Minggu, 16 September 2018

Puisi, Wisata, dan Kota Literasi (Derap Guru, September 2018)


Puisi, Wisata, dan Kota Literasi
Oleh Setia Naka Andrian

Di Padang Panjang Sumatera Barat baru saja terselenggara perhelatan Temu Penyair Asia Tenggara 2018, pada 3 hingga 6 Mei 2018. Para penyair serumpun bahasa menulis puisi tentang kota. Puisi-puisi diberi tugas berat, mencatat kota! Puisi-puisi dipekerjakan oleh para penyair untuk menggiring publik melalui narasi sebuah Kota Hujan, Kota Serambi Makkah: Padang Panjang. Keelokan, kesejukan, hingga sejarah, budaya serta seabrek tetek-bengeknya menggoda penyair untuk menuliskannya dengan sepenuh energi dan estetika.
Ratusan penyair dari Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Timor Leste hadir ke Padang Panjang bersama puisi-puisinya, anak nurani mereka. Ratusan penggubah puisi juga berkhidmat untuk memasang telingan atas paparan materi dari berbagai negara. Di antaranya, Abdul Hadi WM (Indonesia), Rusli Marzuki Saria (Indonesia), Phaosan Jehwae (Thailand), Rahimah Binti A. Hamid (Malaysia), dan Hjh Dyg Fatimah Hj Awang Chuchu Ismayah (Brunei Darussalam).
Penyair dan para puisi mengunjungi kota yang mempertemukan mereka dalam jagat kata-kata. Penyair dan para puisi menyapa kota “sesungguhnya”, mereka menginap dalam kampung-kampung wisata yang disuguhkan panitia, yakni Kubu Gadang dan Sigando. Dikarenakan sebelumnya, melalui puisi para penyair lebih dulu menerka keelokan, kesejukan, sejarah, budaya serta apa saja tentang sebuah kota. Jika barangkali, di antara para penyair ada yang belum sempat singgah di Padang Panjang.
Setidaknya kita mafhum, layak menuduh jika sebelumnya di antara para penyair ada yang hanya menjelajahi mesin pencarian serba tahu (baca: google) untuk melancarkan proses penciptaan puisinya. Bagi mereka yang belum sempat mengunjungi atau sama sekali belum pernah memiliki kontak sejarah maupun batin dengan Kota Hujan tersebut. Meskipun, tetap sah-sah saja.
Puisi masih tetap dituliskan. Puisi diberi tempat untuk menunaikan tugasnya. Puisi-puisi yang lahir dengan mengusung tema yang diminta panitia, segala tentang Padang Panjang. Dengan mengelaborasikan diksi: sejuk, hutan, hujan, kabut, dan gunung. Alhasil, dalam perhelatan tersebut diluncurkanlah buku kumpulan puisi Epitaf Kota Hujan (Padang Panjang dan Puisi-Puisi Penyair Asia Tenggara), yang merupakan puisi-puisi yang lolos seleksi sebagai tiket untuk mengikuti Temu Penyair Asia Tenggara. Puisi-puisi hasil kurasi dari Ahmadun Yosi Herfanda, Iyut Fitra, dan Sulaiman Juned.
Puisi-puisi tidak selesai hanya dibukukan. Puisi-puisi tidak hanya berhenti pada peluncuran dan diskusi. Dalam perhelatan Asia Tenggara itu, puisi-puisi bermisi menggaet pelancong dan pencanangan Padang Panjang sebagai Kota Literasi. Penyair dan para puisi diajak untuk bertandang di sebuah desa wisata, Kubu Gadang. Mereka disuguhi beraneka suasana, jajanan, makanan, rumah-rumah gadang, seni tradisi beladiri Silek Lanyak, serta sejumlah kesenian tradisi lainnya.
Dengan harapan, segala itu mampu menjadi kenangan tersendiri bagi penyair dan para puisi. Agar suatu saat nanti, jika barangkali para penyair Asia Tenggara bepergian di Sumatera Barat, maka Padang Panjang lah satu-satunya tempat untuk dikunjungi, satu-satunya kampung halaman yang patut untuk disinggahi kembali.
Seperti dalam penggalan puisi Badrul Munir Chair dalam buku Epitaf Kota Hujan. Berikut, Sehampar halaman, sesamar lekuk kain buaian/ kukenang hari lalu sebagaimana seorang juru kunci/ menghitung sisa-sisa hari sebelum gunung/ memeluk dan memanggilnya kembali.//
Berkat puisi, atas berbaik-hatinya kata-kata yang segalanya menarasikan Padang Panjang, akhirnya membuat kota itu dinobatkan sebagai Kota Literasi oleh Perpusnas RI. Tak lain, niatan tersebut sebagai wujud keseriusan Kota Padang Panjang mendukung Gerakan Literasi Nasional, yang akhir-akhir ini begitu lantang digemborkan seantero Indonesia ini.
Meskipun, kita boleh juga bertanya-tanya. Bukankah jika yang diundang untuk perhelatan Temu Penyair Asia Tenggara sudah tidak hanya penyair dari dalam negeri saja, sudah tentu pemerintah pusat harus turut serta. Dikarenakan, kali itu panitia yang menghelat acara se-Asia Tenggara tersebut hanya dari Pemerintah Kota Padang Panjang, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Padang Panjang, serta Forum Pegiat Literasi Padang Panjang semata. Sederhananya, bolehlah kita angkat topi kepada Padang Panjang, kepada para junjungan penyair dan segenap pegiat literasi di sana.
Dan di luar segala itu, boleh pula kita turut melempar sinis. Apa pula pengaruh perhelatan se-Asia Tenggara yang telah rampung itu, jika selepas acara tiada kita temukan perubahan apa-apa. Baik pada diri penyair, masa depan puisi, nasib gerakan literasi, hingga segala sesuatu yang berkait-paut pada sastra, kesenian, dan kebudayaan di Indonesia ini.***

─Setia Naka Andrian, Peserta Temu Penyair Asia Tenggara 2018. Pengajar di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang.

Tidak ada komentar: