kehadiran upaya mereka menebar kesadaran kolektif.
Namun tetap saja gedung serupa BKR pastilah sangat mereka butuhkan. Apalagi jika ruang serupa itu hanya satu-satunya—gedung di pusat kota, dapat diakses dengan mudah. Rumah yang patut dipertahankan dan dirawat sebagai titik pertemuan para pegiat seni di Kota Bahurekso.***

— Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989, dan bermukim pula di kota itu. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) ini sesekali menulis puisi, cerita pendek, esai, dan resensi buku.

Tidak ada komentar: