Selasa, 03 Mei 2016

Kartini dan Keajaiban Surat (Wawasan, 25 April 2016)

Kartini dan Keajaiban Surat
Oleh Setia Naka Andrian

Bulan April, seakan kerap kali menjadi beban kita saat ini. Berat rasanya jika kita mengenang momen mulia yang setiap tahun diperingati ini hanya sebatas selebrasi semata, tanpa ada upaya pemuliaan-pemuliaan di dalamnya. Kita tentu paham, ada banyak upaya besar yang disuarakan RA. Kartini pada masa itu, hingga saat ini berdampak besar bagi bangsa kita ini, khususnya bagi kaum perempuan. Misalnya saja surat-surat Kartini yang dikirimkan kepada teman-temannya di Eropa. Surat-surat yang berisi pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial masyarakat kita saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Kartini dalam sebagian besar surat-suratnya mengisahkan keluhan dan gugatan-gugatan, di antaranya perihal budaya di Jawa yang seolah-olah menghambat kemajuan perempuan. Misalnya saja terkait keterbatasan pemerolehan pendidikan bagi kaum perempuan.
Selepas Kartini wafat, Mr. J. H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa tersebut. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia-Belanda. Buku tersebut berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya" (terbit 1911). Buku dicetak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini. Selanjutnya pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran”, diterjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah kembali "Habis Gelap Terbitlah Terang" versi Armijn Pane (Sastrawann Pujangga Baru). Surat-surat Kartini semakin diminati di mana-mana, hingga akhirnya juga pernah terbit dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan Agnes L. Symmers. Selain itu, juga pernah diterjemahkan dalam daerah, yakni bahasa Jawa dan Sunda.
Hingga kini, kita tentu selalu mengingat, sejak kita masih duduk di bangku SD, kelahiran Kartini selalu diperingati. Setiap tahun, Jepara dan 21 April selalu terngiang-ngiang di benak kita. Walau usia hidupnya hanya seperempat abad (25 tahun) namun hal besar telah dicapai. Kartini diriwayatkan sebagai seorang tokoh perempuan Jawa yang mempelopori kebangkitan perempuan pribumi. Putri R.M. Sosroningrat dan pasangan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat ini memberi angin segar bagi kaum perempuan. Ia sepenuhnya memperjuangan perempuan agar memperoleh kebebasan-kebebasan, berotonomi dan memperoleh persamaan hukum setara dengan laki-laki. Hingga dampak besar dapat kita simak saat ini, pemimpin-pemimpin di negeri kita ini dari mulai kepala desa, kepala daerah, bahkan kepala negara sempat dipimpin oleh kaum perempuan.
Barangkali, baru kali itu terdapat surat-surat seorang perempuan pribumi yang begitu menarik perhatian masyarakat Belanda. Selanjutnya, pemikiran-pemikiran yang dilambungkan Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Kartini mengubah pandangan kita terhadap perempuan. Kita semakin meyakini dan mengamini keberadaan mereka. Bahkan suatu ketika jika perempuan begitu menakjubkan dalam sikap laku dan gerak berkehidupan, kita begitu percaya hingga mengangkat tinggi posisi mereka di atas kita. Kita sangat yakin, pemikiran-pemikiran Kartini begitu menginspirasi generasi kita. Namun apakah segala itu hanya mampu kita kenang begitu saja. Kita rayakan setiap tahun. Kita ledakkan setiap April. Sedangkan jika sejenak kita kontemplasikan kecil-kecilan, kita saat ini sudah terasa malas menarasikan segala yang kita keluhkan dan yang kita gelisahkan dalam berkehidupan ini.
Kita seakan malas beranjak untuk mencatat hal-hal kecil di sekitar kita, dan barangkali segala yang kita anggap kecil itu belum tentu hal kecil pula di mata orang-orang. Kita lebih memilih berdiam di kamar, mendekam dalam kondisi paling sepi, berpeluk gawai, lalu berkicau di beberapa media sosial, bercakap-cakap dengan beberapa teman melalui pesan pribadi, begitu serampangan, tak terarah, dan pasti tak terdokumentasikan. Kita terkadang tak merasa, begitu berarti pengisahan-pengisahan semacam yang dilakukan Kartini pada masa itu. Ia begitu rajin menulis surat-surat untuk teman-temannya di Eropa, terkait segala yang digelisahkannya tentang kehidupan perempuan pribumi yang masih begitu banyak pengekangan-pengekangan, misalnya. Kaum perempuan yang belum memiliki persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Walaupun begitu, perjuangan-perjuangan perempuan terhadap kaumnya hingga saat ini masih terus digaungkan, misalnya saja pengisahan Dewi Nova yang begitu memperjuangkan diri, keluarga, dan anak-anaknya, dalam buku kumpulan cerita pendeknya, Perempuan Kopi (2012), dalam penggalan cerpennya, Belum tuntas khotbah pagi itu, suara gergaji mesin di kebun kopi menghentak jemaat. Beberapa nama menjerit, menangis berguling-guling, seolah gergaji itu merobek tubuh mereka. Anak-anak menangis kencang ketakutan, dipeluk erat ibu mereka. Melalui sepenggal pengisahan tersebut, kita seakan disuguhkan kenyataan hidup kita yang masih lekat dengan posisi perjuangan kaum perempuan (ibu) yang tiada batas. Pada segala lapis kehidupan kita, sampai kapanpun posisi perempuan masih selalu kita perhitungkan.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Penulis buku puisi, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan penerbitan buku puisi “Manusia Alarm”.

Tidak ada komentar: