Selasa, 06 Juli 2010

Bulan Terlanjur Pecah: Estetika Fantasi Potongan Puzzle


Bulan Terlanjur Pecah:
Estetika Fantasi Potongan Puzzle
Setia Naka Andrian

Potongan-potongan puzzle tak pernah mempermasalahkan kepada sesamanya tentang diberi atau memberinya, tentang dibebani atau membebaninya, tentang mencari atau dicarinya. Tapi yang ada adalah pemahaman terhadap sesamanya. Maka bila kita saling memahami seperti halnya potongan-potongan puzzle tadi, tentunya tak akan ada yang lepas dari kenyataan perannya, seperti halnya bila tak kan ada puzzle yang lepas sebelum pemain puzzle itu sendiri yang melepas dan memporak-porandakannya. Maka pahami orang-orang disekitar kita, sebelum pemahaman itu sendiri yang akan mati selamanya dan tak kan pernah menemui kita.
Kenapa saya menyeret puzzle? Berdasarkan asumsi saya, dalam hal ini puzzle lumayan berkawin dengan cerpen Bulan Terlanjur Pecah karya Khoirul Maftuhah. Dalam hal ini, Bulan Terlanjur Pecah sebut saja BTP karya MTH, telah (sedikit) memperbincangkan tubuh yang pecah/ rontok/ ambrol, atau entah itu hanyalah perumpamaan yang bagi MTH untuk mempermanis atau mungkin ada hal lain yang mendasar tentang apa yang ingin diungkapkan.
Bagi saya pribadi, BTP cukup menarik. Awalnya saya merasa hampir stroke ketika membaca cerpen ini, ketika waktu itu MTH memberikan hard copy BTP kepadaku. Tapi tunggu dulu, itu mungkin saya lumayan terkecoh dengan kalimat awal dalam cerpen ini. Memang saya pribadi mengakui kalau cerpen ini memiliki daya pikat tersendiri pada bagian kalimat-kalimat awal pada paragraf pertama dan beberapa kalimat pada paragraf berikutnya. Dalam kutipan,
Lewat tengah hari, Bulan mencari dirinya. Mencari pecahan tubuhnya yang terlanjur pecah. Di teras rumah, di bawah kolong meja, bahkan di atas bantal dan sprei.

Saya benar-benar merasa terpukau setelah berekreasi pada awal kalimat/ paragraf pertama tersebut. Juga pada beberapa larik kalimat berikutnya yang membuat stroke saya semakin akut dan semakin menjadi-jadi, berikut kutipannya,
Hujan menitik deras, memayungi desa yang terletak di kaki gunung kidul itu. Bulan masih sibuk mencari pecahan dari tubuhnya. Siang ini, jari-jemarinya pecah dan jatuh di bawah kolong meja. Setelah jari-jarinya ketemu dan berhasil di pasang olehnya. Giliran rambut-rambutnya membeku dan mulai pecah satu persatu. Dan berserakan di lantai. Ia segera meraih handuk dan melilitkan ke kepalanya yang sudah tak berambut lagi. Jika kepalanya sudah mulai hangat maka Ia akan memasang kembali rambut-rambut hitam panjangnya helai demi helai. Hingga utuh seperti semula. Begitulah selalu kehidupan Bulan jika musim penghujan tiba.

Lalu mari kita telusuri lebih dalam BTP karya MTH ini. Potongan tubuh yang pecah, bagi saya secantik potongan-potongan puzzle tadi. Hanya saja, dalam pecahan tubuh BTP, secara keseluruhan (asumsi saya) MTH kurang memperhitungkan bagaimana dan apa saja yang harus dilakukan ketika memporak-porandakan pecahan-pecahan tubuh tokoh Bulan dan merangkaikannya kembali pada bentuk/ wujud Bulan yang utuh dan cantik seperti yang diungkap MTH. Dalam hal ini MTH belum menampakkan sesuatu yang detail, mungkin karena malu-malu, atau mungkin karena bingung berperang pada pecahan-pecahan tubuh yang saya anggap kurang diperhitungkan tadi.
Yang pertama, mari kita telusuri estetika dari BTP. Persepsi/ tanggapan saya tentang estetika/ keindahan dalam teks sastra merupakan sesuatu yang bermanfaat atau berguna, sesuatu yang baik, sifat yang baik, dan segala hal yang baik serta segala hal yang memiliki keutamaan jika dibandingkan pada sesuatu hal lain diantaranya. Misalnya saja, pada sebuah pesta ada sejumlah orang yang datang bergelintingan dari segala bentuk dan rupa juga beberapa nasib yang berbeda-beda pula, berkumpul menjadi satu. Seketika ada salah satu diantara tamu undangan yang sedang menikmati anggur merah dan membanting gelas minumannya di tengah-tengah pesta. Pasti hal ini merupakan hal yang utama dan sedikit menonjol dari sekelilingnya. Walaupun semua orang yang ada dalam pesta tersebut sama-sama meminum anggur merah dan lumayan mabok.
Dalam hal ini estetika dapat diartikan juga sebagi sesuatu yang bermanfaat atau berguna. Sesuatu yang memiliki keutamaan dan sesuatu yang bersifat baik. Keutamaannya adalah ketika penulis menuangkan segala hal yang akan diungkapnya benar-benar memilih rangkaian kata yang benar-benar utama dan dengan mengurangi atau tanpa adanya kata-kata yang tidak terlalu penting kehadirannya. Seperti halnya MTH menyuguhkan:
Giliran rambut-rambutnya membeku dan mulai pecah satu persatu. Dan berserakan di lantai. Ia segera meraih handuk dan melilitkan ke kepalanya yang sudah tak berambut lagi. Jika kepalanya sudah mulai hangat maka Ia akan memasang kembali rambut-rambut hitam panjangnya helai demi helai.

Cukup begitu jelas pemilihan kata-katanya, MTH telah melewati pengurangan kata-kata yang dirasa kurang perlu kehadirannya. MTH memenggalnya hingga terasa terbentuk ungkapan yang begitu cerdas dan menyegarkan.
Lalu mari kita telusuri penciptaan fantasi dalam BTP karya MTH. Dalam hal ini, terciptanya fantasi sepenuhnya merupakan dorongan kuat jiwa bawah sadar pengarang. Pemunculannya terbentur pada prinsip-prinsip realitas yang dikehendaki oleh ego yang bersifat represif/ menekan, tentang pengungkapan sesuatu hal yang belum tentu terpikirkan oleh orang lain, karena semua ini merupakan harga mati yang ada pada diri manusia. Tentunya hal tersebut seperti diada-ada kemunculannya. Seperti memaksa tapi tidak terlihat terpaksa. Seperti teryakini tidak ada tapi terlihat seolah-olah ada dan nyata. Dalam kutipan,
Seperti yang diperkirakan. Tubuhnya mulai tak bisa digerakkan. Tangannya mulai membeku, kepalanya beku, bibirya lebih beku. Kini, total ia tak dapat bergerak. Hanya matanya yang sedikit melirik kearah tamunya. Tangannya jatuh ke tanah dan pecah. Di susul hidung, bibir dan rambutnya. Jatuh ke tanah satu persatu dan pecah.

Fantasi dalam kutipan BTP diatas memang kedengarannya begitu cerdas dan segar, saya pun geleng-geleng dibuatnya. Namun setelah saya sedikit mengakar pada setiap perjalanan ungkapnya, ternyata ada sedikit yang terlupa atau mungkin itu disengaja oleh MTH. Tapi menurut saya, ini merupakan hal yang dapat dibilang cukup fatal, ketika pada paragraf berikutnya ada hal yang saya rasa kurang masuk akal, walaupun pada kenyataannya disebut fantasi adalah segala hal yang merupakan akal-akalan dari akal pikiran manusia dengan daya mimpi/ imajinasi yang menggebu. Tentunya juga harus memperhatikan hal yang masuk akal, dalam BTP yang menyatakan Bulan telah memunguti anggota tubuhnya satu per satu, dan memasangnya sesuai tempatnya semula, padahal tangannya pun ikut jatuh ke tanah dan pecah. Lalu dengan apa Bulan memunguti bgian tubuhnya yang pecah dan terjatuh ke tanah? Tapi juga tidak tahu kalau ternyata tidak dengan tangan, melainkan dengan menggunakan bagian tubuh yang lain ketika memunguti bagian-bagian tubuhnya yang pecah dan terjatuh ke tanah. Mungkin bisa juga meminjam tangan setan untuk memungutinya. Hehe. Dalam kutipan,
Hingga rintik hujan mulai reda, dingin perlahan hilang. Bulan memunguti anggota tubuhnya di lantai satu persatu. Ia memasangnya sesuai tempat semula.

