Rabu, 30 Maret 2016

Digitalisasi Ojek dan Taksi (Wawasan, 30 Maret 2016)

Digitalisasi Ojek dan Taksi
Oleh Setia Naka Andrian

Tentu kita sangat menyadari, betapa kian hari, diri kita ini semakin malas beranjak dari titik aman dan kenyamanan. Seakan rasa-rasanya diri kita ini ingin dilayani segalanya, diantar, dibelikan, semua diimpikan datang sendiri ke hadapan kita. Seperti halnya akhir-akhir ini marak diperbincangkan kontroversi Gojek, kemudian dilanjutkan dengan kemunculan digitalisasi bagi pelanggan taksi. Keduanya serupa, seolah memanjakan diri kita dengan segenap kemudahan-kemudahan dalam berkehidupan. Sama-sama memanfaatkan aplikasi dalam hal pelayanan kepada para pelanggan.
Sempat dikabarkan di merdeka.com terkait kabar aplikasi pemesanan Gojek yang menjadi sorotan berbagai pihak. Berawal dari sikap Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang mendukung para tukang ojek untuk bergabung dengan aplikasi tersebut. Sontak, sikap Ahok itu dikritik oleh Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan. Ditimpali tindakan tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Umum Orang dan Barang, yakni sepeda motor bukan diperuntukkan sebagai angkutan umum orang dan barang. Lalu bagaimana dengan kemunculan digitalisasi pelanggan taksi, apa lagi timpalan yang akan mendarat sebagai dalih pembelaan terhadap gerak konvensional yang sudah lazim mereka lakukan selama berpuluh-puluh tahun?
Sebelum kemunculan kedua ‘momok’ bagi para tukang ojek dan sopir taksi ‘konvensional’, sebenarnya telah banyak beredar berbagai usaha jasa yang disertai dengan jemput dan antar barang. Misalnya saja, jasa fotokopi atau mencetak (printing) dokumen. Para pelanggan dimudahkan dengan dijemput orderannya, hingga setelah orderan jadi akan diantarkan kembali kepada pelanggan. Hal tersebut tentu sangat dekat dengan kita, terutama bagi para mahasiswa/karyawan yang tinggal indekos. Jasa cuci pakaian dilayani dengan begitu manjanya, pakaian kotor dijemput, setelah selesai dicuci, dikeringkan bahkan hingga diberi pewangi dan sudah setrika baru diantarkan kembali.

Masyarakat dan Peralihan
Jika dihadapkan pada peralihan semacam ini, pastilah di antara kita tidak sedikit yang menggunjingi atau bahkan berteriak selantang-lantangnya. Padahal, mau atau tidak mau, segalanya pasti akan berubah. Cepat atau lambat, kita akan hanya semakin disiksa jika kita tidak berupaya menatap dunia peralihan yang kian hari mengguyur diri dan kehidupan kita.
Tiada di antara kita yang kuasa menghentikan waktu. Bahkan jika kita berupaya untuk menolah perubahan, pastilah yang kita rasakan malah seakan waktu semakin kejam menenggelamkan diri kita dalam kubangan kecemasan yang panjang. Gerak waktu tak pernah mau berhenti, semakin dilawan, ia akan semakin cepat memutar jarumnya. Selanjutnya kita hanya akan merasa sangat berkesusahan. Kita menjadi sangat gelisah, jika ada hal-hal baru atau segala sesuatu yang mendahului kita.
Segala ini tentu menjadi persoalan yang tak pernah selesai. Jika diri kita masih merasa sebagai orang-orang yang terlalu mendewakan masa lalu yang begitu lazim dalam setiap gerak mengamini dan mengimani aktivitas berkehidupan. Kita tentu ingat, bagaimana pengisahan Gojek, kemudian dilanjutkan dengan kemunculan digitalisasi pelanggan taksi yang sama-sama berdalih mempermudah bahkan merajakan pelanggan. Semua dianggap sebagai pemberangusan kelaziman dan gerak konvensional kehidupan kita.
Lalu, kita akan merasa bahwa peralihan ini akan memojokkan bahkan bisa membunuh para pekerja konvensional yang telah berpuluh-puluh tahun dilakukan tukang ojek dan sopir-sopir taksi. Namun, apa daya kita, jika sesungguhnya diri kita sendiri, diri pelanggan mereka sendirilah terasa mengamini dan begitu membanggakan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan tersebut. Memang benar pula, ada kalanya kita tetap harus mendukung, perjuangan dan segala upaya yang dilakukan oleh pelaku konvensional, walaupun sudah semestinya, semuanya sama-sama memiliki pelanggan. Sama-sama memperoleh bagiannya masing-masing. Kita tentu yakin, tidak sedikit masyarakat kita yang belum menggunakan ponsel-ponsel pintar, tidak sedikit pula di antara orang-orang tua di sekitar kita yang masih merasa bertahun-tahun kesulitan beradaptasi dengan gadget di genggam tangannya.
Saya ingat, terkait pengisahan Scott Lash (1990), bahwasanya dalam beberapa dasawarsa sekitar pergantian abad menuju abad dua puluh, kehidupan kultural dalam kota-kota di dunia belahan Barat perlahan mulai berubah. Sifat dan arti perubahan pun menjadi salah satu pertanyaan yang ada dalam inti perdebatan sepanjang zaman, misalnya hingga saat ini mengenai modernitas dan modernisme. Tentu kita yakin, di belahan dunia mana pun megalami masa-masa peralihan yang serupa yang kita alami ini. Pelan-pelan, segalanya akan digiring menuju gerak digitalisasi yang membuat sebagian oang di sekitar kita merasa geram.
Semua seolah diharuskan menyelami dunia digital. Misal saja yang berkembang di segenap lembaga pemerintahan, perpajakan, lembaga pendidikan, dan lain sebagainya, semua diharuskan melaporkan hasil kerja, melaporkan proses hingga penilaian pembelajaran, dan semua harus direkam secara detail di laman yang sudah disediakan. Tentu segala ini bukanlah semacam gerakan subversif. Fenomena ini dapat kita yakini sebagai takdir dari zaman yang semakin bergerak, bergerak dan bahkan berlari. Mau tidak mau, cepat atau lambat, kita tetap akan menyinggahinya. Begitu.***


─Setia Naka Andrian, Penyair kelahiran Kendal, Dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Menerbitkan buku puisi pertama, “Perayaan Laut” (April 2016), dan menyiapkan buku puisi kedua “Manusia Alarm”.

Tidak ada komentar: