Senin, 23 Maret 2015

Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja (Rakyat Jateng, 27 September 2014)

Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja
                                                            cerpen Setia Naka Andrian

Jika masih dimusimkan, pada sisa nyawa ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit lampu-lampu kota. Seperti tahajud kita yang tak hancur walaupun berkali-kali kening kita tak jelas dibanting-banting pada lantai untuk kesekian kali dalam pertemuan rutin yang lama mereka tawarkan pada setiap Jumat-jumat. Seperti penolakan usulan pembangunan jalan desa yang masih saja berhenti pada proposal-proposal yang tertumpuk menunggu dipelajari, dan kita tak heran memiliki riwayat yang berbeda-beda agar terselamatkan serta terkagum-kagum menanamkan canda yang lumayan sempurna untuk mencuri hati dari sekedar senyum-senyum dan mengerdipkan sebelah mata. Dan orang-orang di sekitar kita tak lagi membaca ketenangan, tak beda dengan seumpama udara-udara segar dan dinginnya puncak yang terlalu memaksa menyentuh panasnya tubuh kita yang terlanjur menggigil berdoa. Namun doa-doa kita pun semakin pucat saja, belum sempat tidur dan dipaksa ditidurkan.
Aku takut jika kelak kita akan pulang dalam keberangkatan yang beda. Disibukkan untuk menyusun kembali gerbong-gerbong kereta yang masih penuh penumpang, belum lagi banyak yang masih menunggu di stasiun-stasiun dan pemberhentian-pemberhentian ilegal. Dan kita masih saja pada garis tangan yang belum sama tapi memaksa rel-rel serta batu-batu kecil disekitarnya agar tidak lari dan lepas untuk melanjutkan perselingkuhan-perselingkuhan serupa. Lalu kau akan menunjuk banyak hal tentang beberapa rel yang rusak dan jalan kita akan terhenti cukup lama sebelum kesadaran untuk perbaikannya. Dan para penumpang dalam gerbong kereta semakin kesakitan, belum lagi yang semakin kelaparan menunggu pada pemberhentian-pemberhentian yang ilegal tadi. Dan kita terpaksa belum lunas mati, hanya mengulur kesakitan-kesakitan yang lelah dalam rumah masing-masing. Tanpa doa ataupun pengantar-pengantar yang suci sebelum kita benar-benar berhenti.
Ya Allah Yang Maha Bijaksana, tentukanlah sebenar-benarnya kebenaran yang harus kubenarkan dalam pembenaran serta pembenahan hidupku ini. Aku, juga mewakili istriku sangat ikhlas terhadap apa pun yang akan menimpa kami. Aku tak tahu tentang guyur hujan yang setiap malam menimpa seusai sujud yang terpenggal. Hingga merangkak terus dan menelusur pada rupa langit yang tak lagi cerah ketika pagi. Langit malam pun kini warnanya semakin tanpa hitam pekat. Sehingga malam yang tadinya berbintang dengan nyala cerah, kini telah lemah entah kenapa. Begitu pula ketika pagi, yang seharusnya langitnya cerah, namun kini telah menjadi muram, tertutup atap rumahku yang semakin tua seiring usiaku. Enam puluh lima tahun, kapan kau akan menambah? Atau sampai di sini saja? Sudah lengkap dengan tuntutan usia nabi, maka aku pun harus yakin, ketika aku sebagi umatnya pastilah akan mengikutnya, juga dalam usia. Lalu kau kapan Ina, kuatkah kau tanpaku bila angka ini menutup?
Kau masih belum terlampau tua, Ina. Jika kelak kita benar-benar dipisahkan karena tutup usia, kau tentunya tak mungkin kebingungan untuk mencari penggantiku. Lima puluh lima tahun bagi perempuan riang sepertimu tak membuat raut wajahmu kusam, apalagi kerut, tak mungkin. Kau masih cantik, Ina. Apalagi rambutmu tak terlihat menguban sedikit pun. Bukan karena kerudung yang selalu meutupinya, namun juga itu tak membuat rambutmu beraroma apek, apalagi berkutu. Semua yang kau miliki indah, Ina. Kau masih kelihatan cantik. Alismu masih bergaris seperti halnya tulisan latin. Matamu menyala kunang-kunang. Tubuhmu pun masih anggun dengan penutup aurat yang sempurna. Namun sayang, hanya saja nasib yang membuatmu tua pada pakaian. Karena seharusnya kulit sawo matang darimu tak pantas mengenakan kebaya lusuh serta jarit warisan loak itu. Namun apa boleh buat, itulah yang dapat aku berikan kepadamu. Sekadar penutup aurat yang kita surgakan, agar kita tak kepanasan kelak jika di akherat.
Kita memang tak cukup jika berserah, terlampau mudah untuk menanam. Namun hanya beberapa sisa nyawa ini yang dapat kusempurnakan untukmu. Tak lain, semenjak lima belas tahun yang lalu ketika kita dipertemukan, kau tak menampakkan signal penolakan terhadap persaanku. Walaupun seharusnya kala itu aku tak pantas untukmu juga. Karena kau adalah mantan istri seorang lurah yang sangat berkuasa di kampung ini. Seorang pengusaha kaya raya dan tetap menjabat hingga tahun ini, walaupun akhirnya pun aku harus diusir dan menjadi warga di hutan. Dan kau lebih membelaku. Tuduhan penipuan terhadapku telah kau bela, walaupun akhirnya membuat kita diasingkan. Kau dituduh sebagai pembangkang suami dan sekaligus sebagai perempuan yang menyelingkuhinya.
Ah, biarlah. Jika memang ini takdir. Walaupun sebenarnya sungguh bahagianya diriku ketika menemukanmu. Aku berlindung di balik kerudungmu. Walaupun nasib pun tak mempertemukan kita sebagai pasangan suami-istri yang sah. Orang-orang kampung telah terhasut oleh lurah mantan suamimu, agar tak ada seorang pun yang mau menikahkan kita. Para kiai pun tak ada yang mau menikahkan kita secara agama. Semua telah teracuni seorang lurah yang pernah menjadi orang nomor satu dalam hatimu. Tapi semua kini telah berubah ketika tuduhan penipuan telah menghakimiku. Kau pun telah menjadi penolong tunggal bagiku. Tapi semua tak membuatku selamat. Begitu pula kau yang telah membuat dirimu sendiri terjerumus dalam nasibku. Juga perasaan kita pun tak dapat sempurna menyatu dengan ikatan resmi. Berpuluh tahun hingga aku hampir mengakhiri usia ini. Dan kita pun tak bisa melakukannya tanpa ada pernikahan. Namun, walaupun begitu kita tetap memahami. Kita pun tak pernah sama sekali melakukan hubungan suami-istri. Kita serumah, kita sekamar, namun kita tak dapat setubuh. Biarlah bila di luar sana orang-orang berkata lain. Allah maha tahu.
“Kang, apakah kau menyesali dengan takdir kita?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena garis tangan.”
“Maksudmu, nasib? Takdir, Kang?”
“Bukan juga.”
“Lantas?”
“Allah.”
“Kenapa dengan Allah?”
“Dia yang telah memberi.”
“Lantas kau tak juga mau berusaha, Kang?”
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Karena doa-doa kita telah semakin pucat saja. Nyawaku pun hanya tinggal sisa.”
“Lima belas tahun yang telah kita lewati ini akan tetap kau sia-siakan, Kang? Kau tak ingin mencari cara untuk dapat menyatukan kita secara sempurna? Aku tak ingin jika hanya perasaan saja yang kita seragamkan. Aku pun tak ingin jika sudah serumah, sekamar, namun tak setubuh. Aku ingin kita menyempurnakan penyeragaman perasaan kita, Kang.”
“Aku pun juga ingin seperti itu, Ina. Tapi bagaimana lagi? Akankah aku harus merengek kepada suamimu?”
“Apa? Suamiku, Kang? Bukan, aku sudah tidak menjadi istrinya. Aku pun sudah lima belas tahun tak dinafkahi olehnya. Namun bukankah kau yang telah menafkahiku di hutan ini? Lima belas tahun telah kita lewati bersama. Ketika berawal dari gubug hingga rumah yang cukup gagah dengan batang-batang kayu jati besar sebagai penyangga. Ini semua karena kamu, Kang. Aku mohon, sempurnakanlah penyeragaman perasaan kita. Aku ingin kau berusaha dengan cara apa pun, Kang.”
“Ina, apa kau tak ingat kerudungmu?”
“Aku lelah, Kang. Bukankah aku juga manusia sepertimu? Yang juga membutuhkan seperti apa yang diinginkan oleh perempuan-perempuan di luar sana. Hujan telah mengguyur deras. Langit pun sangat gelap. Apakah kau tak ingin melindungiku dengan sempurna? Apakah kau selamanya tak ingin setubuh denganku? Hingga tutup usiamu?”
“Jika masih dimusimkan, pada sisa nyawa ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit lampu-lampu kota. Seperti tahajud kita yang tak hancur walaupun berkali-kali kening kita tak jelas dibanting-banting pada lantai untuk kesekian kali dalam pertemuan rutin yang lama mereka tawarkan pada setiap Jumat-jumat. Seperti penolakan usulan pembangunan jalan desa yang masih saja berhenti pada proposal-proposal yang tertumpuk menunggu dipelajari, dan kita tak heran memiliki riwayat yang berbeda-beda agar terselamatkan serta terkagum-kagum menanamkan canda yang lumayan sempurna untuk mencuri hati dari sekedar senyum-senyum dan mengerdipkan sebelah mata. Dan orang-orang disekitar kita tak lagi membaca ketenangan, tak beda dengan seumpama udara-udara segar dan dinginnya puncak yang terlalu memaksa menyentuh panasnya tubuh kita yang terlanjur menggigil berdoa. Namun doa-doa kita pun semakin pucat saja, belum sempat tidur dan dipaksa ditidurkan.”
“Gunung telah membawa gerakan yang tenang ketika sesaat setelah ia meledakkan tubuhnya. Hingga bayang-bayang atas segala pertemuannya dengan manusia membawa perpisahan di antaranya. Lalu semua akan lari mencari petunjuk, hingga yang sedang asyik bermain domino pun ikut peran berduyun menuju serambi Masjid yang telah terkepung berjuta umat.”
“Namun, apakah kau akan tetap berkeinginan sama ketika gunung yang kau agungkan telah tak lagi mampu meledakkan tubuhnya lagi?”
“Kau menyerah?”
“Tidak juga.”
“Lantas?”
“Ingin rasanya pada sisa nyawa ini aku akan tetap sujud pada rindu yang subuh sebelum waktu habis tercuri oleh pamit lampu-lampu kota.”
“Kita bisa keluar dari rumah ini, Kang. Kita harus meninggalkan kampung ini.”
“Tidak bisa, Ina. Aku tak sanggup lagi. Aku tak ingin ada yang terluka karena nasibku. Begitu pun orang lain yang tak tahu menau tentang aku.”
“Kau ingin membiarkan kebiadaban lurah itu?”
“Tentunya, iya. Aku ingin berserah saja.”
“Berarti apakah kau juga tak menginginkanku? Jawab, Kang? Aku tak ingin kau hanya diam, namun berpikir tak jelas di belakang.”
“Aku ingin kelumpuhan ini menjadi sebab yang tak lepas sebelum semua telah terbalik. Karena aku masih yakin jika kebenaran akan tetap menang. Jika di dunia kalah, nanti di akherat pasti akan dibenarkan oleh Dia Yang Maha Membenarkan.”
“Aku paham. Aku pun sangat paham tentang yang dilakukan lurah itu. Ketika kau masih berjaya, kau masih memiliki sesuatu yang megah. Hingga akhirnya lurah itu telah mengambil segalanya darimu. Dan kau tenang. Itu yang membuatku terkagum kepadamu.”
“Namun sekarang semua telah berjalan beda. Aku akan tetap menjadi diriku. Sebagai hamba yang mengabdi, terhadap pemilik segala hidup ini. Aku berlingdung, semoga ada kehendak dari-Mu, Allah.”


                                                                                 Palebooné, 080811, 07.32 am.

19 komentar:

Unknown mengatakan...

Hasna Nur Maulida/4A


cerpen "Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja"
Karya Setia Naka Andrian
Menurut saya menceritakan mengenai kedudukan seseorang yang berada diposisi atas belum tentu akan selalu diatas karena seolah-olah kehidupan di dunia tidak hanya milik salah seorang saja akan tetapi milik seluruh manusia di kerak bumi ini. Karena Ketika sudah terperosok dalam keadaan dengan kedudukan tinggi di suatu daerah hingga tidak meyadarkan kita bahwa di atas langit masih ada langit. Sesungguhnya manusia tanpa menyadari bahwa doa adalah permintaan bahkan ucapan rasa syukur atas nikmat yang selalu diberikan-NYA.
Akan tetapi terkadang manusia merasa benar dalam segala terkadang melalaikan Kewajiban nya dengan Tuhan Yang Maha Esa.
"Walaupun keberadaan kita dalam posisi lebih baik atau belum baik janganlah memutuskan ikatan doa hingga sampai melupakan salah satu Kewajiban sebagai umat-NYA".

Andik Setiawan mengatakan...

Andik Setiawan 4B

"ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja" Cerpen ini sudah jelaslah cerpen yang baik dan menarik karena sudah dimuat di koran. Yang saya temukan saat membaca cerpen ini ialah ketekunan seorang pria biasa yang mendapatkan cinta dari istri dari lurah desa yang sangat berkuasa, saya mulai terbawa suasana saat sampai membaca kedua orang itu diasingkan di hutan belantara. mereka tidak sepasang suami istri karena seluruh masyarakat desa tidak mau menyaksikan pernikahan dari kedua orang itu, semua itu perbuatan dari lurah desa yang menghasut selurung masyarakatnya termasuk kyai-kyai setempat. saking khusyuknya tokoh laki-laki yang di fitnah ini membuat saya malu karena dengan sekadar tulisan ini saya tersadar telah melewatkan sholat malam. hidup selama lima belas tahun bersama sekamar karena bilik kamarnya hanya satu ruang maka mereka tidur seranjang. Tidur seranjang tanpa melakukan sikap manusiawai merka yaitu berhubungan suami istri. mereka berdua sangat tau tidak mau melakukannya karena mereka sadar agama yang dianutnya tidak mingizinkan perbiatan itu tanpa tali pernikahan. Mau sedih atau kecewa juga tidak namun rasa yang saya rasakan ialah keprihatinan, di Zaman modern ini banyak anak-anak yang sudah punya anak tanpa perlu melakukan pernikahan yang sah. inilah bacan yang mendidik untuk saya khususnya dan dapat saya shere ke teman-teman yang lain, awalnya cerita pendek ini sulit saya pahami karena menggunakan kiasan bahasa yang tidak biasa. misalnya membentur-benturkan kepala ke lntai. namun dari paragraf selanjutnya saya mulai terbawa akan sifat-sifat manusia dari sifat setan dan sifat malaikat. semuanya terlihat gamblang ditunjukkan penulis secara baik nan selalu sederhana. yang saya bingungkan sedikit mereka berdua kan tinggal di gubuk reot di hutan namun kog bisa mendirikan rumah yang baik menggunakan kayu jati yang kokoh. Apakah tokoh laki-laki yang difitnah ini sanggupp memeotong dan merenovasi gubuk reotnya hehe. Alur ceritanya diluar gambaran saya pak.

Anonim mengatakan...

Naufal Abdunnashir 4B

Cerpen ini sangat Bagus, apalagi bila dibaca saat waktu senggang, banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya juga. Walaupun banyak yang masih belum saya pahami, tapu saya suka dengan cerpen ini.

Unknown mengatakan...

Romanda Bagus Ardiatma 4A
Satu hal setelah membaca cerpen ini tuhan memberikan cobaannya tak melebihi kemampuan umatnya

Ruang Sastra mengatakan...

Heike kamarullah 4C 15410118
Cerpen "Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja" karya Setia Naka Adrian ini menurut saya sangat bagus karena menceritakan tentang apa yang biasa terjadi dikehidupan nyata, dapat dijadikan pembelajaan juga bagi remaja remaja zaman sekarang tentang keteguhan hati sang pria yang bisa menjaga kehormatan wanitanya selama 15 tahun meskipun ia tinggal bersama karena belum ada ikatan yang sah secara agama dan hukum. cerita ini pun menggambarkan bahwa dalam hidup ini tak selamanya yang diatas akan tetap berada diatas, kita harus ingat bahwa diatas langitpun masih ada langit. dan tak selamanya yang dibawah akan tetap berada dibawah, buktnya yaitu dalam cerita tersebut, yang tadinya pasangan tersebut pergi dan mendirikan rumah gubuk dengan ketekunan sang pria dalam menafkahi dan menjaga wanitanya akhirnya ia bisa tinggal dirumah yang lebih layak yang bersanggahan kayu dan lebih besar.

Meyca Masita mengatakan...

Meika Nur Masita (4C PBSI 15410094)
Menurut saya, cerpen "Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja" memiliki pesan yang sangat apik di dalamnya. Pesan yang dapat saya ambil yaitu kemantapan iman seorang laki-laki untuk membunuh segala hawa nafsunya meskipun telah hidup belasan tahun dengan seorang wanita di dalam hutan. Hal ini dapat memberi pelajaran bagi siapa saja untuk selalu menguatkan keimanan kepada Tuhan.

Unknown mengatakan...

Istiqomah Novitaningrum PBSI 3C 15410133
Pak Naka selalu sukses menyuguhkan karya-karya yang apik dan menarik untuk dibaca. Menurut saya, kisah ini sangat manis dan romantis. Bagi yang membaca cerita ini dengan seksama pasti dapat melihat betapa besar cinta dan ketulusan hati seorang pria pada wanita yang di cintainya itu. Meskipun sudah 15 tahun hidup bersama dalam satu atap, bahkan satu kamar, tidak membuat Sang Pria tergoda dan ingin menyentuh Sang Wanita karena Sang Pria tau bahwa hubungan mereka tidak sah dalam Agama. Sang Pria begitu setia menja kehormatan wanita yang di cintainya itu. Tak hanya itu, selama hidupnya, beliau senantiasa beribadah dan taat kepada Allah SWT. Selama dibuang di hutan, pria dan wanita ini mampu menjaga diri masing-masing dan berjuang demi kehidupan mereka. Semoga kita senantiasa dapat hidup menjadi pribadi yang baik, setia, mampu menjaga kehormatan diri dan selalu taat beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa :)

Unknown mengatakan...

Tadya Meinda Purbasari PBSI 4B 15410071
Pendapat saya pada cerpen Doa-doa Semakin Pucat
Pertama saya membaca cerpen ini sedikit kebingungan karena kata-katanya yang menggunakan kata kiasan atau perumpamaan namun didalam cerpen tersebut mengandung motivasi agar kita tergerak hatinya. Cerpen tersebut berisi tentang doa yang dipanjatkan oleh seorang lelaki yang hidupnya bisa dibilang pas-pasan atau sederhana. Si lelaki putus asa karena doa-doanya tidak terjawab. Namun si perempuan menguatkannya, ia mengingatkan tentang pengorbanan yang telah ia lewati. Kesimpulannya bahwa dalam kehidupan tidak hanya doa saja yang dipanjatkan namun harus disertai dengan kerja keras untuk mencapainya.

a34amaenda mengatakan...

Pertama saat membaca awal ceritanya, saya tidak paham dengan kata-kata yang cukup luar biasa tersebut. Sempat berpikir saat membaca awal ceritanya apa ada hubungannya dengan judul cerpen tersebut. Tetapi setelah membaca sampai pada percakapan tokoh aku dengan si Ina, saya baru saja paham. Kepasrahan dari tokoh aku dengan nasibnya saat ini. Ina seorang gadis yang ia sayangi.mereka sudah hidup satu atap tetapi belum ada ikatan pernikahan. Ada niatan untuk menikah. Tetapi tokoh aku berkata “Karena doa-doa kita telah semakin pucat saja. Nyawaku pun hanya tinggal sisa.” Mereka hidup bersama tanpa ikatan pernikahan sampai tubuhnya tua renta. Cerpen ini sangat menarik. Bahkan bisa saja membuat bingung pembacanya dengan kalimat-kalimat yang tidak cukup mudah dipahami apabila hanya dibaca sekali saja. Di dalam cerpen ini ada kalimat yang diulang dan kalimatnyapun cukup panjang. (Amaenda Aprilita 4B)

Unknown mengatakan...

Muhammad Arum Faisal (4A)
Cerpen "Ketika Doa-Doa Semakin Pucat Saja" sangat menarik sekali bagi saya sebagai pembaca. Menariknya karena cerpen ini bercerita tentang cinta yang belum ada ikatan suami istri namun bisa hidup bersama tanpa melakukan hubungan suami istri. Cerpen ini memberikan pesan terutama kepada pasangan yang belum ada ikatan yang sah dalam agama untuk saling menjaga terutama laki-laki menjaga kehormatan perempuan yang disayangi karena iman dan agama.

Ritna pujiwati mengatakan...

Cerpen Ketika Doa-Doa Samakin Pacat Saja karya Setia Naka menurut saya cukup menarik. Karena untuk pembaca semakin terinspirasi , Karena cepen ini menceritakan tentang Cinta yang belum ada ikatan suami istri tetapi hidup bersama tanpa melakukan hubngan intim . dan dari cerpen itu saya dapat memberikan saran bahwa apa bila cewek dan cowok hidup layaknya swami istri iu tidak baik karena belom ada ikatan swami istri saran saya sebagai generasi penerus jangan pernah malakukan hal itu karena dapat menyebabkan hal-hal buruk .

Nurma isni mengatakan...

Cerpen yang berjudul "Ketika Doa-Doa Semakin pucat saja" awalnya sulit dipahami karena banyak menggunakan kata kiasan. Cerpen ini menceritakan tentang kekuatan cinta tanpa sebuah ikatan yang resmi sebagai seorang suami istri. Dalam cerpen tersebut terlihat bahwa hidup akan terus berputar dan terus berjalan karena hidup adalah sebuah perjalanan.
(Nurma Isni Sofiriyatin Nahar 4B)

Unknown mengatakan...

Kali ini saya menemukan cerpen bapak yang menggunakan kata kata kiasan sehingga saya sebagai pembaca merasa bingung dan harus berhati hati ketika membacanya. Isinya bagus, menceritakan seseorang yang tinggal satu atap dengan lawan jenisnya namun tidak dengan status pernikahan.
Neli Afiatun Janah 4b

Nur Fitri Febtiysni mengatakan...

Banyaknya kata2 kiasan dalam cerita pendek bapak,menjadikan cerpen tersebut membingungkan saya kira cerpen tersebut menceritakan kecelakan atau apa tetapi pada tengah cerita saya menangkap ada kisah cinta yang tak bisa mengikat karena si lurah tersebut menghasut warga agar si kakang dan si ina tidak bisa bersatu, jika cerpen ini di baca oleh orang yang awam tidak mengerti bahasa, mereka akan kebingungan.

Unknown mengatakan...

Inas Fatma Aulia ( PBSI 4B )
Menurut saya tentang cerpen "Ketika Doa-Doa Semakin Pucat Saja" sangatlah susah untuk dipahami. Karena cerpen ini menggunakan bahasa yang cukup membingungkan yaitu memakai kata perumpamaan atau biasa disebut dengan kata kiasan. Yang dapat saya tangkap dari cerpen ini adalah tentang sebuah kekokohan dan kekuatan cinta untuk saling menjaga kehormatan masing-masing dengan pasangannya meskipun belum berstatus sebagai sepasang suami istri.

Unknown mengatakan...

Cerpen "Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja" cerita ini diawali dengan kata-kata yang indah, serta selaras dengan kisah tentang kedua orang yang saling mencintai satu sama lain namun tidak dapat bersatu dalam hubungan yang sah. Meskipun banyak cobaan dalam hubungan mereka seperti tuduhan perselingkuhan hingga fitnah, akan tetapi keduanya saling percaya satu sama lain. Saat membaca cerpen ini saya merasakan ketulusan dari sang pria dari kutipan dialog antara keduanya, dimana sang pria lebih mementingkan iman dan berserah diri kepada Allah dibandingkan menuruti napsu duniawinya.
(Nanda Remba Gahara 4B)

Nur Fitri Febtiysni mengatakan...

Hanya menambahkan nama dengan kelas bapak, Nur Fitri Febriyani 4A. Banyaknya kata2 kiasan dalam cerita pendek bapak,menjadikan cerpen tersebut membingungkan saya kira cerpen tersebut menceritakan kecelakan atau apa tetapi pada tengah cerita saya menangkap ada kisah cinta yang tak bisa mengikat karena si lurah tersebut menghasut warga agar si kakang dan si ina tidak bisa bersatu, jika cerpen ini di baca oleh orang yang awam tidak mengerti bahasa, mereka akan kebingungan.

Nur Fitri Febtiysni mengatakan...

Hanya menambahkan nama dengan kelas bapak, Nur Fitri Febriyani 4A. Banyaknya kata2 kiasan dalam cerita pendek bapak,menjadikan cerpen tersebut membingungkan saya kira cerpen tersebut menceritakan kecelakan atau apa tetapi pada tengah cerita saya menangkap ada kisah cinta yang tak bisa mengikat karena si lurah tersebut menghasut warga agar si kakang dan si ina tidak bisa bersatu, jika cerpen ini di baca oleh orang yang awam tidak mengerti bahasa, mereka akan kebingungan.

Okti Dwy Iswidayati mengatakan...

Cerpen "Ketika Doa-doa Semakin Pucat Saja" ini menggambarkan pasangan suami-istri yang hidup dengan sederhana tanpa melupakan kewajibannya yaitu terus bersyukur atas apa yang diberikan oleh Maha Pencipta. Sehingga saya membaca cerpen ini merasa bahwa sang suami tanpa putus berdoa untuk terus menyatukan perasaan kepada istrinya hingga akhir hayat walau masih belum bisa berhubungan layaknya suami-istri. Suami dalam cerpen itu lebih mementingkan urusan akherat daripada urusan duniawi.
(Okti Dwy Iswidayati 4B)