Rabu, 14 Desember 2016

Menimbang (Ketiadaan) UN (Wawasan, 14 Desember 2016)

Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional
Oleh Setia Naka Andrian

Saya masih ingat betul, betapa ketakutannya diri saya ini ketika kali pertama hendak menghadapi Ujian Nasional (UN). Yakni pada jenjang pendidikan dasar (SD), saat itu masih disebut Evaluasi Belajar Tahap Nasional (Ebtanas) tahun 2001.  Barangtentu hal itu sangat dirasakan pula oleh siswa saat ini. Jika kita runut beberapa istilah ujian tersebut, di antaranya Ujian Negara (1965-1971), Ujian Sekolah (1972-1979), Evaluasi Belajar Tahap Nasional (1980-2002), Ujian Akhir Nasional (2003-2004), dan Ujian Nasional (2005-sekarang).
Dalam perjalanan panjangnya, deretan ujian tersebut menjadi riwayat momok yang tiada terkira bagi siswa kita. Ujian menjadi sebuah titik akhir yang diyakini sebagai jalan penting. Jalan sangat akhir dan satu-satunya. Seolah proses-proses sebelumnya dan proses lainnya tidak begitu berarti jika sudah hendak berhadapan dengan UN. Mata pelajaran (mapel) lain yang tidak diujikan nasional pun menjadi terabaikan, tidak diajarkan dengan sebagai manamestinya seperti mapel nasional tersebut. Jika saya kala itu hendak UN pada jenjang SD, ya hanya Matematika, bahasa Indonesia, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) saja yang diguyur mati-matian oleh guru kelas saya.
Bahkan, saya ingat betul kala itu. Dari mulai SD hingga SMA, kerap kali pada semester akhir menjelang ujian, segenap siswa diguyur mati-matian untuk menyuntuki mata pelajaran (mapel) yang akan diujikan nasional. Maka tentu, mapel yang tidak diujikan nasional kerap kali dirampas waktunya. Misalnya pada mapel yang dinilai sangat sulit semacam matematika, pagi merampas jam mapel lain, dan siangnya masih ada tambahan jam pelajaran lagi. Bahkan sempat pula, pagi hari ada tambahan jam pelajaran pula sebelum waktu masuk kelas pada jam pelajaran yang semestinya.
Bayangkan, pengisahan tersebut sungguh sangat mengerikan. Tentu hal serupa masih terjadi hingga saat ini. UN menjadi ujian akhir yang menyeramkan. Lebih-lebih, pada masa saya kala itu, tidak ada ujian ulang. Jika tidak lulus ya sudah. Akan mengulang sekolah pada jalur kejar paket, di antaranya Kejar Paket A (SD), Kejar Paket B (SMP), dan Kejar Paket C (SMA). Itu bagi saya sangat mengerikan. Semester akhir menjelang ujian, saya sangat kehilangan waktu bermain. Begitu pula kehilangan waktu untuk sekolah diniah (madrasah) yang biasa dijalankan pada siang hingga sore hari. Lalu malamnya pun, saya juga kehilangan waktu untuk mengaji kepada kiai di kampung halaman. Semua tersita untuk mempersiapkan ujian.
Orangtua pun tentu tak berani mengganggu. Segala aktivitas yang seharusnya dilakukan semacam mencuci baju, membersihkan kamar, semua tidak diperintahkan kepada saya. Sungguh, segalanya begitu menyeramkan. Jika saya ingat kembali masa itu, saya rasa begitu tragis. Seakan UN menjadi penentu utama dan sama sekali tidak ada lainnya. Sebagai tolok ukur utama, dan sangat menutup penilaian lainnya.
Hingga akhir-akhir ini begitu ramai diperbincangkan mengenai moratorium UN. Berhari-hari bergulir menjadi diskusi publik yang bergelimang seakan tiada hentinya. Segenap pemangu kepentingan pendidikan, praktisi, politikus, bahkan hingga Presiden Jokowi turut andil dalam persoalan yang sebenarnya sudah menjadi penyakit tahunan bagi dunia pendidikan kita.
Tidak sedikit pihak pun, menginginkan agar dilaksanakan penghentian pelaksanaan UN. Wacana yang digulirkan Mendikbud Muhadjir Effendy ini, sekan hanya menungu ketuk palu peraturan presiden tentang penghentiannya. Namun, tentu segala ini harus benar-benar ditimbang dengan baik. Jangan sampai segala ini hanya akan menjadi tindakan-tindakan yang terkesan gegabah. Jangan sampai pula, segala ini akan dinilaimasyarakat sebagai penyakit lama, yakni pemerintahan (menteri) baru maka hadir pula kebijakan baru. Menteri baru, maka bergulirlah kurikulum baru.
Tentu masyarakat kita sudah sangat pandai. Masyarakat sudah mampu menilai. Tentu kita semua juga sangat paham, setiap orang (pemimpin) memiliki caranya masing-masing untuk memajukan bangsa dan negara ini. Barangtentu, segala itu ada baik dan buruknya. Ada pula kekurangan dan kelebihannya. Maka, barangtentu yang terpenting adalah segala yang diputusan itu sudah menjadi keharusan yang memang sudah melalui pertimbangan dan riset yang matang. UN hilang bagus, diganti dengan evaluasi lain, tentu bagus. Asal tepat dan sesuai dengan kebutuhan serta tetappada jalur tujuan pendidikan kita.
Seperti halnya misalnya jika benar jadi, UN tingkat dasar dan menengah dikelola pemerintah daerah, lalu UN tingkat atas dikelola pemerintah provinsi, misalnya. Segala itu butuh persiapan yang matang. Pmerintah harus mempersiapkan siapa saja yang akan membuat soal di tingkat daerah dan provinsi terebut. Sudah layak atau belum para pembuat soal tersebut. Jika belum, bagaimana solusinya.
Lalu tetap harus pula mengantisipasi kecurangan-kecurangannya. Tingkat nasional saja banyak ditemui kasus, bagaimana lagi jika tingkat dan provinsi yang ruang lingkupnya lebih kecil. Seperti itu kiranya. Yang pasti, ujian harus tetap ada. Entah bentuknya seperti apa. Karena jika sampai tidak ada ujian, bisa jadi siswa kita tidak akan pernah akan belajar sama sekali. Tentu ujian juga perlu sebagai ajang kompetisi positif, sebagai pembentuk mental petarung sejati tentunya. Semoga.


─Setia Naka Andrian, lahir dan tinggal di Kendal. Pengajar di Universitas PGRI Semarang. Buku puisinya “Perayaan Laut” (April 2016). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi keduanya “Manusia Alarm”.

122 komentar:

Unknown mengatakan...

Menurut saya,apabila UN ditiadakan lebih baik masih dihadirkannya ujian-ujian atau evaluasi namun tidak hanya pada beberapa mata pelajaran khusus saja. Alangkah baiknya, dihadirkannya ujian dari semua mata pelajaran yang dibutuhkan. Tidak seperti waktu masih SD, mata pelajarannya diujikan yaitu Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Indonesia saja. Setidaknya mata pelajaran yang lain harus ikut serta diujikan dan tidak ada yang dikhususkan sehingga mata pelajaran yg lain tidak ketinggalan. Disitu para siswa akan jauh lebih menguasai banyak pengetahuan dan tidak hanya beberapa, jika yang mereka kuasai sesuai dengan mata pelajaran yang seharusnya diberikan. Oleh sebab itu perlunya ujian atau evaluasi untuk mata pelajaran lainnya yang dibutuhkan oleh siswa.


ARUM HONEY AYU ANGGRAINY (15410259)
3F/PBSI

Nurinnuzulia mengatakan...

Menurut saya lebih baik UN ditiadakan saja karena rasanya seperti tidak adil jika kita menempuh pendidikan sekian tahun namun kelulusannya hanya ditentukan oleh UN. Belum lagi banyak dampak-dampak negatif yang disebabkan oleh UN, ditambah dengan kondisi mental siswa-siswi yang mudah stres menjelang UN. Apalagi dengan adanya UN seolah-olah mengesampingkan mata pelajaran lainnya dan seakan dianggap tidak begitu penting termasuk pendidikan karakter, padahal pada era globalisasi seperti sekarang ini pendidikan karakter sangat diperlukan. Seharusnya kelulusan ditentukan oleh penilaian sehari-hari para siswa di sekolah oleh guru.

NURIN NUZULIA (3F/PBSI)

Unknown mengatakan...

saya sependapat dengan tulisan Setia Naka Andrian kenapa harus Ujian Nasional yang menjadi momok kelulusan seorang pelajar, padahal dari sekian tahun belajar namun yang dinantikan hanya sebuah kata lulus dan selembar kertas ijazah, sungguh ironis sekali, dan terkadang siswa-siswi saat menjelang ujian nasional tidak siap apalagi yang anak laki-laki yang dulunya dikelas satu dan dua jarang membaca buku pelajan dan lain sebagainya dan harus menghadapi ujian nasional,hanya dengan bantuan les pagi saat di sekolah maupun tambahan mata pelajaran yang akan di uji kan mungkin sebagai siswa akan stres menghadapi hal tersebut,karena tertekan, serta kondisi mental siswa tidak mendukung sehingga dampak negatif yang di sebabkan bisa sakit dan lain sebagainya, justru malah ujian nasional terganggu dengan adanya hal-hal tersebut. lebih baik ujian nasional di tiadakan namun diganti dengan evaluasi yang lainya yang sepadan, dan kelulusan harus ditentukan dengan penilaian sehari-hari saat di sekolah biar adil dan tau mana yang benar-benar serius dalam belajar dan tidak.


VETI FATMAWATI (3f/PBSI)

nanik@bloger.com mengatakan...

Menurut saya tidak sepantasnya Ujian Nasional (UN)jika dihapus karena UN bisa dikatakan sebagai ajang Evaluasi dari suatu pendidikan. Kemampuan siswanya dalam menyerap semua mata pelajaran (Mapel) dievaluasi di dalam Ujian Mandiri (UN). Yang saya sayangkan mengapa hanya dalam bidang mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan IPS. Bukankah akan lebih menarik lagi jika siswa diberi hak untuk memilih jenis mata pelajaran Ujian Nasional yang siswa ingin kerjakan sesuai dengan bidang yang diminati pastilah hal itu akan memberikan hasil yang lebih maksimal untuk siswa tersebut. Maksimal untuk nilai yang siswa dapatkan juga maksimal untuk mengasah bakat dan minat siswa tersebut.
"Saya masih ingat betul, betapa ketakutannya diri saya ini ketika kali pertama hendak menghadapi Ujian Nasional (UN)." satu kalimat pertama yang ditulis oleh Setia Naka Andrian. Kalimat tersebut seolah menegaskan rasa Khawatir jika sebuah Ujian Nasional dijadikan sebuah kelulusan. Lantas jika UN benar akan dihapuskan bagaimana cara kita menilai atau menjadikan patokan pengukur kemampuan dari seorang siswa. Apakah harus dengan membuka semua nilai rapot hasil Evaluasi tiap semester dari siswa tersebut? apakah hal tersebut Efisien?. UN dirancang juga ada hal negatif dan positifnya semua itu telah diperhitungkan, namun jika ada solusi yang lebih baik dengan cara menghapuskan Ujian Nasional di kedepannya tidak masalah karena sebuah perubahan perlulah dilakukan untuk membangun bangsa yang lebih maju.
Sri Harnanik (3F/PBSI)

Ulfi nailil muna mengatakan...

Memang tidak adil jika penentu sebuah kelulusan di sekolah adalah UN. Menurut saya memang bagus jika UN dihapuskan karena UN hanya membuat para siswa-siswi sekolah menjadi tidak fokus terhadap semuanya dan yang dipikirkan hanya UN-UN saja itu malah membuat mereka menjadi takut, berpikiran yang tidak-tidak terhadap UN dan bahkan bisa menimbulkan kecemasan yang berlebihan hingga memicu stres. sama seperti tulisan Setia Naka Andrian masa sekolah saya dulu sewaktu menjelang UN sangat padat tambahan di pagi hari sebelum jam pelajaran di mulai setelah pulang sekolah juga diadakan les itu justru malah membuat tenaga, pikiran terkuras habis dan pas hari H-UNya malah jadi tidak fokus. Namun akan tidak afdhol jika hanya Lulus-lulus saja tanpa sebuah rintangan yang harus di hadapi karena pada jaman sekarang ini banyak sekali siswa-siswi sekolah yang malas untuk berpikir untuk itu saya setuju dengan pernyataan Mendikbud Muhadjir Effendy Tentang penghapusan UN dan diganti dengan UASBN.

Ulfi Nailil Muna (3F/PBSI)

Zulfa lailatul Fajri mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Zulfa lailatul Fajri mengatakan...

Ujian nasional memang seharusnya diadakan, bahwasanya penyelenggaraan UN selain sebagai salah satu penentu kelulusan. Ujian Nasional juga dimanfaatkan untuk tiga hal lainnya, yaitu pemetaan, seleksi ke jenjang yang lebih tinggi. UN dijadikan sebagai standar nasional dalam melakukan pemetaan terhadap mutu sekolah. Sebagai pemetaan mutu sekolah penyelenggaraan UN sangat penting untuk mengetahui apakah sekolah itu sudah memenuhi standar nasional atau berada di bawah. Dengan menggunakan standar itu kita bisa mengukur mutu sekolah Dari hasil UN, setiap sekolah mendapatkan semacam rapor yang memperlihatkan mutu sekolah tersebut dengan melihat perolehan nilai siswanya dalam UN.

Hasil UN juga menentukan seorang siswa untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi negeri karena mulai tahun 2014 hasil UN terintegrasi dengan Seleksi nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Jadi hasil UN juga menentukan apakah seorang siswa diterima atau tidak di suatu perguruan tinggi negeri

Hasil UN juga digunakan sebagai evaluasi sekolah. Karena itu, UN sangat penting untuk dilaksanakan karena hasilnya bisa dijadikan sebagai pemetaan dan evaluasi sekolah. Dengan begitu, sekolah bisa memiliki potret dirinya, dan mengukur mutu sekolahnya.Sehingga bisa memperbaiki diri sesuai pemetaan dari hasil UN.Peran orang tua harus ikut andil dalam membimbing dan memantau anaknya selama berada di rumah,agar anak belajar secara rutin supaya Ujian Nasional tidak menjadi hal yang menakutkan. Dengan begitu ujian nasional akan berjalan dengan lancar dan peserta didik juga memperoleh hasil yang memuaskan.

Zulfa lailatul fajri (3F/PBSI)

sulistiyowati mengatakan...

Saya mewakili maahasiswa sangat tidak setuju jika UN dihapus atau ditiadakan dari dunia pendidikan. Karena pada dasarnya UN memiliki peran tau manfaat penting dalam mengukur kemampuan peserta didik, dimana dapat digunakan juga sebagai bahan evaluasi dan pembinaan oleh pemerintah pusat. Saya lebih sepakat jika hasil UN digunakan sebagai salah satu indikator kelulusan siswa, bukan penentu utama dari kelulusan. Jika yang dipikirkan adalah tingkat kelulusan yang tinggi, secara tidak langsung tujuan pendidikan hanya mengacu pada hasil akhir dan tidak memperdulikan proses yang telah dilalui peserta didik dari awal sampai akhir. Hasil UN dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pendidikan yang selama ini dilaksanakan. Sehingga dapat menjadi bahan untuk melakukan perbaikan-perbaikan secara nasional. Tidak menutup kemungkinan bahwa pelaksanaan UN selalu dihinggapi oleh kecurangan dan sebagai ajang bisnis dari semua pihak. Berbagai kecurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan UN harus ditindak lanjuti dengan serius, termasuk kecurangan dalam anggaran harus segera dibrantas dan harus dibenahi. Maka dari itu pelaksanaan UN dari awal sampai akhir harus dilakukan dengan cara transparan dan profesional. Dalam hal ini jiwa berkarakter yang dibutuhkan. Karena orang yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan UN harus benar-benar memiliki jiwa pengabdian dan memiliki integritas yang tinggi. Beberapa alasan yang melatarbelakangi kecurangan dalam pelaksnaan UN muncul, diantaranya siswa ingin mendapat nilai yang bagus, menjaga nama baik sekolah, sebagai lahan bisnis, dan masih banyak lagi alasan yang lain. Perlu kita pertimbangkan lagi mengenai penghapusan UN. Kalau tidak ada UN lantas apa yang digunakan sebagai alat ukur pendidikan? Menurut saya UN harus tetap ada dan dilaksankan. Perbaiki sistemnya agar lebih baik lagi dan dapat meningkatkan mutu pendidikan di negara ini. Andai saja sejak awal UN dapat dilaksankan dengan penuh rasa tanggung jawab dan kejujuran dari semua pihak yang terkait mungkin masing-masing satuan pendidikan sudah banyak mendapatkan bantuan. Karena dapat kita ketahui salah satu tujuan dari pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, buka tingkat kelulusan yang tinggi. Oleh sebab itu pemerintah, guru, orang tua, siswa harus dapat berpikir dengan bijak dan berkualitas agar pendidikan di negara ini juga berkualitas dan maju. ( Sulistiyowati, 3D)

Unknown mengatakan...

saya sangat setuju jika ujian nasional jika diadakan,walaupun itu banyak menjadi perdebatan para pengamat pendidikan,kalau memang ujian nasional di ganti,hanya sekadar namanya saja tetapi ujian tetap di adakan. Hal ini sebagai bentuk tolak ukur dalam suatu evaluasi belajar di sekolah serta sebagai perbandingan dalam menentukan tingkat kemajuan pendidikan dalam suatu daerah yang ada di indonesia.
mengenai wacana pemerintah akan menyerahkan ujian pada tingkat sekolah dasar dan sekoah menengah,maka hal yang di lakukan pemerintah harus selektif mencari mereka pembuat naskah soal ujian,serta mempertimbangkan asas kredibilitas dan loyolitas agar ujian dapat berjalan sesuaai yang telah di cita-citakan.

Agus Prasetyo(3D/PBSI)

Erni Oktaviana mengatakan...

Menurut saya, UN (Ujian Nasional) lebih baik ditiadakan karena UN hanya menjadi momok bagi siswa. UN tidaklah efektif jika menjadi penentu kelulusan. Pasalnya siswa SMA belajar selama tiga tahun dan kelulusan hanya ditentukan tiga hari, sangatlah tidak adil meskipun sekarang ini kelulusan tidak hanya ditentukan oleh nilai murni hasil UN saja tetapi dikalkulasi dengan nilai raport. Namun, tetap saja hal ini hanya menjadi momok belaka. Percuma saja diadakan UN tetapi masih banyak kecurangan-kecurangan dalam mengerjakan soal, pasalnya banyak siswa yang kurang percaya diri dalam mengerjakan soal. Hal ini tentunya sangat merugikan karena anggaran yang digunakan untuk UN tidak dimanfaatkan sebagaimanamestinya. Ujian yang seharusnya menjadi evaluasi akhir pembelajaran di sekolah justru dijadikan alat untuk mencapai nilai yang tinggi dengan menghalalkan berbagai cara, menyontek misalnya.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi pembelajaran di sekolah selain Ujian Nasional, yaitu dengan menguji siswa secara lisan. Hal ini beralasan karena dengan ujian lisan siswa dapat belajar dan menguasai materi serta menguraikan atau menjelaskan dengan bahasa sendiri. Selain itu, ujian lisan juga dapat meminimalisasi terjadinya kecurangan-kecurangan seperti yang terjadi pada ujian tulis. Dengan ujian lisan juga siswa berlatih berbicara dan menguji mental siswa agar berani mengemukakan pendapat. (Erni Oktaviana, 3E)

Dina Noviana mengatakan...

Menanggapi tulisan Setia Naka Andrian, saya sangat setuju dengan tulisan tersebut. Banyak pandangan yang berbeda tiap-tiap orang menilai Ujian Nasional (UN). Misalkan saja dari pelajar itu sendiri. Dari pengalaman saya yang pernah mengikuti Ujian Nasional, banyak diantara peserta Ujian yang menggerutu mengenai Ujian Nasional. Mereka merasa tidak adil jika perjuangan mereka selama bertahun-tahun hanya ditentukan dalam waktu tiga hari saja.

Bagi saya pribadi, saya setuju jika Ujian Nasional dihapuskan. Banyak kecurangan-kecurangan yang terjadi saat Ujian dilaksanakan. Selain itu, Ujian Nasional juga seakan menjadi momok yang membuat pelajar kalangkabut dan stres dibuatnya. Persiapan untuk menghadapi Ujian Nasional pun sangat menyita waktu. Pelajar diharuskan berangkat pagi hari untuk tambahan mata pelajaran yang akan di ujikan. Sore harinya, pelajar juga harus mengikuti kelas tambahan untuk mata pelajaran yang diujikan pula. Kegiatan pelajar seakan-akan dari pagi sampai sore hari hanya untuk membahas Ujian Nasional, padahal persiapan Ujian Nasional biasanya diadakan beberapa bulan sebelum Ujian dilaksanakan. Akhirnya, membuat pelajar akan merasa tertekan dan stres.

Alangkah lebih baiknya jika pihak Sekolah mengadakan Ujian evaluasi bagi tiap mata pelajaran, dan bukan hanya pelajaran tertentu saja. Kelulusan pelajar juga ditentukan Sekolah bukan ditentukan pemerintah pusat. Dengan cara demikian, pelajar tidak merasa tertekan dan masih bisa mengukur sejauh mana pengetahuan dan kemampuan yang telah mereka capai selama ini.
(Dina noviana,15410144, 3D PBSI)

Aulia Salsabila mengatakan...

Menurut saya Ujian Nasional sebaiknya diubah atau digantikan dengan evaluasi yang sepadan dengan pembelajaran yang diampuh oleh siswa. Jadi siswa tidak was-was saat menghadapi ujian akhir. Karena saya sudah merasakan perasaan was-was saat menghadapi Ujian Nasional. Harus menambah jam belajar dirumah maupun jam tambahan disekolah. Tak hanya itu, jadwal ujian nasional yang diadakan hanya tiga hari tidak sepadan dengan pembelajaran siswa yang diampuh sampai bertahun-tahun tetapi penentuannya diadakan hanya tiga hari saja. Ini merasa tidak adil. walaupun persiapan sudah direncanakan berbulan-bulan sebelum ujian dimulai.
Lebih baik setiap sekolah mengadakan ujian tiap mata pelajaran supaya siswa bisa mempelajari semuanya, bukan seperti pada ujian nasional yang diujikan hanya 3 atau 4 mata pelajaran saja.Lalu tingkat soalnya pun harus sesuai dengan tiap sekolah itu sendiri. karena setiap sekolah tingkat kompetensinya berbeda-beda. karena penentu kelulusan sebenarnya dari sekolah itu sendiri bukan dari pemerintah.
(Aulia Salsabila, 3D PBSI)

IMANTARA06 mengatakan...

Kalau menurut saya jika UN di hilangkan sangat tidak setuju dikarenakan, UN sebagai acuan apakah sudah layak siswa/siswi tersebut diluluskan, atau belum layaknya diluluskan. Sebenarnya UN itu tidak begitu mengerikan, tinggal kembali ke individu masing-masing bagaimana cara menyikapinya,dan menghadapinya. Kalau bagi diri saya sendiri UN tidak begitu mengerikan jika kita sudah mempersiapkannya secara baik, kita juga jangan bersikap terlalu berlebihan, bukan karena hanya UN kita fokus terus-menerus untuk mempersiapkan diri menghadapi UN. Kita juga mempunyai kewajiban yang lain, yang harus kita lakukan setiap harinya.




(Imantara Kukuh Prayoga,3D PBSI)

Rukayati mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Rukayati mengatakan...

Saya sependapat dengan penulis bahwa tidak seharusnya Ujian Nasional (UN) ditiadakan walaupun UN menjadi momok yang mungkin sangat menakutkan bagi siswa. Tidak dapat dipungkiri bahwa UN merupakan salah satu hal yang memotivasi siswa untuk semangat dalam belajar. Jika UN ditiadakan, maka bukan suatu hal yang mustahil bila ada siswa yang selama ia sekolah ia tidak pernah belajar sama sekali.
Sebenarnya bukan UN-nya yang harus dihapuskan melainkan pelaksanaannya yang harus diperbaiki agar tidak ada kecurangan-kecurangan yang dapat merugikan banyak pihak. Beredarnya kunci jawaban yang tidak jelas kebenarannya dan sumbernya seolah-olah sudah menjadi rahasia umum. Hal itulah yang menodai pelaksanaan UN. Banyak siswa yang tergoda dan meyakini kebenaran kunci jawaban tersebut. Mungkin sikap percaya diri harus ditanamkan kepada para siswa agar siswa yakin terhadap dirinya sendiri dan tidak mudah tergoda dengan hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri. Namun hal tersebut bukanlah sepenuhnya kesalahan siswa jika nilai UN pernah digunakan sebagai penentu kelulusan sehingga siswa berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai yang terbaik tanpa peduli bagaimanapun caranya. Selain itu, soal UN yang dibuat oleh oleh pemerintah pusat juga kurang efektif karena pendidikan di Indonesia ini belum merata. Alangkah lebih baiknya jika soal UN disesuaikan dengan kualitas atau kemampuan pendidikan ditiap-tiap daerah agar lebih bisa diterima oleh siswa karena sesuai dengan pendidikan yang ia peroleh.
Ujian itu penting karena nilai ujian merupakan hasil dari proses belajar mengajar setiap harinya, namun ujian yang berlangsung hanya beberapa hari itu hendaknya juga tidak menjadi penentu sebuah kelulusan.

(Rukayati 3E PBSI)

Chatrine Santi Birgante mengatakan...

Saya setuju dengan essai Setia Naka Andrian, bahwasannya Ujian Nasional harus tetap ada. Jika tidak, lalu bagaimana seorang guru akan menentukan kriteria kelulusan sebagai simbol keberhasilan perjuangan siswa selama menempuh pendidikan. Yang dirasa begitu berat dan tidak mengenal hari tanpa guru.

Tidak bisa semena-mena dapat meluluskan seorang siswa begitu saja jika Ujian Nasional ditiadakan. Sudah barang tentu kemampuan Setiap orang tidak sama, jadi jika Ujian Penentuan kelulusan tidak ada sekolah tidak akan mempunyai siswa yang berkelulusan terbaik. Begitu juga bagi seorang siswa, mereka tidak akan pernah mengetahui seberapa tinggi tinggkat kemampuan akdemik mereka dibandingkan dengan yang lainnya.

Seperti yang sudah disampaikan saudara Setia Naka Andrian Ujian Nasional haru tetap ada jika dihapuskan haruslah diganti dengan ujian yang setara dengan ujian yang setara. Dan sudah tidak bisa dijamin tidak akan penerus bangsa yang membudayakan belajar setelah mendapatkan apa yang didapat setelah memperoleh pendidikan.

Chatrine Santi Birgante (3E PBSI)

Unknown mengatakan...

Saya sependapat mengenai opini Menimbang (Ketiadaan) UN, yang ditulis oleh Setia Naka Andrian dan dimuat dalam surat kabar Wawasan,14 Desember 2016, mungkin kiranya apa yang telah disampaikan oleh Setia Naka Andrian mampu mewakili perasaan dari peserta UN.
Pengalaman dari pelaksanaan UN dari tahun ke tahun memang begitu menegangkan. Peserta UN lebih diarahkan pada mata pelajaran yang masuk dalam UN. Sehingga, peserta didik tidak jarang yang merasa terbebani bahkan merasa tertekan. Tekanan-tekanan ini diakibatkan bukan hanya pengarahan materi pembelajaran yang akan dihadapi saat UN, tetapi seperti halnya yang dituturkan oleh Naka " Semester akhir menjelang ujian, saya sangat kehilangan waktu bermain. Begitu pula kehilangan waktu untuk sekolah diniah (madrasah) yang biasa dijalankan pada siang hingga sore hari. Lalu malamnya pun, saya juga kehilangan waktu untuk mengaji kepada kiai di kampung halaman. Semua tersita untuk mempersiapkan ujian"."
Hal yang dialami oleh Naka serupa dengan apa yang saya dan peserta UN alami saat menjelang pelaksanaan UN. Namun, bila ditinjau dari nilai kerohanian, sebuah UN belum tentu akan berhasil apabila hanya berkutik pada jasmani, seperti halnya tambahan-tambahan materi pelajaran UN, tetapi juga perlu pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan keyakinan peserta UN. Tetapi pendekatan kepada Tuhan yang dilakukan secara terus-menerus atau istiqomah. Sehingga peserta UN dapat lebih tenang dalam menghadapi ujian-ujian maupun UN.
Dapat kita rasakan semestinya UN menjadi momok yang menakutkan, namun apabila pelaksanaan UN dapat diterapakan dengan sistem yang baik serta adanya persiapan yang matang dalam persiapan UN, dan UN tanpa harus membebani peserta UN.
Harusnya UN bukanlah hal yang digunakan sebagai ajang kelulusan utama, melainkan harusnya UN dijadikan sebagai evaluasi pembelajaran, yang nantinya akan dijadikan sebagai bahan pembenahan materi pembelajaran.
Alangkah baiknya apabila syarat kelulusan utama ditentukan dari proses belajar peserta didik, seperti halnya penekanan dalam karakter peserta didik untuk bersikap jujur, tanggung jawab, terampil, dan memiliki intelektual yang baik.
Intan Maulia Marta (3D).

laela nahdliyah mengatakan...

Saya sependapat dengan Setia Naka Andrian, bahwa Ujian Nasional yang digadang-dagang sebagai penentu dalam kelulusan siswa sangatlah memberatkan. Ujian Nasional yang dilaksanakan hanya dalam waktu kurang dari satu minggu itu, untuk tingkat SD dilaksanakan 3 hari, untuk tingkat SMP dilaksanakan 4 hari dan untuk tingkat SMA dilaksanakan 6 hari itu sangatlah memberatkan. Dan menurut saya rasanya kurang adil jika kelulusan siswa hanya ditentukan dalam hari-hari tersebut karena akan sia-sia semua proses yang sudah dilakukan siswa selama ini oleh Ujian Nasional tersebut. Pengalam pribadi saya ketika saya duduk dibangku SMP, saya mempunyai teman yang kebetulan kami berteman dari kelas 1 sampai kelas 3, dia murid yang menurut saya cerdas dan selalu aktif dalam kegiatan belajar mengajar, semua pelajaran yang diberikan oleh guru selalu bisa ia tangkap dengan baik, terkadang sayapun meminta bantuan dia ketika ada materi yang saya tidak tahu ataupun tertinggal. Namun sesuatu yang mustahil terjadi, ia dinyatakan tidak lulus Ujian Nasional, sontak seluruh masyarakat sekolah kaget akan hal itu dan terlebih keluarganya yang tidak terima akan hal itu, ternyata setelah diteliti lebih lanjut, siswa tersebut berada dalam kondisi yang kurang sehat saat Ujian Naional berlangsung dan ia salah dalam meilngkari jawaban, misal jawaban nomor 3 ia tulis pada nomor 4 dan seterusnya sehingga jawaban yang ia lingkari semuanya salah dan membuatnya tidak lulus Ujian Nasional.
Itu adalah salah satu contoh bagaimana Ujian Nasional menurut saya bukan salah satu jalan menentukan bahwa siswa tersebut layak lulus atau tidak karena banyak kendala yang terjadi dalam Ujian Nasional seperti yang teman saya alami tersebut, dan masih banyak pula kendala lainnya dalam Ujian Naional seperti bolpoint yang tidak terbaca oleh komputer dan kesalahan dalam mengisi jawaban ataupun lupa dalam mengisi identitas diri, hal kecil yang dampakya sangat besar bagi seorang siswa.
Menurut saya Ujian Nasional bukan hal yang cocok sebagai penentu siswa dalam kelulusan karena dalam Ujian Nasional sendiripun belum tentu siswa mengerjakan soal sendiri, dilapangan yang sudah saya alami sejak SD, siswa banyak yang bekerja sama dalam menyelesaikan soal tersebut ketika pengawas lengah, saling tanya dan saling kodekodean, ditingkat SMP dan SMA, kunci jawaban adalah hal yang membuat saya benci karena siswa yang bodoh akan mendapat nilai bagus dan siswa yang pandai hanya mendapat nilai yag pas-pasan semua itu terbantu oleh kunci jawaban. Jadi menurut saya pemerintah harus lebih memikirkan lagi apakah Ujian Naional layak sebagai penentu kelulusan siswa? Ataukah ada hal lain yang dapat dijadikan penentu kelulusan siswa? Karena saya sendiri lebih setuju jika kelulusan siswa dinilai melalui proses yakni bagaimana ia dikelas dan bagaimana dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar apakah termasuk siswa yang aktif atau biasa saja. Bukan dengan waktu yang singkat.

Laela Nahdliyah (3F/PBSI)














Unknown mengatakan...

UN diciptakan pemerintah tentunya dengan suatu tujuan mulia, ingin mengangkat mutu pendidikan nasional yang berstandar baik dan terus meningkat. Tapi pemerintah lupa, bahwa yang harus distandarkan pertama kali adalah moral bukan nilai satu atau dua pelajaran saja. Apa pun alasan pemerintah bahwa kelulusan bukan mutlak dari UN, nyatanya, UN masih penentu utama kelulusan. Buktinya yang tidak lulus UN harus ikut Paket B atau C, padahal yang tidak lulus hanya satu pelajaran. Jujur saja, UN adalah bisnis milyaran bagi pembuat soal apapun lembaganya. Di sisi lain, sekolah memasang target lulus maksimal karena ada tekanan dari yang lebih tinggi, dan seterusnya. Sehingga terciptalah ketidak jujuran.
Gubernur tidak jujur, bupati tidak jujur, dinas tidak jujur, kepala sekolah tidak jujur, guru tidak jujur dan murid tidak jujur yang terjadi adalah lulus ketidakjujuran. Tidak menutup mata, yang jujur lebih banyak, tapi sedikit yang benar benar jujur. Pemerintah maupun dinas pendidikan atau lembaga sejenisnya harusnya jangan berfikir bisnis semata dengan mengatasnamakan UN, karena yang jadi obyek adalah siswa. Siswa stress, gurunya stress, orang tuanya lebih strres. Jadilah UN membuat orang jadi stress. Betapa pemerintah sangat berdosa karena telah menciptakan robot-robot yang hanya pandai dalam hal yang menurut saya tidak seharusnya, melupakan semua kebutuhan jiwa yang harusnya tenang menjadi tekanan. Pendidikan yang baik jangan mengukur dari satu sisi tapi dari berbagai sisi, atau bisa jadi pemerintah tidak mampu. Menurut saya, UN boleh tetap ada, tapi jangan dijadikan alat ukur kelulusan. Kembalikan kelulusan kepada sekolah masing-masing karena mereka lebih tahu bagaimana perkembangan siswanya yang sebenarnya.
Wahyuningrum Pangestuti (3E/PBSI)

Unknown mengatakan...

Menurut pendapat saya yang pernah melelakukan UN, saya sependapat dengan tulisannya Setia Naka Andrian bahwasannya UN tetap diadakan,jika UN ditiadakan atau tetap diadakan untuk menentukan keputusan itu harus dilakukan dengan pertimbangan yang seksama,contoh kecil pemerintah harus mengetahui keadaan sekarang dalam masyarakat,apakah masyarakat dapat menerima kebijakan tersebut yang semestinya mungkin banyak masyarakat pandai yang mengetahui tentang adanya UN,sama halnya yan dikatakan Setia Naka Andrian.
saya sendiri tetap mengharapkan jika UN tetap diberlakukan karena dengan adanya UN(Ujian Nasional)menjadi ajang proses evaluasi siswa dan proses keberhasilan Guru dalam mengajar selama disekolah.
dilihat dari kacamata religius jika adanya UN sebelum berlangsung banyak siswa dan guru melakukan Istighosan(Doa bersma),minta doa kiyai,agar dimudahkan dalam melaksanakan Ujian Nasional, pasti hal ini jika UN ditiadakan akan hilangnya ritual agamis tersebut ketika akan menjelang UN.Bahwasannya adanya istighosah tersebut bertujuan pula untuk mendekatkan para siswa dalam hal keagamaan,bahkan ketika menjelang UN sebagian besar banyak siswa yang memperbaiki diri,hal itu yng terjadi pada sekolah saya kala itu.
Apapun kebijakan pemerintah mau tidak mau pasti menuntut masyarakat indonesia untuk mematuhi peraturan tersebut.semoga lebih baik apapun yang akan diputuskan oleh pemerintah.

(DEWI KUSNIATUN NITA/ 15410262/ 3F )

Unknown mengatakan...

Ujian Nasional memang tidak tepat jika harus digunakan sebagai penentu kelulusan. Karena siswa sudah belajar selama 3 tahun di sekolah dan Ujian Nasional adalah salah satunya penentu kelulusan. Padahal siswa telah melewati pelangajar yang telah diberikan oleh para gurunya. Karena untuk menentukan kelulusan bukan hanya dengan menyelenggarakan Ujian Nasional, bisa saja diganti dengan ujian lainnya. Seperti ujian praktek atau ujian lisan agar para guru mengetahui kadar pengetahuan siswa-siswi nya. Setahu saya,kunci jawaban soal Ujian Nasional saat ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan siswa-siswi dan para guru maupun sekolah. Meskipun hal seperti ini hanya sebagian di berbagai sekolah, tetapi tidak menutup kemungkinan siswa-siswi yang lain dapat terkontaminasi dan mengikuti hal tersebut. Jadi hal semacam ini menurut saya sudah tidak efektif lagi. Percuma selama mendekati ujian siswa di hadapkan dengan berbagai macam pelatuhan dan pelajaran tambahan jika pas hari Ujian mereka malah justru mengambil langkah yang mudah dengan mmencari kunci jawaban. Sungguh di sayangkan hal semacam ini. Ujian Nasional boleh di hapus tetapi harus di ganti dengan ujian yang lain. Misal ujian praktek. Agar mengetahui secara langsung kapasitas yang di pahami oleh siswa-siswi. Terimakasih


Tirani WIDIYA SAPITRI (3D/PBSI)

fidhotur rofiah mengatakan...

Menurut pendapat saya, apabila UN jadi dihapuskan atau ditiadakan maka akan menyulitkan bagi pemerintah untuk memajukan dunia pendidikan. karena Ujian Nasional diselenggarakan dengan tujuan untuk mengasah kemampuan siswa dalam bidang akademik yang selama beberapa tahun telah ditempuh. Seperti yang kita tahu, Ujian Nasional tidak hanya menentukan kelulusan saya tetapi juga sebagai pengukur tingkat kualitas suatu lembaga pendidikan yang ada di Indonesi.
Selain itu adanya Ujian Nasional bertujuan untuk memaksa para siswa agar belajar bersungguh-sungguh. Setiap tahun pemerintah akan mengetahui berapa banyak iswa yang lulus dan tidak lulus dalam UN terutama pada hasil atau nilai yang didapat. dengan begitu, lembaga pendidikan akan mengetahui sudah sejauh mana perkembangan pendidikan yang ada di Indonesia. Selanjutnya akan dievaluasi dan diperbaiki ditahun mendatang.
Meskipun dalam pelaksanaan UN sering ditemukan kasus kecurangan. Menurut saya hal semacam itu memang sangat disayangkan, bagaimana tidak? Ujian Nasional yang seharusnya menjadi salah satu praktik dalam mengembangkan sikap karakter yaitu kejujuran justru disalahgunakan. Oleh karena itu,UN jangan dijadikan sebagai tolak ukur nilai 100% untuk menentukan kelulusan, tetapi juga nilai karakter yang diterapkan dalam keseharian terutama di lingkungan sekolah.
Untuk mewujudkan itu semua dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak baik orangtua, guru, siswa, dan pemerintah itu sendiri. Semoga UN akan tetap ada dan mejadi semangat tersendiri bagi para siswa untuk belajar dan menjadi yang terbaik.
(Fidhotur Rofiah/3D)

anamiraturrohmah mengatakan...

Ujian nasional(UN) menurut saya harus tetap ada karena apa jika UN dihapuskan mungkin para murid malah bisa jadi malas belajar. Semisal UN dihapus juga harus ada pengganti kelulusan yang lebih efektif bagi para murid agar murid juga harus tetap belajar. Tetapi jika semisal UN tetap ada juga kasihan para murid yang sudah belajar keras dalam menempuh pendidikan namun yang dijadikan acuan kelulusan hanya nilai UN itu menurut sangat tidak adil. Sebaiknya para guru juga harus mempertimbangkan perlakuan dan nilai rapot para murid untuk penentu kelulusan. Apalagi terkadang murid yang nilai rapotnya bagus-bagus terkadang nilai UN nya jelek itu lebih kasihan lagi sedangkan murid yang nakal malas belajar terkadang nilai UN nya malah bagus itu sangat tidak adil. Sebaiknya UN harus tetap ada karena itu digunakan para murid sebagai ajang pertarungan yang positif. Namun,para guru juga harus mempertimbangkan berulang kali bukan hanya nilai UN yang dijadikan acuan kelulusan.


ANA MIRATURROHMAH (3F/PBSI)

Unknown mengatakan...

Sebaiknya Ujian Nasional dihapus saja karena sekolah seharusnya menilai siswa dari sudut pandang pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Namun, dalam Ujian Nasional siswa hanya dituntut menguasai aspek kemampuan kognitif. Padahal, materi UN hanya mengandalkan kemampuan intelektual. Hal itu sangat disayangkan dikarenakan UN mengabaikan unsur proses dalam pendidikan. Belum lagi anggaran pemerintah yang digunakan untuk melaksanakan UN di seluruh jenjang pendidikan. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan korupsi dana UN.
Alangkah baiknya apabila Ujian Nasional yang menjadikan momok menakutkan bagi siswa diimbangi dengan kemampuan yang diperoleh siswa selama di sekolah. Dengan begitu, siswa tidak akan begitu terbebani dengan diadakannya UN yang hanya mengujikan mata pelajaran tertentu saja.
Ajeng Diah Febtriani (3F/PBSI)

Teguh mengatakan...

Menurut pemikiran pribadi saya sendiri, tentunya UN mesti dipertahankan. Karena, UN merupakan tolak ukur bagi pendidikan di Indonesia. UN juga tentunya sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah khusunya Kemendikbud untuk membenahi kekurangan yang sedang dialami oleh dunia pendidikan kita saat ini. Jika pun UN akan dihapuskan, tentunya pemerintah harus mengganti UN dengan terobosan yang sangat baru guna memperbaiki pendidikan di negeri ini. (Teguh, 3D/PBSI)

Winda Yulia Astuti mengatakan...

Menurut saya lebih baik Ujian Nasional (UN) tetap diadakan saja, tak perlu dihapus. Karena jika Ujian Nasional (UN) tetap dihadirkan, maka siswa dapat belajar dengan tekun, dan dapat mengigat kembali mata pelajaran yang sebelumnya atau yang sudah lama tidak dibahas kembali dalam mata pelajaran tersebut. Dengan ditiadakannya Ujian Nasional (UN) maka siswa menjadi malas untuk belajar untuk mengingat kemabali mata pelajaran yang sudah lampau. Tetapi guru harus mempertimbangkan kembali mengenai penentuan kelulusan. Ujian Nasional (UN) yang diujikan hanya mata pelajaran tertentu seperti matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA. Uian Nasional (UN) jangan hanya dijadikan sebagai acuan untuk menenentukan kelulusan siswa. Pertimbangakan juga nilai mata pelajaran yang lainnya. Guru juga harus mempertimbangakan bagaimana karakter siswa kesehariannya dalam lingkungan sekolah. Jika hanya Ujian Nasional (UN) yang hanya diujikan beberapa mata pelajaran saja yang menjadi acuan penentuan kelulusan siswa. Maka siswa hanya akan fokus pada mata pelajaran yang akan diujikan . sedangkan mata pelajaran yang lain akan terabaikan begitu saja.
Memang Ujian Nasional (UN) menjadikan para siswa menjadi merasa tegang, ketakutan, dan berbagai macam perasaan lainnya. Namun dengan begitu siswa akan belajar dengan semangat dan sungguh-sungguh. Sebaiknya Ujian Nasional (UN) harus tetap diadakan karena itu digunakan para murid sebagai ajang pertarungan yang positif. Namun, guru juga harus mempertimbangkan berulang kali bukan hanya nilai ujian Nasional (UN) yang dijadikan sebagai acuan penetuan kelulusan siswa. Namun mata pelajaran yang lain juga harus dipertimbangkan, dan karakter keseharian siswa di lingkungan sekolah.


Winda Yulia Astuti (3D/PBSI)

Unknown mengatakan...

Membahas mengenai Ujian Nasional (UN) memang sudah selayaknya menjadi hal yang tidak asing lagi bagi kita yang mengambil kosentrasi pada jalur pendidikan. Seperti halnya yang sudah diceritakan panjang lebar oleh Setia naka andrian dalam Opininya "menimbang (ketiadaan) UN". (Wawasan, 14 Desember 2016). Akhir-akhir ini perbincangan mengenai Ujian Nasional memang lagi hangat-hangatnya. Hal ini barang tentu tidak terlepas dari wacana Mendikbud Muhadjir Effendy yang ingin menunda/menangguhkan pelaksanaan Ujian Nasional. Artinya Ujian Nasional ditiadakan atau diganti dengan kebijakan lain yang lebih baik tentunya. Namun wacana yang dikemukakan oleh Mendikbud sebagai pemenuhan putusan Mahkamah Agung tahun 2009, itu ditolak oleh presiden dalam sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Rabu tanggal 07 Desember 2016 kemarin. Ini artinya Ujian Nasional akan tetap dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan seperti SD/MI, SMP/MTs, MA/SMA/Sederajat. Namun pada jenjang SD/MI Ujian Nasional diadakan dengan nama baru yaitu Ujian Sekolah. Terlepas dari itu semua dinamika Ujian Nasional ini memang sudah tidak canggung lagi untuk kita perdebatkan. Setiap kebijakan tentunya mempunyai kelebihan dan tidak terlepas juga dari suatu kekurangan. Maka dari itu lah barang tentu diperlukannya evaluasi dalam Ujian Nasional. hal tersebut tak lain tak bukan hanya lah untuk memajukan Pendidikan Nasional dan mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. yang perlu dilakukan sekarang adalah memperbaiki sistem kebijakan yang belum berjalan dengan baik. Seperti yang kita ketahui bahwa pelaksanaan Ujian Nasional sejak awal diterapkanya pada tahun 2005 masih banyak memunculkan kecurangan-kecurangan. Misalnya saja dengan bocornya soal-soal ujian, maraknya kunci jawaban yang beredar di kalangan pelajar, atau bahkan tidak sedikit pula pihak sekolahan itu sendiri yang sengaja memberikan jawaban kepada siswa-siswinya. Atau kita juga dapat melihat kondisi mental anak-anak sebelum menghadapi ujian. Dimana anak-anak cenderung mudah stres karena beban yang begitu berat atau bahkan kondisi tubuh juga dapat menurun. Selain itu juga ada hal klasik yang terus-menerus terjadi pada anak-anak sebelum menjelang ujian. yaitu munculnya pendapat bahwa kalau Ujian Nasional menggunakan kunci jawaban kemungkinan lulusnya besar dan apaliba tidak menggunakan kunci kemungkinan tidak lulusnya yang besar. Alangkah baiknya bila sistem kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah atau yang berwenang di lingkup ini Kemendikbud bisa membentuk mental yang baik pada anak-anak. Tidak hanya menuntut pada hasil akhir yang begitu tidak adil.

Singgih aji prasetyo (3F/PBSI)

Elysa Mayasari mengatakan...

Saya setuju dengan essai Menimbang (Ketiadaan) UN yang di tulis oleh Setia Naka Andrian. Ujian nasional harus tetap ada, karena ujian tersebut merupakan sebagai penentu untuk kelulusan siswa, dengan adanya ujian nasional siswa yang tadinya tidak mau belajar, kini mau tidak mau harus belajar agar dapat lulus. Untuk itu ujian nasional harus tetap ada seperti halnya yang dikatakan oleh Setia Naka Andrian, "Yang pasti, ujian harus tetap ada. Entah bentuknya seperti apa. Karena jika sampai tidak ada ujian, bisa jadi siswa kita tidak akan pernah akan belajar sama sekali. Tentu ujian juga perlu sebagai ajang kompetisi positif, sebagai pembentuk mental petarung sejati tentunya."

Elysa Mayasari (3D/PBSI)

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan Setia Naka Andrian bahwa UN harus tetap ada. Dengan mengubah UN tidak dijadikan syarat utama penentu kelulusan siswa, agar tidak menjadi riwayat momok yang menyeramkan bagi siswa. Jadi tidak perlu mengadakan jam-jam tambahan yang menguras waktu untuk menghadapi UN.

Siswa juga tidak kehilangan waktu bermain karena siswa juga butuh bermain. Emosi siswa saat SD, SMP, SMA pasti selalu ingin bermain berbeda dengan yang sudah mahasiswa "yang memang ingin benar-benar kuliah". Begitu pula kehilangan waktu untuk sekolah diniah dan kehilangan waktu untuk mengaji. Padahal sekolah diniah dan mengaji pada zaman sekarang ini sangat penting mengingat zaman sekarang ini orang yang bisa ngaji dapat dihitung dari pada orang yang tidak bisa ngaji.

Dengan alasan apapun UN harus tetap diadakan yang dijadikan tolak ukur bagi pendidikan di Indonesia dan sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah untuk membenahi kekurangan dalam dunia pendidikan, dengan tidak menjadi syarat utama kelulusan. Jika UN dihapuskan, pemerintah harus memikirkan matang-matang terlebih dahulu. harus diganti dengan apa UN, supaya bisa dijadikan tolak ukur dan bahan evaluasi siswa untuk memperbaiki pendidikan di Indonesia.

Nilna Zakkiya Azmi (3D)

Unknown mengatakan...

Saya sependapat denagan essai dari Setia Naka Andrian bahwa ujian nasional harus tetap ada, karena ujian nasional adalah sebagai pengukur kemampuan siswa selama bersekolah sampai dimana , toh sekarang ini ujian nasional juga tidak sebagai penentu kelulusan siswa. Bagaimana jika ujian Nasional dihapuskan? kita tidak dapat mengetahui kemampuan siswa dalam berfikir.
Apalagi sekolah-sekolah yang ada dinegara masih banyak yang kekurangan fasilitas dalam kegiatan pengajaran. kalau (UN) ditiadakan siswa tidak akan pernah merasakan rasa cemas, dan kegelisahan tidak akan pernah lagi merasakan greget seperti apa yang pernah saya rasakan dahulu.
Setidaknya jika (UN) dihapuskan pemerintah menfasilitasi sekolah-sekolah yang masih belum memenuhi standar. sekaligus memberikan solusi materi yang tepat untuk menguji kemampuan siswa.
Jika (UN) ditiadakan siswa akan lebih malas belajar, siswa berfikiran pasti lulus karena yang meluluskan pihak sekolah. Saya berharap ujian nasional masih diberlakukan karena agar siswa terpacu untuk belajar yang lebih giat lagi, belajar dengan keras.
Ujian nasional juga melatih kejujuran siswa untuk tidak melakukan hal-hal plagiasi( meniru dari hasil orang lain). Menguji mental siswa dalam menghadapi pekerjaan yang susah.
Lalu bagaimana seorang guru dapat melihat kemampuan siswanya jika ujian nasional ditiadakan.

Melihat semua itu, entah ujian nasional masih tetap ada atau tidak, pemerintah harus memberikan jalan keluar yang terbaik untuk negeri ini, jangan hanya memberikan hal yang baru tanpa ada solusi yang tepat. Semoga saja.


Rivan Pramono(3E PBSI)

elma sri latipah mengatakan...

Saya setuju dengan essai MEnimbang (Ketiadaan) UN yang di tulis oleh setia Naka Andrian. Menurut saya, ujian Nasional sebaiknya tidak dihapuskan. Jika UN dihapuskan pemerintah harus mampu memberikan solusi yang tepat untuk menggantikan UN. Wacana untuk mengganti Ujian Nasional dengan Ujian Sekolah yang memberikan kewenangan luas kepada guru untuk membuat soal, evaluasi, serta menentukan kelulusan siswa. Jika digantikan dengan Ujian Sekolah pemerintah harus bisa menjamin tidak akan ada tindak kecurangan seperti bocornya soal dan kunci jawaban UN. Ujian seperti apapun nantinya yang pasti harus memberikan tindakan yang sesuai dan tidak merugikan pihak manapun. Yang pasti ujian harus tetap ada, sebagai ajang kompetisi positif.
(Elma Sri Latipah, PBSI 3E)

Unknown mengatakan...

Saya tidak setuju kalau UN dihapus. karena menurut saya Ujian Nasional merupakan langkah untuk mengukur kemampuan siswa-siswi dalam memahami materi yang diberikan oleh guru. Namun nilai Ujian Nasional jangan dijadikan sebagai penentu kelulusan,karena jika siswa itu dijadikan tidak lulus karena nilainya yang tidak memenuhi syarat maka itu akan menjadi beban psikologinya. Sebaiknya untuk menentukan kelulusan hendaknya ditentukan oleh pihak sekolah bukan dengan nilai hasil Ujian Nasionalnya saja. dan dengan siswa mengetahui nilai UN yang didapatnya, maka dirinya akan mengetahui seberapa pahamnya dia dalam mata pelajaran yang diujikan.

Wahyu Danang Wicaksono(3D/PBSI)

Anonim mengatakan...

Saya sangat sependapat dengan Setia Naka. Begitu peliknya saat pertama kali menempuh Ujian Nasional. Masa kanak-kanak yang belum paham betul dengan Ujian Nasional, membuat saya menganggap itu seperti ujian biasa, seperti UAS dan UTS.
Hal yang saat ini terjadi di Indonesia, menuai kontroversi tersendiri di dunia pendidikan. Berganti presiden berganti meteri (menteri pendidikan), berganti pula Kurikulum dan sistem pendidikan yang ada. Hal seperti itulah yang membuat Indonesia cenderung dinilai berganti-ganti kurikulum dan sistem pendidikan.
Walaupun sudah tidak mengikuti UN lagi, saya merasa khawatir dengan masa depan bangsa, bergantinya kurikulum dan sistem pendidikan akan berpengaruh bagi siswa siswi yang sedang menempuh pendidikan lalu kurikulum dan sistem pendidikan berganti. Hal itu akan membuat siswa bingung dan malas untuk belajar.
Sama dengan pemberhentian UN ini, hal ini akan membuat para siswa menganggap enteng dengan ujian penentu akhir masa sekolah. Tentu saja ini akan nerdampak buruk bagi masa depan anak bangsa.
Namun hal positif yang dapat diambil adalah tidak akan ada rasa persaingan diantara para siswa yang akan menimbulakan kesenjangan sosial.
Tentu saja pemberhentian UN ini membuat saya iri. Karena merasa dipermainkan dalam menempuh pendidikan. Hal ini akan menguntungkan satu pihak saja. Negara akan menjadi lebih hemat karena keperluan UN tidak menjadi kendala bagi keuangan negara. Namun bagi masa depan bangsa ini akan berakibat fatal.
Di dunia pekerjaan, rasa saing para siswa tersebut akan berkurang. Siswa menjadi malas belajar, dan kurangnya SDM di Indonesia.
Saya juga sependapat dengan saudara Naka bahwa UN harus tetap ada, dan keeksistensiannya harus bertambah dan terjaga. Agar para siswa tidak menganggap enteng dunia pendidikan dengan berpikir bahwa sekolah itu gampang dan tidak menyusahkan. Terima kasih.

Elvira Yolanda Putri (3D)

Unknown mengatakan...

Memang ketika pertama kali saya melaksanakan UN di tingkat Sekolah Dasar saya merasakan hal yang paling menakutkan sebab UN sebagai penentu kelulusan ketika itu.
Sebaiknya UN tetap diadakan dan jangan dihapuskan, sebab jika UN dihapuskan maka pemerintah akan kehilangan cara untuk menilai hasil pendidikan di Indonesia. Selain itu UN juga sebagai ajang evaluasi pemerintah untuk mewujudkan tujuan pendidikan jika banyak pendidikan tidak tersampaikan dengan baik. Jika UN benar-benar dihapuskan maka kemungkinan akan menutup lowongan pekerjaan seorang tenaga pendidik yang membuka suatu usaha bimbingan belajar atau les privat untuk memberikan ilmu tambahan materi UN sebab masyarakat tidak membutuhkannya lagi apabila UN terhapuskan.
Sekali lagi, pemerintah sebaiknya jangan menyetujui penghapusan UN, tetapi mengevaluasi terselenggaranya UN agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang saat ini marak terjadi. Serta UN jangan dijadikan sebagai ajang penentu kelulusan siswa yang dilihat dari hasil akhir belajar di sekolah.

Putri Arum Cahyaning Surya / 3D-PBSI

Unknown mengatakan...

Menurut saya Ujian Nasional (UN) lebih baik ditiadakan saja. sangat tidak adil apabila menempuh pendidikan dalam tingkatan Sekolah Dasar(SD) selama 6 tahun, SMP/MTS 3tahun dan MA/SMA/SMK 3 tahun namun kelulusan hanya ditentukan dalam masa 3 hari. Memang benar Ujian Nasional adalah ujian akhir dalam melanjutkan jenjang yang lebih tinggi namun hal ini saya rasa tidak berpengaruh pada peserta didik bahwasanya siswa mungkin hanya belajar ketika hendak menjelang menghadapi ujian nasional saja, meskipun Ujian nasional telah dilaksanan dan dikemas sedemikian rupa untuk meminimalisir adanya kecurangan namun pada kenyataannya masih terjadi kecurangan dalam mengerjakan soal dan yang lebih ekstrim lagi banyak oknum-oknum nakal yang menjual soal atau kunci jawaban. Dan hal ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu dengan membayar harga yang cukup fantastis hanya demi sebuah kata kelulusan. Hal ini sangat merugikan Negara karena anggaran pendidikan yang telah dikeluarkan Ujian Nasional tidak digunakan sebagaimana mestinya. Untuk apa lulus jika didapatkan dengan cara yang tidak baik, itu hanya akan menjatuhkan diri sendiri dimasa depan. Karena dijenjang yang lebih tinggi kita akan berhadapan dengan hal yang lebih sulit lagi. Selama ini Ujian nasional hanya menjadi momok bagi siswa. Ujian nasional hanya dijadikan ajang dalam memperoleh nilai paling tinggi. Seharusnya dalam menentukan kelulusan bagi siswa, mungkin lebih efektif apabila setiap bulan diadakan evaluasi disetiap mata pelajaran utama atau diadakan ujian lisan disetiap semesternya itu mungkin dapat lebih memacu semangat belajar siswa karena mau tidak mau siswa harus menjalani ujian agar memperoleh nilai yang baik.

(Tri Rahayu, 15410232, 3D PBSI)

Dwi Ernawati mengatakan...

Menanggapi tulisan dari bapak Setia Naka Andrian yang telah dimuat dalam Wawasan, 14 Desember 2016 berjudul Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional, yaitu bahwa saya memiliki dua pendapat. Dalam satu sisi saya setuju apabila Ujian Nasional ditiadakan, dan dalam satu sisi yang lain saya sependapat apabila Ujian Nasional tetap ada. Pada tanggapan saya tentang setuju dengan ketiadaan Ujian Nasional yaitu bahwa pendidikan dalam waktu yang lama tidaklah efektif apabila hal kelulusan hanya ditentukan selama tiga hari atau lebih melalui Ujian Nasional.
Seperti yang sudah diketahui banyak orang, bahwa sekarang banyak oknum yang melakukan kecurangan dalam proses ujian. Kecurangan ini bukan hanya dilakukan oleh siswa, atau orang tua melaikan guru juga turut ambil bagian dalam kecurangan itu. Oleh karena itu, hasil yang akan menjadi bahan acuan kelulusan itu tidaklah murni dari hasil setiap anak. Bisa jadi anak atau siswa telah menjadi bagian dalam kecurangan saat ujian. Maka, seharusnya perlu penciptaan model ujian yang benar-benar dapat digunakan untuk mengukur kelulusan. Seperti, penilaian siswa atau perkembangan siswa setiap hari demi harinya, lalu ujian secara terbuka dengan menghadirkan orang tua dalam pengawasan. Ujian terbuka di sini berarti selain peran guru yang menjadi pengawas ujian, peran orang tua juga perlu untuk melihat proses belajar anak dalam sekolah.
Pada pendapat saya yang kedua tentang Ujian Nasional tetap ada yaitu seperti yang telah disampaikan di atas jika sampai tidak ada ujian, bisa jadi siswa tidak akan pernah belajar sama sekali. Ujian digunakan sebagai ajang kompetisi positif. Oleh karena itu, jika masih ada oknum yang curang maka perlu tindakan yang lebih nyata dalam penanganan masalah ini. Ujian Nasional seharusnya juga tidak hanya dilakukan pada mata pelajaran tertentu saja. Perlu mengikutsertakan semua mata pelajaran yang telah ditempuh dalam pendidikan itu. Karena akan percuma apabila apa yang telah dipelajari ternyata tidak diujikan. Guru harus lebih jeli dalam menentuka kelulusan suatu siswa, mana yang seharunya lulus dan mana yang tidak lulus dan harus mengulang.

(Dwi Ernawati 3E PBSI)

Putri Lisa N.B mengatakan...

menurut pendapat saya, ya ujian Nasional harus tetap dipertahankan untuk menentukan kelulusan. namun mungkin perlu sedikit polesan lagi dalam proses maupun pelaksanaannya,terutama penyusunan soal dan keamanan kunci jawaban. kalo kita berbicara tenyang memotong jam pelajaran lain untuk mengganti mata pelajaran yang diujikan dalam ujian Nasional, memangkas kegiatan rumah untuk belajar, atau lain sebagainya sebenarnya itu yang sebenarnya harus dihilangkan. Melihat potret tersebut, seolah-olah pihak sekolah sendiri ragu dengan kualitas para tenaga pengajarnya, selama kurang lebih 2,5 tahun mengajar peserta didik tapi ketika menjelang ujian masih ada kegelisahan tersebut. Bahkan sampai sekarangpun masih ada sekolah yang membagikan kunci jawaban ketika ujian Nasional. Yang perlu dicamkan yaitu permasalan dalam ujian Nasional jangan melulu tertuju kepada pesertanya saja, instansinya atau sekolahnya yang perlu diperhatikan. Sekolah melakukan sistem penekanan pembelajaran mata pelajaran ujian, secara tidak langsung pihak sekolah sudah menampakan ketidak percayaannya kepada kualitas pengajar dan peserta didiknya, dan itulah yang perlu dievaluasi.

Putri Lisa Nur Baeti (3D/15410149)

Unknown mengatakan...

Menanggapi esai "Menimbang (Ketiadaan) UN" oleh Setia Naka Andrian, salah seorang dosen di Universitas PGRI Semarang yang baru saja kemarin terbit pada koran wawasan 14 Desember 2016, saya merasa tertarik dengan judul yang telah di angkat tersebut.
Memang, akhir-akhir ini sedang hangat-hangatnya dengan topik yang mempermasalahkan tentang akan dihapuskanya UN (Ujian Nasional). Dengan adanya keadaan ini tentunya akan membuat para siswa merasa senang karena tidak akan ada lagi yang menjadi tanggungan terberat di akhir masa sekolahnya. Hal ini jelas akan membuat siswa menjadi malas belajar.
Berbeda dengan siswa pada zaman semasa saya yang benar-benar akan sangat bersungguh-sungguh belajar demi mendapat nilai yang bagus untuk kelulusan. Jika sekarang UN akan dihapuskan maka bagaimana dengan karakter siswa masa kini untuk masa depan ? Mereka tidak akan punya jiwa yang sungguh-sungguh dan bekerja keras dengan otak.
Ada juga sisi positif dalam adanya penghapusan UN yaitu karena UN dianggap hal yang sangat menakutkan maka ada beberapa siswa juga yang berlomba-lomba untuk mencari bocoran-bocoran jawaban UN. Disini kita bisa tahu juga bahwa dengan adanya kasus seperti pembelian kunci jawaban ujian juga dapat menjadikan cikal bakal siswa yang koruptif. Mengapa demikian ? Karena sama saja hal tersebut merupakan hal yang dilakukan dengan mencuri secara diam-diam.
Sekarang, kita sebagai bangsa Indonesia usahakan ambil nilai positifnya saja dan buang yang negatif. Jadilah bangsa yang cerdas, gigih, kerja keras, dan jujur itu yang utama. Kita tiggal tunggu saja keputusan dari badan yang berwajib memutuskan perkara ini.


Nunung Khusnun Naim ( 3E / PBSI )

wina dwi mengatakan...

Menanggapi tulisan dari saudara Setia Naka Andrian mengenai Ujian Nasional atau yang biasa disebut dengan UN, saya sependapat dengan tetap dilaksanakannya Ujian Nasional dalam menunjang pendidikan di Indonesia. Karena apa? Karena dengan cara tersebut kita dapat mengetahui mana saja daerah yang perlu diperhatikan untuk kemajuan pendidikannya. Ujian Nasional sendiri dapat menjadikan tolak ukur bagi pemerintah agar pendidikan di Indonesia adil dan sama rata tanpa ada daerah-daerah yang tertinggal dan terbelakang dalam hal pendidikan. Dengan begitu atribut yang memadai dalam menunjang pendidikan di daerah terpencil terealisasi dengan adanya guru, gedung sekolah, dan peralatan pendamping bagi siswa yang belajar.
Di lain sisi, Ujian Nasional janganlah dianggap sebagai monster bagi sekolah-sekolah yang sudah maju. Karena pada dasarnya Ujian Nasional bukanlah penentu apakah kita lulus atau tidak melainkan sebagai upaya pemerintah untuk mengetahui apa saja yang harus dibenahi dalam sistim pendidikan di Indonesia. Penentu kelulusan atau tidaknya bergantung dari tiap sekolahan karena mereka lah yang paham keseharian kita di sekolah, mereka yang tahu pasti apakah kita layak atau belum layak untuk diluluskan. Maka dari itu hal seperti kecurangan dalam Ujian Nasional sebaiknya dan memang harus tidak dilakukan, bahkan ada guru pun yang membantu melakukan hal curang semacam itu agar sekolah tersebut dianggap memiliki akreditasi kepintaran yang tinggi, hal itu harusnya menjadi hal yang menyeramkan bagi sekolah yang hanya mengandalkan masalah nilai bagus tetapi generasi bangsa hancur karena masalah kecurangan tersebut. Semoga tidak terulang kembali.

Dwi Winarni (3D-PBSI)

Rifka annisa Azmi mengatakan...

Menanggapi tulisan Setia Naka Andrian, saya sangat setuju dengan tulisan tersebut. Menurut saya Ujian Nasional sebaiknya digantikan dengan evaluasi yang bobotnya setara dengan Ujian Nasional. Dalam artian siswa di Indonesia tidak menjadikan Ujian Nasional sebagai ajang kelulusan yang mengerikan. Dan siswa Indonesia tidak hanya mengedepankan untuk mempelajari mata pelajaran(mapel) yang akan diujikan dalam Ujian Nasional. Akan tetapi, dengan menetralkan semua mata pelajaran(mapel) untuk dipelajarinya.
Memang UN adalah cara yang dapat digunakan dalam mengukur kualitas siswa, namun apa itu semua benar? Bahwa siswa dapat diukur dari beberapa soal ujian yang belum tentu dijawab secara jujur. Padahal sebenarnya sudah jelas dalam pasal 58 ayat 1 UU Nomor 20 tahun 2003 bahwa “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Sebuah pernyataan yang jelas-jelas mengharapkan pendidiklah (guru) yang seharusnya memantau proses belajar siswa, dalam arti menjadi pemantau kualitas siswa.
Di era kontemporer seperti saat ini, banyak metode evaluasi KBM lain yang bisa diterapkan. Untuk menguji kemampuan para siswa, tidak bisa disamaratakan secara nasional. Adalah fakta bahwa sarana prasarana pendidikan di daerah terpencil tertinggal jauh dari yang dimiliki oleh mereka yang belajar di perkotaan.
Karena itu, sangatlah beralasan bila banyak pihak yang menuntut agar pemerintah menghapus UN. Sebagai gantinya, evaluasi pendidikan bisa dikembalikan ke sekolah. Para guru yang mendidik mereka setiap hari pasti mengetahui siapa di antara siswanya yang pintar, nakal, berbakat, dan lain sebagainya. Agar evaluasi berjalan seperti yang diinginkan, kemendikbud bisa saja memaksimalkan fungsi para pengawas sekolah. Dengan begitu, pihak sekolah juga tidak sembarangan melakukan evaluasi dan meluluskan para siswanya.

Rifka Annisa Azmi(3D-PBSI)

Intannia Cahya Dewi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Intannia Cahya Dewi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Intannia Cahya Dewi mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Intannia Cahya Dewi mengatakan...

Mengenai esai "Menimbang (Ketiadaan) UN" karya Setia Naka Andrian, yang dimuat dalam Wawasan, Rabu (14/16). Saya sependapat dengan penulis, tetapi disisi lain saya juga memiliki pendapat yang berbeda. Saya sependapat karena menurut saya dengan ditiadakan UN siswa akan mengabaikan semangat belajarnya. Siswa akan semakin senang karena tidak ada beban dalam dirinya untuk belajar giat demi mencapai kelulusan UN. Siswa akan semakin menurun tingkat belajarnya. Siswa yang dulunya belajar dengan giat. Sekarang akan lebih merasa tenang dan tidak memiliki beban pikiran yang berat untuk mencapai kelulusan. Oleh karena itu, jika UN ditiadakan akan membuat siswa senang dan mereka malas untuk belajar.
Selain itu, saya juga memiliki pendapat yang berbeda. Menurut saya, ditiadakan UN juga baik dilakukan. Bagi saya dengan adanya UN atau tidak adanya UN itu tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sekarang ini banyak sekali okmun kecurangan yang marak di Indonesia. Hal itu sangat tidak baik. Sebaiknya, dilakukan pengujian secara langsung atau secara lisan. Agar siswa memiliki semangat belajar yang tinggi dan tidak mengabaikan mata pelajaran yang lain juga. Guru juga akan lebih mudah untuk menilai siswa dan mengetahui kemampuan yang dimiliki siswa sebenarnya.

Intannia Cahya Dewi (3E/PBSI)

Unknown mengatakan...

Menurut saya Ujian Nasional itu lebih baik bukan ditiadakan atau dihapuskan tetapi diganti oleh ujian yang lain, jangan membuat ujian yang menyusahkan atau menyulitkan siswanya karena merekalah yang akan menjalankan dan memperjuangkan harus juga dikondisikan dengan para siswanya agar mereka tidak hanya terfokuskan pada Mapel intinya saja tetapi semua mapel itu wajib.
Ujian itu sangat penting bagi para siswa SD, SMP maupun SMA karena pada dasarnya ujian itu untuk membuat para siswa lebih meningkatkan belajarnya dan lebih banyak lagi membaca serta cara berpikir yang lebih baik, soal UN akan di hapus atau tidak itu semua sebenarnya harus dipirkan secara lebih matang lagi. Yaa memang Ujian Nasional itu adalah Ujian yang sangat menyeramkan dan bahkan sangat mengerikan, bagi siswa yang kurang ilmu pengetahuan maka akan takut dalam menghadapi Ujian Nasional tetapi apabila siswa yang lebih paham dan pintar biasanya sudah matang dan sudah jauh2 hari mempersiapkan diri. Ujian Nasional juga ada yang membuat siswanya menjadi stres, depresi dan ketakutan yang mendalam akibat Ujian Nasional. Tentu semua itu bergantung pada setiap orang, soal dihapus atau tidak lebih baik berdoa saja agar masa depan generasi penerus bangsa menjadi lebih baik dan lebih cerdas. Semoga.
(Novi Apik Pratiwi Putri 3F,PBSI)

Okta viyani ningsih mengatakan...

Lebih baik UN di tiadakan saja karena usaha perserta didik untuk belajar selama bertahun-tahun hanya di tentukan dalam tiga hari saja bahkan dengan Diadakanya ujian nasional,timbul pemahaman yang keliru yang muncul dari diri siswa tentang tujuan mereka belajar di sekolah. Tujuan yang seharusnya mencari ilmu, kecerdasan,dan akhlak mulia, berubah hanya untuk mencari kelulusan untuk mata pelajaran yang di ujiakan dalam ujian nasional, dan akibatnya pelajaran -pelajaran yang bukan merupakan mata pelajaran dalam ujian nasional menjadi nomor dua. Maka dari itu dengan diadakan ujian nasional di Indonesia sangat tidak efektif dan efisien.
Perlu di amati juga, Ujian Nasional yang di laksanakan tiap tahun tidak berjalan semestinya. Ujian yang mengandalkan sistem pilihan ganda sangat memungkinkan segala sesuatu yang terjadi. Kecurangan juga sangat di mungkinkan terjadi karena jawaban-jawaban hanya di simbolkan dengan alfabet seperti "A","B","C","D", dan "E".Dengan bantuan teknologi jawaban-jawaban dapat di transferkan oleh seseorang dengan cepat. Banyak kunci-kunci jawaban yang memang sengaja diperjual dibelikan dikalangan siswa.seperti yang kita ketahui soal-soal yang diujikan dalam ujian nasional semuanya mempunyai standar yang sama.
Ujian Nasional juga menjadi patokan untuk ke jenjang selanjutnya, ini sangat tidak adil,karena belum tentu pula para siswa yang mempunyai nilai ujian nasional yang buruk adalah siswa yang bodoh, karena tak jarang hal ini justru menjadi keterbalikan.
Akibat diadakan ujian nasional, konstruksi berfikir para kepala sekolah/madrasah atau guru tentang hakekat atau substasi dari kegiatan pendidikan sekarang ini hanyalah sebatas mengatarkan para perserta didik untuk menjadi anak yang cerdas sebagaimana dirumuskan dalam tujuan utama pendidikan nasional,tidak pernah terpikirkan secara sistemik. Karena yang penting bagaimana para perserta didik itu siap melaksanakan UN.Maka lebih baik Ujian Nasional digantikan dengan kebijakan lain yang lebih baik. untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang tertuang dalam UU sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 3, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Okta Viyani Ningsih (3F/PBSI)

Unknown mengatakan...

Anatomi Ujian Nasional
Saya sependapat dengan esai karya Setia Naka Andrian yang berjudul “Menimbang (Ketiadaan) UN ” yang dimuat Wawasan, 14 Desember 2016. Ujian Nasional selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan di negri ini. Ujian Nasional merupakan salah satu kebijakan dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun Ujian Nasional atau yang sering disebut dengan UN ini menjadi beban dan menimbulkan masalah tersendiri bagi siswa, orang tua, guru, dan pemerintah.
Ujian nasional seolah menjadi sosok yang mengerikan bagi siswa. Siswa akan dibuat takut karena Ujian Nasional ini dikatakan sebagai ujian penentu kelulusan. Padahal ini sangat tidak manusiawi karena siswa jenjang pendidikan menengah akan menempuh pendidikan selama 3 tahun namun nasib kelulusan hanya ditentukan dalam waktu beberapa hari saja.
Selain itu beban yang dipikul siswa akan bertambah mengingat UN ini menyuguhkan soal yang sama seluruh sekolah di Indonesia baik itu sekolah biasa maupun sekolah yang terkenal berkualitas sehingga membuat mereka yang bersekolah di sekolah biasa akan khawatir dan minder untuk menghadapi UN.
Beban mental menghampiri orang tua. Sebagai orangtua ikut merasakan resah ketika anaknya akan menghadapi UN sehingga mereka memasukan anaknya les di luar sekolah. Perlu diingat bahwa anak bukanlah robot hidup. Jika seorang anak dijejali banyak materi disekolah dan di luar sekolah justru akan menambah tekanan pada jiwa sang anak. Hal ini membuat kesehatan dan mental anak menjadi down pada saat pelaksanaan UN.
Ujian Nasional tidak dapat dijadikan tolak ukur keberhasilan pendidikan di Indonesia karena pada saat UN banyak bocoran kunci jawaban. Banyak beberapa oknum tertentu yang memanfaatkan UN sebagai ladang untuk menambah pundi-pundi rupiah. Bahkan tidak jarang orang tua atau guru pun mendukung adanya kuci jawaban dengan alasan demi menjaga reputasi sekolah mereka.
Selain itu dampak UN pun akan sampai pada tenaga pengajar. Guru mata pelajaran yang mapelnya di UN kan akan turut memikul beban mental. Guru dituntut untuk menggembleng muridnya setiap hari bahkan diluar jam sekolah dengan harapan muridnya akan lulus dan mendapatkan nilai baik saat UN.
Ujian Nasional menjadi salah satu sektor yang lumayan menguras anggaran negara. Menurut data dari Kemendikbud pada tahun 2015, anggaran pelaksaan UN berbasis kertas mencapai 114 miliar dan tahun 2016 sebesar 94 Miliar.
Penurunan anggaran ini disebabakan karena meningkatnya jumlah peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Meskipun UNBK dapat mengurangi pengeluaran anggaran negara, tetapi dapat menimbulkan menimbulkan kesenjangan sosial antar sekolah. Sehingga bagi sekolah yang tidak berfasilitas memadai merasa semakin ditinggalkan.
Selain itu UNBK membuat siswa yang “Gaptek” akan merasakan khawatir saat mengikuti ujian, karena beban yang dipikul bertambah yaitu beban untuk mengerjakan soal ujian dan beban untuk mengoperasikan komputer dengan baik. Nurcholis guru Teknik Komputer dan Jaringan SMKN 1 Brebes menuturkan bahwa “UNBK di SMKN 1 Brebes berjalan dengan baik meskipun harus dilaksanan simulasi beberapa kali karena banyak siswa yang masih bingung dan kesulitan untuk mengoperasikan komputer dengan tepat.”
Kemendikbud harus pandai menimbang ketiadaan UN. Meskipun pada dasarnya UN sangat bagus diterapkan di Indonesia namun tetap harus memperhatikan kekurangan dan kelebihannya. Jika UN tidak jadi dihapuskan maka, alangkah bijaksana jika pelaksanaan UN tidak menjadi patokan sebuah kelulusan siswa saja melainkan pelaksanaan UN dilakukan sebagai alat atau tolak ukur keberhasilan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Tetapi jika UN ditiadakan, akan lebih nyata hasilnya jika angggaran pelaksanaan UN dialokasikan untuk memperbaiki sekolah yang belum berstandar dan tertinggal baik itu dari segi bangunan, sarana, maupun tenaga pengajarnya. Jika hal itu dilakukan dengan tepat sasaran, maka pendidikan di Indonesia akan membaik. Semoga***
Cucu indasari 3D PBSI
Mari berkunjung ke cucuinda.blogspot.com

Fitria Ningrum mengatakan...

Saya sependapat dengan tulisan tersebut bahwa Ujian Nasional diadakan untuk menguji seberapa mampu seseorang dalam memahami apa yang telah dipelajarinya selama proses belajar di sekolah. Seperti yang ada dalam undang-undang nomor 20 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan pada mata pelajaran secara nasional dengan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan(SKL). Tentu untuk menentukan suatu kelulusan harus berdasarkan nilai UN tersebut meskipun sekolah-sekolah juga menerapkan sistem penilaian campuran antara nilai raport dengan nilai ujian sekolah maupun ujian nasional. Bahkan jika tidak diadakan UN maka siswa akan mengabaikan proses belajarnya. Memang sangat banyak beban yang didapat siswa ketika akan menghadapi UN namun sebaiknya tetap perlu diadakan UN saja,karena proses belajar yang menentukan nilai seseorang. Bukan hasil saja yang dicapai untuk mengetahui tingkat kemampuan seseorang.
Namun, saja juga tidak sependapat dengan tulisan beliau karena UN dirasa tidak efektif jika tetap diadakan. Beetahun-tahun mencari ilmu dari banyaknya mata pelajaran hanya ditentukan oleh 3-4hari saja dengan beberapa mata pelajaran aaja yang diujikan. Hal tersebut sangatlah tidak efektif jika tetap dilaksanakan terus menerus. Dampak yang diperoleh orangtuapum juga banyak, Sudah kehilangan biaya untuk mendaftarkan anaknya di bimbingan belajar guna mendapatkan nilai yang memuaskan. Untuk siswanya pun berdampak pula, siswa banyak terbebani oleh adanya UN. Banyak menimbulkan oknum kecurangan seperti halnya bocornya kunci jawaban yang dianggap sudah dirasa sangat penting saja tetap bisa di dapatkan. Meskipun setiap tahunnya tertangkap oknum-oknum yang memperjualbelikan kunci jawaban tersebut tetapi tidak membuat jera orang-orang yang menyebarkannya. Sebaiknya pemerintah perlu menegaskan solusi apa yang dilakukan. Pembenahan fasilitas perlu dilakukan di sekolah-sekolah guna memperlancar proses belajar mengajarnya. Penyebaran guru-guru berkualitas juga harus diperhatikan terutama di daerah-daerah yang kekurangan guru tersebut sehingga pemerolehan ilmunya juga merata. Serta standar penilaian yang ditentukan pemerintah juga seharusnya disebarkan secara menyeluruh.

Fitria Ningrum(3E PBSI)

Unknown mengatakan...

Menanggapi opini Setia Naka Andrian mengenai “Menimbang (Ketiadaan) UN” penyelenggaraan UN memang di butuhkan bagi sekolah untuk mengukur tingkat kecerdasan dan keberhasilan siswa-siswinya selama proses pembelajaran seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2005 tentang System Pendidikan Nasional yang bertujuan untuk mengukur pencapaian kompetensi kelulusan pada mata pelajaran secara nasional dengan mengacu pada standar kompetensi lulusan (SKL). Dengan adanya UN siswa diharapkan dapat mencapai kompetensi yang lebih untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi khususnya perguruan-perguruan tinggi Negeri.
Tahun 2014 UN mulai dijadikan tolak ukur dalam penentuan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Jadi bukan tidak wajar lagi apabila setiap siswa digembleng dalam ujian nasional untuk mendapatkan nilai yang tinggi, karena hasil UN salah satu penentu diterima atau tidaknya siswa pada perguruan tinggi negeri. Dalam menyambut UN pun guru disibukan dalam membimbing siswa-siswinya seperti melakukan jam les tambahan untuk membuat siswa memahami materi-materi yang akan diujikan.
Namun penyelenggaraan UN yang dilakukan pemerintah terkadang membuat guru terlena. Guru hanya fokus pada mata pelajaran yang akan diujikan dalam UN seperti mata pelajaran Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Bahasa Indonesia, dan beberapa materi lain yang akan diujikan dalam Ujian Nasional (UN). Sedangkan materi-materi lain terabaikan seperti pernyataan yang diutarakan Setia Nakan Andrian “Dari mulai SD hingga SMA, kerap kali pada semester akhir menjelang Ujian, segenap siswa diguyur mati-matian untuk menyuntuki mata pelajaran (maple) yang akan diujikan nasional. Maka tentu, mapel yang tidak diujikan nasional kerap kali dirampas waktunya.
Ujian Nasional kerap kali dijadikan momok yang menakutkan dikalangan siswa, guru, maupun orang tua siswa. Ujian nasional dianggap sebagai keberhasilan utama dalam dunia pendidikan sehingga tak jarang pihak sekolah, siswa dan pihak luar melakukan kecurangan-kecurang untuk keberhasilan Ujian Nasional. Setiap penyelenggaraan UN siswa lebih sibuk mencari kunci jawaban di luar. Alasannya sama agar ujian nasional dapat lulus dengan nilai yang sempurna untuk masuk perguruan tinggi negeri.
Untuk itu peran pemerintah dan sekolah sangat dibutuhkan dalam membenahi pelaksanaan Ujian Nasional agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraannya. Sedangkan peran orang tua perlu memberikan keyakinan agar anak-anaknya memiliki kepercayaan diri dalam menghadapi Ujian Nasional. Jika tugas tersebut terrealisasikan maka besar kemungkinan kecurangan dalam ujian nasional bisa terkurangi dan keberhasilan penyelenggaraan UN dapat terealisasikan.
Ratri Dwi Mareta (3D PBSI)

Unknown mengatakan...

Saya pribadi sependapat dengan teman-teman diatas yang berkomentar tidak setuju jika ujian nasional (UN) ditiadakan. Karena menutut saya ujian nasional (UN) tidak bisa dijadikan acuan penting dalam pendidikan, jika difikir dengan logis siswa sudah pulang pergi menerjang badai hujan, merasakan terik matahari selama bertahun-tahun, mental akan jatuh hanya dalam hitungan beberapa hari saja bahkan nantinya akan menjadi stres, dan juga budaya curang jual beli kunci jawaban akan hilang karena itu gerbang masuknya dosa hehehe. Namun jika ujian nasional (UN) dihapus maka ujian nasional (UN) digantikan dengan kebijakan lain yang lebih baik dan sesuai dengan kemampuan siswa, padahal yang lebih baik penentu karakter siswa yaitu dari nilai ulangan harian atau evaluasi dari guru sendiri.Jangan jadikan pendidikan sebagai lahan pungli baru ataupun mafia-mafia yang tidak bertanggung jawab.Agar evaluasi berjalan seperti yang diinginkan, kemendikbud bisa saja memaksimalkan fungsi para pengawas sekolah. Dengan begitu, pihak sekolah juga tidak sembarangan melakukan evaluasi dan meluluskan para siswanya.
Saya menjamin para orang tua siswapun sangat setuju juka ujian nasional ditiadakan pasalnya para orang tua sangat takut jika anaknya benasib buruk karena hanya akan ditentukan selama beberapa hari saja untuk masa depannya. Mungkin hanya itu saja yang dapat saya sampaikan, terima kasih


M Handika Setiyawan (3D PBSI)

annisapurwani mengatakan...

Saya setuju dengan tulisan yang di tulis oleh setia naka andrian, sebab jika UN di tiadakan maka banyak siswa yang bukan nya belajar malah asyik bermain, ya walau belajar itu tidak hanya ketika mau UN saja, tetapi setidaknya dengan adanya UN siswa lebih giat dalam belajar dan adanya rasa takut tidak lulus ketika menghadapi UN, walaupun kenyataan nya masih banyak siswa yang tidak jujur mengerjakan UN.

Annisa Purwani N.A (3D/PBSI)

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan tulisan yang dibuat oleh Setia Naka Andrian. Ujian Nasional ditiadakan itu bagus, sebab kelulusan peserta didik tidak hanya ditentukan selama beberapa hari saja. Namun kelulusan peserta didik juga harus dinilai dari hasil proses belajar peserta didik selama menempuh pendidikan. Ujian Nasional dianggap sebagai momok didalam menempuh perjalanan pendidikan. Seakan perjuangan dan proses selama bertahun-tahun menempuh pendidikan dianggap mempunyai peranan yang kurang penting dalam kelulusan. Selain itu, dalam Ujian Nasional hanya sejumlah mata pelajaran yang diujikan, seakan mengesampingkan mata pelajaran yang tidak diujikan dalam Ujian Nasional.

Ujian Nasional dianggap sebagai indikator penting dalam kelulusan dan tidak memperdulikan proses yang dilalui peserta didik sebelumnya. Sehingga dalam pelaksanaan Ujian Nasional terdapat banyak kecurangan, seperti dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sebagai ajang bisnis dan kebocoran soal sehingga mengakibatkan beredarnya kunci jawaban. Termasuk didalam Ujian Nasional peserta didik tertekan dibuatnya, sehingga tidak sedikit peserta didik yang menggunakan cara instan untuk menginginkan lulus dengan nilai yang bagus. Seakan yang terpenting yaitu lulus, bukan bagaimana mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi kita dalam menempuh pendidikan untuk kehidupan di masa yang akan datang. Dalam kecurangan tersebut juga mengakibatkan kegagalan dalam menanamkan pendidikan karakter peserta didik.

Apabila Ujian Nasional jadi ditiadakan, sebaiknya diganti dengan ujian lain yang lebih mengedepankan proses yang ditempuh oleh peserta didik selama menempuh pendidikan. Bukan ditentukan dengan beberapa hari saja peserta didik lulus menempuh pendidikan. Selain itu, dalam ujian, peserta didik bukan hanya belajar mengenai mata pelajaran tertentu saja. Namun, pelajaran yang lain pula dapat diikutsertakan, agar tidak mengesampingkan mata pelajaran yang lain. Ujian memang harus diadakan, sebagai hasil evaluasi peserta didik selama menempuh pendidikan. Ujian juga membiasakan peserta didik agar mau belajar dan membentuk mental peserta didik dalam menghadapi ujian.

(Dhini Huda Chasanati, 3D)

Indah Tri Wulan mengatakan...

Saya akan menanggapi tulisan Setia Naka Andrian "Menimbang (Ketiadaan)
UN" mungkin dibalik tentang ada tidaknya Ujian Nasional yang semakin
gencar terdengar akhir-akhir ini, kabar ini tentunya sangat
mengejutkan bagaimana tidak Ujian Nasional yang digadang-gadang
menjadi momok menakutkan bagi kebanyakan murid dan orang tua akan
dihapuskan. Banyak pro dan kontra dikalangan masyarakat tentunya
tentang kebijakan ini, menurut pendapat saya dari apa yang telah saya
alami, sekolah tempat saya dulu mengenyam pendidikan di jenjang SD,
SMP, SMA gencar melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan pembelajaran
ketika hendak berhadapan dengan Ujian Nasional, mulai dari tambahan
jam ke-0 yang dimulai dari pukul 06.00 pagi sampai ada tambahan les
sore setelah jam pelajaran di sekolah saya berakhir. Ada juga kuis
yang disediakan oleh guru mata pelajaran masing-masing untuk
mengerjakan soal-soal ujian tahun lalu dari mata pelajaran yang akan
di ujiankan. Ada juga agenda seperti doa bersama yang dilakukan oleh
pihak sekolah dan murid-murid yang akan melaksanakan Ujian Nasional.
Hal ini tentunya sudah menjadi agenda tahunan dari waktu ke waktu,
yang membuat para siswa juga menghabiskan banyak waktu di Sekolah,
belum lagi setelah di rumah pun banyak siswa yang juga belajar
mati-matian untuk belajar demi mempersiapkan Ujian Nasional. Betul
juga yang diampaikan Setia Naka Andrian yang mengatakan bahwa
menjelang Ujian Nasional kita kekurangan waktu bermain, kekuranga
waktu mengaji bagi yang masih ikut mengaji seperti di TPQ atau
Madrasah, bagaimana tidak kegiatan kita banyak dihabiskan di sekolah
guna mengejar tambahan-tambahan mata pelajaran yang akan di ujiankan
bahkan sampai petang, jika sudah begitu tubuh sudah terasa lelah
menjelang malam hari, dan otomatis mungkin akan beristirahat dan
memfokuskan untuk besok harinya dengan kegiatan yang sama. Bagaimana
kita akan bermain jika waktu kita tersita banyak di Sekolah, bagaimana
kita akan mengaji jika waktu mengaji kita tergantikan oleh jam-jam
tambahan di Sekolah yang kebanyakan sampai menjelang petang. Banyak
juga murid-murid yang stres dan bahkan sakit karena terlalu berpikir
keras tentang Ujian Nasional yang menjadi titik akhir dalam suatu
pendidikan yang ditempuh bertahun-tahun dan hanya digantikan dalam
waktu 3-4 hari. Parahnya lagi banyak murid yang mungkin sangat
khawatir jika tidak lulus hingga mengambil berbagai cara seperti
membeli kunci jawaban Ujian Nasional dan mendatangi orang-orang (yang
mengaku pintar) guna mendapat pencerahan yang perlu dipertanyakan
kejelasannya. Hal ini tentunya sudah menjadi rahasia umum bagi kita
semua, namun dibalik itu semua Ujian Nasional juga menyimpan cerita
masing-masing. Menurut pendapat saya Ujian Nasional tetap diadakan
hanya saja bukan sebagai penentu standar kelulusan melainkan menjadi
sebuah evaluasi pembelajaran, yang berhak menentukan lulus atau
tidaknya tetaplah sekolah tempat kita mengenyam pendidikan, kiranya
begitu yang bisa saya sampaikan, terima kasih.
(Indah Tri Wulan, 3D PBSI)

imeldarizki mengatakan...

Menanggapi tulisan Esai dari bapak Setia Naka Andrian yang telah dimuat dalam koran wawasan, pada tanggal 14 Desember 2016 yang berjudul menimbang (ketiadaan) UN,menurut saya sependapat drngan bapak yaitu saya tidak setuju jika UN dihapus atau ditiadakan dari dunia pendidikan. Karena pada dasarnya UN memiliki peran penting bagi peserta didik tersebut. Dengan UN yang dilakukan oleh peserta didik pemerintah dapat mengetahui kemampuan dari peserta didik. Apakah peserta didik sudah menguasai materi dengan baik atau belum menguasainya. Tidak menutup kemungkinan jika pelaksanaan UN selalu ada kecurangan yang dilakukan oleh peserta didik harus di berantas dan harus ditindaklanjuti oleh pemerintah dan para pendidik. Beberapa alasan yang melatarbelakangi kecurangan dalam UN adalah peserta didik ingin mendapat nilai yang bagus, menjadi nama baik sekolah, dan lain sebagainya. Menurut saya, UN harus tetap ada dan ditingkatkan lagi mutu dalam pelaksanaan sistem UN agar negara kita pendidikannya menjadi lebih baik. Terkait tujuan pendidikan yang telah dibuat oleh pemerintah adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan untuk mendapatkan nilai yang bagus. Oleh sebab itu, pemerintah, peserta didik, orang tua, dan para pendidik harus dapat berpikir dengan baik agar dapat memajukan Negara ini dengan baik yang berkualitas dan maju.
(imelda rizki jadid nikmah/3E/PBSI)

Unknown mengatakan...

Mengenai essai yang berjudul menimbang (ketiadaan) Ujian Nasional oleh Setia Naka Andrian saya pun sependapat akan rasa takut ketika menghadapi ujian nasional, karena saya juga mengalami hal yang sama dulu saya dipenuhi akan rasa takut bagaimana jika saya tidak lulus nantinya takut akan orang tua dan rasa malu jika tidak lulus. Saya pun merasa kurang setuju dengan adanya ujian nasional ini karena apa? Terasa kurang adil kita sekolah selama bertahun tahun sd selama enam tahun, smp selama tiga tahun dan sma selama tiga tahun pula dan kelulusan hanya ditentukan selama beberapa hari dan hanya beberapa mata kuliah saja, jika seperti itu kenapa kita dari awal tidak mempelajari apa yang akan kita ujikan untuk ujian nasional? Kenapa harus mempelajari semua mata pelajaran dan jika dibandingka tidak terlalu penting untuk ujian nasional , kenapa kelulusan harus ditentukan dengan adanya ujian nasional, tidak hanya ujian sekolah saja?
Dengan adanya ujian nasional ini banyak murid-murid yang dilanda rasa ketakutan dan stres. pernah ada suatu kasus dulu sekali saya agak lupa ada seorang siswi yang melakukan bunuh diri karena tidak lulus ketika ujian nasional, apakah itu yang diinginkan? Tentu tidak. Dulu memang jika ada yang tidak lulus ujian tidak ada yang namanya ujian mengulang, tetapi sekrang sudah mulai dikurangi dengan adanya bantuan nilai sekolah dan ada pula mengenai kebijakan ujian nasional akan dihapuskan tentu benar akan banyak yang setuju dengan penerapan ini.
Mengenai penghapusan ujian nasional ini saya juga setuju asal setiap sekolah mampu memilih mana siswa yang benar-benar sudah pantas mendaptkan ilmu dengan baik, guru pun ikut serta dalam memberikan ilmu kepada siswa, semua harus ada kerja sama dari guru, orangtua dan dari siswa tersebut. Mengenai penghapusn UN ini Semoga pemerintah memberikan keputusan yang terbaik.

Mitha Eni Ermiyawati 3F/PBSI

Unknown mengatakan...

Saya kurang setuju dan tidak setuju tentang opinian dari sodara Naka, karena pada dasarnya ujian nasional itu bukan sebagai tolak ukur para siswa, karena Indonesia itu luas sekali untuk ujian nasional sebagai ukuran bagaimana para siswa bisa memahami seperti di daerah plosok dan kota kan tingkat pembelajarannya sangat beda sekali demgan di kota. Apabila ujian nasional kan pemerintah bisa membenahi pendidikan agar semakin baik dan tidak amburadul seperti sekarang ini.
Sebetulnya pendidikan di Indonesia itu masih kurang sekali beda sengan negara-negara lain yang kebanyakan warganya pada pintar. Kalo yidak dilakukan ujian nasional malah peserta didik membuat santai dan tidak difikirkan dan dibuat santai. Dan tidak adil juga kalau ujian masional sebagai tolak ukur kelulusan selama sekolah karena ujian nasional biasanya orang jawa menyebutnya "bejo-bejoan". Kalau bisa ujian nasional tetap dilalukan kan dilaksanakan dengan baik tetapi jangan sebagai tolak ukur kelulusan tetapi melainkan dari cara peserta didik yang beraneka ragam bisa tidak menyelesaikan soal yang sama.
Asalkan saat melakukan ujian nasional soal harus tergaja dan jangan sampai bocor karena hal seperti itu sebagai bisa merusak moral bangsa, karena ketidak jujuran di awal ini. Seharusnya orang yang membuat soal dan yang menggandakan bisa ditaruk di daerah isolasi agar tidak ada masalah mengenai kebocoran soal.
Umumkan kepada peserta didik bahwa ujian ini tidak mempengaruhi kelulusan dan lain sebagainya.
Katakan juga bahwa ujian nasional tidak menentuka bahwa ujian nasional mempengaruhi masuk ke sekolah yang baik. Ujian nasioal jangan dihapuskan dan harus dibenahi sistre yang baik dan bagus.
Dan mengenai mata pelajaran yang diujikan sebaiknya semuanya bukan hanya 4 mata pelajaran saja. Tetapi semuanya agar adil dan tidak compalang dan tidak ada sepeti guru mata pelajaran un aja yang bekerja keras tetapi semua guru agar adil.
Dan mengenai pemadatan saya juga merasakan saya tidak pernah sekolah madrasah karena adanya pemadatan di sekolah untuk ujian nasional sehingga guru madrasah saya disaat saya sekolah saya sering disindir karena katanya lebih memberatkan duniawi sehingga antara dunia dan akhirat tidak imbang. Ujian seperti itu ya boleh diadakan pemadatan tetapi jangan disiang hari sebaiknya dilakukan pada pagi hari karenana pada pagi hari pikiran kita masih segar dan sangat mudah menerima pelajaran dengan baik. Mungkin itu saja menurut saya sampaikan, tetima kasih

(Firdausi Akiko Putri,3D PBSI)

Unknown mengatakan...


Saya sependapat dengan opini Setia Naka Andrian. Menurut saya memang benar ketika para siswa akan menghadapi UN, mereka merasa ketakutan. Ketakutan tersebut menjadi momok yang harus dihadapi. Salah satu alasan mengapa siswa ketakutan mungkin karena mereka belum yakin apakah materi dalam mata pelajaran yang ia kuasai sesuai dengan kemampuan yang dipelajari atau belum. Tetapi seiring berkembangnya zaman, UN bukanlah penentu kelulusan seorang siswa dalam menempuh sekolah akhir. Nilai UN dapat digabung dengan nilai raport di akhir semester. Dengan demikian, UN bukan penentu seorang siswa lulus atau tidak sebagai peserta didik. Dengan memperhatikan beberapa nilai yang dapat diambil dari rapor, tidak ada alasan lagi untuk menghapus UN di Negara ini. Hal tersebut adalah salah satu upaya agar siswa tidak takut menghadapi UN dan tidak mengabaikannya. Di samping itu setiap sekolah mampu mengukur seberapa jauh kemampuan siswa di sekolahnya dalam mengikuti hasil akhir pembelajaran selama menempuh pembelajaran di sekolahan. Seberapa jauh kemampuan tersebut sebaiknya soal-soal yang dibuat pemerintah kota maupun provinsi hendaknya sesuai dengan tingkat kesulitan daerah tersebut. Maka, akan terbentuk keadilan didalam membuat dan menjawab soal UN dengan baik. Keadilan tercipta jika ada keseimbangan antara para siswa belajar dengan cara giat belajar. Oleh karena itu, akhir dari pembelajaran menunjukkan apakah siswa mampu menguasai materi yang sudah diajarkan di sekolah ketika mengerjakan soal UN. Simpulannya UN tidak boleh dihapuskan karena UN memiliki bukti dan peran penting dalam perkembangan dunia pendidikan. Peran menteri pendidikan dan pemerintah diperlukan dalam pertimbangan apakah akan ada penghapusan UN atau tidak. Semoga UN tidak pernah dihapus karena untuk satu kepentingan pihak tertentu.


