Sabtu, 29 Agustus 2015

Ikhtiar Memaknai Perayaan Hari Merdeka

Oleh Setia Naka Andrian

Kemerdekaan bukanlah berarti telah bebas sepenuhnya dengan tidak terkena atau lepas dari tuntutan. Kemerdekaan bukan pula perayaan dan pesta kesenangan semata. Barangkali, pahlawan yang telah mendahului kita akan sangat bersedih di alam sana jika melihat generasi penerusnya tidak mampu mengisi kemerdekaan sesuai hakikatnya. Mengisi dengan aktivitas hidup yang penuh kebermaknaan dalam berbangsa dan bernegara.
Setiap tahun, kita terus mengulang keberadaan diri sebagai individu dan kelompok dalam pengambilan perannya masing-masing. Merefleksikan diri, seolah-olah kita kembali pada masa lalu ketika pahlawan pembela bangsa dan megara berjuang untuk memerdekakan Indonesia. Pahlawan membebaskan diri, melepaskan bangsa ini dari penjajahan, memberikan kebebasan, dan lain sebagainya. Setiap tahun begitu, perayaan, pesta, dan kemeriahan. Memaknai kemerdekaan hanya sebatas kesenangan atas kemenangan. Apakah begitu?
Barang tentu penulis menyadari, sangat memprihatinkan memang. Di kampung-kampung halaman, di pinggiran desa, hingga di perkotaan, pemaknaan memperingati hari kemerdekaan masih sebatas ritual-ritual kesenangan. Di sudut-sudut gang, perempatan kampung, banyak didirikan panggung-panggung hiburan yang siap menggoyang masyarakat dengan dangdut koplonya. Lengkap dengan syair-syair lagunya yang tidak senonoh, tidak patut dan dan sangat tidak sopan. Di lapangan-lapangan kelurahan begitu riuh dengan perlombaan-perlombaan lelucon yang mengundang tawa lebar. Dari mulai lomba makan kerupuk, mengambil uang logam menggunakan mulut, memasukkan pensil di botol, menggendong istri, hingga lomba memecahkan balon di pantat. Seperti itu cara kita merayakan kemerdekaan?
Kemerdekaan barangkali sangat erat dan begitu akrab dengan diri kita. Merdeka dari tuntutan penjara seumur hidup, tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, dan lain sebagainya. Lalu apakah ikhtiar untuk mengisi dan atau merayakan kemerdekaan dengan cara seperti itu? Tentu kita akan menjawab “tidak” dengan lantang, jika kita bersedia sedikit melihat sejarah dan masa lalu bangsa ini dengan baik. Hingga setelah itu kita akan lebih berhati-hati dan tentunya sangat bersungguh-sungguh dalam mengisi kemerdekaan yang sangat mahal ini.

Penanaman Nasionalisme
Ada sebagian masyarakat kita beranggapan, bahwa beragam perlombaan lelucon yang mengundang tawa lebar itu semata-mata niatan untuk mempermudah pengenalan hari kemerdekaan negeri ini kepada anak-anak. Maka perlombaan-perlombaan itu pun dikemas dengan lelucon dan sorak-canda yang pastinya sangat mengundang tawa bagi khalayak. Lalu apakah akan selalu dan terus-terusan semacam itu? Penulis sangat ingat, sejak kecil bahkan hingga saat ini, masih saja begitu yang terjadi. Sangat jarang ada perayaan berisi kegiatan yang memupuk nilai-nilai nasionalisme bagi generasi masa depan bangsa dan negara ini. Misalnya dengan perlombaan-perlombaan terkait sains, kesenian, dan budaya. Pasti semua masih selalu dimaknai sebagai pesta dengan segenap kesenangan-kesenangannya.
Barangkali pemaknaan perayaan hari kemerdekaan yang sesuai hakikatnya tidak dapat kita lakukan semudah membalik telapak tangan. Perlu ada pendekatan-pendekatan tertentu dan penyadaran mendalam. Terutama bagi orangtua, pemuda, tokoh masyarakat hingga pemerintah tingkat desa/kelurahan yang kerap kali langsung terlibat dengan kegiatan-kegiatan peringatan HUT RI. Semua pihak tentunya harus berupaya keras untuk mengubah mindset masyarakat mengenai pemaknaan perayaan kemerdekaan yang tidak sebatas ritual kesenangan-kesenangan saja.
Tujuh puluh tahun sudah bangsa ini merdeka, telah cukup tua jika disandingkan dengan hitungan usia manusia. Lalu apakah kita akan terus-terusan seperti ini? Tentunya banyak hal yang dapat kita lakukan dalam upaya pemaknaan memperingati kemerdekaan. Kapan lagi kita akan mengisi kemerdekaan ini dengan dengan kembali pada hakikatnya. Bukankah momentum hari kemerdekaan sangatlah tepat untuk transfer ideologi kepada generasi masa depan depan bangsa ini?
Jika kita berkenan merenung sejenak, bukankah sangat kaya bangsa ini. Bukankah sangat melimpah sumber daya alam di negeri ini. Bukankah sangat kaya pula kebudayaan di negeri ini. Maka setidaknya itu modal, itu warisan tak ternilai dari para pendahulu kita, dari pahlawan-pahlawan dan nenek moyang kita. Agar kita mampu melanjutkan dan menjaga terus-menerus hingga tanpa berujung.
Bayangkan saja, jika kita masih sepakat dengan perayaan kemerdekaan yang hanya diisi dengan sebatas ritual-ritual bersenang-senang, lomba-lomba lelucon, dan memutar musik keras-keras di perempatan jalan dari malam hingga pagi. Apa jadinya bangsa dan negara ini? Barang tentu generasi penerus bangsa ini akan menyaksikan, merekam, dan akan melanjutkan kesalahan-kesalahan kita.
Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk merayakan kemerdekaan. Misalnya dengan perlombaan terkait sains, atau aktivitas kreatif terkait kesenian sastra, teater, musik, dan seni pertunjukan lainnya. Dengan masih kita arahkan dan kita selipkan nilai-nilai naisonalisme. Melalui perlombaan baca puisi atau menulis puisi misalnya, yang bertema perjuangan serta nasionalisme. Lomba mencipta lagu bertema perjuangan dan nasionalisme. Lomba menyanyikan lagu-lagu wajib nasional dan daerah yang kerap kali masih belum dihafal anak-anak kita.
Barang tentu banyak jalan untuk mencintai bangsa dan negara sendiri. Jiwa nasiolisme tidak akan tumbuh begitu saja. Segalanya butuh proses, pembiasaan, dan tanggung jawab besar untuk terus menjaga serta menjiwai nilai-nilai keindonesiaan ini. Tentu butuh kesadaran panjang dari dalam diri kita untuk mengisi kemerdekaan bangsa dan negara ini. Bersama-sama dengan sepenuh potensi dan perannya masing-masing guna mencapai, mempertahankan, serta mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa sebagai salah satu ikhtiar menebar pemaknaan nasionalisme. Semoga. ***

Tidak ada komentar: