Senin, 23 Maret 2015

Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Media Indonesia, 8 Maret 2014)

Pistol Air

Kau hadir setiap hari Sabtu. Selalu tak lupa menembak mataku yang kelelahan mengunjungi tidur siang. Kau guyur dengan pistolmu yang matang. Sebagai air yang sudah melupakan jika dirinya basah. Kau ingat, sorenya kau menawariku seorang perempuan yang sangat bangga menyirami perasaannya sendiri. Kata perempuan itu, dunia berasal dari napas tembakau: kehidupan yang tak tahan menjadi boneka. Ia juga sempat bercerita, jika malam-malam pada hari Sabtu kerap sering mencurigai pagi terlalu terburu mencari peribadatan baru. Hingga akhirnya kau memilih ditembaki banyak pistol, yang tak lagi berisi air.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Air Mata yang Hilang

Ceritakan kepadaku, bagaimana air mata hilang selepas hujan menggujur pipimu yang berwarna keemasan. Di situ, banyak ditemui duka-duka yang merindukan bapaknya. Sontak kau menangis. Kau tak cukup perasaan, karena mulut di hatimu kini sudah terlalu dipenuhi daging-daging yang mengental akibat kekurangan bahan bakar. Hingga akhirnya kau muncul sebagai bayangan. Air mata tetap hilang, dan kau hanya menjadi beban yang panjang. Semakin kehilangan banyak tangan.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Tabrakan

Ada yang bertabrakan di lenganmu, Kawan. Mereka anak-anak kecil yang sering berdoa di bawah hujan. Ada yang bertamasya di dadamu, Kawan. Mereka remaja-remaja yang rajin membaca kematian di tengadah tangan. Ada yang berdansa di telingamu, Kawan. Mereka para dewasa ahli bernyanyi di ruang sembunyi-sembunyi. Ada yang bertepuk tangan di keningmu, Kawan. Mereka para pengasah pedang, mengintai luka-lukamu di kening yang berlubang. Hingga akhirnya banyak yang belum kau ketahui tentang tubuhmu yang bersembunyi, Kawan. Di dalamnya banyak ditemukan tubuh-tubuh yang mencurigaimu diam-diam. Di balik jendela kamar-kamarnya, mereka berjamaah mengintai takdir yang lupa direncanakan. Tabrakan terjadi di mana-mana. Di kakimu, di jantungmu, bahkan di urat lehermu.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Ada yang Mati di Keningmu

Ada yang tiba-tiba mati di keningmu, Kawan. Ia pohon berwarna emas yang pernah dilahirkan dari lengan yang panjang. Akarnya menjalar sebagai takdir yang dipertemukan sehari setelah jadwal kematian. Kau tahu, batangnya menyerupai bayi yang kehilangan hidung. Rantingnya melambangkan jari-jari tangan penari yang khusyuk mendoakan nasib penonton. Dan di sekelilingnya, pemakaman-pemakaman telah menunda prosesi kematiannya. Lalu orang-orang mendirikan tenda di keningmu. Sebagai diri yang pura-pura berdoa.

Bilik Revolusi, Januari 2015


Seorang Luka

Ada yang belum sempurna di balik luka-lukamu. Mereka nampak paling malas menemukan dadamu. Kau harus tahu, siapa laki-laki yang selama ini mendoakanmu sebagai daun. Dialah yang menamai dirinya sebagai luka. Seorang luka yang memiliki teman bernama luka pula. Mereka adalah luka-luka yang katanya selalu tumbuh setiap hendak tidur. Mereka lah luka-luka yang selalu bersetia terhadap ramalan menuju takdir menjelang mimpimu sebelum terluka. Ketika kau bangun, ada luka yang menjawab dirinya sebagai siluman. Hingga akhirnya kau tak tahu apa-apa. Semua luka menjadi binasa di luar kepada.

Bilik Revolusi, Januari 2015





Tidak ada komentar: