Senin, 23 Maret 2015

Panggung Kelopak Mata (Rakyat Jateng, 9 Agustus 2014)

Panggung Kelopak Mata
■cerpen: Setia Naka Andrian

Jason Rabdillah, S.Pd. Seorang sarjana pendidikan yang baru lulus dari salah satu institut keguruan swasta terkemuka di kota ini. Pemuda bertubuh gemuk dan tidak terlalu tinggi yang langsung mendapat pekerjaan setelah beberapa saat nangkring gelar sarjana pendidikan di belakang namanya. Ia mendapat panggilan mengajar pada sebuah lembaga pendidikan swasta, SD Bina Jiwa. Di mata teman-teman seangkatan dan sepergaulannya, ia diacungi jempol empat. Karena setelah lulus langsung kerja, dengan tidak memandang mengajar apa itu. Yang terpenting, ia telah mampu mengenakan baju rapi dan sepatu kulit yang mengkilap licin dengan semir hitamnya. Menyandang tas laptop dengan tanpa memperhitungkan walaupun isinya hanya tumpukan buku-buku kumpulan puisi dan cerpen yang ternyata semua buku itu terdapat karyanya, beberapa pengalaman semasa kuliah yang diharapkan kini dapat ia pergunakan sebagai bahan mengajar mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun ternyata ia belum begitu beruntung, mengajarnya di SD. Ia dinobatkan sebagai guru kelas yang wajib untuk mengajar semua mata pelajaran. Namun dalam hati ia cukup bersyukur, karena di SD juga ada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga ia masih berbangga kelak tetap dapat menularkan kemampuan dahsyatnya dalam menulis puisi dan cerpen. Karena bagaimanapun ketika masih mahasiswa namanya cukup diperhitungkan dalam peredaran sastra lokal maupun nasional. Beberapa puisi dan cerpennya sering nangkring pada surat kabar lokal maupun nasional.

Pagi-pagi buta ia terbangun dari tidur. Tak seperti hari-hari biasanya semasa ia masih mahasiswa, selalu bangun kesiangan dan terkadang disengaja tidur pagi karena semalaman asik begadang sambil diskusi ngalor-ngidul bersama kawan-kawan komunitas sastranya. Walaupun sesungguhnya ia wajib bangun pagi karena tuntutan jadwal kuliah pagi. Namun semua itu tak begitu dihiraukan dan tak menjadi beban. Pikirnya kuliah tak begitu penting, yang utama baginya adalah berkomunitas dan berkarya. Hingga akhirnya semua itu menggiringnya untuk menempuh kuliah sampai tujuh tahun, dan semua itu tak dipikirnya sia-sia. Karena ia sering menjuarai lomba penulisan puisi dan cerpen, baik tingkat provinsi maupun nasional. Juga seabrek kumpulan buku puisi dan cerpen yang terdapat karya-karya kebanggaannya.
***

“Selamat pagi,” sapa senyum ramah seorang satpam sekolah. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Begini, Pak. Saya guru baru yang mendapat panggilan untuk langsung mengajar hari ini,” Jason Rabdillah, S.Pd., guru muda yang merasa gagah ketika dipanggil ‘Pak’ untuk kali pertamanya di sekolah yang diharapkan dapat ia tunggangi untuk sambung napasnya.
“Oh, begitu. Salam kenal, Pak. Nama saya Tugimin. Biasa dipanggil Pak Gim,” mengulurkan tangan kanannya sambil nyengir.
“Oke, Pak Gim. Nama saya Jason Rabdillah. Boleh dipanggil siapa saja, asal masih merujuk dari nama asli pemberian tante saya, Jason Rabdillah,” saut pula dengan nyengir.
“Siap, Pak! Silakan masuk ke kantor yang ada diujung sana. Nanti Bapak temui Pak Rahman, beliau waka kurikulum SD Bina Jiwa ini.”
“Terimakasih, Pak Gim. Salam.”

Ia langsung menuju tempat yang ditunjukkan oleh Pak Gim, satpam yang ramah dan murah nyengir.
“Permisi, Pak. Bisakah saya bertemu dengan Pak Rahman?”
“Oh, saya sendiri. Silakan masuk, Pak. Kira-kira ada perlu apa?”
“Saya Jason Rabdillah, Pak. Kemarin yang mendapat panggilan mengajar di SD Bina Jiwa ini.”
“Oh, iya, Pak Jason Rabdillah. Selamat, Pak. Kami memilih Bapak untuk mengajar di sekolah tercinta ini. Hari ini juga Bapak langsung saya antar ke lelas. Namun sebelumnya maaf, Pak. Kami hanya mampu menggaji Bapak sebulan tiga ratus ribu rupiah saja. Seperti yang telah saya katakan kemarin melalui sms.”
“Oh, tak apa Pak. Bagi saya gaji bukanlah yang utama. Namun nilai pengabdian saya untuk mendidik generasi penerus bangsa ini.”
“Sungguh mulia sekali dirimu anak muda,” tersenyum bangga kepada guru muda berwajah bulat itu.

Jason Rabdillah langsung diantar menuju kelas oleh Pak Rahman. Hari ini ia sangat bahagia. Dalam hati ia berkata, inilah awal pijakan sejarah yang baru. Memulai untuk menyongsong kerja dengan mencerdaskan anak bangsa, generasi penerus negeri ini.
“Silakan, Pak. Ini ruang kelas yang kami serahkan sepenuhnya untuk Bapak,” ia diantar hingga depan pintu kelas. “Mulai hari ini hingga seterusnya kelas ini menjadi tanggung jawab Bapak. Didiklah mereka dengan penuh cinta dan pengorbanan.”
“Baik. Terimakasih, Pak. Saya akan mengemban tanggung jawab ini dengan sepenuh,” tegas Jason Rabdillah dengan mantab.
Sungguh tak diduga sebelumnya, kelas terasa hening dan sepi. Ia sangat kaget, dan dalam hati bertanya-tanya, kenapa ruang kelas SD begitu tenangnya? Tak ada saut manuk atau kekacauan siswa bermain seperti yang ia bayangkan. Menurut pengalamannya pun pasti anak-anak SD akan selalu gojeg dan berteriak-teriak seenaknya. Ia pun dulu begitu, semasa SD ia merupakan siswa yang terkenal bandel dan sulit diatur. Namun kenapa dengan kelas ini? Apa yang tejadi?
Guru muda Jason Rabdillah berjalan menyisir ruang kelas, melewati sela-sela bangku siswa sembari menatapi wajah mereka. Namun mereka tetap saja diam dan seperti terlamun yang entah kemana. Ia semakin heran, bau tubuhnya sama sekali tak digubris oleh para siswa. Sejumlah dua puluh anak terdiam tanpa kata, hanya tangan mereka bergerak-gerak sedikit dengan ayunan yang tak beraturan. Mata mereka berkedip, namun terasa seperti kosong memandang sesuatu yang entah tak bertumpu mana ujungnya.
Ia semakin bertanya-tanya, benar-benar aneh. Kedatangannya sama sekali tak digubris sedikit pun oleh para siswa. Lalu ia mendekati mereka satu per satu dan memandanginya. Oh, masih saja mereka terdiam dengan pandangan kosong. Di antara mereka sama sekali tak ada interaksi apapun, walaupun sekadar mencolek teman sebangku.
Kemudian ia memandangi mata mereka. Ia mendekat dan matanya dijatuhkan tepat pada mata salah seorang siswa, kira-kira sejarak dua puluh sentimeter. Namun tetap saja siswa itu masih asik dengan lamunannya yang entah. Kosong dan sama sekali tak menggubris matanya yang menunjuk beberapa mata siswa di kelas.
Lalu dengan sebegitu cepatnya ia terpikir sesuatu, apa mungkin mereka buta? Namun kenapa buta berjamaah begini? Ya, benar. Kali ini tidak salah lagi. Ia yakin kalau seluruh siswa yang ada di kelas ini matanya buta. Mata mereka terlihat memandang sesuatu yang entah. Terbukti, di antara mereka tak ada satupun yang berinteraksi dengan sesamanya. Mereka sepertinya asik dengan dunia lamunannya masing-masing. Beberapa di antaranya ada yang sampai berkaca-kaca matanya, nyaris hampir menjatuhkan airmata. Mungkin terlalu serius dengan pendalaman lamunnya. Wajah para siswa di kelas ini bersih-bersih dan bersinar secerah harapan yang kuat. Namun sayang, mereka masih kurang beruntung. Ia menghela napas sambil meniupkan hembusan syukur kepada Tuhan. Ternyata masih banyak orang yang jauh kurang beruntung ketimbang dirinya.
Jason Rabdillah semakin kebingungan. Semangatnya yang menggebu ketika hendak mengajar telah lari entah kemana. Ia terlihat mati gaya. Keinginannya untuk menularkan keterampilan menulis puisi dan cerpen semakin dirasa punah. Ia merasa tak yakin untuk mengajar mereka, dua puluh siswa semuanya buta. Kegelisahannya itu semakin menjadi-jadi, berjam-jam ia tak melakukan apa-apa. Hanya mondar-mandir mengelilingi sela-sela bangku di kelas yang hening. Raut mukanya memerah, bibirnya seperti menggumam yang tak penuh. Matanya berkaca-kaca, pikirannya terbang kemana-mana. Kali ini ia memang benar-benar kebingungan hingga tak mampu berbuat apa-apa. Kedua kakinya melangkah dengan pelan seiring dengan putaran pikirannya yang tak menentu. Terasa gerak tubuhnya tak terkendali dengan kegelisahan organ tubuhnya masing-masing. Seluruh siswa yang ada di kelas itu pun masih saja tenang. Hal itu membuat pikirannya semakin tak karuan. Keringat berbiji-biji jagung berhamburan dari pori-pori kulitnya. Selain ia kebingungan ingin mengajar apa kepada siswanya, ia juga ketakutan jika diketahui oleh waka kurikulum atau kepala sekolah, ketika ternyata ia belum mampu mengajar. Maka ia otomatis akan kehilangan pekerjaan. Walaupun gajinya tak seberapa, namun tanggung jawab telah melekat di pundaknya.
Ia benar-benar kebingungan untuk memulai pelajaran. Padahal ia lulus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, yang secara penuh ia memperoleh berbagai matakuliah pengajaran dan pembelajaran, yang terkenal dengan sebutan microteaching. Kali ini ia merasa semua yang didapatkan semasa kuliah sia-sia. Ternyata segala yang diperolehnya masih mlempem ketika hendak diamalkan.
***

Hingga berjam-jam, Jason Rabdillah masih tak tahu apa yang harus dilakukan untuk mengajar siswanya. Mereka masih tetap diam dengan lamunan kosong yang masih entah pula. Kelas masih hening, jam pelajaran hampir usai. Ia masih tetap kebingungan dan tak mampu melakukan apa-apa. Kedua kakinya masih tetap melangkah dengan pelan seiring dengan putaran pikirannya yang tak menentu. Terasa gerak tubuhnya pun masih tak terkendali dengan kegelisahannya masing-masing. Seluruh siswa yang ada di kelas itu pun masih saja tenang, hal itu membuat pikirannya semakin tak karuan. Keringat berbiji-biji jagung berhamburan dari pori-pori kulitnya. Sesungguhnya ia pun kasihan kepada para siswa, ketika ia belum mampu memberikan apa-apa kepada mereka. Dalam benaknya, ia merasa kelak akan mendapat gaji buta dari siswa-siswanya yang buta jika hari ini tak memberikan apa pun kepada mereka.
“Wahai pemuda mana telurmu?” Jason Rabdillah kaget dengan sekaget-kagetnya, handphone dalam saku celananya berteriak dengan nada dering pembacaan puisi Sutardji Calzoum Bachri dengan sangat lantang. Ia menghiraukan siapa pun yang meneleponnya, ia lebih menghargai pembacaan puisi Bang Tardji. Karena baginya memenggal pembacaan puisi dari penyair siapapun, walaupun itu hanya rekaman, semua itu sama halnya memenggal pembacaan orang mengaji, walaupun itu bukan pembacaan langsung. Baginya memotong pembacaan puisi adalah berdosa. Lalu ia mendengarkan pembacaan puisi Bang Tardji dengan seksama hingga selesai.
“Apa gunanya merdeka kalau tak bertelur? Apa gunanya bebas kalau tak menetas? Wahai bangsaku! Wahai pemuda! Mana telurmu? Burung jika tak bertelur, tak menetas, sia-sia saja terbang bebas! Kepompong menetaskan kupu-kupu, kuntum membawa bunga, putik jadi buah, buah menyimpan biji, menyimpan mimpi, menyimpan pohon dan bunga-bunga. Uap terbang menetas awan. Mimpi jadi, sungai pun jadi, menetas jadi. Hakekat lautan. Setelah kupikir-pikir, manusia ternyata burung berpikir. Setelah kurenung-renung, manusia adalah burung merenung. Setelah bertafakur, tahulah aku, manusia harus bertelur. Burung membuahkan telur. Telur menjadi burung. Ayah menciptakan anak. Anak melahirkan ayah. Wahai para pemuda! Wahai garuda! Menetaslah! Lahirkan lagi Bapak bagi bangsa ini! Menetaslah seperti dulu para pemuda bertelur emas! Menetas kau dalam sumpah mereka!”
Pembacaan puisi Bang Tardji telah membakar semangatnya. Seperti ada kekuatan besar yang menyelinap dalam jiwanya. Ia langsung bergegas memulai pelajaran dengan menyapa semua siswa.
“Mohon perhatiannya anak-anak. Sebelumnya, selamat pagi!”
Ia menyapa dengan lantang, namun ternyata tak seorang siswa pun yang menjawab sapanya. Ia tetap sabar, dan mencoba memulai pelajaran.
“Anak-anak, maukah kalian semua berdiri? Bapak ingin kalian berdiri,” seketika mereka serentak berdiri tanpa bantahan atau ungkap yang tidak mengenakkan. Namun tetap saja mereka belum ada yang mau membibirkan kata-kata. Pikirnya tak apa, ini awal, besok mungkin akan berbeda. Baginya kali ini sudah lebih dari cukup, karena mereka telah menuruti permintaannya.
“Bagus, kalian semua sungguh siswa yang pintar. Nah, sekarang maukah kalian memejamkan mata?” pikirnya akan memberikan apersepsi berimajinasi seperti yang sering ia lakukan dalam latihan proses kreatif bersama teman-teman komunitasnya.
“Maaf, Pak. Bagi kami tak ada bedanya antara memejamkan mata dengan membuka mata. Semua tetap akan terlihat gelap,” sontak salah seorang siswa dengan nada lugu membibirkan sanggahan kepadanya. Anak itu mengeluarkan airmata dari matanya yang tak melihat, diikuti pula dengan semua anak-anak yang lainnya.
“Maaf, Bapak tidak bermaksud menyakiti kalian. Sekali lagi maaf, Bapak sayang kepada kalian semua. Kalian anak-anakku. Kalianlah telurku, dan kelak kalian juga yang akan bertelur. Maafkan saya, anak-anakku.”
Tiba-tiba handphone di sakunya kembali memutar pembacaan puisi Bang Tardji, ia kembali mendengarkan dengan seksama pembacaan puisi tersebut. Anak-anak didiknya pun sepertinya mendengarkan kelantangan pembacaan puisi Bang Tardji yang berjudul ‘Wahai pemuda mana telurmu?’ hingga selesai. Kemudian ia mengangkat teleponnya.
“Selamat siang, Pak. Apakah benar ini Pak Jason Rabdillha?”
“Ya, benar. Maaf, ini siapa dan ada perlu apa?”
“Begini, Pak. Kami bermaksud ingin memanggil Bapak untuk mengajar di SMA Gelora Budaya, sebagai pengajar Bahasa dan sastra Indonesia dengan fokus pengajar penulisan kreatif. Apakah Bapak berkenan memenuhi panggilan kami?”

Ia terdiam. Bibirnya seperti terkunci, tak mampu menjawab apapun berkenaan dengan panggilan untuk mengajar di sekolah favorit bertaraf internasional yang terkenal dengan karakter studi sastra dan budayanya. Pandangannya menyapu ke seluruh siswa, airmata runtuh membasahi pipinya. Pikirannya berkecamuk antara panggung yang kelak akan dicipta dan disuguhkan kepada banyak mata dengan panggung yang tercipta oleh mata kosong yang ditontonkan kepedihannya kepada mata siapa pun. Walaupun mata yang menciptakan panggung pribadi itu tak mampu membedakan antara kepedihan atau kegembiraannya. Bagi mereka, semua adalah kepedihan. Mengucurkan airmata tanpa harus melihat kepedihan itu dengan matanya sendiri.

                                                      sanggargema, 191011, 02.56 am.


18 komentar:

Juandhita mengatakan...

Menurut saya, penamaan judul cerpen ini sangat menarik.Dan wajib dibaca untuk calon-calon guru. Karena cerpen ini mengajarkan kita untuk mengenali lebih dalam tentang puisi dan cerpen.Meskipun Jason Rabdillah, S.Pd. ini pernah menyepelekan kuliahnya, tapi beliau bisa membuktikan kepada orang-orang terdekatnya dan dosen-dosen di kampusnya jika ia mampu.Semangat dari Jason Rabdillah, S.Pd. pun juga patut dicontoh, ketika beliau mendapat panggilan kerja dari SD pun, tetap dijalaninya meskipun itu bukan bidangnya. Tidak mempedulikan berapa gaji yang beliau dapat karena yang terpenting baginya adalah pengalaman.

Juandhita Tyas Safitri. PBSI 4C

Meyca Masita mengatakan...

Meika Nur Masita (4C PBSI, 15410094)
Cerpen "Panggung Kelopak Mata" bagi saya cerpen itu memberikan gambaran bagi calon-calon guru saat mengajar di kelas. Selain itu cerpen ini memiliki pesan bahwa ilmu wajib diamalkan tanpa harus memandang seberapa upah yang akan diterima. Cerpen ini sangat menggugah hati bahwa masih banyak anak-anak yang membutuhkan pendidikan, masih banyak anak yang membutuhkan kasih sayang dan uluran tangan dari kita. Sebagai calon guru, wajiblah membaca cerpen ini untuk dijadikan gambaran betapa pentingnya mengamalkan ilmu dengan mengesampingkan upah atau gaji. Karena sejatinya ilmu yang diamalkan akan lebih abadi daripada rupiah yang didapat. Suasana dalam cerpen tersebut sangat menusuk hati. Siapa saja yang membaca cerpen ini pastilah akan tergugah hatinya untuk berfikir ulang. Karena sejatinya ilmu yang kita punyai harus benar-benar kita amalkan sesuai dengan porsinya masing-masing.

Tika Aulia Rachman mengatakan...

Tika Aulia Rrachman (4A)
Jujur yang membuat saya tertarik membaca cerpen "Panggung Kelopak Mata" adalah ketika saya melihat dan membaca nama seorang tokoh Jason Rabdillah apalagi ditambah dengan gelar S.Pd (Sarjana Pendidikan). Menurut saya cerpen ini merupakan cerpen yang sangat menarik karena di dalam cerpen ini memiliki amanat bahwa menuntut ilmu dan membagikan ilmu itu adalah kewajiban dan merupakan suatu hal yang sangat mulia. Di dalam cerpen ini pula si tokoh tidak memandang atau tidak pilih-pilih dalam membagikan ilmunya.

Unknown mengatakan...

Sintya Tamara Fatimah (4A PBSI/15410028)
Ketika saya membaca cerpen "Panggung Kelopak Mata" ini sangat menginspirasi dan memberikan motivasi kepada saya tentunya. Karena dalam cerpen ini berisi tentang seseorang yang memberikan ilmu pada semua orang untuk mencapai kesuksesan. Dan tidak hanya itu saja dalam cerpen ini guru tidak menuntut gajinya dalam hal mendidik.

Unknown mengatakan...

Hasna Nur Maulida/4A


Cerpen " Cerpen "Panggung Kelopak Mata"
Tersihir sudah oleh cerpen ini, saya rasa sikap calon pendidik seperti saya ini harus mempersiapkan lebih dan lebih matang lagi demi mencerdaskan penerus bangsa ini.
Jason Rabdillah, S.Pd. pun juga patut dicontoh, karena dengan sikap optimisnya yang mendapatkan panggilan untuk mengajar di salah satu Sekolah Dasar meskipun gaji seadanya yang menurutnya tidak masalah baginya itu ternyata ada beberapa peristiwa yang membuat dirinya kaget setelah masuk dalam kelas.
Perlu kita terapkan sikap Jason dalam bahwa ilmu pengetahuan yang kita miliki jangan sampai menjadi sia-sia karena kita gagal untuk menerapakannya.
Siapa pun dia penerus bangsa yang membutuhkan pendidikan yang layak selagi kita mampu memberikan bibit-bibit bangsa ini lebih baik lagi terapkan semaksimal mungkin.

Vivin Shafa Undriyani mengatakan...

Vivin Shafa Undriyani / 4 C
dalam cerpen tersebut dijelaskan seorang pemuda yang bernama Jason Ratbdilah S. Pd. sangat pandai dalam bidang sastra terlebih di cerpen dan puisi. selama kuliah jason menghabiskan hingga 7 tahun di bangku kuiah untuk mengikuti lomba-lomba, dia selalu mengesampingkan kuliah nya hanya demi lomba. Walau begitu seharusnya dia tidak menyia-nyia kan mata kuliah yang lain. menurut saya cerpen bapak sedikit membuat saya bimngung dengan alur cerita yang menurut saya ( maaf) ambigu, karena dalam cerita hanya befokus pada jason yang bingung pada 20 murid SD yang diam dalam lamunannya. Ungkapan para murid menurut saya kurang greget dan kurang panjang membuat penasaran dengan cerita selanjutnya. terima kasih.

faiznewbieblogger mengatakan...

Faiz Amriana
4B
Menurut saya cerpen ini cukup bagus, cerita yang runtut dan tidak membingungkan dan mudah dipahami oleh pebaca awam seperti saya ini. Cerpen yang sungguh menginspirasi untuk para calon pendidikers :D, kenapa? karena cerpen ini merupakan perjuangan calon pendidik seperti saya untuk menjadi calon pendidik yang ikhlas dalam mengajar.

Unknown mengatakan...

Romanda Bagus Ardiatma 4A
Cerpen ini sangat mudah di fahami pembaca dan makna atau amanat dari ceritanya begitu mudah di mengerti dan jalan ceritanya tidak bertele-tele

Ruang Sastra mengatakan...

Heike kamarullah 4C 15410118
cerpen "Panggung Kelopak Mata" karya Setia Naka Adrian ini menurut saya sangat menarik dan dapat memberikan gambaran bagi kita seorang calon pengajar. cerpen ini juga mengandung pesan bahwa kita sebagai pengajar harus mengamalkan ilmu yang kita punya dengan ikhlas tanpa harus memandang upah yang diberikan. seperti yang dilakukan oleh tokoh Jason Rabdillah, S.Pd. ketika ia mendapat panggilan kerja dari SD pun, tetap dijalaninya meskipun itu bukan bidangnya. Tidak mempedulikan berapa gaji yang beliau dapat karena yang terpenting baginya adalah mengamalkan ilmu yang dia punya. cerpen ini pun sangat menginspirasi bagi kita calon pengajar dan bagi mereka yang sudah menjadi pengajar.

Andik Setiawan mengatakan...

Andik Setiawan 4B

menurut saya pribadi, cerpen "Panggung Kelopak Mata" bacaan yang menarik karena tidak terlalu panjang namun bisa membuat saya merasakan apa yang sedang dialami oleh tokoh guru muda tersebut. Menyadarkan kami khususnya mahasiswa progam studi PBSI.Semangat muda yang siap membangun jati diri bangsa melalui mengajar dibilik-bilik kelas. Kepedihan yang saya rasakan ialah mengajar di SD yang satu kelasnya dihuni dua puluh siswa yang buta, inilah mungkin yang dimaksud sakit tak berdarah huhh. menarik pak, kalau bisa dibuat sambungannya lagi a pak. Mengenai kebimbangan/ kegalauan guru muda tersebut antara mau menetap dan mengajar di SD yang sudah ia tempati atau mau pindah ke SD yang elit. Nilai yang dapat saya ambil ialah kalau guru harus bersemangat untuk mendidik peserta didiknya, ulet, dan bertanggung jawab.

a34amaenda mengatakan...

Cerpen yang sangat menarik. Seorang guru yang mengajar di sekolahan yang bukan favorit dan tidak memandang gajinya seberapapun itu. Dari cerpen diatas yang membuat saya ternganga yaitu ketika mengetahui para siswa yang akan diajar oleh guru tersebut ternyata buta. Sekatika saya ikut terhanyut dalam suasana cerpen tersebut. Sedih dan bingung. Semoga cerpen ini dapat bermanfaat bagi calon-calon guru yang membacanya. Tidak pernah memandang siapa yang diajar dan seberapa besar gaji yang diterimanya. Guru akan tetap menjadi guru yang membagikan dan mengajarkan ilmunya kepada siswanya serta sesamanya. (Amaenda Aprilita 4B)

Unknown mengatakan...

ISTIQOMAH NOVITANINGRUM PBSI 3C 15410133
Sama seperti komentar sebelum sebelumnya, cerpen ini bagus dengan cerita yang mengispirasi terutama bagi kami mahasiswa PBSI yang akan menjadi seorang pendidik nantinya. Tokoh Jason dalam cerpen ini mengajarkan kita bahwa seorang Guru harus berbagi ilmu tanpa pamrih. Tanpa memandang dimana kita mengajar, apakah di sekolah favorit atau tidak, apakah dengan gaji yang tinggi atau tidak. Yang Jason lakukan hanyalah ingin berbagi ilmu dengan siswa yang dicintainya dan tulus berbakti dan mengabdikan diri untuk kemajuan pendidikan bagi bangsa ini. Latar suasana dan waktu dalam cerpen ini sangat dramatis menurut saya, karena saat itu seorang Guru di hadapkan pada pilihan antara mengajar anak-anak yang memang butuh perhatian dan pendidikan yang ekstra atau pindah ke sekolah favorit dan dapat mengajar mata pelajaran yang sesuai dengan jurusannya.

Unknown mengatakan...

Sitta Nur Annisa (4A)
Cerpen "PANGGUNG KELOPAK MATA" menurut saya, isi dari cerpen tersebut sangat menginspirasi untuk saya. Karena,tokoh Jason dalam cerpen tersebut tidak memandang berapa besar gaji yang ia dapatkan ketika bekerja, melainkan dengan sepehun hati ia bekerja. Jason hanya ingin mengamalkan ilmu yang ia dapatkan ketika diperguruan tinggi untuk mencerdaskan siswanya yang nantinya akan menjadi penerus Bangsa ini.

Unknown mengatakan...

Muhammad Arum Faisal (4A)
Cerpen "Panggung Kelopak Mata" ini pas di baca untuk para calon pendidik karena cerpen ini memiliki cerita yang memotivasi. Dalam cerpen ini memiliki pesan sebagai seorang pendidik tidak memandang besar kecilnya upah namun keikhlasan dan mengamalkan ilmu untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Karena masih banyak diluar sana anak-anak yang kurang mendapat pendidikan untuk itu kita kita mengamalkan ilmu untuk anak-anak penerus bangsa dengan ke ikhlasan.

Unknown mengatakan...

Menurut saya, cerpen Bapak yang berjudul "Panggung Kelopak Mata" sangatlah menginspirasi dan memotivasi untuk para calon guru dimanapun. Karena,di dalam cerpen tersebut si tokoh Jason Rabdillah walaupun hanya di gaji sebulan tiga ratu ribu rupiah ia tidak apa-apa,ia terima berapapun gajinya. Bagi si tokoh bukan gaji yang utama,Namun nilai pengabdian untuk mendidik generasi penerus bangsa ini. Dan semangat untuk mengajar yang awalny mulai turun,kini bangkit lagi di dalam jiwa Jason.

DEWI MUSTIKA SARI (4A)

Nurma isni mengatakan...

Cerpen yang berjudul "Panggung Kelopak Mata" memberikan pelajaran bagi kita untuk tidak menilai suatu pekerjaan dari nominalnya saja, tetapi rasa tanggung jawab kita terhadap suatu pekerjaan yang sedang dijalani. Ending dari cerita ini menggantung karena membuat pembaca penasaran dan menduga-duga apa yang akan menjadi keputusan oleh Jason Rabdillah. (Nurma Isni Sofiriyatin Nahar 4B)

Trisyana Arum S, mengatakan...

(Trisyana Arum Sari 4B)
cerpen yang berjudul "Panggung Kelopak Mata" merupakan cerpen yang sangat inspiratif, namun sayang endingnya masih menggantung sehingga menimbulkan pertanyyan oleh pembaca.

Teguh Bekti Santoso mengatakan...

TEGUH BEKTI SANTOSO (4B)

Menurut saya cerpen yang berjudul " Panggung Kelopak Mata " sangat menginspirasi bagi calon guru dan memiliki nilai - nilai atau pesan yang sangat baik. Cerpen tersebut juga mengajarkan kepada calon guru agar tidak pilih - dalam mencari pekerjaan atau mendidik para peserta didiknya karena dalam mendidik dibutuhkan ketulusan dan rasa tanggung jawab yang besar. Dari segi judul saja cerpen ini sudah sangan menarik untuk dibaca hanya saja pada endingnya cerpen ini membuat penasaran bagi para pembaca sehigga membuat pembaca menebak - nebak bagaimana kelanjutan dari cerpen ini.