Lalu mari kita telusuri lagi BTP karya MTH ini. Selanjutnya kita akan dipertemukan pada olahan kata-kata yang cukup tragis tapi kurang nyaris tragis. Kenapa saya bilang cukup tragis tapi kurang nyaris tragis? Bagi saya MTH kurang memperhitungkan segala hal yang akan diungkap. Walalaupun sebenarnya ungkapannya begitu cerdas dan segar. Hanya saja MTH kurang memberikan peran yang kuat terhadap hal-hal yang diungkapnya. MTH telah menghadirkan sesuatu hal tetapi kekuatannya seperti hanya tempelan-tempelan yang bagi saya kurang berkait kuat dalam alur penceritaannya. Misalnya saja pada kejadian yang cukup sering MTH ungkap, pada tubuh Bulan yang sewaktu-waktu pecah dan terjatuh ke tanah. Hal ini bagi saya kurang kuat, karena MTH saya nilai kurang jeli atau mungkin ada sedikit kelalaian ketika menempatkan semua itu. Tubuh Bulan yang pecah dan benar-benar terjatuh ke tanah tak tahu arahannya akan dibawa kemana, misalnya akan dinobatkan sebagai kejadian yang benar-benar terjadi atau sebagai perumpamaan yang mendasari sesuatu yang tersirat. Dikatakan sebagai perumpamaan saja tapi ternyata kejadian itu disajikan secara nyata, dan bila dikatakan itu hal yang nyata tetapi kenapa dibagian awal terlihat seperti perumpamaan. Juga ada penguat bila hal itu perumpamaan ketika di akhir-akhir cerita ternyata cukup terkait kuat bila hal itu merupakan perumpamaan ungkap dari MTH. Ketika hal tersebut merupakan kebekuan cinta Bulan ketika ditinggal kekasihnya, Purnama. Dalam kutipan yang bagi saya menunjukkan keberadaan dua hal yang cukup membingungkan, antara sebagai kejadian yang benar-benar terjadi atau sebagai perumpamaan yang mendasari sesuatu yang tersirat. Dikatakan sebagai perumpamaan saja tapi ternyata kejadian itu disajikan secara nyata, berikut kutipan yang saya anggap sebagai hal yang diungkap nyata/ benar-benar terjadi ketika tubuh Bulan pecah dan terjatuh ke tanah,
Bulan tinggal di daerah pegunungan yang memiliki suhu sangat rendah. Jika musim penghujan tiba, suhunya memang luar biasa dingin. Dan itu akan membuat tubuh Bulan membeku. Dan pecah satu persatu. Tentu saja bukan hal yang wajar. Kejadian itu tak pernah di ketahui oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Termasuk ayah Bulan yang tinggal serumah pun tak pernah tahu akan peristiwa yang ditimpa putri semata wayangnya itu.

Mas Dharmo yang melihat hal itu tak bisa berkata apapun. Mulutnya berbentuk oval yang makin terbuka lebar. Rokok yang masih mengepulkan asap di bibirnya jatuh ke tanah. Ia menampar pipinya berulang kali. Berharap bahwa yang di lihatnya hanya mimpi atau khayalan semata. Bulu kuduknya mulai merinding, Ia merasakan sakit atas tamparannya sendiri itu. Ia lari keluar rumah, dan jatuh tersungkur di pelataran. Mencoba berdiri, lantas berlari memasuki mobil yang dikemudikan sopirnya.

Dan berikut kutipan yang saya anggap sebagai perumpamaan ketika tubuh Bulan pecah dan terjatuh ke tanah,
Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Sembari meremas-remas jari jemarinya. Ingatannya melayang jauh empat tahun silam. Tepat ketika rembulan malam tengah mengapung di pusara langit, sebentuk sabit. Bintang-bintang berpendar seperti titik-titik garam di atas pasir hitam. Di sebuah malam yang telah menghilangkan Purnama, kekasih Bulan.

“Bulan, katakan padaku tentang sebuah cinta.” Kata Purnama.
“Kebekuan.”
“Kenapa?”
“Seperti yang kau ajarkan kepadaku dua hari yang lalu ketika hujan turun, bahwa kebekuan kita, ketika tersentuh cinta yang lain, itulah namanya cinta.”
“Lantas apakah kau akan membeku untukku?”
“Aku mencintaimu, tentu aku bersedia membeku untukmu.”
“Baik, berjanjilah bahwa ketika hujan turun maka kau akan membeku untukku.”
“Aku janji. Tapi kaulah yang akan membuatku jadi hangat. Sehingga ketika aku membeku, maka kau akan datang untuk menghangatkanku“
“Baiklah, aku janji.”
“Tapi Bulan, aku harus pergi sekarang. Kuharap kau baik-baik saja disini. Aku akan kembali bersama rintik hujan untuk menghangatkanmu.”

Dari kutipan diatas ada dua hal pengungkapan MTH yang bagi saya kurang berkawin, ketika MTH harus menyajikan kebekuan tubuh Bulan yang benar-benar nyata membeku dan kebekuan tubuh Bulan yang hanya membeku sebagai perumpamaan saja ketika cinta Bulan yang membeku. Hal yang kedua saya sebut perumpamaan kebekuan cinta Bulan karena telah diungkap MTH ketika perbincangan Bulan dan Purnama, kekasihnya. Ketika Bulan mau membekukan tubuhnya hanya karena cinta Bulan terhadap Purnama. Apakah dapat kita tangkap jika seseorang bilang aku akan membeku, maka dengan sekejap tubuhnya akan membeku? Memang tak ada hukum yang menyayatkan tentang hal-hal yang kurang dapat dianggap tak wajar tak boleh disajikan dalam sebuah cerita, tapi mari kita tilik lagi apa fantasi itu. Hal dapat dikatakan dikatakan fantasi apabila hal tersebut memang seperti hanya ada dalam mimpi saja, biasa dan akrab disebut day dreaming, dan terciptanya fantasi sepenuhnya merupakan dorongan kuat jiwa bawah sadar pengarang. Pemunculannya terbentur pada prinsip-prinsip realitas yang dikehendaki oleh ego yang bersifat represif/ menekan, tentang pengungkapan sesuatu hal yang belum tentu terpikirkan oleh orang lain, karena semua ini merupakan harga mati yang ada pada diri manusia. Tentunya hal tersebut seperti diada-ada kemunculannya. Seperti memaksa tapi tidak terlihat terpaksa. Seperti teryakini tidak ada tapi terlihat seolah-olah ada dan nyata. Pada kenyataannya disebut fantasi adalah segala hal yang merupakan akal-akalan dari akal pikiran manusia dengan daya mimpi/ imajinasi yang menggebu. Tentunya juga harus memperhatikan hal yang masuk akal dan tepat pada hal kesesuaiannya. Seperti halnya juga pada hal yang begitu tiba-tiba dan mengagetkan ketika MTH menghadirkan kematian ayah Bulan yang begitu tiba-tiba tanpa permulaan awal penyebab yang begitu kurang saya tangkap dan kurang saya mengerti penyebabnya. Dalam kutipan,
Musim hujan baru saja tiba di tahun ke-lima. Hujan sehari-hari menjadi sangat akrab di desa Bulan. Bulan pun melewati hari-harinya dengan kebekuan. Pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Ia tak pernah keluar rumah semenjak kematian ayahnya, ketika musim kemarau tengah menggeragapi desanya. Para pemuda tak lagi hilir mudik melamar Bulan. Mereka tak lagi merasa bahwa Bulan masih hidup.

Padahal kita semua tahu, dalam segala hal yang kita perbuat pasti mau tak mau harus memperhatikan ketepatannya/ kepantasannya/ kesesuaiannya terhadap sesuatu hal, dalam bahasa jawa kita yakini sebagai unggah-ungguh. Seorang pencerita harus dapat memahami segala tindakan yang akan dilakukan terhadap sesuatu hal/ orang. Maka harus memperhatikan bagaimana kita akan menghadapi hal ini dan hal itu, dan tidak menutup kemungkinan kita akan memiliki anggapan/ tindakan yang berbeda-beda dan akan memiliki strategi yang berbeda-beda pula dalam menghadapi beberapa hal yang berbeda-beda tersebut. Maka seorang penulis bagi saja harus mampu mempertimbangkan segala hal yang akan diperbuat tersebut secara benar-benar matang, tidak hanya tempelan atau sekedar pemanis-pemanis belaka yang nantinya akan hanya seperti kita yang mengemut permen, yang setelah habis, kita tidak akan lagi menemukan manisnya lagi ketika kita berhadapan dengan orang lain dalam perbincangan yang berbeda. Karena kita akan dibuat lupa yang tak ada lagi manis yang tersisa. Tapi beda lagi ketika kita dihadapkan pada saat kita mengunyah cabe, pada lain kesempatan/ pada lain waktu kita dipertemukan pada orang lain maka kita akan tetap ingat ketika bertemu orang lain tersebut. Rasa cabe yang begtu pedas masih dapat kita rasakan dan masih dipertanyakan oleh orang lain. Kenapa denganmu kok muka merah begitu? Kenapa denganmu kok terburu-buru meminum es seperti baru kemah di padang pasir saja? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain sebagainya tentang hal karena mengunyah cabe tersebut.
Jadi, menurut saya seperti yang digemborkan dalam Meja Cerpen “ Mari kita purbakalakan tradisi malas berprosa!” Maka ya benar-benar jangan malas berprosa, kita jangan sampai membuat prosa seperti halnya mengetik pesan singkat/ sms. Tulis secara mendetail yang benar-benar berkait alur yang jelas dan kuat, bukan kita yang hanya menyajikan sebuah cerita yang malah membingungkan pembaca, karena kemalasan kita dalam berprosa. Mungkin ini hanya sebuah oret-oretan yang tak begitu bernila, tapi akan lebih bernilai jika ada yang mau menanggapi tulisan ini agar lebih membangun. Saya rasa ini semua belum tentu dapat saya lakukan dan saya terapkan dalam proses kreatif, tapi setidaknya ini semua sedikit gugatan untuk kita agar mau membudayakan gugatan-gugatan yang mampu membentuk dan menjadikan, bukan gugatan yang malah menguburkan.
Sekali lagi, “Mari kita purbakalakan tradisi malas berprosa!”


sarangdiksicantik, 100610, 09.53 am

Tidak ada komentar: