Panggung Kelopak Mata
■cerpen: Setia Naka Andrian
Jason Rabdillah, S.Pd. Seorang sarjana pendidikan
yang baru lulus dari salah satu institut keguruan swasta terkemuka di kota ini.
Pemuda bertubuh gemuk dan tidak terlalu tinggi yang langsung mendapat pekerjaan
setelah beberapa saat nangkring gelar sarjana pendidikan di belakang namanya.
Ia mendapat panggilan mengajar pada sebuah lembaga pendidikan swasta, SD Bina
Jiwa. Di mata teman-teman seangkatan dan sepergaulannya, ia diacungi jempol
empat. Karena setelah lulus langsung kerja, dengan tidak memandang mengajar apa
itu. Yang terpenting, ia telah mampu mengenakan baju rapi dan sepatu kulit yang
mengkilap licin dengan semir hitamnya. Menyandang tas laptop dengan tanpa
memperhitungkan walaupun isinya hanya tumpukan buku-buku kumpulan puisi dan
cerpen yang ternyata semua buku itu terdapat karyanya, beberapa pengalaman
semasa kuliah yang diharapkan kini dapat ia pergunakan sebagai bahan mengajar
mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Namun ternyata ia belum begitu
beruntung, mengajarnya di SD. Ia dinobatkan sebagai guru kelas yang wajib untuk
mengajar semua mata pelajaran. Namun dalam hati ia cukup bersyukur, karena di
SD juga ada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sehingga ia masih berbangga kelak
tetap dapat menularkan kemampuan dahsyatnya dalam menulis puisi dan cerpen.
Karena bagaimanapun ketika masih mahasiswa namanya cukup diperhitungkan dalam
peredaran sastra lokal maupun nasional. Beberapa puisi dan cerpennya sering
nangkring pada surat kabar lokal maupun nasional.
Pagi-pagi buta ia terbangun dari tidur. Tak
seperti hari-hari biasanya semasa ia masih mahasiswa, selalu bangun kesiangan
dan terkadang disengaja tidur pagi karena semalaman asik begadang sambil
diskusi ngalor-ngidul bersama kawan-kawan komunitas
sastranya. Walaupun sesungguhnya ia wajib bangun pagi karena tuntutan jadwal
kuliah pagi. Namun semua itu tak begitu dihiraukan dan tak menjadi beban.
Pikirnya kuliah tak begitu penting, yang utama baginya adalah berkomunitas dan
berkarya. Hingga akhirnya semua itu menggiringnya untuk menempuh kuliah sampai
tujuh tahun, dan semua itu tak dipikirnya sia-sia. Karena ia sering menjuarai
lomba penulisan puisi dan cerpen, baik tingkat provinsi maupun nasional. Juga
seabrek kumpulan buku puisi dan cerpen yang terdapat karya-karya kebanggaannya.
***
“Selamat pagi,” sapa senyum ramah seorang satpam
sekolah. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Begini, Pak. Saya guru baru yang mendapat
panggilan untuk langsung mengajar hari ini,” Jason Rabdillah, S.Pd., guru muda
yang merasa gagah ketika dipanggil ‘Pak’ untuk kali pertamanya di sekolah yang
diharapkan dapat ia tunggangi untuk sambung napasnya.
“Oh, begitu. Salam kenal, Pak. Nama saya Tugimin.
Biasa dipanggil Pak Gim,” mengulurkan tangan kanannya sambil nyengir.
“Oke, Pak Gim. Nama saya Jason Rabdillah. Boleh
dipanggil siapa saja, asal masih merujuk dari nama asli pemberian tante saya,
Jason Rabdillah,” saut pula dengan nyengir.
“Siap, Pak! Silakan masuk ke kantor yang ada
diujung sana. Nanti Bapak temui Pak Rahman, beliau waka kurikulum SD Bina Jiwa
ini.”
“Terimakasih, Pak Gim. Salam.”
Ia langsung menuju tempat yang ditunjukkan oleh
Pak Gim, satpam yang ramah dan murah nyengir.
“Permisi, Pak. Bisakah saya bertemu dengan Pak
Rahman?”
“Oh, saya sendiri. Silakan masuk, Pak. Kira-kira
ada perlu apa?”
“Saya Jason Rabdillah, Pak. Kemarin yang mendapat
panggilan mengajar di SD Bina Jiwa ini.”
“Oh, iya, Pak Jason Rabdillah. Selamat, Pak. Kami
memilih Bapak untuk mengajar di sekolah tercinta ini. Hari ini juga Bapak langsung
saya antar ke lelas. Namun sebelumnya maaf, Pak. Kami hanya mampu menggaji
Bapak sebulan tiga ratus ribu rupiah saja. Seperti yang telah saya katakan
kemarin melalui sms.”
“Oh, tak apa Pak. Bagi saya gaji bukanlah yang
utama. Namun nilai pengabdian saya untuk mendidik generasi penerus bangsa ini.”
“Sungguh mulia sekali dirimu anak muda,” tersenyum
bangga kepada guru muda berwajah bulat itu.
Jason Rabdillah langsung diantar menuju kelas oleh
Pak Rahman. Hari ini ia sangat bahagia. Dalam hati ia berkata, inilah awal
pijakan sejarah yang baru. Memulai untuk menyongsong kerja dengan mencerdaskan
anak bangsa, generasi penerus negeri ini.
“Silakan, Pak. Ini ruang kelas yang kami serahkan
sepenuhnya untuk Bapak,” ia diantar hingga depan pintu kelas. “Mulai hari ini
hingga seterusnya kelas ini menjadi tanggung jawab Bapak. Didiklah mereka
dengan penuh cinta dan pengorbanan.”
“Baik. Terimakasih, Pak. Saya akan mengemban
tanggung jawab ini dengan sepenuh,” tegas Jason Rabdillah dengan mantab.
Sungguh tak diduga sebelumnya, kelas terasa hening
dan sepi. Ia sangat kaget, dan dalam hati bertanya-tanya, kenapa ruang kelas SD
begitu tenangnya? Tak ada saut
manuk atau kekacauan siswa
bermain seperti yang ia bayangkan. Menurut pengalamannya pun pasti anak-anak SD
akan selalu gojeg dan berteriak-teriak seenaknya. Ia
pun dulu begitu, semasa SD ia merupakan siswa yang terkenal bandel dan sulit
diatur. Namun kenapa dengan kelas ini? Apa yang tejadi?
Guru muda Jason Rabdillah berjalan menyisir ruang
kelas, melewati sela-sela bangku siswa sembari menatapi wajah mereka. Namun
mereka tetap saja diam dan seperti terlamun yang entah kemana. Ia semakin
heran, bau tubuhnya sama sekali tak digubris oleh para siswa. Sejumlah dua
puluh anak terdiam tanpa kata, hanya tangan mereka bergerak-gerak sedikit
dengan ayunan yang tak beraturan. Mata mereka berkedip, namun terasa seperti
kosong memandang sesuatu yang entah tak bertumpu mana ujungnya.
Ia semakin bertanya-tanya, benar-benar aneh.
Kedatangannya sama sekali tak digubris sedikit pun oleh para siswa. Lalu ia
mendekati mereka satu per satu dan memandanginya. Oh, masih saja mereka terdiam
dengan pandangan kosong. Di antara mereka sama sekali tak ada interaksi apapun,
walaupun sekadar mencolek teman sebangku.
Kemudian ia memandangi mata mereka. Ia mendekat
dan matanya dijatuhkan tepat pada mata salah seorang siswa, kira-kira sejarak
dua puluh sentimeter. Namun tetap saja siswa itu masih asik dengan lamunannya
yang entah. Kosong dan sama sekali tak menggubris matanya yang menunjuk
beberapa mata siswa di kelas.
Lalu dengan sebegitu cepatnya ia terpikir sesuatu,
apa mungkin mereka buta? Namun kenapa buta berjamaah begini? Ya, benar. Kali
ini tidak salah lagi. Ia yakin kalau seluruh siswa yang ada di kelas ini matanya
buta. Mata mereka terlihat memandang sesuatu yang entah. Terbukti, di antara
mereka tak ada satupun yang berinteraksi dengan sesamanya. Mereka sepertinya
asik dengan dunia lamunannya masing-masing. Beberapa di antaranya ada yang
sampai berkaca-kaca matanya, nyaris hampir menjatuhkan airmata. Mungkin terlalu
serius dengan pendalaman lamunnya. Wajah para siswa di kelas ini bersih-bersih
dan bersinar secerah harapan yang kuat. Namun sayang, mereka masih kurang
beruntung. Ia menghela napas sambil meniupkan hembusan syukur kepada Tuhan.
Ternyata masih banyak orang yang jauh kurang beruntung ketimbang dirinya.
Jason Rabdillah semakin kebingungan. Semangatnya
yang menggebu ketika hendak mengajar telah lari entah kemana. Ia terlihat mati
gaya. Keinginannya untuk menularkan keterampilan menulis puisi dan cerpen
semakin dirasa punah. Ia merasa tak yakin untuk mengajar mereka, dua puluh
siswa semuanya buta. Kegelisahannya itu semakin menjadi-jadi, berjam-jam ia tak
melakukan apa-apa. Hanya mondar-mandir mengelilingi sela-sela bangku di kelas
yang hening. Raut mukanya memerah, bibirnya seperti menggumam yang tak penuh.
Matanya berkaca-kaca, pikirannya terbang kemana-mana. Kali ini ia memang
benar-benar kebingungan hingga tak mampu berbuat apa-apa. Kedua kakinya melangkah
dengan pelan seiring dengan putaran pikirannya yang tak menentu. Terasa gerak
tubuhnya tak terkendali dengan kegelisahan organ tubuhnya masing-masing.
Seluruh siswa yang ada di kelas itu pun masih saja tenang. Hal itu membuat
pikirannya semakin tak karuan. Keringat
berbiji-biji jagung berhamburan dari pori-pori kulitnya. Selain ia kebingungan
ingin mengajar apa kepada siswanya, ia juga ketakutan jika diketahui oleh waka
kurikulum atau kepala sekolah, ketika ternyata ia belum mampu mengajar. Maka ia
otomatis akan kehilangan pekerjaan. Walaupun gajinya tak seberapa, namun
tanggung jawab telah melekat di pundaknya.
Ia benar-benar kebingungan untuk memulai
pelajaran. Padahal ia lulus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, jurusan
Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia, yang secara penuh ia memperoleh
berbagai matakuliah pengajaran dan pembelajaran, yang terkenal dengan sebutan microteaching. Kali ini ia merasa semua yang
didapatkan semasa kuliah sia-sia. Ternyata segala yang diperolehnya masih mlempem ketika hendak diamalkan.
***
Hingga berjam-jam, Jason Rabdillah masih tak tahu
apa yang harus dilakukan untuk mengajar siswanya. Mereka masih tetap diam
dengan lamunan kosong yang masih entah pula. Kelas masih hening, jam pelajaran
hampir usai. Ia masih tetap kebingungan dan tak mampu melakukan apa-apa. Kedua
kakinya masih tetap melangkah dengan pelan seiring dengan putaran pikirannya
yang tak menentu. Terasa gerak tubuhnya pun masih tak terkendali dengan
kegelisahannya masing-masing. Seluruh siswa yang ada di kelas itu pun masih saja
tenang, hal itu membuat pikirannya semakin tak karuan. Keringat berbiji-biji jagung
berhamburan dari pori-pori kulitnya. Sesungguhnya ia pun kasihan kepada para
siswa, ketika ia belum mampu memberikan apa-apa kepada mereka. Dalam benaknya,
ia merasa kelak akan mendapat gaji buta dari siswa-siswanya yang buta jika hari
ini tak memberikan apa pun kepada mereka.
“Wahai pemuda mana telurmu?” Jason Rabdillah kaget
dengan sekaget-kagetnya, handphone dalam saku celananya berteriak
dengan nada dering pembacaan puisi Sutardji Calzoum Bachri dengan sangat
lantang. Ia menghiraukan siapa pun yang meneleponnya, ia lebih menghargai
pembacaan puisi Bang Tardji. Karena baginya memenggal pembacaan puisi dari
penyair siapapun, walaupun itu hanya rekaman, semua itu sama halnya memenggal
pembacaan orang mengaji, walaupun itu bukan pembacaan langsung. Baginya
memotong pembacaan puisi adalah berdosa. Lalu ia mendengarkan pembacaan puisi
Bang Tardji dengan seksama hingga selesai.
“Apa gunanya merdeka kalau tak bertelur? Apa
gunanya bebas kalau tak menetas? Wahai bangsaku! Wahai pemuda! Mana telurmu?
Burung jika tak bertelur, tak menetas, sia-sia saja terbang bebas! Kepompong
menetaskan kupu-kupu, kuntum membawa bunga, putik jadi buah, buah menyimpan
biji, menyimpan mimpi, menyimpan pohon dan bunga-bunga. Uap terbang menetas
awan. Mimpi jadi, sungai pun jadi, menetas jadi. Hakekat lautan. Setelah
kupikir-pikir, manusia ternyata burung berpikir. Setelah kurenung-renung,
manusia adalah burung merenung. Setelah bertafakur, tahulah aku, manusia harus
bertelur. Burung membuahkan telur. Telur menjadi burung. Ayah menciptakan anak.
Anak melahirkan ayah. Wahai para pemuda! Wahai garuda! Menetaslah! Lahirkan
lagi Bapak bagi bangsa ini! Menetaslah seperti dulu para pemuda bertelur emas!
Menetas kau dalam sumpah mereka!”
Pembacaan puisi Bang Tardji telah membakar
semangatnya. Seperti ada kekuatan besar yang menyelinap dalam jiwanya. Ia
langsung bergegas memulai pelajaran dengan menyapa semua siswa.
“Mohon perhatiannya anak-anak. Sebelumnya, selamat
pagi!”
Ia menyapa dengan lantang, namun ternyata tak
seorang siswa pun yang menjawab sapanya. Ia tetap sabar, dan mencoba memulai
pelajaran.
“Anak-anak, maukah kalian semua berdiri? Bapak
ingin kalian berdiri,” seketika mereka serentak berdiri tanpa bantahan atau
ungkap yang tidak mengenakkan. Namun tetap saja mereka belum ada yang mau
membibirkan kata-kata. Pikirnya tak apa, ini awal, besok mungkin akan berbeda.
Baginya kali ini sudah lebih dari cukup, karena mereka telah menuruti
permintaannya.
“Bagus, kalian semua sungguh siswa yang pintar.
Nah, sekarang maukah kalian memejamkan mata?” pikirnya akan memberikan
apersepsi berimajinasi seperti yang sering ia lakukan dalam latihan proses
kreatif bersama teman-teman komunitasnya.
“Maaf, Pak. Bagi kami tak ada bedanya antara
memejamkan mata dengan membuka mata. Semua tetap akan terlihat gelap,” sontak
salah seorang siswa dengan nada lugu membibirkan sanggahan kepadanya. Anak itu
mengeluarkan airmata dari matanya yang tak melihat, diikuti pula dengan semua
anak-anak yang lainnya.
“Maaf, Bapak tidak bermaksud menyakiti kalian.
Sekali lagi maaf, Bapak sayang kepada kalian semua. Kalian anak-anakku.
Kalianlah telurku, dan kelak kalian juga yang akan bertelur. Maafkan saya,
anak-anakku.”
Tiba-tiba handphone di sakunya kembali memutar
pembacaan puisi Bang Tardji, ia kembali mendengarkan dengan seksama pembacaan
puisi tersebut. Anak-anak didiknya pun sepertinya mendengarkan kelantangan
pembacaan puisi Bang Tardji yang berjudul ‘Wahai pemuda mana telurmu?’ hingga
selesai. Kemudian ia mengangkat teleponnya.
“Selamat siang, Pak. Apakah benar ini Pak Jason
Rabdillha?”
“Ya, benar. Maaf, ini siapa dan ada perlu apa?”
“Begini, Pak. Kami bermaksud ingin memanggil Bapak
untuk mengajar di SMA Gelora Budaya, sebagai pengajar Bahasa dan sastra
Indonesia dengan fokus pengajar penulisan kreatif. Apakah Bapak berkenan
memenuhi panggilan kami?”
Ia terdiam. Bibirnya seperti terkunci, tak mampu
menjawab apapun berkenaan dengan panggilan untuk mengajar di sekolah favorit
bertaraf internasional yang terkenal dengan karakter studi sastra dan
budayanya. Pandangannya menyapu ke seluruh siswa, airmata runtuh membasahi
pipinya. Pikirannya berkecamuk antara panggung yang kelak akan dicipta dan
disuguhkan kepada banyak mata dengan panggung yang tercipta oleh mata kosong
yang ditontonkan kepedihannya kepada mata siapa pun. Walaupun mata yang
menciptakan panggung pribadi itu tak mampu membedakan antara kepedihan atau
kegembiraannya. Bagi mereka, semua adalah kepedihan. Mengucurkan airmata tanpa
harus melihat kepedihan itu dengan matanya sendiri.
sanggargema, 191011, 02.56 am.