Selasa, 03 Januari 2012

Puisi-puisi Setia Naka Andrian (Suara Merdeka, 2 Oktober 2011)


Bidadari Tidur dalam Kitab Suci

dua ribu gerimis yang lalu membuatku kepanasan karena dua ribu lima ratus kaki dan jari-jarinya adalah katanya dan itu semua adalah dua ribu hektar tanah pewarisan orang tuaku yang malu lebih dari dua ribu lima ratus air mata yang belum khatam karena ternyata ayah dari orang tuaku menimbun uang dalam bantal dan terbakar obat nyamuk yang mengapikan hutang pada kasur sejak dijemur sebelum pulang sebagai tempat tidur, dan kakekku terbakar mati juga

aku bingung kepadamu, nak karena wajahmu seperti bukan dari daging, malah banyak orang menyebutmu juga bukan wajah tempat tidur yang diranjangkan oleh kedua orang tuamu itu adalah katanya, kakekku bilang begitu

dan ternyata, kakekku pernah juga bilang kepadaku yang katanya dari kakeknya kalau rokok hisapan terakhir yang disebut hidup itu adalah katanya,

katanya kakekku lagi, tidak akan ada bidadari jika ada dua ribu tahun yang lalu wanita disebut perkasa dan laki-laki disebut manja itu adalah katanya, dan tidur dalam kitab suci adalah bukan bidadari, kecuali bidadari yang mau ditelanjangi kitab suci itu adalah bukan bidadari-bidadari yang ada dua ribu tahun lalu baru belajar mandi

sanggargema, 030610, 02.03 am.


Cincin Seikat Rambut

:f

aku rindu pada doa yang belum sempat tidur,

pada beberapa warna langit sebelum wajahmu mengitarinya

aku ragu pada kawan serumah,
dan aku ingin kau membawaku lari,
jika pernah kau ikatkan rambutmu pada jari manisku

dan tiba-tiba kau titipkan bekas bibirmu pada pipiku,
agar sengaja mengirim isyarat untuk berdoa pada lidahku

dan bibirku tersenyum memandangimu,
tak lagi lari kecuali tenggelam menapaki lesung pipimu

sanggargema, 170110, 02.50 am.



Air Mata Lilin

ingin kuciptakan lilin dari air matamu
ketika nyalanya mengalir menapaki lesung pipimu

biarkan dia menangis, pura-pura lupa hingga bibirmu mau melumatnya dengan sadar
merasakan tiupan dari bibirmu sendiri,
bila bibirku tak kau izinkan untuk mengakrabi bibirmu dan menawarkan canda pada lidahmu

depanparitama, 301109, 01.00 am.



Menara Layang-layang

aku adalah hiasan terbang dan takut kau tenggelamkan,
berjinak dari tetunas-tetunas hijau yang masih lunas dan belum sempat kau perhutangkan kepada lorong-lorong sepi menuju peribadatan utusan para nabi di pojok-pojok rumah tetangga,

tentunya kau paham dengan pelunasan warnanya, yang ternyata menyerupa lepas pada kerudung hijaumu, jika ada sungai ngalir yang belum sempat kering dan disekitarnya adalah rumput-rumput yang sengaja terbakar oleh kehausan dalam tubuhnya,

maka jangan pernah ada lagi luka berdesakan akibat kilau yang tak paham dari arus perjalanan air tanah menuju kerdip matamu, jangan pernah ada jika kau belum sempat menyerupakan luka yang terpaksa ngalir tanpa kemauan tindak miring dari pelunasan- pelunasan yang sering, karena kita akan menyumbatnya sebelum sanggup menawarkan canda pada rumah kita,

dan jika rumput dianggap basah dalam sekujurnya, maka kita akan bersama-sama untuk mengelap permukaan telapak tangan kita, hingga jari-jarinya akan menekuk dan memperkuat kepalan dalampusatnya, dan tak lagi ada dingin yang nggigil kecuali nadi kita sanggup menerawang pada jari-jari manis untuk seikat rambut yang mengalung pada pertengahnya,


lalu dengan seadanya kita akan bersama-sama menerbangkan menara layang-layang dari ujung telunjuk yang ngarah, dan tak terasa telah tujuh bulan kita dipertemukan dalam hidangan makan malam dengan menu pilihan yang kita surgakan, berupa ingatan yang laku, berupa serupaan yang madu, dan berupa cahayaan yang merdu, pada telingaan yang ngalun, reruntun tak ragu dalamsegala seruan seisi rumah kita.
:diksicantik.

kampusikippgri, 150310, 07.21 pm.



Setia Naka Andrian, lahir di Kendal, 4 Februari 1989. Masih tinggal bersama kedua orang tua dan seorang adiknya di Tabag Masjid RT 01/ RW07, Desa Kertomulyo, Kec Brangsong, Kab Kendal, Jateng. Lulus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang (2011), kini sedang melanjutkan studi pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Negeri Semarang; Berteater bersama Teater Gema IKIP PGRI Semarang, penulis naskah drama dan sutradara Hayalan Padang Tandus


1 komentar:

Unknown mengatakan...

Muhammad Haniful 15410074
menurut saya puisi anda sangat bagus terutama pada puisi yang berjudul air mata lilin, yang membuat saya terharu akan imajinasi saya mengenai puisi anda apalagi terdapat kata "biarkan dia menangis" seolah dia tidak dapat menahan rasa sedihnya hingga orang lain bingung untuk membuat dia berhenti menangis