Ninik Hidayati (3E/PBSI)

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan pendapat Setia Naka Andrian mengenai nasib Ujian Nasional. Memang, dari tahun ketahun, Ujian Nasional menjadi momok tersendiri bagi setiap orang, tidak hanya siswa yang menjalankannya, tetapi orang tua yang khawatir akan nasib anaknya. Bayangkan saja, hasil belajar selama tiga tahun untuk SMP/SMA, dan enam tahun untuk SD ditentukan hanya dengan hitungan hari. Selain itu, sebelum hari Ujian Nasional tiba, siswa sering diforsir dengan berbagai macam mata pelajaran yang diujikan di UN. Dalam kondisi ini siswa yang tidak kuat pasti akan merasa sters dan terbebani. Hal ini menuimbulkan berbagai macam pro dan kontra dari berbagai pihak mengenai akan diadakannya Ujian Nasional atau tidak. Ujian Nasional memang bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa selama bersekolah dan menjadikan ajang untuk berkompetisi. Akan tetapi, disisi lain Ujian Nasional menjadi bebaan atau momok tersendiri. Kalau menurut pendapat saya, Ujian Nasional tetap harus dilaksanakan, tetapi tidak menentukan kelulusan. UN dapat menjadi ajang untuk bersikap jujur dan mandiri, seperti yang diterapkan pada K13 yang menekankan pada pendidikan karakter. Tetai sebelum dilaksanakannya UN, siswa diberikan arahan supaya tidak terlalu menjadikan UN sebagai beban. Pemforsiran mata pelajaran juga dikurangi dan hanya membahas inti dan latihan soal dari mata pelajaran yang diujukan. Semoga apa yang menjadi keputusan pemerintah mengenai Ujian Nasional dapat diterima oleh kalangan. Sari Otavia (PBSI 3D)

Unknown mengatakan...

Saya tidak sependapat apabila, Ujian Nasional(UN) ditiadakan, karena Ujian Nasional(UN) adalah alat pengukur siswa seberapa siswa menguasai, mata pelajaran yang tercantum dalam Ujian Nasaional(UN).
Alangkah baiknya Ujian Nasional tetap diadakan, karena Ujian Nasional(UN) telah ada sejak dulu. Mata pelajaran yang lain tidak akan terbengkalai karena sudah ada ujian sekolah. Ujian sekolah setiap mata pelajarannya tercantum dalamnya.
Akan tetapi mata pelajaran tercantum dalam Ujian Nasional lebih di tekankan ketimbang, mata pelajaran yang lainnya. Hal tersebut memang harus di lakukan karena sudah kodratnya. Menurut saya Ujian Nasional(UN) harus di sesuaikan dengan mata pelajaran yang diminati siswanya agar suasana Ujian Nasiaonal(UN) tidak monoton.
Yang saya rasakan saat Ujian Nasional(UN) berlangsung memanglah mencekam, rasa takut, rasa tegang bercampur aduk jadi satu, sampai - sampai keringat dingin bercucuran di dahi. Alangkah baiknya, suasana Ujian Nasional terasa berbeda. seperti jam - jam tambahan pada jam di luar sekolah itu menurut saya tidak efektif.
Tidak efektifnya karna apa? karena banyak memakan waktu, waktu yang harusnya digunakan buat otak istirahat bekerja malah digunakan untuk berfikir lagi. Jadi secara tidak langsung berpengaruh pada sikologis siswa.
Enggiano Prasadana Putra 3F/PBSI

Unknown mengatakan...

Saya tidak sependapat dengan Setia Naka Adrian karena akan tidak sangat adil apabila suatu kelulusan berdasarkan dengan UN karena akan ada suatu situasi yang tidak bagi para siswa. Contohnya apabila murid tersebut pandai namun saat UN dilaksanakan siswa tersebut malah adabsuatu kendala aeperti tidak enak badan misalnya. Maka anak tersebut tidak akan dapat maksimal untuk mengerjakan UN. Contoh lainnya apabila ada anak yang mendapat kunci jawaban dan ada yang tidak maka akan sangat tidak adil apabila anak yang tidak mendapat kunci tidak lulus. Menurut saya lebih baik untuk diadakannya evaluasi atau semacamnya untuk mengukur pengetahuan siswa tersebut tentang pelajaran. Dan itu harus mencakup semua mata pelajaran, tidak hanya pelajaran yang inti-inti saja seperti matematika, Bahasa Indonesia, dll. Karena apabila hanya mata pelajaran tertentu saja maka siswa akan fokus untuk pelajaran itu saja dan mengabaikan mata pelajaran lain. Mungkin itu saja pendapat saya, terima kasih
(Rohmatul Hidayah 3E)

Unknown mengatakan...

Saya tidak sependapat dengan Setia Naka Adrian karena akan tidak sangat adil apabila suatu kelulusan berdasarkan dengan UN karena akan ada suatu situasi yang tidak bagi para siswa. Contohnya apabila murid tersebut pandai namun saat UN dilaksanakan siswa tersebut malah adabsuatu kendala aeperti tidak enak badan misalnya. Maka anak tersebut tidak akan dapat maksimal untuk mengerjakan UN. Contoh lainnya apabila ada anak yang mendapat kunci jawaban dan ada yang tidak maka akan sangat tidak adil apabila anak yang tidak mendapat kunci tidak lulus. Menurut saya lebih baik untuk diadakannya evaluasi atau semacamnya untuk mengukur pengetahuan siswa tersebut tentang pelajaran. Dan itu harus mencakup semua mata pelajaran, tidak hanya pelajaran yang inti-inti saja seperti matematika, Bahasa Indonesia, dll. Karena apabila hanya mata pelajaran tertentu saja maka siswa akan fokus untuk pelajaran itu saja dan mengabaikan mata pelajaran lain. Mungkin itu saja pendapat saya, terima kasih
(Rohmatul Hidayah 3E)

oktavianivika mengatakan...

Saya setuju dengan Setia Naka Andrian mengenai Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional memang Ujin Nasional menjadi momok ketakutan bagi para siswa kita tidak sedikit kasus bunuh diri yang dilakukan siswa yang disebabkan takut tidak lulus ujian dan banyak pula siswa yang depresi akibat tidak lulus ujian. Memang harus dipertimbangan dengan matang masalah ujian ini. Tetapi menunurut saya ujian harus tetap diadakan karena dengan ujina siswa dapat berkompetisi namun, hasil UN tidak 100% yang menentukan kelulusan. Agar ujian tidak menjadi momok ketakutan siswa, tetapi jangan membuat siswa malah menjadi menganggap enteng UN atau meremehkan UN. Harus ada suatu tingkatan yang membuat siswa bepikir harus bisa melewati UN meskipun UN tidak menjadi penentu kelulusan. Apapun keputusan pemerintah, semoga menjadi yang terbaik untuk masyarakat dan masyarakat menerima keputasan pemerintah. Oktavianai Vika Ariska (3D)

Osesha9 mengatakan...

Berbicara mengenai isu terkait rencana dihapuskannya UN sesuai dengan yang dituliskan oleh Setia Naka Adrian, saya sependapat dengan pemikiran penulis, yang mengatakan bahwa UN memang diperlukan agar anak mau belajar dan UN dinilai sebagai pertarungan positif bagi pelajar.
Namun jika ditanya bagaimana pendapat saya mengenai, lebih baik UN diadakan atau di tiadakan? saya pribadi lebih memilih jika UN di tiadakan. Karena saya melihat yang sudah terjadi dari tahun ke tahun, bahwa UN sudah menjadi sebuah tradisi atau sebuah proses wajib yang mau tak mau harus di lalui oleh pelajar di Indonesia agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Masa-masa menjelang UN seakan-akan menjadi masa yang suram, tidak bisa bermain, hanya dihadapi buku-buku dan soal-soal latihan yang tidak ada habisnya. Pagi belajar, siang belajar, sore belajar, malam belajar. Hari demi hari seakan digunakan untuk belajar, bahkan bagi beberapa anak mungkin ada yang sampai jatuh sakit karena stress menghadapi UN. Sudah banyak yang tahu bahwa UN dianggap suatu hal yang menakutkan bagi pelajar dan akan memberikan tekanan tersendiri bagi pelajar.
Memang benar, UN diadakan untuk menguji kemampuan pendidikan pelajar setelah menerima berbagai macam mata pelajaran dan segudang ilmu selama pelajar tersebut bersekolah. Nasib semua pelajar seakan bergantung pada hasil yang di laluinya selama bertahun-tahun dalam mengenyam dunia pendidikan demi mendapat 5 huruf dalam sebuah ketas bertuliskan “LULUS” yang di dapat dari ujian yang berlangsung hanya dalam 3 hari.
Belum lagi tradisi setelah pengumuman kelulusan, mencoret-coret seragam sambil berkonvoi ria sembari menggeber-nggeberkan motornya dan bernyanyi sepanjang jalan, terkadang membuat macet jalanan, terkadang ricuh, yang menurut mereka kalo belum ikut konvoi ya belum gaul,masih cupu.
Itu adalah sepintas pandangan pelajar Indonesia yang keliru tentang UN. Belum lagi pemikiran masyarakat yang berpikiran nilai UN yang bagus sudah pasti ia pintar, padahal belum tentu. Bisa saja nilai UN yang bagus ia dapatkan dari kunci jawaban UN yang bocor.
Sudah tidak heran bahwa tahun ketahun pasti ada saja kunci jawaban UN yang bocor dan diperjual belikan di lingkungan sekolah.
Saat ini, menurut saya pemerintah masih mengandalkan bahwa UN adalah satu-satunya penentu kelulusan yang sangat penting. Dari sekian banyak pelajaran yang di berikan sewaktu bersekolah hanya Matematika, bahasa Indonesia, Ipa, Bahasa Inggris saja yang di ujikan. Padahal kenyataannya belum tentu semua anak bisa menguasai mata pelajaran yang di ujikan dalam UN.
Kita bisa lihat bahwa Negara yang memiliki system pendidikan terbaik adalah Finlandia . Finlandia menempati posisi pertama dalam peringkat yang memilik sistem pendidikan terbaik di dunia. Sistem pendidikan di Findlandia sangat berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia. Dimana pembelajaran hanya di lakukan selama 5 jam setip harinya, tidak ada PR, tidak di bebani tugas, tidak ada ranking kelas, dan yang terpenting tidak ada Ujian, semua siswanya di janjikan pembelajaran yang menyenangkan tanpa tekanan di sekolah.
Di Finlandia, kelulusan di tentukan bergantung dari pemberian evaluasi yang diberikan oleh guru itu sendiri. Dengan system pendidikan yang seperti itu saja Finlandia bisa maju, jika Finlandia bisa maju dengan sistem pendidikan yang seperti itu, saya rasa Indonesia pun juga bisa jika sedikit mengubah sistem pendidikannya, karena maju atau tidaknya Negara bisa dilihat dari pendidikannya, karena dari pendidikan akan menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu dan berguna untuk Negara.
Tetapi lepas dari semua itu, semua keputusan tetap ada di tangan pemerintah. Hanya pemerintah yang tahu bagaimana seharusnya pendidikan di Indonesia ini diatur. Kita sebagai masyarakat hanya bisa menerima dan menjalani semua peraturan yang ada dan telah ditetapkan sebagaimana mestinya.

SESHA EKA OKTARINA (3F / PBSI)

Unknown mengatakan...

Saya setuju dengan pendapat Setia Naka Andrian memang benar bahwa Ujian Nasional(UN) itu dipandang sebagai tembok raksasa yang sulit untuk dihadapi dan menjadi beban berat bagi pelajar. Kenapa menjadi beban berat karena terkadang UN menjadi hantu yang menakuti para pelajar. Apalagi ketika perjuangan para pelajar selama belajar 3 tahun di tingkatnya, hanya dinilai dengan beberapa hari saja dan hanya di uji dengan 60 soal di tiap pelajaran. Sungguh miris memang, tapi itu dulu di zaman yang belum semodern seperti ini .Di zaman sekarang ini saya pikir UN seperti bukan sebuah momok lagi bagi pelajar, karena apa di zaman sekarang sudah banyak kecurangan(membeli kunci jawaban) yang dilakukan oleh para pelajar. Bagi mereka yang penting mereka lulus dan mendapatkan nilai bagus. Seperti dari kejadian tahun-tahun sebelumnya. Banyak pelajar yang di sekolah nya berprestasi, tetapi pada saat pelaksanaan ujian nasional. Dia tidak lulus ujian, sementara pelajar yang sama sekali tidak berprestasi dan mendapatkan kunci jawaban,vmereka bisa mendapat nilai yang lebih tinggi dan lulus.
Akan tetapi jika UN di hapus itu akan menjadikan dampak negatif bagi para pelajar seperti Motivasi belajar berkurang, pelajar akan menjadi acuh tak acuh untuk belajar, dan anak-anak akan sulit mengetahui potensi dalam dirinya. UN harus tetap ada namun dengan sistem yang berbeda/perlu di edit, misalkan UN bukan satu-satunya alat penentu kelulusan dengan alasan sudah berapa puluh ribu anak bangsa sudah menjadi korban “kekejam UN” , namun bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan kelulusan dan untuk menentukan kejenjang yang lebih lanjut.
Novita Kumala Sari (15410212/3E)

Eka Putri Septyaningrum (15410200) mengatakan...

Menanggapi tulisan Setia Naka Adrian yang berjudul “Menimbang (ketiadaan) UN" dalam Wawasan 14 Desember 2016 ini sangat menginspirasi dan memberikan pengetahuan. Saya sependapat dengan Naka karena sebenarnya bukan UNnya yang harus dihapuskan tetapi sistem pelaksanaannya. Soal-Soal UNnya juga harus sesuai dengan kemampuan siswanya, jangan sampai kemampuan siswa kota dengan pedalaman itu disamakan. Latar belakang sosial siswa sangat mempengaruhi tingkat kemampuannya.
Banyaknya kecurangan-kecurangan dalam pelaksaan UN juga harus diperhatikan agar tidak ada pihak yang dirugikan. Kunci jawaban UN pun banyak beredar di masyarakat tentunya dengan harga yang mahal dan belum tentu juga jawaban tersebut benar. Akan tetapi, siswa tetap saja berusaha membelinya tidak perduli dengan harga yang mahal dan ancaman dari guru jika telah membeli kunci jawaban. Hal inilah salah satu penyebab UNnya selalu tidak berjalan dengan baik.
UN memang selalu menjadi momok tersendiri bagi siwa. Hal ini sama dengan yang dulu saya rasakan. Akan tetapi jika UN dihapus bagaimana dengan penentuan kelulusan siswa? apa yang akan menjadi tolak ukurnya? UN tidak perlu dihapus karena dengan adanya UN ini dapat melatih mental yang baik bagi siswa. Padahal sekarang ini juga UN sudah tidak lagi menjadi penentu kelulusan tetapi hanya menjadi bahan pemetaan seharusnya siswa tidak perlu khawatir, cemas dan takut karena pihak sekolah yang menentukan kelulusannya. Siswa sudah sekolah bertahun-tahun kemudian hanya ditentukan dengan beberapa hari ini memang tidak adil sehingga UN cuma menjadi pemetaan saja.
Jika UN ditiadakan pasti akan membuat siswa malas belajar dan berfikiran “ah, pasti lulus". Saya berharap UN tetap diadakan atau ingin diganti dengan evaluasi lain tidak masalah. Sama dengan yang telah dituliskan Naka ganti Mentri atau pemimpin ganti Kurikulum dan kebijakan. Akan tetapi, semoga pihak pemerintah dapat mempertimbangakan hal ini dengan baik agar tidak ada kesalahan dalam pengambilan keputusan. (Eka septiyaningrum, 3E PBSI)

Unknown mengatakan...

Mengenai tulisan Setia Naka Andrian yang berjudul "Menimbang (Ketiadaan) UN pada 14 Desember 2016 saya sependapat bahwa ujian bisa digunakan sebagai ajang kompetisi yang positif dan sebagai pembentuk mental. Menurut saya apabila ujian ditiadakan, para siswa malah akan menyeleweng dari proses pembelajaran di sekolah. Mungkin saja mereka berpikir tidak ada lagi yang harus ditakutkan selama mereka bersekolah karena UN ditiadakan.
UN tidak dapat ditiadakan begitu saja tetapi harus dipikirkan secara matang karena hal ini menyangkut masa depan suatu negara juga. Pemerintah juga harus mempertmbangkan aspek-aspek yang ada di masyarakat apakah pelaksanaan penghapusan UN itu sudah berjalan dengan baik atau malah sebaliknya. Ya, walaupun setiap keputusan pasti ada yang baik dan buruk yang semuanya harus dipersiapkan dengan matang.
Apabila UN tetap ada, ya mungkin hanya mengganti sistem pelaksanaannya yang lebih baik lagi. Sampai sekarang pun kecurangan-kecurangan saat mengerjakan UN masih ada. Seperti beredarnya kunci jawaban atau yang lainnya. Mungkin pemerintah harus lebih ketat pada pengawasan dan lebih tegas tentunya.
Jika UN ditiadakan, pemerintah juga dapat mengganti UN dengan evaluasi yang lain agar siswa ataupun negara mempunyai patokan-patokan tertentu. Bukan melenyapkan begitu saja dan melupakan tujuan utama dalam dunia pendidikan negara ini.

Intan Haniya Ulfah (3F/PBSI)

Unknown mengatakan...

Menanggapi tulisan Setia Naka Andrian "Menimbang (Ketiadaan) UN dalam Wawasan 14 Desember 2016. Saya berpendapat bahwasannya saya tidak setuju jika UN ditiadakan. Karena UN merupakakan hal yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Jika dikatakan UN hanya membebani para siswa, membuat para siswa stres dan tertekan, menurut saya itu hal lumrah. Lalu apakah kelulusan hanya ditentukan selama 3 hari saja? Atau hanya dengan selembar kertas saja? Lalu bagaimana dengan proses belajar selama 3 tahun jika di (SMP dan SMA/SMK). Apakah proses itu teraibakan? Tidak perlu jauh untuk mencontohkan. Kita lihat saja teman sekelas kita sewaktu proses belajar mengajar di sekolah. Apakah dia benar-benar aktif dan sungguh-sungguh dalam proses belajar? Saya rasa tidak. Masih banyak siswa yang menyepelekan. Tugas saja mencontoh teman. Banyak juga siswa yang absen atau bolos sekolah. Meskipun tidak semuanya siswa seperti itu. Namun siswa yang cerdas dengan siswa yang kurang cerdas, masih banyak siswa yang kurang cerdas.
Jika kita lihat masyarakat Indonesia. Apakah masyarakat kita sudah berkualitas semua? Khususnya bagi para pelajar. saya yakin jika UN dihapuskan maka para siswa akan lebih malas untuk belajar. Budaya membaca saja masih rendah. Motivasi dan minat belajar saja masih kurang, kok UN akan ditiadakan. Kecuali jika budaya membaca, motivasi, minat belajar dan hal lain yang terkait dengan pendidikan sudah baik, mungkin ada atau tidaknya UN tidak begitu berpengaruh. UN juga dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi oleh para guru. Walaupun UN terdapat banyak kecurangan seperti meniru jawaban teman, itu dapat diatasi. Pemberian barkot pada soal sebenarnya sudah bagus. Kebocoran soal-soal UN pada setiap sekolah harus diberi sanksi dengan tegas. Jadi menurut saya UN jangan ditiadakan, sistemnya yang harus diperbaiki dan disempurnakan lagi.

Dessy Apriyani 3E PBSI

Mia Muharromah mengatakan...

Saya akan menanggapi essai Setia Naka Andrian yang berjudul “Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional”
Pelaksanaan ujian nasional selalu mengundang perdebatan. Dari mulai pemangku kepentingan, pengamat, orangtua pelajar, hingga pelajarnya sendiri memiliki pandangannya masing-masing atas perlu atau tidak nya UN ini dilakukan. Banyak yang menganggap ujian nasional tak perlu.Tapi, ada juga yang menganggap ujian nasional itu perlu. Alasannya mudah, sebagai alat ukur kemampuan penyerapan belajar pelajar selama masa pendidikannya berlangsung.Apa pun perdebatannya, pemerintah akhirnya memutuskan menghentikan sementara pelaksanaan ujian nasional yang akan mulai berlaku pada tahun ajaran 2016-2017.
Memang benar UN ini menjadi momok bagi para siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional, karena ini adalah salah satu jalan agar dapat lulus dari bangku sekolah yang sedang di tempuh. Namun dibalik terselenggranya UN terdapat proses panjang yang membuat para siswa dan guru sangat menyita waktu dan tenaga demi keberhasilan UN, yaitu jam tambahan untuk setiap mapel yang diujikan dan ada hari dimana jam pelajaran full untuk pemantapan mata pelajaran yang diujikan. Bahkan Orang Tua pun ikut merasakan keresahan tentang Ujian Nasional ini,bahakan mengahlalkan segala acara agar anak anak mereka dapat lulus dengan nilai yang memuaskan. Namun ada juga yang mendapatkan nilai di abwah rata-rata,lasannya karna menggunakan system Lembar Jawaban Komputer sehingga seluruh jawaban tidak dapat terdeteksi dengan sempurna. Maka hal inilah yang membuat seluruh siswa dan orang tua mengeluh agar UN sebaiknya ditiadakan.
Namun menurut saya meskipun UN ditiadakan , seharusnya ada ujian yang lain untuk menentukan kelulusan para peserta didik agar dapat menyelesaikan tahap akhir dari jenjang pendidikan yang ditempuh ,misalnya saja ujian sekolah diguanakan untuk menentukan kelulusan para peserta didik

Mia Muharromah (3D PBSI)

Fikri Dian Prasetya mengatakan...

UN (Ujian Nasional), tentu kita sudah tidak asing lagi dengan kata tersebut. Bahwasanya Ujian Nasional adalah sistem evaluasi standar pendidikan secara nasional yang guna bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa, mutu tingkat pendidikan siswa dan lebih lebih bertujuan untuk menjadi ajang pembuktian ataupun tolak ukur bagi seorang siswa.
Selanjutnya mengenai tulisan yang di unggah Setia Naka Andrian, saya sebagai seorang mahasiswa dan juga salah satu dari sekian banyak orang yang pernah merasakan betapa mengerikannya UN (Ujian Nasional), katanya. Saya sangat tidak setuju apabila UN (Ujian Nasional) dihapuskan atau ditiadakan, karena apa? Bahwa pada dasarnya UN memiliki peran atau manfaat penting dalam mengukur kemampuan peserta didik, dimana dapat juga digunakan sebagai bahan evaluasi dan pembinaan oleh pemerintah pusat. Saya lebih setuju apabila UN digunakan untuk menjadi indikator kelulusan seorang siswa, tidak dijadikan sebagai penentu utama dari kelulusan. Karena apabila kita hanya memikirkan tingkat kelulusan yang tinggi itu berarti secara tidak langsung kita hanya melihat atau mengandalkan hasil akhir tidak mementingkan prosesnya. Seharusnya kita tidak hanya berpacu pada suatu hasil akhir, karena proses yang kita butuhkan untuk menuju suatu hasil akhir sangatlah lebih penting.
Namun kenyataan berkata lain, bahwasanya manusia Indonesia rata-rata lebih mengutamakan hasil akhir ketimbang proses. Alangkah mirisnya pendidikan negara indonesia ini.
Selanjutnya saya juga kurang setuju apabila hanya mapel UN (Ujian Nasional) dijadikan momok utama penentu kelulusan. Penyelenggaraan UN yang dilakukan pemerintah terkadang membuat guru terlena. Guru hanya fokus pada mata pelajaran yang akan diujikan dalam UN seperti mata pelajaran Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Bahasa Indonesia, dan beberapa materi lain yang akan diujikan dalam Ujian Nasional (UN). Sedangkan materi-materi lain menjadi terabaikan bahkan dianggap tidak penting lagi. Namun yang menjadi permasalahan disini adalah seorang siswa. Mengapa saya menyebut seorang siswa? Karena seorang siswa apabila hendak menjalani ujian Nasional bukannya fokus belajar namun mereka malah disibukkan dengan cara-cara yang melanggar yaitu dengan sibuk mencari kunci jawaban kesana kesini. Mereka tidak percaya dengan kemampuan individu masing-masing, yang di pikirkan lagi-lagi hanyalah hasil akhir dan hasil akhir. Disini peran menteri pendidikan sangatlah dibutuhkan untuk mencegah bocornya kunci jawaban yang entah dari mana itu asalnya. Para menteri harus lebih jeli dan lebih teliti lagi, bukan karena tanpa alasan, tetapi agar tingkat pendidikan negara indonesia bisa bersaing dengan negara-negara tetangga yang saat ini banyak yang sudah maju pesat.

Fikri Dian Prasetya (3F/PBSI)

Unknown mengatakan...

Saya sependapat dengan Setia Naka Andrian. Menurut saya, Ujian Nasional harus tetap di adakan tetapi nilai Ujian Nasional saya harap tidak sebagai penentu kelulusan murni. Hasil Nilai Ujian harus di imbangi rata-rata dengan nilai harian murid. Karena kelulusan murid harus di tentukan oleh penyelenggara sekolah juga. Tidak adil kelulusan kalau hanya di tentukan oleh pihak lain yang tidak mengajar murid tersebut. Ini merupakan prinsip dasar evaluasi pendidikan. Maka penentunya harus di koordinasikan oleh sekolah juga.

GABRELA LADY DIANA (15410235/3F/PBSI)

Unknown mengatakan...

Saya Muhamad Ainurrifqi sependapat dengan Setia Naka Andrian Ujian Nasional harus tetap diadakan karena sebagai tolak ukur hasil siswa selama siswa sekolah, dan masalah nilai dan kelulusan sebaiknya jangan dari pusat(menteri pendidikan) lebih baik yang memberi nilai dan kelulusan adalah guru siswa itu sendiri karena guru lah yang mengerti pribadi siswanya..

Surya gemerlap mengatakan...

Jika kita membahas mengenai Ujian Nasianal (UN) kepada siswa pasti yang pertama kali mereka ucapkan adalah menakutkan. Entah mengapa UN begitu seramnya di mata siswa. Mungkin karena itu adalah jalan penentu kelulusan. Seakan akan proses belajar yang bertahun tahun mereka jalani hanya terasa benar-benar merasakan sekolah ya pada saat ujian nasional.
Memang, ujian nasional adalah sebagai tolak ukur pengetahuan siswa. Tetapi apa bila selalu dianggap menakutkan justru akan membuat siswa menjadi beban.
Seperti yang disampaikan oleh Setia Naka Andrian, apabila UN tidak dilaksanakan maka harus ada evaluasi atau yang lainnya.
Hal itu dimaksudkan bahwa syarat lulusnya sekolah harus dengan hasil akhir pembelajaran.
Tidak hanya siswa yang menjadikan ujian nasional sebagai momok paling menakutkan. Orangtua pun ikut bingung memikirkan anaknya apabila mendekati ujian nasional.
Yang diharapkan adalan ujian nasional tetap ada tetapi pola pikir siswa dan orangtua harus diubah menjadi positif.
Bahwa ujian nasional bukan hal yang menakutkan, melainkan sebuah proses yang wajib dilaksanakan sebagai syarat lulusnya sekolah.
RINA FITRIYANINGTYAS (3F)

Khairul Anam mengatakan...

Membahas mengenai UN memang tidak ada habisnya seolah permasalahan UN memang selalu menjadi penyakit tahunan. Permasalahan muncul ketika Kemendikbud Muhadjir Effendi melontarkan wacana yang akan menunda/mentiadakan pelaksanaan UN pada tahun 2017. Mengapa UN harus ditiadakan?
Jika benar UN akan ditiadakan lalu apa yang tepat menggantikannya? Mungkin sebagian dari kita sering bertanya seperti itu.
Jika kita mau menengok ke tahun-tahun sebelumnya permasalahan UN muncul setiap tahun, banyak pro dan konta mengenai UN ada yang setuju jika dihapus dan ada yang tidak.
Menurut saya jika UN dihapus/ditiadakan saya sangat setuju, karena memang UN ini menjadi momok yang sangat menakutkan bagi siswa. Banyak yang dibuat khawatir menjelang detik-detik UN bukan hanya siswa guru pun dibuat khawatir tidak terkecuali orang tua masing-masing. Seolah-olah siswa hanya mementingkan mata pelajaran(mapel) UN saja dan ini sangat disayangkan seolah mapel yang tidak Nasional menjadi iri, guru pun menjadi terfokus hanya untuk mapel UN saja. Sebaiknya UN ditunda dulu satu atau dua tahun, namun harus ada pengganti yang setara dengan UN. Jika satu dua tahun tidak berjalan dengan baik bolehlah kita tetap melaksanakan UN. Memang sangat susah untuk cari penganti UN, namun jika dilihat lebih jauh sebenarnya UN itu bergantung siswanya jika memang siswa punya niat untuk maju saya rasa UN bukan masalah berarti bergantung niatnya saja. Saya juga mendoakan semoga masalah tahunan ini cepat dapat solusinya. Amiin.

Khairul Anam (3F/PBSI)

Unknown mengatakan...

Saya sangat setuju dengan Setia Naka Andrian, sebab jika UN sebagai tolak ukur untuk menentukan kelulusan itu akan membebani siswa. Terlebih lagi selama kita menuntut ilmu di SD SMP maupun SMA, mata pelajaran yang kita pelajarin banyak sekali. Tetapi jika tiba saatnya UN akan dilaksanakan,Mata pelajaran yang bukan termasuk mata pelajaran UN seperti sia - sia. Karena kalah pentingnya dengan mata pelajaran yang akan di UN kan. Saya setuju jika UN ditiadakan tetapi digantikan dengan evaluasi yang lain, yang lebih pantas untuk menilai siswa layak untuk lulus atau tidak. Tetapi mencari pengganti UN harus direncanakan secara matang, agar tidak ada dampak yang akan merusak nama dunia pendidikan di Indonesia. Saya juga pernah merasakan dan mengalami yang Setia Naka Andrian ceritakan, dan saya pun hingga jatuh sakit sebab kelelahan terlalu banyak aktivitas seperti les belum lagi aktivitas yang lain. Mungkin bedanya saat itu saya masih bisa mengatur waktu saya, les atau kegiatan tambahan saya yang bidangnya non akademik. Terlalu banyak aktivitas itu jg menyita semua waktu bermain saya, sungguh perasaan senang dan gembira ketika bermain dengan teman-teman hilang seketika. Menurut saya pemerintah harus memikirkan tindakan yang pantas agar kejadian seperti ini tak akan terjadi atau terulang lagi. Saya sebagai siswa yang pernah merasakan kejamnya UN hanya dapat menyampaikan pendapat saya seperti ini mohon maaf jika tidak sesuai atau keluar dari topik. Saya mobon maaf🙏

Niza Noor Alfiyah (3F)

Dwi Ayu Ameliani mengatakan...

Saya sebenarnya setuju dan tidak setuju jika UN di tiadakan. Sebaiknya kita harus meninjau kembali, apa fungsi dari UN itu sendiri? Apa manfaatnya? Dan bagaimana dampaknya?

Coba kita pikir kembali jika UN tetap diadakan, dan tetap menjadi satu-satunya penentu sebuah kelulusan. Apa gunanya mata pelajaran lain yang di ajarkan di kelas jika hanya beberapa mata pelajaran saja yang diujikan. Saya sendiri pernah merasakan hal tersebut, dan betapa tertekannya saya ketika detik-detik menjelang ujian nasional. Terus bergulat dengan soal. Tujuh jam pokok, ditambah dengan jam tambahan selama 2 jam untuk pengayaan, di tambah lagi dengan bimbingan belajar di luar sekolah selama 2 jam. Seperti kehilangan kebebasan untuk berinteraksi dengan selain soal ujian.

Di sisi lain, orang yang tidak percaya diri dengan kemampuannya, berusaha mati-matian mencari kunci jawaban, dan membelinya. Atau pun mencari bocoran soal kesana kemari yang belum tentu kebenarannya. Sunggu sangat mengenaskan melihat tragedi tersebut terus terulang setiap tahunnya.

Tetapi, saya juga tidak setuju jika ujian nasional itu di tiadakan. Karena tanpa ujian saya tidak yakin jika peserta didik mau belajar dengan sungguh-sungguh. Ujian nasional juga dapat menjadi tolak ukur sebuah pendidikan. Saya sangat tidak setuju kepada oknum yang menyebutkan bahwa ujian nasional tidak boleh menjadi tolak ukur sebuah pendidikan karena pendidikan di Indonesia sendiri belum merata. Justru menurut saya adanya sebuah ujian nasional ini yang dapat menjembatani dunia pendidikan untuk menyetarakan kesenjangan pendidikan yang ada di Indonesia ini.

Secara tidak langsung ketika ujian nasional itu dilakukan, pemerintah telah mengetahui sejauh mana kemampuan pemerintah daerah memajukan pendidikannya, dan sejauh mana kemampuan peserta didik pada tiap-tiap daerah. Dari situlah nanti bisa ditelisik apa penyebabnya dan nantinya bisa di perbaiki lagi untuk bisa setara. Jadi, jika ujian hanya dilakukan dalam suatu wilayah saja saya rasa kurang pas. Karena dalam satu wilayah mesti kualitas pendidikannya tidak jauh berbeda.
(Dwi Ayu Ameliani/3D)

Unknown mengatakan...

Saya lebih setuju bila ujian nasional itu dihapuskan karena akan menjadi momok tersendiri bagi siswa yang akan melaksanakan ujian terutama siswa sekolah dasar karena siswa sekolah dasar baru pertama kali mengikuti ujian nasional di bandingkan siswa menengah pertama dan siswa menengah atas selain itu ujian nasional juga banyak membuang anggaran negara

Saya lebih setuju apabila penentu kelulusan di tentukan oleh sekolah karena pihak sekolah lebih tau proses dan kualitas siswa mulai dari awal sampai dengan begitu maka siswa akan lebih tenang dan tidak terbebani dengan ujian nasional sebagai penentu kelulusan


Apabila ujian nasional di bikin oleh pihak provinsi atau kabupaten/kota akan terjadi kecurangan yang lebih besar di bandingkan di bikin oleh negara


Nama : taufik agus ardiansyah (3F)

Anonim mengatakan...

Saya setuju apabila Ujian Nasional tetap diadakan karena dapat menjadi bahan pertimbangan kelulusan selama siswa belajar di sekolah. Selain itu syarat untuk menentukan pendidikan lebih tinggi selanjutnya juga berdasarkan dari hasil nilai ujian yang diperoleh. Selama ini ujian nasional memang hanya dijadikan momok siswa. Meskipun demikian dengan diadakannya ujian siswa dapat terpacu dalam belajar untuk menghadapi ujian nasional. Apabila Ujian nasional ditiadakan alangkah baiknya apabila kriteria kelulusan digantikan dengan ujian sepadan selama apa yang peserta didik peroleh semasa sekolah seperti ujian lisan atau evaluasi mandiri sehingga siswa tetap belajar dengan giat dan juga tidak meremehkan meskipun kelulusan ditentukan dari pihak sekolah.

Ari Yulianto , 15410257,3F PBSI

Unknown mengatakan...

Menurut pendapat saya, Ujian Nasional (UN) masih sangat diperlukan bagi instansi pendidikan. UN dijadikan patokan penilaian akademis bagi seseorang saat mencari pendidikan yang lebih tinggi maupun di saat mencari pekerjaan. Namun yang harus digaris bawahi Pemerintah maupun MENDIKBUD mengenai tingkat kecurangan. Pemerintah atau MENDIKBUD harus mengurangi tingkat kecurangan saat Ujian Nasional (UN) yang sedang berlangsung dengan cara yang efektif dan simpel. Pemerintah juga harus menambah bobot nilai UN karena selama ini nilai UN hanya berbobot kecil sekitar 25%. Di Perguruan tinggipun yang menjadi patokan siswa dapat di terima adalah dengan tes tertulis baik tes SNMPTN maupun UM (Ujian Mandiri), jadi sampai saat ini Ujian Nasional kurang efektif dan dapat dikatakan hanya membuang-buang waktu saja.
Dwi Setyono 3F

Unknown mengatakan...

Menanggapi tulisan Setia Naka Andrian tentang " Menimbang (Ketiadaan) UN ".
Menurut pendapat saya, jika memang UN masih tetap diadakan, namun sebaiknya UN tidak menjadi penentu kelulusan bagi para peserta didik. Karena menurut saya pribadi, hal tersebut sangat tidak adil. Perjuangan kita selama beberapa tahun dengan semua mata pelajaran yang dapat dikatakan sukses membuat memori di kepala menjadi penuh itu kelulusan kita hanya ditentukan oleh 3-4 mata pelajaran dan dalam jangka waktu 3-4 hari. Bahkan dengan hal tersebut banyak siswa yang menggunakan jalan pintas dengan bersaing dengan cara yang kurang sehat, seperti membeli kunci jawaban kepada orang luar. Tak hanya itu, UN yang menjadi tolak ukur kecerdasan para siswa itu pun juga membuat siswa menjadi stres karena rasa takut yang berlebihan dengan nilai KKM yang ditentukan oleh pemerintah. Jika dilogikakan, untuk apa kita belajar 10-15 mata pelajaran jika yang menjadi penentu kelulusan hanya bergantung dari beberapa mata pelajaran saja ? Sampai sekarang saya masih belum menemukan jawaban atas pertanyaan saya itu. Dan apakah kecerdasan seseorang hanya diukur dari mata pelajaran itu saja ? Sedangkan bakat dan minat setiap orang berbeda-beda. Bagaimana mungkin seorang murid dituntut untuk menguasai beberapa mata pelajaran jika guru hanya menguasai satu mata pelajaran ? Entahlah...
Intinya saya setuju dengan ditiadakannya UN.
Sekian.

SITI IROFAH/PBSI/3F

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

Apa yang dituliskan Setia Naka Andrian mengenai penghilangan UN atau penggantian UN dengan ujian-ujian lain saya menanggapinya dengan sangat setuju, mengapa demikian karena saya juga merasakan bagaimana dahulu begitu menakutkannya UN, terlebih lagi waktu sekolah dasar, sampai-sampai ibu saya pun menyuruh untuk mengikuti kegiatan les privat agar memperoleh nilai yang baik. Selain itu ada juga semacam politik gengsi atau mencari nama sekolah mana yang muridnya memperoleh nilai UN tertinggi berarti itu sekolah yang baik, padahal belum tentu karena gurunya pun bisa saja mencampuri urusan siswanya agar bisa menaikan derajat sekolahnya. Penulis juga mengatakan tentang seakan-akan tidak terlalu pentingnya mata pelajaran yang tidak masuk dalam ujian nasional padahalkan semua mata pelajaran itu penting toh belum tentu juga yang di UN kan menjadi dasar kita berkehidupan nanti.
Mengenai pengganti UN jika ditiadakan mungkin pemerintah sudah mempunyai solusi sendiri mengenai itu, pada dasarnya kurikulum saja bisa berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu, mengapa UN tidak demikian, kita bisa saja meniru negara-negara lain yang menetukan kelulusan siswanya tidak menggunakan UN, tetapi negara tersebut masih saja bisa berkembang dalam dunia pendidikan dalam hal ini adalah negara Jepang.

Lazuardi Insan (3F)

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Rizma Jihannowietta R. mengatakan...

UN memang tidak asing ditelinga kita. Bagi siswa UN merupakan sesuatu hal yang menakutkan bahkan juga mengerikan. Banyak siswa yang merasa takut dengan adanya UN. Saya setuju dengan esai yang disampaikan Setia Naka Andrian bahwa UN harus tetap diadakan. Dengan adanya UN siswa akan lebih giat belajar dan akan serius dalam mendalami materi yang dipelajarinya. Tidak hanya itu, orang tua dan guru dapat mengetahui kemampuan anak-anak atau peserta didiknya. Akan tetapi, UN bukan satu-satunya tolak ukur dalam kelulusan siswa.Pemerintah harus mengubah kebijakan UN dan mempertimbangkan tolak ukur kelulusan siswa. Kelulusan siswa harus diimbangi dengan nilai-nilai harian dan penyelenggara sekolah juga. Tidak adil jika kelulusan siswa hanya dinilai dari pihak luar(pemerintah) lebih baik lingkup sekolah juga harus ikut andil dalam penentu kelulusan.

Rizma Jihannowietta R.,15410251, 3F/PBSI

Unknown mengatakan...

Tulisan yang ditulis Setia Naka Andrian menarik untuk di komentari. Akhir-akhir ini publik digemparkan dengan adanya rencana penghapusan Unjain Nasional (UN). Yang notabennya hingga dulu sampai sekarang Ujian Nasional di anggap masyarakat sebagai tolok ukuir kemampuan siswa dalam menempuh pendidikan.Selain itu dalam pandangan masyarakat bahwa anak yang mendapatkan nilai ujian nasional yang bagus maka akan menduduki perguruan tinggi pula. Namun,kenyataannya saat ini nilai ujian nasional di perlukan hanya berbobot 25%.yang berpegasruh dalam masuk ke perguruan tinggi yaitu dengan melalui tes sbmptn dan ujian mandiri yang diadakan di perguruan tinggi yang di masuk. Tentang hal penghapusan UN sah-sah saja kenapa begitu ? menurut saya,saat ini banyak anak yang menyepelekan ujian nasional beda dengan zaman dahulu kalau ada kata-kata ujian nasional merupakan hal yang paling menakutkan,karena bertahun-tahun kita mencari ilmu dengan hitungan hari kita di tentukan lulus atau tidaknya. Menurut pendapat saya kenapa hanya beberapa mata pelajaran saya yang hanya di jikan dalam ujian nasional bukankah kita mempelajari banyak mata pelajaran dalam mencari ilmu ? di sinilah ketidakadilan muncul dan dalam bertahu tahun kita mempelajari hal yang sia-sia. di s jika semua mata pelajaran tidak semuanya di ujikan lebih baik UN di hapuskan. Twetapi,jika semua mata pelajaran di ujikan maka UN harus terus di adakan.

Dalam kehidupan yang serba canggih seperti sekarang ini,marak terjadinya perdagangan kunci jawaban, Entah dari mana mendapatkan itu semua. Yang sering saya lihat di setiap soal ada tulisan "DOKUMEN RAHASIA" tapi kenapa jika soal itu rahasia ada yanf menjual belikan kunci jawan soal UN. Dari sinilah mental tidak jujur orang Indonesia terbentuk. Dari pada keadaan ini terus bergulir di kalangan masyarakat lebih baik UN di tiadakan. Tetapi pemErintah harus mengambil tindakan tentang di tiadakannya UN dan mengganti dengan kebijakan baru,yang tentunya harus mengutamakan kejujuran dari pada nilai semata. Karena bangsa ini mebutuhkan orang yang jujur dari pada orang yang cerdas tetapi memiliki niatan menghancurkan bangsanya sendiri dengan cara menyalahgunakan kepintaran mereka. Terima kasih.


Sudariyanti Lestari
3F/15410265

Unknown mengatakan...

Memang Ujian Nasional (UN) menjadi momok mengerikan bagi sebagian siswa, karena jika mental yang dipunyai siswa yang akan mengikuti Ujian Nasional (UN) hanya sedikit maka akan bisa mengakibatkan tindakan yang fatal. Contohnya saja banyak fenomena menjelang Ujian Nasional (UN) berlangsung banyak siswa dari berbagai daerah memilih untuk mengakhiri hidupnya. Saya sendiri juga merasakan tekanan mental tersebut saat detik-detik Ujian Nasional (UN) dilaksanakan. Bagi saya Ujian Nasional (UN) yang hanya bisa menentukan masa depan selanjutnya padahal banyak mata pelajaran yang dipelajari. Sebut saja waktu Sekolah Dasar (SD) saya belajar selama enam tahun tapi mengapa hanya ditentukan selama tiga hari melalui Ujian Nasional (UN) itu saja hanya segelintir mata pelajaran yang diujikan, lalu mata pelajaran yang lain dikemanakan? Menurut saya kalau memang Ujian Nasional (UN) masih berlaku jangan hanya segelintir mata pelajaran yang diujikan namun semua mata pelajaran yang sudah dipelajari harus diikuti sertakan dalam Ujian Nasional (UN) dan jika Ujian Nasional (UN) ditiadakan cari solusi yang lebih adil dari Ujian Nasional (UN) agar sumber daya manusia di negeri ini bisa lebih maju.

RIKY GILANG PANGESTU 3F (15410260)

Rimba inanta FD mengatakan...

Menurut yang saya alami saat pertama kali akan UN,saya merasa tidak begitu ketakutan entah kenapa saya juga tidak tahu. Rasa takut itu memang ada tapi hanya sedikit. Berbeda dengan yang dialami pak Naka yang sangat ketakutan ketika hendak pertama kali akan Ujian Nasional. Memang benar ketika hendak akan Ujian Nasional diadakan pemadatan pembelajaran, namun itu tidak menjadi masalah bagi saya. Saya juga masih bisa mengikuti Bimbingan belajar (Bimbel) di Ipiems ketika hendak akan Ujian Nasional. Memang waktu saya untuk bermain juga sedikit tersita. Selain mengikuti Bimbel di Ipiems saya juga masih les private matematika. Jadi, menurut saya itu tidak menjadi masalah dan tidak terlalu menyita waktu dan saya juga masih bisa bermain dengan teman-teman. Mungkin anak-anak jaman dulu ketika akan Ujian Nasional memang sangat ketakutan,berbeda sengan anak jaman sekarang ketika akan Ujian Nasional tetap santai-santai seakan tidak akan ujian. Sampai saat ini Ujian Nasional masih menjadi kontroversi dan perdebatan di kalangan dunia pendidikan dan masyarakat. Ada yang pro terhadap pelaksanaan Ujian Nasional dan ada pula yang kontra terhadap pelaksanaan Ujian Nasional tersebut. Alasannya yang mendukung di tiadakannya pelaksanaan Ujian Nasional adalah tentunya untuk memperbaiki mutu pendidikan Indonesia yang memang pada kenyataannya masih tertinggal di bandingkan negara-negara di dunia. Sebenarnya saya sendiri kurang setuju dengan diadakannya Ujian nasional yang di jadikan sebagai standar kelulusan para siswa, karena otak yang terus menerus di porsir untuk belajar tanpa mengenal lelah dampaknya juga tidak baik terutama bagi kesehatan. Jika target kompetensi yang di capai dalam pelaksanaan Ujian nasional,seharusnya lebih banyak ujian praktik dan soal terurai yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Bukannya berisi soal pilihan ganda yang bisa saja di isi dengan cap-cip-cup atau menghitung kancing bila sudah tidak bisa lagi menjawab. Ujian Nasional memang perlu,tetapi bukan sebagai tolak ukur atau yang menentukan kelulusan siswa dengan nilai minimal yang telah di tetapkan.


Rimba Inanta (3E/PBSI)

Unknown mengatakan...

apakah dengan di hapuskannya UN (Ujian Nasional) akan berdampak baik bagi siswa ? jika iya di hapuskan maka akan menjadi semua mata pelajaran di ujikan ? apakah itu juga tidak menjadi beban siswa, yang harus paham semua materi yang akan di ujikan.

jika ada UN seorang siswa ada yang tidak percaya dengan kemampuannya selama ini, yang ia usahakan hingga akhirnya mencari sebuah kunci jawaban di mana hingga rela beli dengan harga yang fantastis. apakah tidak ada solusi lain selain UN ?.

(M Primanggita Aji K/3E/PBSI)

Indah Lestari mengatakan...

Saya setuju mengenai rencana penghapusan UN. Karena sesuai dengan artikel tercantum pada Kompas.com yang berjudul "8 alasan penghapusan UN"
Pertama, menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung Nomor 2596 K/PDT/2008 tanggal 14 September 2008.Dengan keluarnya putusan tersebut, maka UN dinilai perlu dimoratorium hingga sarana prasarana sekolah merata di seluruh Indonesia.
Kedua, sesuai dengan nawacita untuk melakukan evaluasi terhadap model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional.
Ketiga, Moratorium UN, lanjut Muhadjir, juga guna menghindari siswa putus sekolah atau drop-out.
Keempat, Muhadjir menilai, hasil UN hingga saat ini belum dapat menjadi instrumen peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Kelima, cakupan UN yang luas juga menciptakan kesulitan dalam memperoleh UN yang kredibel dan bebas dari kecurangan. Sumber daya yang dikerahkan untuk pelaksanaan UN sangat besar.
Keenam, UN juga dianggap tak berimplikasi sama dan secara langsung terhadap setiap peserta UN.
Ketujuh, UN dinilai belum menjadi alat pemetaan yang tepat. Sebab, pemetaan mutu yang baik menuntut adanya instrumen pemetaan lain selain UN.
Kedepalan, UN dinilai cenderung membawa proses belajar ke orientasi yang salah. Sifat UN dianggap hanya menguji ranah kognitif dan beberapa mata pelajaran tertentu saja.
Selain itu menurut saya pribadi, karena UN hanya berlangsung 3 hari dan hanya mengujikan materi pelajaran tertentu mungkin akan ada beberapa soal untuk UN yang tidak dipelajari oleh sekolah yang tidak terjangkau (pelosok). Banyaknya kesan bahwa UN serasa boomerang yang harus dihadapi siswa setelah 3 tahun belajar dan hanya nilainya hanya ditentukan dimedan perang selama 3 hari.
Siti Hadiyanti Indah L (3E/PBSI)

Indah Lestari mengatakan...

Saya setuju mengenai rencana penghapusan UN. Karena sesuai dengan artikel tercantum pada Kompas.com yang berjudul "8 alasan penghapusan UN"
Pertama, menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung Nomor 2596 K/PDT/2008 tanggal 14 September 2008.Dengan keluarnya putusan tersebut, maka UN dinilai perlu dimoratorium hingga sarana prasarana sekolah merata di seluruh Indonesia.
Kedua, sesuai dengan nawacita untuk melakukan evaluasi terhadap model penyeragaman dalam sistem pendidikan nasional.
Ketiga, Moratorium UN, lanjut Muhadjir, juga guna menghindari siswa putus sekolah atau drop-out.
Keempat, Muhadjir menilai, hasil UN hingga saat ini belum dapat menjadi instrumen peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Kelima, cakupan UN yang luas juga menciptakan kesulitan dalam memperoleh UN yang kredibel dan bebas dari kecurangan. Sumber daya yang dikerahkan untuk pelaksanaan UN sangat besar.
Keenam, UN juga dianggap tak berimplikasi sama dan secara langsung terhadap setiap peserta UN.
Ketujuh, UN dinilai belum menjadi alat pemetaan yang tepat. Sebab, pemetaan mutu yang baik menuntut adanya instrumen pemetaan lain selain UN.
Kedepalan, UN dinilai cenderung membawa proses belajar ke orientasi yang salah. Sifat UN dianggap hanya menguji ranah kognitif dan beberapa mata pelajaran tertentu saja.
Selain itu menurut saya pribadi, karena UN hanya berlangsung 3 hari dan hanya mengujikan materi pelajaran tertentu mungkin akan ada beberapa soal untuk UN yang tidak dipelajari oleh sekolah yang tidak terjangkau (pelosok). Banyaknya kesan bahwa UN serasa boomerang yang harus dihadapi siswa setelah 3 tahun belajar dan hanya nilainya hanya ditentukan dimedan perang selama 3 hari.
Siti Hadiyanti Indah L (3E/PBSI)

Unknown mengatakan...

Esai Setia Naka Andrian memang menarik untuk di bahas. Memang, akhir-akhir ini banyak pemberitaaan yang menggembor-gemborkan perihal ditiadakannya UN. Banyak memang pro dan kontra perihal penghapusan Ujian Nasional. Memang benar kata Naka, UN memang menjadi momok yang sangat menakutkan. Barangtentu bukan hanya siswanya yang merasa takut bahkan para guru dan segenap staff di sekolah pun ikut merasa ketakutan. Mengapa begitu, ya seperti yang telah kita ketahui bersama, secara turun temurun UN menjadi ajang penentuan apakah sekolah itu layak menjadi sekolah yang berakreditasi baik atau tidak. Jika dalam peringkat hasil UN sekolah tersebut baik, pasti sekolah akan dengan bangga mempromosikan sekolahnya yang notabenenya mempunyai kualitas yang telah terbukti bagus. Hal ini lah yang kadang membuat sebagian pihak sekolah melakukan kecurangan-kecurangan agar mutu sekolah yang telah di bangun susah payah tidak hancur begitu saja. Misalnya saja, ada pihak guru yang sengaja bekerja sama dengan murid-muridnya untuk membeli kunci jawaban dari "calo" yang memang sudah dikenal oleh gurunya, para murid hanya diminta untuk membayar sesuai dengan harga yang telah ditentukan. Hal ini tentu yang menbuat akhirnya karakter penerus bangsa Indonesia menjadi karakter korupsi, praktis, tak mau usaha. Jika hal ini terus dilakukan, barangtentu negara Indonesia malah tidak menjadi negara maju malah menjadi negara yang semakin terpuruk karena kesalahan didikan dari pihak-pihak yang seharusnya mengajarkan bagaimana menjadi bangsa yang memiliki mental yang kompetitif dan jujur malah sebaliknya mengajarkan menjadi bangsa yang praktis yang menbuat para penerus negara ini tidak mau usaha demi kepentingan bersama. Padahal seperti yang kita ketahui, sekolah merupakan tempat tinggal kedua bagi kita setelah rumah kita yang banyak mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang bermental baja. Bahkan, waktu kita di sekolah lebih banyak ketimbang di rumah kita sendiri. Jadi bisa disimpulkan bahwa sekolah menjadi salah satu faktor penentu baik buruknya karakter penerus negara kita.
Jika saya diminta memilih antara ditiadakannya UN atau tetap diadakan UN, saya akan memilih untuk ditiadakannya UN. Seperti fakta di atas, mungkin dengan ditiadakannya UN, pihak sekolah akan lurus dan mengajarkan bagaimana siswa-siswinya menjadi pribadi yang siap menghadapi rintangan-rintangan penghalang kemajuan negeri baik dari dalam maupun luar negerI. Bahkan dari pihak sekolah pun lebih termotivasi untuk meningkatkan kualitas sekolahnya dengan cara-cara yang baik dan sesuai dengan tujuan pendidikan. Terima kasih.

(MARRA MUTIARA, 3F)




Isa Surya Aji mengatakan...

Menurut saya pribadi UN (Ujian Nasional) merupakan salah satu tolak ukur dalam penentuan kelulusan. Akan tetapi, tolak ukur yang dimaksud bukan hanya semata-mata UN saja. Namun, juga harus meliputi keseluruhan dari segala aktivitas pembelajaran yang telah dilaksanakan selama bersekolah. antara lain Keaktifan, sikap, nilai Ujian sekolah, tugas, dan yang lainnya. Seharusnya sekolah lebih memperhatikan hal-hal tersebut sebagai penentu kelulusan bukan hanya Ujian Nasional saja, dan apabila memang sekolah memperhatikan hal tersebut diyakini Ujian Nasional tidak akan menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi siswa. Jadi, kesimpulannya saya berpendapat bahwa UN harus tetap ada sebagai "ujung lorong" pembelajaran, dan UN bisa ditransformasi sehingga tidak melulu berbentuk tes tertulis misal bisa diganti berbentuk wawancara (lisan) satu persatu, dan menurut saya itu akn lebih jelas memperlihatkan apakan seorang siswa sudah layak diluluskan menurut standar dalam kurikulum atau tidak.

Isa Surya Aji (3F/PBSI)

Kedai kata-kata mengatakan...

Saya setuju dengan esai setia naka andrian. Memang benar, UN tidak seharusnya menjadi tolok ukur terpenting bagi kelulusan siswa. Percuma kita belajar mati-matian, menghabiskan keseharian kita selama 3 tahun untuk belajar tetapi kelulusan hanya di tentukan dalam 3 hari. Hal itu, sangatlah tidak adil, mengapa demikian, percuma kita mempelajari semua mata pelajaran tetapi endingnya hanya pelajaran dan materi tertentu saja yang menentukan kita layak atau tidak menghadap pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sia-sia saja waktu kita selama 3 tahun untuk belajar, dan menurut saya juga hal tersebut justru akan lebih menaikkan angka kecurangan dimana kecurangan tersebut identik dengan pembelian kunci jawaban yang belum tentu 100% "tembus". Ecara tidak langsung hal tersebut akan semakin menggerus moral dan kepribadian bangsa Indonesia.


Miftahudin (3F/PBSI)

Tika mengatakan...

Menanggapi tulisan Setia Naka Andrian "Menimbang (Ketiadaan) UN dalam Wawasan 14 Desember 2016. Saya sependapat dengan tulisan Naka. Bahwasanya UN dilakukan hanya sekadar untuk formalitas kelulusan belaka. Setiap siswa pasti yang ditakuti hanyalah ujan Nasional, tidak lah nilai harian, bahkan acuh terhadap nilai yang guru berikan. Momok mengerikan itulah yang membikin seorang siswa termasuk saya saat itu untuk giat belajar pada semester akhir. Ilmu lain yang selama ini didapat pastilah sedikit menghilang karena termakan oleh ilmu yang diujikan.

Pemerintah seharusnya sadar dari awal jika Ujian Nasional pasti akan disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Seperti penjualan kunci jawaban yang belum tentu kunci jawaban itu benar. Saya pernah membeli kunci jawaban UN dengan harga Rp 175.000, memang mahal pada saat itu, tetapi tidak ada satupun data yang benar, saya mencoba membalik dari atas, bawah, samping tidak ada yang benar. Sedikit menyesal saya saat itu, tidak apalah diambil hikmahnya juga pengalaman.

Jika benar adanya pembubaran UN, saya orang yang sangat setuju dengan itu. Bagaimana tidak, seorang siswa bahkan guru tidak akan terbebani dalam belajar mengajar. Siswa dapat fokus belajar tanpa khawatir dengan kelulusan, guru pun akan sangat tenang dalam mendidik siswanya. Orang tua juga tidak akan khawatir terhadap nilai kelulusan anaknya, orang tua bahkan tidak perlu lagi memberikan les atau tambahan pelajaran di lembaga pendidikan tertentu dengan biaya yang sangat menguras dompet.

Digantinya Ujian Nasional menjadi Ujian Sekolah merupakan rencana yang efektif oleh pemerintah saat ini. Dengan demikian Sekolah diharapkan mampu menjadikan kelulusan siswanya dengan jujur dan adil serta dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya itu, orang tua serta siswa harus ikut mendukung terealisasinya rencana ini, tidak perlu melakukan aksi demo didepan Istana Merdeka, hanya dengan doa dan sedikit usaha pun akan dapat terwujud rencana ini. Semoga rencana pemerintah yang indah ini dapat cepat terealisasi dengan baik sehingga adik-adik siswa ini dapat menikmatinya dengan segera pula. Semoga.

Anantika Prihatani (3E/PBSI)

Anonim mengatakan...

Menurut pendapat saya, saya sependapat dengan Bapak Setia Naka Andrian. Pada saat itu saya juga mengalami ketakutan, kepanikan yang kurasakan saat menghadapi Ujian Nasional pertama kali saat Sekolah Dasar (SD). Memang benar adanya Ujian Nasiol adalah momok yang menyeramkan bagi kami semua, karena jika kami tidak belajar dengan sunguh-sungguh kami tidak bisa mengerjakan dengan benar dan mendapatkan nilai jelek, kemudian takut kalau tidak lulus. Namun kenapa Ujian Nasional yang diujikan hanya 3 mata pelajaran seperti (IPA, Bahasa Indinesia, dan Matematika) dan mata pelajaran yang lain tidak di ikut sertakan. Akan tetapi Ujian Nasiol memang harus diadakan karena untuk menguji para murid-murid dan agar rajin belajar. Ujian Nasiol memang sebagai pedoman Standart kelulusan. Tetapi jangan hanya mengandal dengan adanya nilai Ujian Nasiol saja, harus ada rekap nilai yang lain. misalnya nilai-nilai keseharian lainnnya. lalu dalam pelaksaan Ujian Nasional penjagaan soal UN juga harus lebih ketat agar tidak mudah tersebar luas, dan jangan sampai ada sosok manusia yang tidak bertanggung jawab yang membuat kunci jawaban dan di perjual belikan. karena soal UN itu bersifat dokumen rahasia, kenapa masih saja bnyak kunci jawaban yang tersebar luas.

NURUL ISMIYANTI (3F)

Unknown mengatakan...

Saya sangat setuju dengan ditiadakannya UN (Ujian Nasional) mengapa? Karena siswa yang sudah belajar selama bertahun-tahun nasibnya hanya ditentukan selama 3 hari bagi siswa rasanya tidak adil, itu saja tidak semua mata pelajaran diujikan. Memang UN (Ujian Nasional) bisa menjadi tolak ukur bagi siswa untuk menentukan suatu kelulusan, akan tetapi yang dirasakan siswa sampai saat ini tertekan. Menurut saya dengan ditiadakannya UN (Ujian Nasional) siswa akan lebih leluasa untuk berimajinasi mempelajari pelajaran tanpa beban mental. Jika UN (Ujian Nasional) benar ditiadakan harapan saya dimunculkan program yang baru misalnya evaluasi ataupun sebagainya.

Dwi Septiadi (3F/PBSI)

nurulismiyanti77@gmail.com mengatakan...

Menurut pendapat saya, saya sependapat dengan Bapak Setia Naka Andrian. Pada saat itu saya juga mengalami ketakutan, kepanikan yang kurasakan saat menghadapi Ujian Nasional pertama kali saat Sekolah Dasar (SD). Memang benar adanya Ujian Nasiol adalah momok yang menyeramkan bagi kami semua, karena jika kami tidak belajar dengan sunguh-sungguh kami tidak bisa mengerjakan dengan benar dan mendapatkan nilai jelek, kemudian takut kalau tidak lulus. Namun kenapa Ujian Nasional yang diujikan hanya 3 mata pelajaran seperti (IPA, Bahasa Indinesia, dan Matematika) dan mata pelajaran yang lain tidak di ikut sertakan. Akan tetapi Ujian Nasiol memang harus diadakan karena untuk menguji para murid-murid dan agar rajin belajar. Ujian Nasiol memang sebagai pedoman Standart kelulusan. Tetapi jangan hanya mengandal dengan adanya nilai Ujian Nasiol saja, harus ada rekap nilai yang lain. misalnya nilai-nilai keseharian lainnnya. lalu dalam pelaksaan Ujian Nasional penjagaan soal UN juga harus lebih ketat agar tidak mudah tersebar luas, dan jangan sampai ada sosok manusia yang tidak bertanggung jawab yang membuat kunci jawaban dan di perjual belikan. karena soal UN itu bersifat dokumen rahasia, kenapa masih saja bnyak kunci jawaban yang tersebar luas.

NURUL ISMIYANTI (3F)

Unknown mengatakan...

Setia Naka Andrian dalam esainya kali ini menyinggung tentang menakutkanya UN dan seolah menjadi momok bagi para siswa, memang mayoritas para pelajar di Indonesia tentu setuju jika UN dihapus, sebenarnya UN bukanlah suatu yang menakutkan hanya saja pemerintah dalam hal ini diannggap seolah tak adil, bagaimana mungkin setelah sekian tahun menimba ilmu hanya ditentukan dalam UN yang dilaksanakan hanya beberapa hari saja, tentu hal ini patut dibenahi lebih mendalam oleh pemerintah khususnya KEMENDIKBUD.
Dalam kasus ini saya melihat kemampuan kognitif siswa hanya dilihat melalui nilai bukan proses, padahal kita tahu sendiri kemampuan kognitif seseorang tak selalu terpaku terhadap nilai, tapi lebih terhadap prosesesnya. Apalah artinya nilai bagus tapi tak berkualitas dan tak bisa dipertanggungjawabkan, sebaliknya jika seorang mendapat nilai yang pas-pas tapi dia mengetahui kemapuan dan kualitas dirinya tentu itu lebih baik.
oleh karena itu semoga dengan adanya esai ini KEMENDIKBUD bisa mengkaji ulang kualitas UN, sehingga bisa mengeluarkan peraturan yang tepat tanpa adanya pro dan kontra kedepannya. Amin.

M.Nazaruddin 3F PBSI

Syafiatul Ufiyah mengatakan...

Saya akan menanggapi essai dari Setia Naka Andrian yang berjudul Menimbang (Ketiadaan) UN (Wawasan, 14 Desember 2016).
Saya sangat setuju dengan pendapat Bapak Setia Naka Andrian. Karena pada saat itu ketika saya masih mengenyam bangku Sekolah Dasar sampai Menengah dimana mendekati detik-detik Ujian Nasional saya merasa takut, was-was, dan hampir tidak percaya diri dengan kemampuan saya untuk menyelesaikan Ujian Nasional dengan baik. Saya merasa tertekan dengan tambahan mata pelajaran yang setiap hari menjadi makanan sehari-hari dari pagi sampai sore. Bahkan ketika saya Sekolah Dasar guru saya memberikan les tambahan di malam hari mulai pukul 18.30 sampai 21.00 WIB. Tentu saja itu mengurangi waktu saya untuk mengaji Al-Quran di guru ngaji saya. Tetapi, diadakannya Ujian Nasional membuat siswa bersemangat belajar dan ada tujuan yang dicapai dalam mencari ilmu. Bukan hanya nilai tetapi juga pengetahuan yang di dapat di sekolah. Namun, alangkah baiknya jika pemerintah tidak hanya menitikberatkan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan. Bisa saja nilai Ujian Nasional diambil 60% dan Ujian Sekolah 40%. Dengan begitu siswa tidak merasa terbebani. Untuk sekolah menengah pertama maupun atas sekolah tiga tahun tetapi kelulusan hanya di tentukan tiga hari saja terus demi mendapatkan kata lulus dalam ijazah banyak orang tua yang rela membeli kunci jawaban ilegal dengan harga yang mahal entah itu kunci nya benar semua atau tidak dan tidak jarang ditemui siswa yang tidak lulus mengalami depresi dan hampir nekat melakukan bunuh diri. Fenomena seperti itu bagi saya sangat mengerikan.

Syafiatul Ufiyah 3D PBSI

Coklat Muda mengatakan...

Menurut pendapat saya keberadaan UN harus tetap dilaksanakan. Sebab itu juga sebagai ujung dari pertanggungjawaban siswa selama masa pembelajaran di kelas. Hal itu juga karena jika tidak ada UN maka ditakutkan siswa akan menyepelekan proses selama pembelajaran.

Proses UN boleh jadi di rubah caranya, UN tidak seharusnya dijadikan pedoman dasar kelulusan. Karena hal tersebut dapat memperkeruh keadaan. Misalnya, dengan adanya UN di tetapkan sebagai pedoman maka hal tersebut mengacu pada kecurangan-kecurangan yang terjadi di Indonesia. Bukan hanya siswa yang curang, namun juga guru-guru juga akan membantu siswa mendapatlan soal UN, bahkan ada oknum tertentu yang menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya yaitu dengan menjual soal UN.
UN adalah soal ujian yang digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan di indonesia dan diwilayah.

Sabila aulia rosyada 3D/pbsi

Davi Ulkhasanah mengatakan...

Menurut saya jika ditiadakan UN itu akan sangat tidak bijak karena dengan adanya UN mampu mengukur kemampuan anak tersebut. Wajar jika menjelang UN kita merasakan hal yang panik, gerogi dan terkadang kita tidak percaya akan kemampuan diri kita sendiri. Tetapi untuk mengatasi hal tersebut kita harus membiasakan mengerjakan latihan soal, supaya kita terbiasa menghadapi soal-soal tersebut. Kita juga sebagai peserta didik jangan pernah meninggalkan belajar. Karena belajarlah sangat penting dan juga di iringi dengan doa.

Davi ul khasanah 3F

Davi Ulkhasanah mengatakan...

Menurut saya jika ditiadakan UN itu akan sangat tidak bijak karena dengan adanya UN mampu mengukur kemampuan anak tersebut. Wajar jika menjelang UN kita merasakan hal yang panik, gerogi dan terkadang kita tidak percaya akan kemampuan diri kita sendiri. Tetapi untuk mengatasi hal tersebut kita harus membiasakan mengerjakan latihan soal, supaya kita terbiasa menghadapi soal-soal tersebut. Kita juga sebagai peserta didik jangan pernah meninggalkan belajar. Karena belajarlah sangat penting dan juga di iringi dengan doa.

Davi ul khasanah 3F

Unknown mengatakan...

UN memang hal yang sangat menjadi hal yang menyeramkan bagi semua siswa tingkat akhir. Esai Setia Naka Andrian cukup menarik perhatian saya. Saya pribadipun merasakan kegetiran menjelang UN, rasa takut tidak lulus dan bla bla bla. Menjelang UN menyita banyak waktu saya.
Saya setuju jika UN ditiadakan karena sekarang saya yakin tidak ada UN yang murni. UN pada zaman sekarang lebih dianggap sebagai formalitas. Banyak bocoran jawaban yang tersebar dan diperjual belikan kepada siswa. UN tidak mampu menjadi tolak ukur kemampuan siswa pada zaman sekarang. Saya lebih setuju jika UN ditiadakan dan digantikan dengan sesuatu yang lebih bisa mengukur kemampuan siswa.


Shela Aru Audivya (3F/PBSI)

Aulia mengatakan...

menanggapi esai dari Setianaka Andrian. saya setuju jika ujian nasional itu dihapuskan . karena UN adalah sebuah tekanan para siswa yang membuat mereka gelisah bahkan stres. selain itu UN juga tidak menumbuhkan pendidikan karakter seperti yang digagas pada Kurikulum 2013 berbasis teks yang lebih mengedepankan konteksnya. bahkan banyak ditemukan UN membuat para siswa takut. membuat mereka melakukan segala cara membeli kunci jawaban, mencontek melakukan segala cara supaya nilai UN mereka memuaskan. perlu dikoreksi kembali UN sangat menekan siswa mulai dengan les pagi tambahan sore bahkan sering kali membuat siswa drop dan jatuh sakit akibat memprosir belajar secara berlebihan. adalagi yang perlu kita tahu UN juga banyak menghabiskan anggaran negara mulai dari biaya pembuatan soal, ditriutor, anggran pengawas ,dan anggran koreksi kompoter .koreksi komputer juga sangat merugikan para siswa. akan tidak adil jika proses meeka belajar hanya ditentukan UN walaupun sekarang mendapat tambahan 60% nilai sekolah akan sangat jomplang jika nilai UN rendah entah faktor komputer atau lain-lain tetapi Nilai sekolah melambung sangat tinggi. mungkin lebih baik kelulusan ditentukan oleh prosesnya.

Aulia Rahmah Oktafiani (3D/PBSI)

Unknown mengatakan...

Selamat malam, Pak. Saya ingin menanggapi tulisan Bapak.
Saya tidak pernah ambil pusing mengenai UN. Bahkan hampir tidak pernah belajar. Agaknya kemasabodohan saya diganjar dengan nilai rendah yang layak bagi saya, karena itulah kadar kemampuan saya.
UN mampu mengukur kemampuan seorang siswa, bukan kadar mengingat yang sering diterapkan oleh mereka yang hobi menyiksa diri dengan sistem belajar kebut semalam hingga hanya hapal dan tidak paham banyak. Siswa secara tidak sadar berpikir bahwa belajar hanya yang dilakukan secara pribadi. Padahal ini keliru. Saya bahkan belajar hanya lewat kegiatan di kelas dan lewat tugas-tugas yang umum disapa KBM.
Jadi, tidak ada Mapel yang terabaikan oleh sekolah. Siswalah yang mengabaikan Mapel. Jam tambahan boleh asal tidak mengganggu mapel lain.

Jika UN terasa tidak adil. Bagaimana jika diadilkan dan diajukan seluruh Mapel? Mampukah para siswa bertahan hidup?
Menghilangkan UN malah menghambat proses belajar jika tidak ada pengganti yang lebih adil. Mapel yang diajukan menurut saya sesuai dengan jurusan yang telah dipilih oleh siswa.

UN harusnya menjadi ajang kompetisi yang menarik minat siswa untuk belajar, bukan hanya untuk lulus, tentu saja dengan kejujuran dan kemampuan mereka. Sayangnya, siswa justru lebih cinta terhadap rasa takut oleh nilai.

Saya ingat betul saat kelas 12 teman saya bertanya, "Tahu gak, tujuan sebenernya kita sekolah?"
Agak mengejutkan. Saya memikirkan jawaban angkuh seperti untuk menggapai cita-cita, menuntut ilmu, atau semacamnya. Sayangnya jawaban saya hanyalah, "Apa?"
Jawaban Esa lebih mengejutkan, satu kalimat pendek yang mewakili kebenaran siswa saat ini. "Untuk lulus."
Lucu mengingat saat itu kami adalah dua di antara tiga siswa terbodoh di kelas. Lucu jika saya ingat bagaimana teman saya belajar mati-matian dan ternyata hanya untuk sebatas "Lulus".

Lalu, apa ini dampak UN? Mendikte siswa untuk bertujuan lulus? atau justru hanya ini tujuan yang dimiliki siswa, mengingat hingga selepas UN masih banyak siswa yang belum punya cita-cita atau bahkan keinginan.

Saya ingat betul Try Out kimia saya hanya benar 9 soal dari 40 soal. Dan kebetulan, ke-9 soal itu adalah soal bonus. Artinya, jawaban saya tidak ada yang benar. Hal yang cukup saya banggakan mengingat itu adalah pilihan ganda dengan kemungkinan jawaban benar mencapai 20%.
Tapi saat UN, nilai MTK saya justru 8.25 padahal saya mengerjakan dengan sangat asal. Saya hanya membaca soal dan huruf pertama yang muncul di otak saya, itulah jawaban saya.
Lalu, apa UN masih layak jika faktor keberuntungan dapat seajaib itu?

Munafik bila saya berkata UN harus dipertahankan. Saya juga pernah malas berkencan dengan UN. Ingin UN dihilangkan. Tapi, saya sadar. Apa yang mendasari kelulusan seseorang?
Kita tentu sadar parahny manipulasi nilai di beberapa sekolah. Lalu, apa kabar pernyataan, "Adilkah belajar selama tiga tahun HANYA dinilai dari UN?"

Lalu mengenai menyontek, rasanya adalah hal yang lucu bila sang pembicara mengatakan itu hanya untuk alasan sembunyi dari fakta bahwa Saya cukup bodoh untuk berani melawan UN. Tidak semuanya. Tapi jari hanya mampu menghitung mereka yang tidak menyontek. Dan kebayakan yang menyatakan hal tadi adalah mereka yang menyontek. Padahal, UN adalah ujian dengan materi dari 3 tahun pembelajaran, bukan seminggu apalagi semalam.

Lalu, setujukah saya dengan penghapusan UN?
Saya mempunyai opsi jawaban lain. Seberapa layakkah Sang Pengganti menjadi Boss level terakhir dalam setiap permainan Jenjang Pendidikan?
Jika memang lebih layak dari sebagian besar aspek, tentu saya setuju. Jika tidak, maka saya tidak setuju.

Unggul P.S. (3E)

Unknown mengatakan...

saya akan menanggapi esay bapak Setia Naka Andrian yang bejudul "Menimbang(Ketiadaan) UN"

saya sangat setuju sekali UN dihapuskan karena pelajaran hanya dalam beberapa hari,untuk menetukan lulus atau tidaknya siswa tersebut,dirasa sangat tidak adil oleh siswa, dan bahkan sebagian guru karena mereka merasa seolah-olah jerih payah guru dan sekolah selama ini hanya ditentukan oleh Ujian Nasional yang hanya berlangsung selama beberapa hari . Oleh karena itu sebaiknya masalah UN di Indonesia lebih dipertimbangkan karna jika ingin pendidikan di Indonesia lebih maju bukan hanya dengan cara mengadakan Ujian Nasional cara satu-satunya,misalnya dengan cara lebih memperhatikan kualitas/mutu pendidikan di Indonesia dan memberikan sarana Fasilitas yang bagus dan lengkap, karna sudah banyak contoh negara-negara yang tetap maju meskipun mereka tidak mengadakan Ujian Nasional.

Luthfinda Hayuna prastiti 3E/ 15410063 PBSI

Unknown mengatakan...

Menurut saya, saya setuju dengan pendapat pak naka mengenai masalah peniadaan ujian nasional, ujian nasional mungkin dianggap sebuah tantangan untuk anak sekolah, akan tetapi jika ujian nasional tersebut ditiadakan banyak siswa yang akan tidak belajar giat, namun jika ujian nasional itu diadakan biasanya siswa juga banyak melakukan kecurangan,jika pemerintah sudah memutuskan hal seperti itu,berarti itu adalah sesuatu yang baik.

Nama : Desy Wahyu R.
Npm:15410218
Kelas :3E

Unknown mengatakan...

Sedikit menaggapi tulisan opini berjudul Menimbang (Ketiadaan) Ujian Nasional, memang benar adanya wacana bahwasannya Ujian Nasional akan dihapuskan pada periode 2016 untuk seluruh wilayah yang ada di Indonesia. Akan tetapi masih belum ada ketetapan dari presiden. Jika melihat kedepan bawasannya yang akan di ujikan adalah seluruh materi yang diajarkan di sekolah. Bukan malah mengurangi masalah yang mengira Ujian Nasional manjadi momok bagi para siswa untuk mendapatkan kelulusan. Akan tetapi, melainkan justru malah menambah begitu banyak masalah, bukan hanya dari segi materi yang harus dipelajari. Melainkan justru akan membuat siswa semakin kesuliatan untuk menghadapi Ujian Nasional.
Jika menengok kebelakang bawasannya para siswa yang pada tahuan sebelum-sebelumnya saja sudah kesuliatan untuk belajar empat materi utama yang akan di ujian dalam Ujian Nasional apalagi dengan sekarang yang malah membuat wacana akan dihapuskan dan menjadikan semua materi pelajaran yang ada menjadi materi ujian nasional. Malahan akan menjadikan siswa jauh lebih tertekan dan bisa-bisa para siswa pesimis dengan mengikuti ujian nasional.
Tidak banyak memang tidak sependapat dengan adanya wacana tersebut terlebih lagi bawasannya Ujian Nasional dihapuskan hanya karena alasan untuk mengurai pembengkakkan dana ketika adanya Ujian Nasional yang selalu dignakan untuk membayar Polisi dan TNI untuk menjaga soal Ujian Nasional agar tidak bocor dan tersebar sebelum saatnya diujikan kemudian menbayar pengawasan dari perguruan tinggi untuk memberikan uang pesangon guna telah ikut mengawasi jalannya Ujian Nasional. Alasan tersebut saya kira tidaklah tepat. Bukankah memang seperti itu adalah kewajiban bagi negara. Mengapa harus dipermasalahkan?
Namun, adapula orang-orang yang setuju dengan bawasannya Ujian Nasional dihapuskan yang kemudian digantikan dangan ujian sekolah, yang bertumpu di sekolah saja kemudian menunjuk kepada sekolah sepenuhnya untuk memberikan hak untuk lulus atau tidak. Banyak yang sangat setuju dengan rencana tersebut, dipikirnya siswa tidak harus bersusah payah untuk melakukan belajar semalam hanya untuk menghadapi Ujian Nasional seperti sebelum-sebelumnya. Dengan seperti itu, siapapun yang menghadapi ujian sekolah tidak setegang seperti akan menghadapi Ujian Nasional. Diharapkan pemerintah secepatnya untuk memberikan keputusan yang pasti dan resmi guna menerapkan di Ujian Akhir tahun 2016, dengan penuh harapan bahwa akan terealisasi dengan alasan memikirkan masa denpan bukan kepentingan individu semata.
Akan tetapi, banyak pula orang yang menentang dengan adanya wacana bawasannya Ujian Nasional akan dihapuskan kemudian digantikan dengan ujian sekolah yang hanya menunjuk sekolah untuk menjadi penentu kelulusan hanya guna melanjutkan pembelajaran ke jenjang lebih tinggi tanpa susah payah. Tidak semudah itu, semakin tinggi sekolah dan semakin tinggi pembelajaran apalagi dengan berkembangnnya zaman seperti sekarang ini. Pemerintah seharusnya lebih bijak dalam menyikapi hal seperti ini dan memikirkan matang-matang bawasannya Ujian Nasional akan dihapuskan. Gimana kalau Ujian Nasional benar-benar dihapuskan? Apakah akan menjamin kemashuran siswa di masa mendatang atau bahkan sebaliknya malah akan menjerumuskan penerus bangsa pada zona yang tanpa ujung kepastian.
Harapannya bawasannya pemerintah tidak hanya akan memutuskan begitu mudah hanya dengan alasan-alasan yang kurang di terima, setidaknya berpikir lebih matang dengan mengedepankan masa depan penerus bangsa yang ideal bukan hanya dari segi kemampuan eksternal akan tetapi melalui internal pemikiran pula. Jika kita mengedapankan hal semacam itu, lebih baik memakai metode yang sudah ada dengan catatan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sebelumnya terjadi kemudian dijadikan evaluasi kedepannya agar menjadi lebih baik dan tertata dengan struktural tanpa adanya keputus asaan seperti sekarang ini.

Oleh Muhammad Wahyu Wibowo(3E)

Unknown mengatakan...

Menurut Saya (Ketiadaan) UN harus dipertimbangkan dengan cermat lagi, supaya tidak ada penyesalan yang berlanjut pada buruknya sistem pendidikan di Indonesia. Dalam hal itu, sah-sah saja kalau UN ditiadakan, mengingat banyak oknum yang tidak bijak ikut andil dalam sistem maupun prosedur pelaksanaan UN. Lebih baik UN tetap ada, tetapi jangan dijadikan tolak ukur sebagai penentu lulus atau tidaknya siswa-siswi dalam menuntaskan belajar dalam suatu jenjang SD, SMP, hingga SMAnya. Mending UN kita jadikan sebagai data statistik, agar Pemerintah Indonesia tetap bisa memantau sejauh mana pendidikan di Indonesia?, bagaimana hasil (Kegiatan Belajar Mengajar) KBM di Sekolah-sekolah?, Sudah efektif kah sistem pendidikan atau kurikulum sekarang?.
Untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa-siswi, kita bisa menggantikan dengan mengambil data rekam jejak siswa-siswi selama di Sekolah mengenai kognitif, afektif, dan psikomotorik. Apalagi di dalam Kurikulum 2013 sudah menerapkan hal itu.

MUCHAMMAD IRFAN FAUZANI (3D/PBSI)

Dian Putri Cahyani mengatakan...

menaggapi tentang tulisan Bapak Setia Naka Andrian tentang "Menimbang (Ketiadaan) UN". Saya setuju dengan adanya penghapusan Ujin Nasionl yang saat ini bukan lagi dijadikan salah satu syarat kelulusan, karena menurut saya setelah adanya kesepakatan tentang Ujian Naional yang kini tidak lagi menjadi syarat ketentuan kelulusan membuat pihak sekolah lebih menekankan pada Ujian Sekolah. Jadi, dengan penghapusan Ujian Nasional saat ini pihak sekolah mampu menekankan semua mata pelajaran agar siswa tidak hanya disuruh untuk belajar mata pelajran yang hanya bertitik pada beberapa mata pelajaran. Karena menrut saya semua mata pelajaran diajarkan di sekolah mempunyai nilai ikur yang sama. Akankah lebih baik jika semua mata pelajaran di sekolah menjadi penentu kelulusan, karena siswa akan lebih memperhatikan semua mata pelajaran yang ada di sekolah saat detik-detik menuju Ujian Nasional dan siswa tidak hanya akan berpusat pada beberapa mata pelajaran saja sehingga pihak sekolah akan kembali berupaya dan kembali berfikir tentang kemampuan siswanya.

Dian Putri Cahyani (3E/PBSI)

Unknown mengatakan...

Ujian Nasional bukanlah hal baru di negara kita namun setiap tahunnya selalu menjadi perbincangan yang menarik. Kerumitannya membayangi khayalan-khayalan anak-anak yang akan menghadapinya. Ujian Nasional merupakan tolak ukur sebagai siswa dalam belajar selama di sekolah. Akan tetapi jika dijadikan tolak sebagai kelulusan memang sangat memberatkan para siswa. Jiwanya tertekan karena UN. Waktunya tersita karena UN. Menurut saya Ujian Nsional tetap dijalankan namun porsinya bukanlah menjadi titik terakhir sebagi tanda lulus melainkan sebagai tolak ukur seberapa besarrkan ilmu yang didapat selama belajar di sekolah tersebut. Jadi saya sependapat dengan uraian esai dari Setia Naka Andrian yang berjudul "Menimbang (Ketiadaan) UN" yang terbit pada tanggal 14 Desember 2016 yang mengatakan bahwa UN itu hal yang mengerikan untuk para siswa. Semua kegiatan tersita karena Ujian Nasional.

(LILIS FITRIASARI PBSI/3F)

Yosy Esta Pratika mengatakan...

meninggakan suatu sejarah akhir jenjang pendidikan memang tidak mudah perlu pertimbangan yang matang dengan perhitungan resiko yang nantinya akan terjadi pada dasarnya saya sependapat dengan penulis bahwasanya momentum ujian nasional sudah selayaknya tidak dibuat menakutkan hingga mengorbankan pelajaran lain hanya untuk menghdapi beberapa mata pelajaran ujian. menurut saya ujian memang harus dilakukan sebagai tolok ukur dalam pembelajaran kita selama 6 tahun untuk SD, 3 tahun untuk SMP, dan 3 tahun untuk SMA. Bagaimana proses pembelajaran di sekolah jika diakhir nanti tidak ada evaluasi seperti ujian. tentunya para siswa akan seenaknya sendiri dan para gurupun akan memberikan materi-materi saja tanpa adanya daya juang untuk mencerdaskan siswa-siswanya. dalam ujian mental kita terlatih menghadapi tekanan dan itulah mental-mental petarung sejati.


yosy esta pratika 3E PBSI

Rio Tri Astuti mengatakan...

Saya setuju dengan esai Setia Naka Adrian tentang "Menimbang (Ketiadaan) UN", dengan adanya penghapusan Ujian Nasional. Ujian Nasional memang salah satu usaha pemerintah untuk menyelesaikan masalah pendidikan di Indonesia, akan tetapi Ujian Nasional malah membuat siswa ketakutan untuk menghadapi UN tersebut, karena mereka terbayang oleh rasa takut yang tinggi, peserta UN berfikir kenapa nasib Lulus atau Tidaknya di tentukan oleh UN. Maka dengan dihapusnya kebijakan ujian nasional , siswa tak terlalu terbebani untuk belajar yang melebihi proporsinya, toh selama ini ketika ujian nasional sudah dekat siswa dituntut untuk belajar ekstra. siswa harus mengorbankan hal yang cukup urgent untuk belajar dan belajar hanya demi target bisa lulus ujian nasional. Frekuensi belajar yang tidak lazim dan cenderung dipaksakan justru akan membuat pelajaran sulit untuk dipahami serta akan berdampak negatif terhadap psikologis siswa.
Bukan hanya peserta UN saja yang mengalami kegelisahan wali murid juga mengalami rasa gelisah karena nasib ke depan putra putrinya hanya di tentukan oleh UN. Nasib untuk mendapatkan sekolah selanjutnya di sekolah yang favorit akan di tentukan pula dengan nilai UN.
Dihapusnya UN juga menjadikan siswa lebih semangat untuk belajar, Dampak yang lain jika penyelenggaraan UN masih ada justru mengarah pada hal-hal yang ironis dengan tujuan pendidikan. Kecurangan terjadi di mana-mana, baik yang dilakukan oleh guru, sekolah, maupun siswa, atau bahkan yang lain. Biaya yang diperlukan sangat besar. Untuk tahun ini saja diperlukan Rp 543,45 miliar. Uang sebanyak ini dapat dialihkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan atau memperluas akses masyarakat miskin terhadap pendidikan. Maka dengan demikian saya sangat setuju jika UN di tiadakan di Indonesia atau dihapus tidak berarti standar pendidikan nasional tidak bisa dicapai pemerintah pasti juga memiliki solusi terbaik untuk nasib pendidikan di Indonesia ke depan.

Rio Tri Astuti (3E
/PBSI)

Unknown mengatakan...

Esai "Menimbang (Ketiadaan) UN" oleh Setia Naka Andrian menitikberatkan pada argumen-argumen beliau mengenai UN di pendidikan Indonesia sebaiknya dihapuskan. Saya setuju dengan pendapat beliau, UN di Indonesia akan menjadi masalah besar untuk siswa-siswi pelajar jika tidak segera dihapuskan. UN sebagai tolok ukur utama siswa memang layak diujikan akan tetapi banyak dampak yang akan terjadi seperti halnya kementalan batin dan fisik siswa yang terus-terusan dihantui rasa takut dan cemas jika akan mendekati persiapan UN. Orang tua sebagai agen pendukung pun akan merasa takut apabila anaknya tidak lulus sekolah hanya karena adanya UN di Indonesia. Tentu tidak adil apabila selama beberapa tahun belajar di sekolah hanya ditentukan dengan nilai UN saja, lalu untuk apa nilai-nilai mata pelajaran yang lainnya. Maka jika UN dihapuskan mungkin akan menjadi pembaharuan yang sangat baik pada bidang pendidikan di Indonsia. Siswa akan belajar lebih giat dengan mempelajari semua mata pelajaran yang diampu. Membuat siswa dan orang tua tidak merasa takut untuk mendapatkan hasil pendidikan dengan proses yang baik. Oleh sebab itu kebijakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan solusi yang terbaik mengenai masalah ini (peniadaan UN). Pemerintah lebih tegas dalam memilih kebijakan agar pendidikan di Indonsia dapat lebih maju dengan berbagai program kegiatan yang terarah sehingga akan terencana dengan baik pula.

Ihdinar Nur Aliah (15410203/3E PBSI)

Anonim mengatakan...

menurut saya,jika UN ditiadakan itu kurang baik karena hal tersebut membuat siswa jadi malas belajar dan malas membaca materi pembelajaran yang ada di sekolah. jadi lebih baik ujian nasional tetap dilaksanakan karena selain menjadikan siswa malas belajar UN juga bisa menjadi membuat siswa untuk giat belajar karena di takut-takuti jika tidak lulus UN maka akan mengulang lagi.
selain itu juga diadakannya UN kita dapat mengetahui seberapa jauh mereka memahami materi yang sudah mereka pelajari selama mereka bersekolah. jadi sebaiknya UN tetap dilaksanakan


Eki Endang Setiani (15410190/3E/PBSI)\\\

Prananing mengatakan...

Esai yang Berjudul "menimbang (ketiadaan) UN" yang ditulis oleh Setia Naka Andrian memang sangat menarik. Pasalnya akhir-akhir ini sedang banyak yang membicarakan mengenai Ujian Nasional (UN) yang akan dihapus oleh pemerintah. Banyak pro maupun kpntra yang timbul di masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang setuju dengan dihapuskannya UN ada pula masyarakat yang tidak setuju dengan dihapuskannya UN. UN memang menjadi momok atau bisa saja membuat siswa yang akan melaksanakan UN menjadi takut karena kelulusan mereka akan ditentukan dalam UN. Pemerintah seharusnya juga mempertimbangkan kembali mengenai penghapusan UN. Memang tidak adil jika selama sekolah tiga tahun hanya ditentukan selama tiga hari. Jika memang UN akan dihapus pemerintah juga harus mempunyai jalan keluar, supaya tidak menimbulkan masalah di masyarakat. Selain itu Pemenrintah juga harus memikirkan fisik maupun mental peserta didik yang hendak melaksanakan UN. Jangan sampai keputusan pemerintah malah menambah beban atau menambah ketakutan peserta didik yang hendak mengalami ujian. Jadi pemerintah harus mempertimbangkan kembali keputusan yang akan dikeluarkan.
Prananing Meisya Mayadah (15410226_PBSI 3E)

pipit apriliana mengatakan...

Esai yang Berjudul "menimbang (ketiadaan) UN" yang ditulis oleh Setia Naka Andrian menurut saya setuju dengan pendapat beliu mengenai UN yang lebih baik dihapuskan karena menurut saya tidak adil jika sekolah tiga tahun hanya di tentukan tiga hari untuk kelulusan nya. UN ini juga membuat dampak mental bagi siswa yang merasa ketakutan jika tidak lulus dalam UN. Maka dengan dihapusnya UN, siswa tak terlalu terbebani untuk belajar yang melebihi kemampuannya, selama ini ketika UN sudah dekat siswa dituntut untuk belajar keras sehingga siswa dan cenderung dipaksakan, padahal jika belajar dengan rasa paksaan atau ketakutan akan tidak nya lulus di UN akan membuat pelajaran tersebut tidak bisa dipahami dengan baik dan berdampak negatif terhadap psikologis siswa.

NAMA : Pipit Apriliana
NPM : 15410225
KELAS: 3E/PBSI

Unknown mengatakan...

Mendengar kata UN (Ujian Nasional), seketika terbayanglah masa-masa lalu ketika saya SD, SMP, dan SMA. Benar seperti kata Pak Setia Naka Adrian, bahwa UN pastilah jadi momok, bahan pembicaraan yang membuming dijagad Indonesia ini.
"Yang pasti ujian harus terus ada, karena jika sama sekali tidak ada ujian, bisa jadi siswa tidak akan pernah belajar sama sekali" kata kata itu membuat saya sadar, bahwa memang benar ujian harus tetap diadakan. Seperti arti kata sebebarnya dari "ujian" yaitu sesuatu untuk menguji mutu sesuatu. Nah, jikalau tidak ada ujian bagaimana cara pihak sekolah mengetahui bahwa siswa layak lulus atau tidak. Dari karakter luarnya saja sudah tentu tidak bisa. Bayangkan saja jika siswa itu ternyata "Poker face" punya karakter ganda.
Maka dari itu saran saya UN tetaplah harus diadakan tapi tentu saja saya tidak setuju jikalau UN adalah penentu nilai akhir, kalau gitu nilai-nilai yang dari dulu dikumpulkan buat apa? Hanya formalitas waktu terima raport?
Jadi, saya setuju dengan saran Pak Setia Naka Adrian UN tingkat dasar dan menengah dikelola pemerintah daerah, UN tingkat atas dikelola pemerintah Provinsi. Selain itu penentu kelulusan juga ditambah dengan nilai karakter siswa, nilai UAS/UTS, dan nilai keseharian. Bisa juga ditambah bumbu-bumbu keaktifan siswa, itu lebih baik.

ANDARU MAHAYEKTI
PBSI 3E
15410207

Wahyu Bambang Pratama mengatakan...

Esai yang Berjudul "menimbang (ketiadaan) UN" yang ditulis oleh Setia Naka Andrian memang sangat menarik untuk sekadar ditelisik. Jikalau mengingat kembali ke masa pertama kali saya dibuat ketakutan dibangku sekolah, ya tentu lah menjelang diadakannya Ujian Nasional. Hampir sama halnya yang diutarakan Setia, Ujian Nasional memang kian menjadi momok bagi siswa-siswi dari SD sampai ke jenjang SMA.
Adanya wacana pemerintah mengenai adanya penghapusan Ujian Nasional tentu lah menjadi pro-kontra di setiap lapisan masyarakat. Akan lebih baik apabila wacana tersebut dipertimbangkan kembali sebelum benar-benar disahkan oleh pihak terkait. Dengan dihapuskannya Ujian Nasional juga barang tentu menjadikan para pemerhati dunia pendidikan bertanya-tanya, adilkah jika Ujian Nasional yang telah lama membudaya kemudian akan ditiadakan?
Yang terpenting jangan jadikan Ujian Nasional sebagai penentu kelulusan, namun ambilah syarat kelulusan dari beberapa aspek penting selama siswa-siswi belajar (seperti: nilai ulangan harian, nilai tugas, nilai keaktifan belajar di kelas, nilai keaktifan dalam organisasi, serta nilai sikap), agar kelak Ujian Nasional tidak lagi menjadi momok menakutkan bagi generasi selanjutnya.

Wahyu Bambang Pratama
PBSI 3E

M Rizqon Hilmi mengatakan...

M Rizqon Hilmi 15410055.PBSI 4B.Saya setuju dengan oponi diatas. UN menurut saya tidak perlu dihapuskan oleh pemerintah karena dengan adanya UN akan membuat siswa memiliki rasa tanggung jawab dalam belajar untuk menghadapi UN tersebut, meskipun pengalaman dari tahun ke tahun banyak timbul kebocoran kunci UN. Di zaman yang serba canggih ini timbulnya kebocoran kunci UN sangat sering terjadi hanya dengan berkomunikasi dengan penjual kunci lewat telefon pun siswa bisa dengan mudahnya mendapatkan kunci UN tersebut, tenti saja dengan membayar uang sebesar 100 ribu kepada penjual kunci tersebut. Jika hal tersebut setiap tahun terjadi maka harapan pemerintah untuk mengukur pengetahuam siswa lewat UN tersebut tentu sia-sia.Siswa bukannya menjadi pintar tetapi justru tidak tahu apa -apa karena mereka selalu mengandalkan kunci UN tersebut, tanpa tahu dengan pasti jawaban itu cara pengerjaannya bagaimana. Untuk masalah penilaian kelulusan siswa saya tidak setuju jika 100 persen kelulusan hanya ditentukan dalam waktu 3/4 hari, hal tersebut tentu akan memberikan tekanan yang besar pada siswa, mereka tentu beranggapan ngapain kita setiap hari belajar, namun pada akhirnya kelulusan kita hanya ditentukan dalam waktu 3 hari.Jika UN benar-benar dihapuskan seharusnya ada ujian pengganti yang lebih efektif untuk mengukur pengetahuan siswa dan dapat saling menguntungkan antara pemerintah dengan siswa. Semoga di tahun-tahun yang akan datang UN dapat berjalan dengam baik tanpa adanya kecurangan-kecurangan dari pihak tertentu. Maju terus Pendidikan Indonesia

suginingsih.blogspot.com mengatakan...

Suginingsih 15410131 4c
Memang banyak sekali pihak khalayak masyarakat yang pro kontra terhadap penghapusan UN. Karena dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Selama ini memang pelaksanaan UN selalu menjadi hal untuk menilai tolak ukur penentu kelulusan siswa.
Oleh karena itu Ujian Nasional dianggap lebih membebani siswa. Un yang secara psikologis dianggap membuat stress siswa. Penghapusan UN untuk sementara waktu memang menjadi sesuatu yang menggembirakan bagi pihak tertentu. Dalam pelaksanaan UN penuh kecurangan baik dilakukan siswa, oknum guru, kepala sekolah dan pihak pihak lainya.
Kelompok yang mendukung pelaksanaan UN memilikibeberapa argumentasi mulai dari mendorong keseriusan belajar bagi siswa,anak didik akan terdorong semangat belajarnya untuk meraih kelulusan dengan nilai baik dalam UN,membantu guru dalam evaluasi final pembelajaran dan lain-lain. Yang jelas penyelenggaraan UN selama ini memang tak cukup untuk jadi tolak ukur kualitas pendidikan nasional.

Unknown mengatakan...

Ismi Azahra 15410041 4A
UN merupakan tolak ukur anak dalam menuntut ilmu. Apabila UN dihapuskan memang berdampak positif ke siswa, karena dapat mengurangi beban siswa. Akan tetapi, dapat berkurangnya motivasi belajar siswa dan dapat menyulitkan siswa untuk mengetahui potensi yang ada dalam dirinya.
Saya sangat setuju apabila UN terus diadakan dan apabila UN bukan penentu 100% kelulusan. Karena dengan adanya UN dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih giat serta dapat membuat siswa bertanggung jawab dalam untuk mengikuti UN dengan jujur. Dengan ini pemerintah sebaiknya mempertimbangkan kembali mengenai Penghapusan UN di Indonesia yang akan berdampak negatif untuk para generasi muda yang akan datang.

Unknown mengatakan...

Neli Afiatun Janah 4b
menurut saya UN tetap diadakan, namun UN jangan dijadikan patokan kelulusan, karena dengan menjadikannya patokan kelulusan, semua siswa menganggap mata pelajaran yang lain tidak penting lagi baginya. karena hanya mata pelajaran yang ikut UN saja yang dipelajarinya setiap akan mendekati bulan April yaitu mengikuti UN, padahal dari SD sampai SMA kita mendapatkan mata pelajaran yang sangat banyak namun pada akhirnya yang dipelajari hanya mata pelajaran UN saja.