Senin, 23 Maret 2015

Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 8 Maret 2014)


Negeri Berhidung Panjang

Inilah negeri kita. Hidungnya melebihi panjang sejarah neneknya. Katanya, ia banyak menemukan aroma bencana dari riwayat manusia yang bersalah-sangka. Kau tahu, dari hidungnya telah banyak dirazia suara yang bersembunyi seakan-akan doa. Mereka menemukan serigalanya dari setiap bencana-bencana yang dihalau dengan ritual-ritualnya. Hingga akhirnya semua muram dengan segala tindakan yang dipasrahkan di telinga. Lalu semua orang pura-pura bertamasya, menyaksikan kematian yang dikunjunginya dari makam-makam para pendoa.

Saranglilin, Maret 2015


Ada yang Begitu Pasrah

Ada yang begitu pasrah di hadapanmu. Ia rumah yang dulunya tak berpintu. Tempat yang sempat memeliharamu menjadi batu. Ia rumah yang dulunya paling merindukanmu. Kesetiaan yang selalu tumbuh saat doa begitu acuh mengulurkan tangannya kepadamu. Kini, rumah telah terlanjur berpintu. Kau menjadi tak cukup usia untuk bertemu.

Saranglilin, Maret 2015


Surat untuk Paman
:almarhum

Paman, ternyata sudah cukup lama dunia kita terbelah. Warna langit dan tetesan air mata kita pasti telah berbeda pula. Maukah kau menceritakan semua itu untukku, Paman? Dan barangkali, di sana waktu telah benar-benar lenyap di rumahmu. Jarak dan ingatan tentang takdir telah lenyap menjadi batu. Dan kau, Paman, telah lahir kembali sebagai wujud kebaikan-kebaikanmu saat itu. Ingat, Paman, duniamu saat ini pasti sangat luas, bukan? Seperti apa? Sudahkah bertemu dengan orangtuamu, Paman? Ya, mereka kakek dan nenekku. Yang pastinya akan membaurkan mimpi-mimpimu di sana. Paman, jaga diri baik-baik di sana, ya. Semoga di sana kau menemukan surga yang dipenuhi orang-orang yang lahir dari bijaksana. Orang-orang yang tak pernah kelelahan membantumu mengacungkan jari untuk presentasi kebaikan-kebaikanmu.

Saranglilin, Maret 2015


Lima Setengah Tahun

Hari ini, tepat lima setengah tahun, aku mengenalmu. Aku ingat, kala itu, kau mengenalku dari puisi. Bahkan, kau lebih dulu menemui puisiku daripada aku.
Barangkali, ini kuungkap kembali supaya kau tahu, bahwa kita telah sama-sama dilahirkan dari payung rindu. Tubuh kita ditakdirkan sebagai dingin yang kekal. Di antara curah hujan yang tak lagi peduli terhadap laut.
Dan hanya kau, yang memejamkan mata di balik dada ini. Kau membuatku berlinang ketika orang-orang masih selalu mencoba membenciku dengan sepenuh pengekalan yang sengaja ditaburkan.
Katamu, panjang usia kita ini seperti kredit mobil. Dan aku hanya tersenyum, menapaki lesung pipimu yang selalu saja menjauhkanku dari keraguan dan putus asa.

Saranglilin, Maret 2015






Tidak ada komentar: