Senin, 27 Oktober 2014

Puisi, dan Semacam Ingatan Kecil tentang Kegenitannya

Oleh: Setia Naka Andrian

Barangkali, ini bukan kali pertama kita menjumpai puisi. Sengaja atau tidak disengaja, pasti cukup mesra perjumpaan kita dengan puisi. Banyak jalan yang kita tempuh hingga akhirnya kita mengakui keberadaan puisi. Entah perjumpaan kita dengan sepenuh paksaan atau setebal kemesraan yang panjang. Pasti masing-masing dari kita juga punya jalan yang berbeda dalam proses penemuannya. Proses dan jalan yang tidak pendek. Hingga kita benar-benar mengakrabi dan yakin bahwa puisi bukan lagi tuntutan mata pelajaran saja, namun di antara kita barangkali telah menganggap puisi sebagai kebutuhan, terapi jiwa, dan kegenitan-kegenitan lain sebagainya.
Seseorang menulis puisi, bukan berarti sebatas ia sedang ingin menulis puisi. Namun lebih pada puisi yang ingin ditulis oleh seseorang. Serius, saat ini puisi cukup merasa kesepian. Puisi saat ini barangkali cukup disepelekan oleh seseorang di sekeliling kita, mereka menganggap puisi masih sebagai barang antik yang hanya beredar dan dinikmati orang-orang tertentu dalam keunikan-keunikan tertentu pula. Lebih-lebih mengenai peredaran puisi di lingkungan bangku sekolah hingga kursi-kursi mahasiswa jurusan bahasa dan sastra yang cukup berdesakan tiap tahunnya. Barangkali kita cukup paham, bagaimana muara puisi di lingkungan tersebut hanya akan berakhir di laci dan di bawah kursi saja. Berakhir dalam tumpukan tugas-tugas dan skripsi yang menumpuk kesepian di perpustaan. Jarang yang masih dimusimkan kembali sebatas dalam perdebatan-perdebatan kecil sambil menghisap aroma kopi. Ya, semoga tidak separah kecurigaan tersebut.
Namun setidaknya saya pribadi cukup angkat topi dengan proses kreatif yang dilakukan M. Lukluk Atsmara Anjaina. Ia sebagai siswa MTs, sebuah lembaga pendidikan setingkat SMP dengan pengaruh cukup besar mengenai pelajaran agama Islam. Setidaknya, Anja telah melampaui dirinya yang tidak sebatas sebagai siswa semata. Saya yakin, tidak semua siswa seusianya, baik di sekolahnya maupun di luar sekolahnya melakukan proses keratif yang sama. Barangkali sekelas mahasiswa pun bisa dihitung jari, siapa saja yang percaya terhadap puisi dan menggilainya semacam yang dilakukan Anja.
Sekali lagi, secara pribadi, saya angkat topi. Paling tidak, dengan membaca beberapa puisi yang ditulis Anja menjadi ingatan tersendiri bagi saya. Barangkali kenangan masa lalu proses kreatif saya ketika masa SMP tak sebaik yang dialami Anja saat ini. Saya ingat betul, dulu saya menikmati pertumbuhan proses kreatif hanya sebatas nasib sebagai individu semata. Forum-forum semacam yang dilakukan Pelataran Sastra Kaliwungu (PSK) Kendal belum saya jumpai saat itu. Benar-benar berdikari (baca: berdiri di atas kaki sendiri). Saat itu, akses bacaan saya sebatas rak-rak di perpustaan sekolah yang berada di desa. Sungguh sepi, tak ada yang menggairahkan dan tak cukup kegenitan puisi yang saya jumpai. Maka ketika saya lapar untuk mengintip puisi yang cukup merdu, saya harus merelakan mengajak kakak saya ke Semarang, mengunjungi toko buku, dan tidak membelinya, hanya membaca saja di toko. Hal tersebut saya ulangi kembali dengan intensitas yang cukup serius ketika beranjak SMA. Bahkan saat itu saya menyebarkan virus menular tersebut kepada beberapa teman, membolos sekolah demi menghitung buku-buku baru di sebuah toko buku nasional di Semarang. Ya, masih tetap sama, tetap hanya membaca di toko saja, karena saat itu uang hanya terpaksa untuk membeli buku-buku pelajaran sekolah saja. Tak ada uang lebih untuk membeli buku-buku cerpen atau puisi. Ya, jika hendak membeli buku cerpen atau puisi, barangkali hanya tiap semester sekali. Itu pun hanya memanfaatkan korupsi bulanan iuran sekolah yang saya selinapkan, maaf ya bapak dan ibu. Ini sekadar kenakalan sederhana pada masa kecil saja.
Lalu, bagaimana posisi siswa saat ini, di luar Anja? Apakah masih musim beberapa ingatan kecil saya tersebut? Tentu, kita yakin, dan dapat menjawabnya dengan pelan-pelan sambil menghela napas, menghisap aroma kopi atau mengepulkan asap. Kita yakin, saat ini terlalu banyak pilihan. Segala sesuatu saat ini begitu berdesakan mengantri di depan mata kita dan menarik tubuh kita untuk lekas memeluknya erat-erat. Barangkali tanpa harus bersusah payah mencari, segalanya telah disuguhkan dengan cuma-cuma di depan mata. Sebuah proses penemuan saat ini tak begitu berdarah jika dibandingkan dengan penemuan-penemuan yang ditemukan pendahulu-pendahulu kita. Lebih-lebih anak-anak sekolah saat ini, sudah banyak pilihan, termasuk beragam game, dan bermacam temannya yang sering kita temukan dalam fitur-fitur gadget mutakhir saat ini. Barangkali, jika kita ingat, pendahulu kita, atau barangkali kita sempat berakraban bahwa hiburan saat itu jika tidak mendengarkan sandiwara radio ya bermalasan bersama komik dengan tawaran-tawaran imajinasi yang sangat menggiurkan. Jika masa lalu sudah muncul media elektronik, barangkali semacam televisi dengan segenap kematiannya belum begitu manja seperti yang kita simak saat ini. Atau paling tidak, ketika itu kita masih berbangga melakukan aktivitas discovery kecil-kecilan di hutan atau di kebun-kebun yang ada di kampung halaman kita, tentunya banyak hal yang dapat kita kenang serta kita diskusikan dengan teman sebaya. Paling tidak itu yang mengikat ingatan kita, bahkan sampai kapan pun akan membekas lebih tajam dari mainan-mainan yang kita jumpai saat-saat ini dalam dunia gadget yang begitu cepat berganti seri.
Sudahlah, kita lupakan pelan-pelan beberapa hal yang cukup cerewet itu. Saya rasa puisi Anja dalam proses kreatifnya lebih leluasa menemukan kegenitannya dalam puisi. Berkali-kali saya bilang, bahwa saya pribadi sangat angkat topi terhadap prosesnya. Saya rasa kita semua yang hadir dalam lingkaran ini juga merasa begitu. Terlepas dari bagaimana takdir beberapa puisi yang ditulis Anja yang didiskusikan saat ini, paling tidak ia telah memulai dan tentunya sangat mendapat dukungan dari lingkaran diskusi ini. Bukan bermaksud apa-apa, dalam catatan ini tak banyak yang dapat saya sampaikan mengenai puisi-puisi yang ditulis Anja. Namun, saya berjanji kelak jika Anja lebih bersetia lagi dengan puisi, dan lebih berakraban lagi dengan puisi-puisi di luar dirinya, saya akan berupaya menemui tubuh beserta puisinya sambil menghisap aroma kopi. Bagaimana pun, saya cukup khawatir akan ada kecurigaan-kecurigaan lain jika sebatas mengakrabi puisinya saja, tanpa menemui tubuh dan sedikit bertamasya dengan jiwa penulisnya.
Barangkali pada catatan ini ada yang perlu saya sampaikan untuk Anja, namun ini bukan berarti menggurui, sebatas guru pun tak cukup untuk menggurui jika ia masih merasa kemenangan selalu menguasai dalam benaknya. Begini Anja, setidaknya, saat ini hingga saat-saat berikutnya, bahwa puisi sebagai sebuah sastra merupakan definisi kedua kalinya. Penciptaan puisi tak pernah akan lepas dari representasi penulis terhadap kehidupan agama, kehidupan sosial dan kehidupan individual. Saya rasa, sebagai pribadi yang tumbuh di lingkungan pendidikan agama, khususnya Islam, tentunya akan ada banyak hal yang kamu temukan. Sehingga sedikit pesan pertama untuk Anja, coba setelah lingkaran ini, upayakan untuk sedikit mengurangi tulisan yang masih sibuk dengan dirimu sendiri. Lepaskan dengan sepenuh kelepasannya, hingga benar-benar merasakan bahwa Tuhan telah menggerakkan tanganmu dalam menulis. Ketika tulisanmu sudah berhasil, barangkali itu semua bukanlah semata tulisanmu, namun sudah ada campur tangan Tuhan dalam tulisanmu. Percayalah! Apa ada segala sesuatu di dunia ini yang hadir tanpa campur tangan Tuhan?***

*Tulisan ini disebar dalam NgopiSastra #1 PSK (Pelataran Sastra Kaliwungu) | Selasa, 7 Oktober 2014 |19.45 - 22.00 WIB | di Rumah Puisi Langit Kendal, Jl. KH. Thohari Brangsong Kab. Kendal (Barat Alfamart Brangsong) ke Selatan 200 m | Baca dan Bedah Puisi Lukluk Anjaina


Tidak ada komentar: