Senin, 27 Oktober 2014

Puisi, Muara Individu Beragama

Oleh Setia Naka AndrianJudul               : Bumi di Atas Langit
Penulis            : Bahrul Ulum A. Malik
Penerbit          : Pelataran Sastra Kaliwungu dan Langit Kendal Publishing
Tahun             : Mei, 2014
Tebal              : 55 hlm
Puisi lahir dari kehidupan agama, kehidupan sosial, dan kehidupan individual. Sebagai sebuah teks sastra, puisi kerap disebut second time of definition, sehingga penciptaan karya sastra tidak lepas dari representasi antara kehidupan agama, kehidupan sosial dan kehidupan individual. Demikian pula ketika membaca puisi Bahrul Ulum A. Malik yang terhimpun dalam Bumi di Atas Langit (2013). Kehidupan agama begitu lekat dalam pilihan kata-katanya. Bahrul dalam puisinya telah melempar pertanyaan, dan setelah itu terjawab dari wirid yang mengalir dari ingatan yang dicatatnya sebagai individu yang beragama.
Nampak dalam puisi “Bumi di Atas Langit” berikut: Langit!/ Tiangnya hujan berarak awan// Segala arah adalah tujuan // Tak ada timur selatan barat atau utara// Semua jalan satu tujuan. Dalam penggalan tersebut Bahrul sangat berhati-hati dalam mencatat ingatan dan segala hal pernah diperoleh atau segala sesuatu yang sempat dialaminya. Barangkali ia sangat jarang berbohong. Saya merasa ia benar-benar setia pada catatan perjalanan hidupnya. Tindakan serta segala hal mengenai tingkah laku menjurus pada harkat dan martabat sebagai hamba yang luhur. Mengalir atas kemuliaan daya saing yang tak tertandingi oleh mahluk ciptaan Tuhan lain. Sanggup menemukan pelbagai masalah dan memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana. Selalu menggunakan akal dalam menyelesaikan masalah—akal budi. Mengandalkan pikiran, selalu cermat dan tidak emosional dalam menghadapi masalah.Simaklah dalam puisi “Subuh” berikut: Bismillah/ menyebutMu lirih dalam doa subuhku, Tuhan// hamba yang kemarin siang mengetuk pintu rumahMu// sepi, tak ada siapasiapa, suwung!! Hampir ada kemiripan dari keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku pertamanya ini. Dalam hal proses penciptaan dan strategi tertentu yang mendasari wiridnya dalam berpuisi nampak begitu berhati-hati. Segala sesuatu dilakukan dengan sangat hati-hati.Puisi-puisinya memberikan sepetak gambaran dan penerangan yang mampu memprediksi bahwa dirinya akan selalu dihadapkan pada pelbagai tindakan yang menyeluruh. Sebagi dirinya sendiri, dari, oleh dan untuk diri sendiri pula. Manusia mengakui keberadaannya, ia ‘ada’ atas dirinya. Lahir sebagai pribadinya, dan akan meneruskan kelanjutan-kelanjutan dalam kelangsungan hidupnya sendiri yang berkepanjangan. Maka ia akan merasa sama sekali tidak mengikat maupun tidak pula ingin diikat oleh sesamanya. Dalam arti benar-benar berdiri sebagai individu yang mampu menaruh persoalan dan memecahkannya. Serta menanam penyakit dalam dirinya sekaligus akan mengobatinya, karena ia yakin Allah sebagai tuhannya, serta tuhan dalam puisinya. Termaktub jelas dalam puisi “RestuMu Ya Rabb” berikut: Rabb/ dalam semak belukar berakar// dalam rimba yang ku jamah/ dalam lubang yang menjerat// hamba yang dhaif lemah ini/ tersesat pada malam liang/ mencuri ajal di gerbang awan// hamba sendirian/ tuhan// hamba tak brani menatap atau bicara langsung padaMu.Namun Bahrul juga merasakan ketika harus dihujani beberapa persoalan yang ‘sederhana’. Segala bentuk pengorbanan pun akan senantiasa menjadi persoalan yang pelik bagi sesamanya. Misalnya hal tersebut kurang disepakati oleh orang lain yang paling terdekat secara biologis maupun psikis, antara ia dengan orangtua, sanak saudara, hingga kepada pasangan (baca: pacar, suami/ istri). Dikarenakan ia ingin menjadi individu yang benar-benar tunggal untuk penemuan dan perenungan-perenungan tertentu dalam hal kelangsungan harkat dan martabatnya sebagai manusia seutuhnya. Pertanggungjawabannya dilakukan ketika ia harus menentukan pilihan yang ‘tersembunyi’ atas dasar perilaku yang sering dianggap menyimpang dan kurang disepakati oleh sesamanya. Namun hal itu mutlak sebagai jalan yang wajib ditempuh. Dan kali ini ia tetap tegar sebagai individu yang saling, walaupun sebenarnya ia tetap hadir untuk dirinya yang tak terpecahkan sebagai simbol utuh. Nampak dalam puisi “Sejenak” berikut: sejenak saja kekasih// kau temani aku di sini// hingga fajar atau matahari/ menemu kita berduaan.// sejenak saja kekasih/ aku ingin kau ada di sisiku// semalam saja kekasih// atau kalau tidak/ kau tak akan pernah melihatku lagi// sejenak saja//Nampak juga secara tegas dalam puisi “Hawa Adam dan Hawa” berikut: kita yang pernah terusir lantaran khuldi.// untuk kedua kalinya kita terusir lagi/ lantaran apa lagi?// bukan karena khuldi kekasih.// bukan karena iblis.// bukan karena tuhan yang membenci kita.// untuk kedua kalinya kita terusir.// kali ini lantaran jibril.// hingga kita terlempar jauh,/ jauh dan hilang.// entah di mana kita sekarang...// aku ingin pulang adam,/ antarkan aku!!// tunggulah sampai embun memandikan jasadku!! Sehingga sangat jelas, bahwa Bahrul dalam puisi-puisinya menciptakan pertanyaan-pertanyaan yang begitu pelik, namun ia juga menjawabnya dalam puisi itu. Ia begitu berhati-hati dalam mencatat segala sesuatu tentang dirinya yang benar-benar nampak (ingin) sebagai individu yang luhur. Dalam puisi-puisinya ia selalu berupaya menemukan pelbagai masalah, memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana, dan selalu bermuara pada catatan hidupnya sebagai individu yang beragama.****Tulisan ini merupakan sebuah catatan pelan-pelan dari Buku Kumpulan Puisi "Bumi di Atas Langit" karya Bahrul Ulum A. Malik, dimuat di Rakyat Jateng (Sabtu, 18 Oktober 2014).

Tidak ada komentar: