Rabu, 18 Januari 2017

Narasi 'Miring' Pendidikan Kita (Wawasan, 18 Januari 2017)

Narasi ‘Miring’ Pendidikan Kita
Oleh Setia Naka Andrian

Lagi-lagi ada kasus yang mencoreng pendidikan kita. Sepertinya tidak pernah ada henti-hentinya persoalan menyelimuti pendidikan kita. Jika tidak persoalan dari dalam, ada masalah terkait kekerasan terhadap siswa yang dilakukan guru,  dan yang dilakukan wali murid terhadap guru. Selanjutnya baru-baru ini masih ada saja didapati hukuman fisik terhadap siswa kita. Mereka terlambat masuk sekolah, lalu diberi hukuman fisik di bawah guyuran hujan deras. Akhirnya membuat mereka tumbang pingsan dan harus menjalani perawatan di puskesmas dan rumah sakit.
Melihat kasus tersebut, tentu masyarakat kita tidak akan terima alasan apa pun dari pihak sekolah. Kasus ini, tentu menjadi tambahan untuk deretan persoalan pendidikan kita. Bagaimana akan maju dan berkualitas sesuai cita-cita pendidikan nasional kita, jika masih saja ada hambatan-hambatan. Pastinya segala hal yang merugikan bagi siswa, guru, sekolah, bahkan bagi masa depan pendidikan kita.
Apa pun alasannya, segala bentuk kekerasan, baik verbal maupun fisik, tak seharusnya dilakukan oleh pengelola sekolah. Sekolah yang tentunya diidamkan bagi siswa sebagai tempat menuntut ilmu, bersosialisasi, berproses kreatif, menemukan jati diri, dan tentu sebagai ruang menjalani proses pendewasaan. Namun, jika masih saja ada suatu hal yang seperti kasus tindak kekerasan di sekolah tersebut. Maka, pendidikan di benak anak didik kita akan menjadi tempat yang membosankan, keras, dan menakutkan.

Butuh Pendidikan Ideal
Masyarakat kita, orangtua murid, barang tentu anak didik kita, sangat butuh pendidikan yang ideal. Seperti halnya yang dicatat Sutari Imam Barnadib (1983), bahwasanya Ki Hajar Dewantara dalam Taman Siswa selalu menitik-beratkan pendidikan yang bertumpu pada pertumbuhan anak didik secara harmonis.
Pendidikan kecerdasan, pikiran, kesusilaan, keindahan, dan keluhuran budi pekerti. Tidak lupa pula terkait pertumbuhan dan perkembangan jasmani. Juga pekerjaan tangan (keterampilan) mendapatkan perhatian, termasuk pendidikan kesenian yang mendapat perhatian istimewa, di antaranya seni suara, seni tari, seni lukis, seni sastra. Meskipun, segala itu perlu penggenjotan terus-menerus.
Laku harmonis dalam pendidikan, keselarasan dalam mensukseskan rencana dan cita-cita pendidikan, tentu yang utama menjadi tanggung jawab bagi pengelola sekolah. Lebih-lebih bagi nakhoda sekolah, yang tentu bertugas memegang komando tertinggi di atas kapal pelayaran pendidikan.
Kita semua pasti juga telah sadar. Masyarakat kita sadar. Bagaimana kondisi anak didik kita sekarang ini. Pola pikir dan segenap pemahamannya tentu berbeda dengan masa-masa anak didik yang hidup pada era 1980 atau 1990. Anak didik kita saat ini seakan merasa telah memiliki banyak pilihan. Segalanya seakan telah terpenuhi, dan dengan mudah mereka peroleh. Apa lagi era cyber seperti sekarang ini. Interaksi mereka terhadap teman sepergaulan, komunitas anak muda, bahkan terhadap dunia luar, segalanya dapat ditempuh hanya dalam hitungan detik.
Informasi tumbuh dan berlangsung dengan begitu cepat. Tentu, segala itu membuat anak didik kita seakan kehilangan kendali, jika memang misalnya, lingkungan tertentu kurang berpihak atau mungkin kurang menyenangkan baginya. Maka selanjutnya, anak didik kita akan mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Tidak peduli yang dilakukannya berdampak positif atau negatif.

Memberi "Nilai Lain"
Terkait berderet penggambaran tersebut, sekolah yang dalam hal ini sebagai ruang berproses bagi anak didik kita. Maka, haruslah berupaya atau bahkan harus mampu menciptakan segala yang dibutuhkan anak, agar sekolah mendadi ruang menjalani proses pendidikan yang harmonis tadi.
Paling tidak, kepala sekolah sebagai nakhoda harus memberikan contoh positif. Mampu memberikan kebijakan atas tawaran yang menarik terhadap anak-anak didiknya. Harus sanggup memberikan ‘nilai’ lain, selain proses mengguyur materi pelajaran semata. Sekolah harus memompa penciptaan godaan bagi anak didiknya. Misalnya yang sempat disinggung tadi, terkait penyediaan ekstrakurikuler jasmani dan kesehatan (olahraga), kesenian, atau keistimewaan dukungan terhadap beragam kegiatan positif lainnya.
Setidaknya, godaan tersebut akan menjadi rangsangan lain, agar siswa merasa betah berproses di sekolah. Dengan adanya kegiatan-kegiatan tersebut, paling tidak akan mengurangi aktivitas mereka di luar sekolah yang kiranya tidak bermanfaat. Kali ini, sekolah perlu mempertimbangkan iklim kegiatan positif bagi segenap anak didik dengan berbagai perlakuan istimewanya. Bukan malah membatasi atau malah melarang mereka. Maka yang berkembang saat ini, sekolah-sekolah sudah mulai berlomba-lomba dalam memberikan godaan atas penyediaan ekstrakurikulernya. Baik ekstra olahraga, kesenian, maupun tawaran aktivitas positif lainnya.***


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Bukunya yang telah terbit, “Perayaan Laut” (2016) dan “Remang-Remang Kontemplasi” (2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

10 komentar:

Nita Pramilasari mengatakan...

Nita Pramilasari
4C
Tulisan ini muncul karena permasalahan pendidikan di Indonesia yang terbilang masih belum maksimal, cara mendidik dan memberi sanksi yang kurang baik malah akan membuat pemikiran pada anak merasa terancam atau bahkan sekolah tempat yang menakutkan. Seharusnya sekolah memberikan kenyamanan bagi kelangsungan belajar mengajar, memberikan potensi agar peserta didik dapat berkembangan.

Nita Pramilasari mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

M RIZQON HILMI 15410055
4B

Saya setuju dengan opini yang tertulis diatas.Opini tersebut ditulis karena,di zaman sekarang ini,banyak sekolah-sekolah yang menggunakan kekerasan fisik dalam mendidik para siswanya,tentu ini sangat dilarang oleh undang-undang,karena dapat membuat nama baik sekolah tersebut,tercemar selain itu pelaku yang dalam hal ini seorang guru dapat dipidana karena melakukan kekerasan fisik terhadap siwanya.Seharusnya sekolah lebih dapat menggunakan cara-cara halus dalam mendidik muridnya,tidak harus diselesaikan dengan kekerasan karena kekerasan justru akan menambah masalah.Mengenai kegiatan eskul di sekolah seharusnya menyediakan eskul yang dapat menarik minat belajar para siswanya seperti eskul tentang karya ilmiah,sastra,dll.

Nadia Anastasia mengatakan...

Nadia anastasia
4C

Dari bacaan di atas pendidikan mempunyai persoalan yang harus memiliki jalan keluar yang nantinya dapat menyelesaikan masalah tersebut, karena setiap persoalan apalagi jika persoalan itu mengenai tentang pendidikan harus segera di selesaikan. Oleh karena itu para masyarakat harus memberikan saran, kritik bahkan komentar kepala sekolah kalau pendidikan melanggar atau proses belajar mengajar tidak baik. Semua itu dilakukan hanya untuk meningkatkan mutu dan kualitas bagi sekolah agar dapat maju dan berkembang.

Nadia Anastasia mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
suginingsih.blogspot.com mengatakan...

Suginingsih
4c
Dari postingan ini saya berpendapat bahwa seharusnya sekolahan menjadi rumah kedua setelah rumah bagi para siswa. Hal yang paling dibenci siswa adalah hukuman dari guru. Adanya guru yang suka menghukum siswanya dapat berakibat siswa tersebut membenci swkolahnya. Namun, bukan berarti guru dilarang menghukum siswa. Ya, seharusnya hukuman tersebut menyangkut bagian dari pendidikan.

Eka Rizky Amaliyah mengatakan...

Permasalahan dalam dunia pendidikan seolah tak ada hentinya.
Kaitannya dengan kekerasan yang dianggap sebagai hukuman untuk peserta didik yang melakukan kesalahan, bukan menjadi solusi baik dalam mendidik mereka.
Sekolah merupakan ladang ilmu yang seharusnya menjadi tempat belajar peserta didik dengan harapan mendapat masa depan yang lebih baik.
Akan tetapi jika kekerasan masih dijadikan solusi dalam menghukum kesalahan peserta didik, bukan tidak mungkin bahwa sekolah dapat menjadi tempat menyeramkan bagi mereka, karena tekanan akibat kekerasan yang telah mereka dapatkan.
Bila telah seperti itu, tentu banyak mendapat anggapan negatif dari publik.
Kepala Sekolah yang menjadi pemimpin tertinggi harusnya memikirkan bagaimana sekolah yang dipimpinnya bukan hanya bagus bangunannya, tetapi bagus juga cara guru mendidik peserta didiknya.
Kepala sekolah juga harus memiliki perencanaan berbagai kegiatan diluar pembelajaran yang dapat menunjang perkembangan peserta didik baik secara fisik maupun mental, yang juga dapat digunakan untuk menyalurkan kekreatifitasannya melalui kegiatan yang diminati.
Terkait peran guru, yang seharusnya menjadi suritauladan untuk para peserta didiknya atau dikatakan dalam istilah jawa yaitu "digugu lan ditiru" hal itu harusnya disimpan dalam memori agar tidak menjadi perkara remeh yang dianggap pajangan saja.
Jadi guru itu sudah pasti dijadikan contoh oleh peserta didiknya, maka dari itu harusnya berperilaku baik agar menjadi contoh baik bagi peserta didik.
Jika guru masih menggukan  kekerasan di sekolah, tak akan menjamin adanya perkembangan peserta didik.
Keberhasilan guru dalam mendidik sangat menentukan keberhasilan dari suatu pendidikan.
Maka, harusnya lembaga sekolah, guru, dan peserta didik bekerjasama dalam mensuksekan pencapain tujuan pendidikan nasional.
(Eka Rizky Amaliyah 4C PBSI)

Unknown mengatakan...

Neli Afiatun Janah 4b
menurut saya sekolah memang tempat untuk mencari ilmu dan banyak peraturan yang harus dipatuhi. namun adakalanya sekolah yang salah menaruh peraturan atau ketertiban disekolah. seperti halnya kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada anak didiknya yang terlambat masuk sekolah tidak sebanding dengan keterlambatannya. menurut saya hal tersebut memang sepele namun kadang kala ganjaran yang diterima oleh siswa tidak sebanding dengan kesalahannya. alasannya mungkin memang karena kendaraan yang ditumpanginya mengalami kerusakan. namun guru tidak mau tahu karena ini merupakan pelanggaran.

Aan Umaroh mengatakan...

kekerasan terhadap peserta didik yang sedang marak seharusnya membuat kepala sekolah semakin greget untuk membimbing dan selalu mengevaluasi cara kerja para pendidiknya. Agar tidak ada lagi kekerasan yang mencoreng nama pendidikan dan menasehatinya bahwa kekerasan justru tidak mengajar murid untuk membedakan mana yang baik dan yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku yang dianggap pendidik itu keliru. tapi sebaliknya, kekerasan malah akan membuat peserta didik enggan sekolah atau bahkan manjadi pribadi yang keras dan pendendam.
sekolah semestinya mjd tempat untuk para murid mendapat ilmu dan berproses menuju menuju kedewasaan yang baik bukannya malah kekerasan fisik yang dia dapat. namun yang sering jadi pertanyaan, apakah seorang guru berhak menghukum muridnya??? menghukum boleh saja, asal menghukumnya sesuai edukasi dan sekiranya mempunyai manfaat bagi peserta didik itu. sifat kasih sayang dan kebijakan seorang gurulah yang akan merubah murid menjadi baik.:)

Aan Umaroh
(4C/PBSI)

Balqismalik mengatakan...

terkait permasalahan dalam dunia pendidikan tak kunjung reda. ada saja masalah yang terjadi antar muridnya, guru dengan murid, juga wali murid dengan guru. mengenai kasus kekerasan memang dianggap sebagai solusi terbaik dalam menangani murid. namun, hal tersebut malah menjadikan murid berontak bahkan berdampah buruk bagi mentalnya.

sekolah merupakan ladang ilmu bagi masa depan dan pembentukan karakter dan identitas bangsa. jadi, tidak seharusnya kekerasan itu terjadi. bahkan sangat memalukan jika sekolah tercemar karena tindak kekerasannya. dengan pendekatan pada murid apabila melakukan kesalahan, barangkali akan memperbaiki kesalahannya juga terhadap mentalnya. sebagai guru, seharusnya mengetahui pertumbuhan masalah pada murid dan penyelesaian masalah yang harus diatasi. hal itu perlu mendapat perhatian khusus.

sekolah yang baik diharapkan dapat menciptakan pendidikan yang ideal. pendidikan yang tidak hanya menitikberatkan pada nilai akademis saja, namun pendidikan ekstrakulikuler juga pendidikan karakter. dengan begitu, akan terbentuk keharmonisan dalam pendidikan. karena tanggung jawab pengelola sekolah adalah mewujudkan keselarasan dalam menyukseskan rencana dan cita-cita pendidikan. selain itu, untuk menciptakan pendidikan ideal butuh kerjasama dari semua pihak.

kepala sekolah sebagai nahkoda yang memegang komando tertinggi dalam sekolah, seharusnya memberi nilai lain dalam kutip mampu memberikan nilai positif. setidaknya mampu memberikan kebijakan atau tawaran aktivitas positif yang menarik bagi murid. sekiranya kegiatan-kegiatan tersebut dapat menjadi sumbangan baik bagi mereka. sehingga, murid tidak hanya dicekoki akademis saja, namun diimbangi dengan pendidikan ekstrakulikuler sesuai dengan hasratnya. dengan demikian, akan lahir murid yang berkualitas dan memiliki hardskill serta softskill yang baik.

ANNISA BALQIS MALIK 4C 15410140