Jumat, 30 Oktober 2015

Sihir Politik Wayang Banyolan (Koran Wawasan, 30 Oktober 2015)

Sihir Politik Wayang Banyolan
Oleh Setia Naka Andrian

Pagi itu, ruangan begitu redup. Backdrop hitam menutup rapat dinding-dinding Balairung Universitas PGRI Semarang. Ratusan penonton yang kebanyakan mahasiswa nampak menyiapkan diri untuk menjadi saksi pertunjukan Wayang Kampung Sebelah (WKS). Mereka nampak beku di kursi-kursi yang sengaja ditata melingkar di hadapan panggung. Sayup-sayup iringan musik digital yang menyayat membuat mereka semakin khidmat untuk segera menyimak cerita Mawas Diri Menakar Diri dari WKS.
Blencong menyala. Isi panggung ditembak beberapa lampu sorot. Cahaya dijatuhkan tepat di gawang kelir, alat-alat musik yang bergeletakan, jimbe, gitar elektrik, gitar bass, saxophone, flute, kendang, dan drum. Kenampakan gawang kelir sepanjang tiga meter dan seperangkat alat musik yang tidak seperti dalam wayang kulit purwa tersebut, seketika merasuki pikiran penonton untuk menyibak kawah imajinasi yang lepas.
Di benak penonton, runtuh sudah pemaknaan wayang dengan pakem dan pengisahan melalui bahasa yang berat-berat. Meminjam Umar Kayam (1981), wayang sudah lama ada di negeri ini. Dikenal sebagai alat berhubungan dengan roh leluhur lewat patung-patung. Juga sebagai cara mulia membeberkan cerita-cerita dari kehidupan manusia. Melalui kisah Ramayana dan Mahabarata, misalnya. Namun tidak yang ditawarkan WKS, suguhan wayang kontemporer dengan banyolan segar menjadi keutamaan dalam sajiannya.
Mengingat masyarakat saat ini sudah begitu lelah dengan pekerjaan dan aktivitas keseharian. Sehingga sangat benar, WKS berupaya mengembalikan hakikat wayang sebagai tontonan dan tuntunan (perilaku). Wayang-wayang kertas dengan tampilan jenaka/lucu menjadi jalan tersendiri sebagai daya tarik di mata penonton. Misalnya tokoh-tokoh perempuan seksi serupa penyanyi dangdut, lelaki bergitar, hansip, polisi, lelaki bule, dan kakek-kakek tua. Semua siap disajikan sebagai wujud dari bayang-bayang kenyataan hidup manusia dengan segenap kekonyolannya.
Pertunjukan dimulai. Dalang Ki Jlitheng Suparman dan tujuh pemain musik melangkah menuju panggung. Tanpa basa-basi mereka langsung menggeber lagu-lagu dengan tawaran sound modern yang masih menampakkan nuansa musik melayu dan dangdut koplo. Syair-syair yang dilantunkan pun begitu membumi, mengenai takdir, jodoh, kematian, kekayaan, kemiskinan, dan rahasia ilahi. Selanjutnya lagu-lagu seakan terpaksa diselesaikan, alunan musik digiring menjadi semakin mencekam.
Dalang menggerak-gerakkan lambang negera (garuda pancasila) dan gunungan dengan penuh energi. Ilustrasi semakin menggetarkan. Lanskap alam imajinasi mengenai persoalan negeri dihadirkan dari estetika dunia wayang. Satu demi satu tokoh wayang dimainkan dengan teknik muncul berjoged-joged. Kelenturan permainannya ditunjukkan begitu apik. Nampak detail bagaimana anatomi tubuh wayang dalam gerakan-gerakan kecil dari tangan dan kakinya. Wayang berjoged, menggoyangkan pinggul, memainkan gitar, dan banyak lagi gesture yang begitu fasih semacam dramaturgi pertunjukan teater.

Fenomena Pelik  Dunia Politik
Kisah dibuka dengan kehadiran tokoh bernama Catur. Digambarkan sebagai seniman dekil yang multifungsi. Ia bicara banyak hal mengenai fenomena pelik di dunia politik. Gawang kelir semakin menyala dengan kehadiran Pak Lungsur, tokoh masyarakat di desa Bangun Jiwo yang sedang berkampanye untuk memenangkan pemilihan kepala desa. Pak Lungsur beraksi dengan ragam bahasa vickinisasi dalam kampanye. Judge lama yang ternyata masih mengundang tawa penonton. Misalnya ungkapan “kontroversi hati” dan “kudeta miskin”.
Dalam cerita, Pak Lungsur sebagai tokoh yang menghalalkan segala cara agar menang dalam pemilihan kepala desa. Dibantu seorang kakek tua sebagai pentolan tim sukses dan menyelinap menjadi ketua panitia pemilihan. Mengatur kemenangan Pak Lungsur, dari mulai penyelenggaraan panggung musik hingga manipulasi suara yang diatur dari dalam kepanitiaan pemungutan suara. Praktik politik uang pun nampak gamblang disuguhkan WKS. Hal tersebut menjadi gambaran mengenai kondisi panggung politik di negeri ini. Bahkan sudah tidak sedikit lagi yang terjadi di pedesaan. Sebuah lembaga pemerintahan terkecil yang sangat memungkinkan menjadi ajang perebutan kekuasaan dengan praktik-praktik negatifnya.
Desa menjadi lahan subur bagi para calon penguasa. Desa dihadirkan sebagai ruang gerak untuk menciptakan dan menghancurkan kekuatan rakyat. Terbukti, pertunjukan WKS dalam rangkaian parade bulan bahasa yang digelar pada 20 Oktober lalu, memberi gambaran kebobrokan sebuah negara dimulai dari embrionya di desa. Dari mulai politik uang, birokrasi kompleks, berafiliasi, hingga praktik pemangkasan dana yang turun-temurun dari pihak atas ke bawah.
Akhirnya, pihak-pihak bawah hanya mendapat bagian sangat sedikit. Nduwur penak, ngisor ditekak (baca: atasan enak, bawahan dicekik). Begitulah yang dilantangkan oleh kelompok wayang kontemporer asal Solo tersebut. Perihal kritik sekaligus ajakan untuk menjalani hidup pada jalur yang semestinya. Berpegangan dan mengilhami segala yang sudah digariskan dalam Pancasila serta UUD 1945. Dalam hal memperjuangkan kedaulatan berbagai bidang.
WKS berupaya memanjakan penonton dengan visual kejenakaan yang tak terduga. Mengajak penonton melihat, memeriksa, mengoreksi diri sendiri secara jujur untuk introspeksi, agar jangan lagi melakukan kesalahan yang sama. Selain itu, penonton juga diajak menyelami beragam fenomena sosial melalui sajian musik rakyat (baca: dangdut koplo). Bahkan, yang seharusnya musik bernuansa melayu, pop, rock, dan musik reggae sekalipun, pada akhirnya tetap dibumbui dangdut koplo. Barang tentu sudah menjadi hal yang lumrah, dangdut koplo dengan goyangannya menjadi sihir tersendiri bagi para calon pemimpin di negeri ini untuk melumpuhkan hati rakyat dalam setiap kampanye-kampanyenya.***


─Setia Naka Andrian, penyair kelahiran Kendal, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas PGRI Semarang (UPGRIS).

Tidak ada komentar: