Senin, 23 Maret 2015

Haji Sukiyat (Pikiran Rakyat, 10 Agustus 2014)

Haji Sukiyat
■cerpen: Setia Naka Andrian

Ia sangat erat dengan tanah. Dari mulai pernah menjadi mantan juragan tanah hingga sempat juga bertugas sebagai penggali kubur, semasa ia masih miskin. Di mata warga, ia dikenal sebagai seorang yang kalem, low profile. Ia ramah, namun dibalik keramahannya dan setelah mendapatkan segalanya itu, ia disebut-sebut sebagai seorang juragan tanah yang kejam. Kalau sudah berurusan dengan tanah, maka siapa saja akan menjadi lawan perangnya. Ia merupakan seorang yang sangat kaya. Hampir tujuh puluh persen tanah di kampung ini bersangkut-paut dengan dirinya. Dari mulai makelar tanah kelas liang kubur hingga tanah lapangan sepak bola.
Namun itu dulu, dan sekarang semua telah berubah. Sukiyat, seorang lelaki setengah baya yang telah kehilangan segalanya. Ia tertipu ketika berniat hendak menunaikan ibadah haji. Semua harta, berhektar-hektar tanah dan rumah beserta isinya ludes tertipu oleh jaringan tertentu yang mengatasnamakan ONHK (Ongkos Naik Haji Kilat). Ia memilih jalan itu karena pada awalnya memang sangat kekurangan waktu, beberapa detik waktunya akan terasa sia-sia ketika harus menghabiskan beberapa bulan untuk melingkari Kabah. Beberapa detik waktunya sangat berarti, jika ditinggalkan maka ia akan mengidap kerugian yang sangat besar. Maka ia tergiur untuk mengambil jalur ONHK. Naik haji hanya satu hari.
Spekulasinya gagal. Awalnya ia beranggapan, dengan modal sebanyak-banyaknya akan menghasilkan duit yang jauh lebih banyak lagi. Semua yang direncanakan atas perhitungan yang sangat pelik kini terdengar sia-sia. Sukiyat sangat terjatuh. Ia menjadi tidak karuan. Yang dulunya dikenal sebagai seorang berkemampuan besar untuk mengatasi segala masalah, kini tertimpa masalah yang begitu besarnya. Ia sendiri tak mampu mengatasi. Benar-benar ia jatuh, tertimpa tangga, terinjak-injak dan sulit bangun. Semua harta, berhektar-hektar tanah dan rumah beserta seisinya ludes entah kemana. Jaringan yang dipercayainya tersebut telah kabur entah kemana. Sulit dilacak, polisi pun lepas tangan karena terlalu sulit mendeteksi kemungkinan-kemungkinan yang digambarkan oleh Sukiyat. Nyaris seratus persen ia telah berubah. Kesadarannya tak tahu lari kemana. Sepertinya memang ia benar-benar terjatuh jiwanya. Jarak pandang matanya terlihat tak menentu. Tingkah lakunya semakin aneh. Kemauannya yang bermacam-macam termuntahkan semua lewat bibirnya. Berjalan menyisir dan memutar kampung dengan omelan-omelan yang tidak karuan. Entah itu masalah berhektar-hektar tanah yang hilang, tanah galian semasa ia dulu menjadi penggali kubur ketika masih miskin, hingga tentang rumah yang telah mengusir seorang istri dan kedua anak perempuannya yang masih berumur belasan.
Ia semakin menjadi-jadi. Kini ia memakai setelan baju putih lengkap dengan peci putih yang akrab dikenakan oleh seseorang yang telah menjalani ibadah haji. Masih tetap berjalan menyisir dan memutar kampung dengan omelan-omelan yang tidak karuan. Seorang istri dan kedua anak perempuannya yang masih berumur belasan nampaknya tak lagi mengurus Sukiyat. Bahkan mereka memilih untuk meninggalkannya, pulang ke rumah orangtuanya yang ada di luar kota. Sukiyat pun tak menggubris dan memang tak tahu tentang hal itu. Ia bergeleng-geleng menelusuri jalan kampung dengan berbagai omelan hingga wiridnya yang aneh-aneh. Terkadang ia sempat kelelahan, terengah-engah semacam perenang yang baru mencapai finish dalam kekalahan. Lalu Sukiyat memilih untuk beristirahat di tempat-tempat tertentu yang menjadi milik umum, seperti pos ronda, jembatan, atau mungkin di masjid. Karena semua warga telah tak menggubris keberadaannya. Mengingat masa silam Sukiyat yang secara terang-terangan telah menyengsarakan banyak warga, tentang bisnis tanahnya dan beberapa tindakan mengais uang yang dinilai sangat merugikan warga kampung tersebut.
“Ngapain ngurusi Sukiyat? Ia kan bukan orang yang patut kita tolong!”
“Ya, benar sekali! Semua yang didapatkannya sekarang adalah akibat dari perbuatannya terdahulu!”
“Benar, jangan hiraukan dia! Biarkan ia menikmati dunianya! Semua yang terjadi padanya sekarang memang sudah setimpal dengan apa yang digariskannya dulu kepada kita!”
“Memang benar gemblung! Dia lah Haji Gemblung!”
“Sesuai dengan amal dan ibadahnya!”
“Hahahahhaaahahahaa!”

Namun terkadang ada beberapa warga yang merasa kasihan terhadapnya. Hingga beberapa warga ada yang memberi bungkusan makanan dan seplastik minuman hangat kepada Sukiyat. Ia pun tersenyum. Kadang juga nyengir sebagai simbol pengucapan terimakasih yang mendalam darinya. Lalu ia memakan dan meminumnya dengan lahap hingga habis.
***

Berhari-hari, berbulan-bulan telah ia lalui seorang diri dengan memutar sisa hidupnya. Setelah baju putih yang dulunya bersih kini telah berubah mewarna tanah. Tidurnya gelesotan di jalan-jalan kampung. Bila hujan ia memilih untuk hinggap di pos ronda. Peci putinya yang juga telah berubah mewarna tanah pun selalu ia kenakan. Tak pernah sekalipun lepas dari lingkar kepalanya. Tidur pun selalu ia kenakan. Bahkan pernah ada orang yang jahil menggodanya, dan meminta peci putih lusuhnya, namun tak diperbolehkan dan sangat dilawan olehnya. Ia berkata, “Jangan! Ini kepunyaan saya! Enak saja mau diminta! Jauh-jauh ngambil dari Makah kok seenaknya mau diminta begitu saja! Saya jauh-jauh kesana dengan ongkos yang sangat mahal tahu nggak? Berhektar-hektar tanah, rumah dan seisinya telah kupertaruhkan untuk pakaian dan peci putih suciku ini! Enak saja kamu mau meminta semua ini dariku! Ongkos naik haji itu mahal! Apalagi naik haji yang melalui jalur ONHK! Ongkos Naik Haji Kilat! Paham nggak?”
Tak ada yang berani memenggal atau sekadar menjeda omelan-omelan yang keluar dari mulut Sukiyat. Semua orang tahu tentang dirinya, juga perihal latar belakang yang sempat menyelinap dalam kehidupannya. Malah terkadang Sukiyat sempat mengamuk jika ada seseorang yang meledeknya. Entah itu mengusik keberadaannya ketika sedang asik melamun sendirian di jalan atau bahkan sangat marah ketika ia dipanggil hanya dengan sebutan Sukiyat, Si Sukiyat, atau Pak Sukiyat. Karena ia sangat menginginkan dan begitu menganjurkan untuk dipanggil Pak Haji Sukiyat. Mutlak. Baginya tidak ada yang boleh menawar, Pak Haji Sukiyat.
***

Hujan kali ini telah mengguyur begitu derasnya. Sukiyat masih dengan langkah tenang memutar mengitari jalan kampung. Menyisir langkah yang gontai, namun tetap bersikeras mencapai titik tertentu untuk menemukan tempat yang dikehendakinya. Beberapa orang ada yang sempat menawarkan kebaikan untuk meminjami payung, atau sekadar mengajaknya untuk menggunakan payung bersamaan. Namun semua niat kebaikan tersebut ditolaknya mentah-mentah. Malah kebanyakan dari mereka diomeli dengan begitu lantangnya. Bahkan ada yang sempat disemprot nama-nama hewan berkaki empat. Begitulah. Setelah itu tak ada yang berani mengusiknya. Kebanyakan memilih diam daripada ribut dengannya. Warga memilih untuk tidak mengurusinya, walaupun sebenarnya beberapa di antara mereka ada yang merasa sangat kasihan dengan keadaan yang menimpa Sukiyat.
Hujan ternyata terus mengguyur dengan semakin derasnya. Sukiyat nampak menggigil. Angin yang disertai hujan lebat itu perlahan telah membersihkan setelan baju putih dan peci putih yang dikenakan olehnya. Warna-warna tanah yang menempel pada setelan baju dan peci putinya telah luntur bersama guyurannya. Petir menyambar-nyambar, tak sedikitpun membuat Sukiyat takut. Ia masih memutar menapaki jalan-jalan kampung. Dengan berbagai omelan dan wiridnya yang entah tertuju untuk siapa. Entah untuk tuhannya, untuk harta bendanya yang lenyap atau mungkin untuk ketakutan-ketakutan yang melanda serta menggelisahkan jiwanya. Barangkali itulah yang dikehendaki Sukiyat untuk mengulang penemuan dirinya. Kini ia tengah memunguti kembali beberapa jiwanya yang tercecer dimana-mana. Menjarak terhadap berbagai hal atas penemuan-penemuan yang ternyata belum berujung. Maka ia terus memutar dan melingkar mencari penemuan itu.
***

Hujan telah reda. Sore berjingkrak dengan lambat melambaikan nyalanya untuk meninggalkan terang yang telah malas karena terlalu lama diguyur hujan. Sukiyat masih menggigil. Giginya menggigit-gigit berulang kali dengan begitu disiplinnya tanpa jeda. Tubuhnya gemetar. Kakinya terjinjit menapak di atas jalan berair dan tanah yang becek. Bibirnya nampak pucat. Langkahnya perlahan semakin pelan. Semakin lambat, nampak ia menahan lapar yang memnggedor-gedor perutnya. Kampung terasa sepi. Orang-orang sepertinya tidur lelap dengan selimutnya masing-masing. Suami-suami tengah tenang memeluk istrinya dengan sepenuh selimut. Anak-anak mereka yang masih kecil-kecil tengah nyenyak berpeluk dengan botol susunya masing-masing. Anak laki-laki dan perempuan yang sudah lumayan remaja ternyata sedang asik menghitung helai rambut kekasihnya masing-masing dan cemas menunjuk-nunjuk kamar orangtuanya. Mereka siap mengganti formasi atau jurus yang sedang diibadahi dengan begitu candanya, ketika nanti orangtuanya ternyata keluar dari kamar. Siap untuk mengganti peran.
Sukiyat masih terus memutar dan terus melingkar menapaki jalan-jalan kampung. Semacam ia ingin penuh menapaki tanah kampung dengan kakinya sendiri. Mencari penemuan dan menemukan pencarian. Ia masih terus berjalan dengan gigilnya. Selagi kampung terasa sepi. Selagi orang-orang sedang tidur lelap dengan selimutnya masing-masing. Selagi suami-suami tengah tenang memeluk istrinya dengan sepenuh selimut. Selagi anak-anak mereka yang masih kecil-kecil tengah nyenyak berpeluk dengan botol susunya masing-masing. Selagi anak laki-laki dan perempuan yang sudah lumayan remaja masih asik menghitung helai rambut kekasihnya masing-masing dan cemas menunjuk-nunjuk kamar orangtuanya. Selagi mereka siap mengganti formasi atau jurus yang sedang diibadahi dengan begitu candanya, ketika nanti orangtuanya ternyata keluar dari kamar. Selagi mereka, anak-anak yang sudah lumayan remaja sedang berpacaran di bawah dingin sisa hujan dan siap untuk mengganti peran jika hampir ketahuan oleh orangtuanya.
Sukiyat terhenti. Menatap masjid yang ada di hadapannya. Ia masuk menuju serambinya. Melihat-lihat dan merespon segala yang ada di dekatnya. Termasuk memegangi dan mengelus lantai keramik yang mengkilap bersih hingga menyentuh-nyentuh bedug yang ternyata menunggu dibunyikan untuk menyambut salat ashar yang ternyata lupa dibunyikan. Karena orang-orang tengah hangat dengan pelukannya masing-masing. Malas beranjak untuk sekadar mengelap lantai masjid dengan telapak kakinya masing-masing. Seketika itu, selagi kampung masih sepi, Sukiyat mengendap-endap dengan langkahnya yang cemas menuju tempat wudhu. Ia berkumur, membasuh wajahnya. Lalu setelah itu nampak mengingat-ingat lagi urutan wudhu lainnya yang harus dilakukan. Ia nampak mengingat-ingat dengan sebegitunya, lalu ia menemukan, membasuh kedua tangannya, kening yang menyapa beberapa helai rambutnya, kemudian berlanjut membasuh kedua telinga dan kedua kakinya.
Sukiyat menunaikan salat. Nampak fasih dengan komat-kamit yang meyakinkan dari gerak bibirnya. Sesampainya dalam sujud, ia nampak terhenti lama. Sangat lama, melalui beberapa detik, menit, hingga beranjak pada hitungan jam. Sukitat masih tetap terdiam dalam sujudnya. Tenang dan benar-benar terhenti dalam segala geraknya. Entah bersujud dengan mengucap apa. Belum ada yang tahu. Semoga setelah itu ada yang menuntun jalannya. 

                                               Sanggargema, 111111, 02.56 am.


3 komentar:

Rahmatika Devi (4A) mengatakan...

Cerpen kali ini hampir mirip sama cerita tetangga saya ni pak.. memang gila karena tidak jadi naik haji. Hingga kalau ada tetangganya yang mau naik haji dia marah marah sambil melempari batu batu kearah rumah si calon haji (maaf curhat) hehe. Ini sy mau jujur saja beberapa cerpen bapak yang sudah saya baca, saya selalu tertarik dengan judul yang bapak usung. Bapak selalu bisa merangkum cerita bapak dengan judul yang sangat menarik perhatian. Dulu guru saya SMA pernah berkata bahwa karangan yang baik adalah karangan yang susah ditebak alur ceritanya, seperti contohnya ini. Orang2 melihat judulnya 'Haji Sukiyat' mungkin banyak orang yang menebak bahwa cerita ini menceritakan tentang bapak haji yang menjadi teladan, baik, berwibawa, sopan dsb (termasuk pikiran saya juga). Namun ternyata justru sebaliknya.. Pesan di cerpen ini sangat dalam sekali mengingat banyak sekali orang2 yang memiliki sifat seperti ini terutama di daerah kampung dan kota2 kecil. Yang mau saya pertanyakan ni pak.. itu tadi setting waktunya kan ashar, tapi biasanya ashar itu justru ramai.. banyak orang pulang kerja, lalu lalang di jalan dsb.. ini hanya sedikit kritik saya saja bapak. Terimakasihhh, terus berkarya.
Rahmatika Devi 4A

Devi Tio PS 4A mengatakan...

Setelah saya baca cerpen bapak diatas. Saya sangat senang dengan alur ceritanya karena menceritakan kisah seseorang yang mengalami gangguan jiwa karena semua harta yang yelag dimiliki lenyap dan sirna dan memiliki obsesi yang tinggi. Dan dalam sisa hidupnya iya menjadi seorang yang tidak mempunyai pikiran yang selayaknya orang lain miliki. Akan tetapi menjelang ajalnya memanglah tidak salah apabila panggilan hati untuk menghadap yang Kuasa sangatlah besar dan dalam hal seperti itu saya berimajinasi dalan scene cerita tersebut. Sekian dan terimakasih.
(Devi Tio PS/4A/15410035)

Ayu Andika Puspitasari mengatakan...

Ayu Andika Puspitasari 4A(15410039)

Cerpen "Haji Sukiyat", cerpen ini menceritakan tentang seorang laki-laki yang ingin naik haji dan sialnya dia terkena tipu dan alhasil dia gagal haji sehingga membuat dia menjadi gila.
Dari cuplikan tersebut dapat kita ambil moral velue yakni, tetaplah tegar dan jangan mudah untuk pesimis dalam masalah yang dihadapi dan kegagalan bukanlah akhir dari semuanya. Memang tidak mudah untuk tetap tegar namun tuhan punya sesuatu yang akan membuat lebih Indah dalam kehidupannya.
Dan cerpen ini, memuat kisah nyata dalam kehidupan manusia. Subahannallah ~