Jumat, 13 November 2015

Kita Rayakan Jasanya Setelah Meninggal (Koran Wawasan, 13 November 2015)

Kita Rayakan Jasanya Setelah Meninggal
Oleh Setia Naka Andrian

Imajinasi kita tentu akan segera lari menuju masa awal sekolah dasar, jika mendengar seruan, “Ini Budi, ini ibu Budi, ini bapak Budi”. Melalui kalimat tersebut, kita dapat dengan mudah belajar baca-tulis. Tanpa kalimat itu, barangkali saat ini kita tak mampu membaca. Namun apakah sempat terlintas dalam pikiran kita, siapa penemu kalimat tersebut. Bahkan kita seakan menikmati dan memperoleh buahnya tanpa melihat siapa yang memberi buah itu.
Ketika saya membuka beranda facebook pada 10 November lalu, salah seorang teman ada yang mengunggah link yang berasal dari laman wikipedia. Seketika langsung saja buka, karena dalam unggahannya tertuliskan, “Ini pahlawanku, Pahlawan Baca Tulis. Mana pahlawanmu?” Begitu saya buka, pahlawan itu adalah Siti Rahmani Rauf. Pensiunan pengajar yang lahir di Padang, 96 tahun yang lalu. Ia salah satu manusia istimewa sisa pemerintahan Hindia-Belanda. Seorang pendidik yang sangat berjasa, ia menulis buku peraga pelajaran Bahasa Indonesia “Ini Budi” pada era 1980-an. Tokoh Budi menjadi sangat terkenal seantero Indonesia berkat temuan dan sambung tangannya.
Dalam KBBI, pemaknaan pahlawan disebutkan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, pejuang yang gagah berani. Sedangkan hingga saat ini, tidak sedikit masyarakat masih beranggapan bahwa pahlawan hanya yang menggenggam bambu runcing, mengokang senjata, dan bertumpah darah di medan pertempuran.
Disampaikan Muhajir Arrosyid (Wawasan, 10/11), saat ini masyarakat telah disuguhi bergelimang pahlawan impor yang setiap hari membius dari televisi. Secara tidak langsung menarasikan bahwa perjuangan pahlawan-pahlawan di negeri ini, pengorbanannya kurang mengharukan. Dirasa belum mampu membuat bangsa ini bangga, sehingga masih mendesak kehadiran tokoh-tokoh dari luar. Semacam Ashoka, Balveer, Jalal dalam Joda Akbar, misalnya.
Belum lagi pahlawan-pahlawan bagi anak muda yang sedang marak saat ini. Sebut saja bagi mereka yang begitu mengagumi tokoh-tokoh imajiner yang diimpor juga dari luar, yakni Jepang. Mereka penggemar cosplay, begitu megah dan meriah dalam setiap festival-festivalnya. Produk-produk budaya dari luar tersebut ditampilkan menampari mata kita dengan sepenuh warna. Pemuda kita bangga mengenakan pakaian, aksesori, dan tata rias seperti yang dikenakan tokoh-tokoh dalam anime, manga, dongeng, permainan video, penyanyi dan musisi idola, dan film kartun dari negeri matahari terbit tersebut.

Berkat Jasanya Kita Jadi ‘Manusia’
Tentunya, kita sangat gegap ketika kehilangan untuk selamanya. Baru-baru ini dalam momentum hari pahlawan, bangsa kita disuguhi kado duka. Dua tokoh yang semestinya “dipahlawankan” telah meninggal. Pendongeng sejati, Drs Suyadi (Pak Raden) dalam jasanya menciptakan Film Boneka Si Unyil yang sangat disukai dan menghibur anak-anak. Kemudian Pak Sartono dalam jasanya menciptakan lagu Hymne Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa yang begitu menginspirasi semangat juang para pendidik kita.
Berkat jasa mereka, kita telah digiring menjadi ‘manusia’. Coba bayangkan, bagaimana nasib masa kecil kita tanpa dongeng-dongeng dari Pak Raden. Tentu setelah beliau meninggal, kita akan sangat kesulitan menemukan penggantinya. Kita akan semakin khawatir pula dengan nasib anak-anak kita kelak. Jangan sampai kita malah semakin disuguhi dongeng-dongeng impor. Kita tak dapat membayangkan pula, bagaimana jika tanpa lagu ciptaan Pak Sartono. Tentu pendidik kita akan lebih kesulitan menemukan ruhnya sebagai pengajar sejati.
Kita tak tahu bagaimana nasib pelajar di negeri ini tanpa pembelajaran “Ini Budi”. Barang tentu jutaan warga Indonesia telah menjadi ‘manusia’ berkat jasanya. Siti Rahmani Rauf menemukan metode pembelajaran bahasa yang sekaligus menggunakan alat peraga, yakni metode Struktur Analitik Sintesis (SAS) Bahasa Indonesia. Merupakan salah satu jenis metode yang biasa digunakan untuk proses pembelajaran bagi siswa pemula. Dengan cara menampilkan dan memperkenalkan sebuah kalimat utuh. Ini Budi. Budi rajin sekolah. Ini ibu Budi. Ibu budi bekerja di pasar. Ini bapak Budi. Bapak Budi bekerja di kantor. Metode tersebut dianggap menyenangkan bagi siswa SD pada masa itu, sehingga membantu para siswa menjadi lebih cepat bisa membaca dan menulis.
Lalu yang perlu kita tanyakan saat ini, apa yang sudah diberi atau diperbuat negeri ini untuk Siti Rahmani Rauf. Baginya yang telah menemukan embrio untuk masa depan pembelajaran di negeri ini. Hingga mengerjakannya menjadi buku setelah mendapat tawaran dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada awal tahun 1980-an ketika ia sudah pensiun. Tawaran tersebut ia terima tanpa meminta bayaran, semata-mata karena kecintaannya pada dunia pendidikan.
Kapan negeri ini memihak dan memberi perhatian kepada pahlawan. Atau setelah meninggal saja, baru kita beramai-ramai mengusulkan menjadi pahlawan. Ini yang terkadang masih kurang mendapat perhatian di negeri ini. Tidak sedikit tokoh-tokoh penemu hal-hal bermakna atau yang berjuang serta mengorbankan waktu, tenaga dan pikirannya untuk kemajuan negeri, namun semasa hidup tokoh tersebut bisa dibilang diterlantarkan saja.
Contoh lain, kita dapat melihat bagaimana Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (NH Dini), penulis perempuan kelahiran Semarang yang telah begitu banyak menyumbangkan karya untuk khasanah sastra Indonesia, terutama novel. Penghargaan-penghargaannya pun lebih banyak didapat dari luar negeri. Kini usianya 79 tahun. Ia sekarang tinggal di Panti Wredha Langen Wedharsih, Ungaran. Jauh dari sanak-saudara. Jika melihat beberapa kenyataan tersebut, apakah kiranya pahlawan hanya diberi perhatian jika sudah meninggal saja? Kita rayakan jasanya setelah meninggal? Sebut saja Pak Raden, saat ini sedang ramai diusulkan sebagai pahlawan budaya. Tidak sedikit petisi-petisi yang menyertainya.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Saat ini sedang menyiapkan penerbitan buku puisi pertamanya, “Manusia Alarm”.

Tidak ada komentar: